Teror - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Gagasan
08/