Tantangan Kebebasan Berekspresi - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
22/09/2002

Tantangan Kebebasan Berekspresi

Oleh Sudirman HN

Keputusan Surya Citra Televisi (SCTV) menghentikan sepihak penayangan iklan layanan masyarakat “Islam Warna-Warni” akibat ancaman somasi Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) bisa menjadi preseden buruk bagi kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Peristiwa itu juga mengindikasikan kembali terancamnya dua kebebasan yang menjadi bagian dari hak-hak sipil itu, yang baru kita peroleh setelah reformasi 1998.

Keputusan Surya Citra Televisi (SCTV) menghentikan sepihak penayangan iklan layanan masyarakat “Islam Warna-Warni” akibat ancaman somasi Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) bisa menjadi preseden buruk bagi kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Peristiwa itu juga mengindikasikan kembali terancamnya dua kebebasan yang menjadi bagian dari hak-hak sipil itu, yang baru kita peroleh setelah reformasi 1998.

Ironisnya, pengancam kebebasan pers dan kebebasan berekspresi dalam kasus “Islam Warna-Warni”, tayangan garapan sutradara Garin Nugroho bekerja sama dengan Komunitas Islam Utan Kayu, justru bukan lagi berasal dari pihak “negara” seperti yang lazim terjadi di era Orde Baru. Pengancam itu kini berasal dari elemen masyarakat sendiri yang dimotivasi oleh absolutisme penafsiran dan fundamentalisme agama. MMI menilai iklan bertemakan pentingnya menghargai pluralisme dalam beragama itu sebagai sesat dan melecehkan agama. Kemudian lewat surat somasi pada 4 Agustus 2002 yang ditandatangani oleh Ketua Departemen Data dan Informasi MMI Fauzan Al-Anshari kepada SCTV dan RCTI meminta segera menghentikan penayangan iklan tersebut.

Di balik kasus “Islam Warna-Warni” ini sebenarnya terbentang kembali anakronisme antara hak-hak sipil, kebebasan berekspresi dan kebebasan pers dengan fundamentalisme agama. Kasus “Islam Warna-Warni” ini hanyalah salah satu dari sangat banyak contoh betapa fundamentalisme agama senantiasa mengancam kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Tahun lalu misalnya, sebuah kelompok yang juga mengusung absolutisme penafsiran dan fundamentalisme agama mengancam akan mendatangi toko-toko buku dan menarik dari peredaran buku-buku yang mereka anggap beraroma “kiri” dan “komunis”. Celakanya, kategorisasi “kiri’ dan “komunis” yang mereka lakukan benar-benar menggelikan.

Kasus-kasus benturan antara kebebasan berekspresi-kebebasan pers versus fundamentalisme agama bukan hanya terjadi di Indonesia. Fundamentalisme agama pun harus dipahami sebagai fenomena umum di seluruh agama. Fundamentalisme agama bisa didefiniskan sebagai; maintenance of the literal interpretation of the traditional beliefs of religion, in opposition to more modern teachings (The Oxford Advance Learner’s Dictionary of Current English, 2000). Fundamentalisme memang biasanya ditandai dengan absolutisme pemahaman yang literal terhadap doktrin agama .

Mesir bisa dijadikan contoh negara yang telah cukup lama mengalami benturan antara kebebesan berekspresi dengan fundamentalisme agama. Osama Khalil dalam “Religious Fundamentalism and It’s Influence in Egypt” (1996) mengulas benturan tersebut dan memaparkan bagaimana jurnalisme di Mesir berupaya mempertahankan diri dari ancaman fundamentalisme (Islam) itu. Marlyn Tadros menyebut pula Mesir sebagai laboratorium yang bagus untuk melihat pergulatan antara kebebasan bereskpresi versus fundamentalisme agama (The Perspective of Fundamentalist and It’s Influence on Egyptian Creativity and Cultural Life, 1996). Telah banyak diketahui betapa para pendukung fundamentalisme agama di Mesir sangat gemar melakukan pengancaman bahkan kekerasan untuk meredam kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Kasus penyerangan terhadap novelis penerima hadiah Nobel, Naguib Mahfouz, antara lain terkenal dengan novelnya yang berjudul Lorong Midaq, adalah salah satu contohnya.

Kedua penulis di atas menunjukkan bahwa kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di Mesir secara relatif mampu mempertahankan diri dari ancaman fundamentalime agama terutama karena adanya keberanian (courage), solidaritas (solidarity) dan kesolidan (solidity) dari para pendukung kebebasan pers-kebebasan berekspresi itu untuk bersikap dan melawan. Mereka gencar melakukan advokasi dan mencari dukungan sosial dari masyarakat mengenai vitalnya kebebasan pers dan kebebasan berekspresi itu untuk kemaslahatan bersama. Pertemuan-pertemuan umum dan brosur-brosur mengenai kebebasan pers, kebebesan berekspresi dan hak-hak sipil gencar mereka sebarkan ke masyarakat.

Pengalaman Mesir di atas mungkin bisa kita jadikan pelajaran. Para pendukung kebebasan pers, kebebasan berekspresi dan hak-hak sipil lainnya di Indonesia harus menyadari bahwa dibutuhkan keberanian dan ketegasan sikap untuk mepertahankan kebebasan dan hak-hak tersebut. Sikap ketakutan seperti yang dilakukan SCTV itu jelas merupakan preseden buruk. Sangat tepat imbauan Goenawan Moahamad bahwa, “Harus ada keberanian dari pers untuk menghadapi orang-orang yang mengancam kebebasan. Bila tidak, SCTV telah menggali kuburan mereka sendiri. Ketakutan media terhadap tekanan dari berbagai kelompok harus dihentikan” (KOMPAS, 14/8).

SCTV seharusnya menghadapi ancaman somasi MMI sehingga kasus itu mampu memberikan pembelajaran bagaimana masyarakat memberikan reaksi terhadap penyajian atau pemberitaan media. Sekaligus bagaimana pengelola media menanggapi dan mengemukakan pendapatnya sesuai dengan profesionalisme mereka. Sayang sekali SCTV melewatkan kesempatan berharga itu.

Sementara itu solidaritas 26 ormas yang menyesalkan sikap SCTV patut dihargai. Hanya saja ormas-ormas pendukung kebebasan pers dan kebebasan berekspresi itu seharusnya secara lebih strategis melakukan advokasi dan memperbesar dukungan sosial dari masyarakat luas untuk kelanggengan kebebasan tersebut. Seharusnya ada kampanye yang kreatif ke masyarakat bahwa kebebasan pers dan kebebasan berekspresi saat ini adalah satu-satunya buah reformasi yang masih bisa kita nikmati. Kepentingan mempertahankan kebebasan pers dan kebebasan berekspresi harus menjadi agenda publik dan agenda bersama, bukan sekedar agenda elitis kalangan pers, seniman dan intelektual belaka. Harus ditumbuhkan kesadaran bahwa kebebasan pers-kebebasan berekspresi adalah kebutuhan mendasar. Tidak ada negara dan masyarakat yang maju tanpa adanya kedua kebebasan di atas.

Memang patut pula disayangkan tidak seorangpun anggota DPR kita yang menyampaikan sikap mengenai kasus iklan Islam Warna-Warni ini. Padahal selaku wakil rakyat mereka seharusnya memiliki perhatian terhadap jaminan kebebasan berekspresi - kebebasan pers, dan hak-hak sipil masyrakat.

Bagi para pendukung kebebasan berekpresi-kebebasan pers advokasi seharusnya diarahkan pula ke ormas-ormas Islam besar, mainstream, dan moderat seperti Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Ormas-ormas besar ini betapapun merupakah representasi paling riil dari mayoritas masyarakat Islam. Mayoritas masyarakat Islam yang secara kategoris diyakini moderat, menghargai dan menginginkan adanya kebebasan sipil, namun selama ini lebih banyak diam (silent majority). Gerakan-gerakan dan organisasi-organisasi fundamentalisme agama betapapun hanya merupakan minoritas (vocal minority), dan merupakan gerakan keagamaan di luar arus utama (Religion, Democratization and Market Transition, NSF, 1993). Kita tentu berharap NU dan Muhammadiyah mampu memberikan pandangan yang lebih obyektif mengenai iklan “Islam Warna-Warni” itu. Peran lebih aktif dan konkrit dari lembaga-lembaga agama seperti itu akan menekan peluang bertumbuhnya fundamentalisme agama.

Tanweer Akram dalam Fundamentalism and Civil Society in South Asia (1996) juga menyebut vitalnya keberanian dan ketegasan elemen-elemen masyarakat sipil, keberanian dan profesionalisme media-media massa, dan lembaga-lembaga intelektual; sekolah-sekolah, perguruan tinggi, asosiasi-assosiasi profesi sebagai prasyarat-prasyarat terjaganya kebebasan berekspresi. Namun ia tetap menambahkan perlunya dukungan negara dan pemerintahan yang baik (good governance) sehingga peluang bertumbuhnya fundamentalisme agama bisa ditekan. Harus disadari bahwa masyarakat sipil yang lemah dan pemerintahan yang buruk adalah ladang subur tumbuh-kembangnya fundamentalisme agama. Fundamentalisme yang telah terbukti senantiasa mengancam kebebasan dan hak-hak sipil.[]

22/09/2002 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (0)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq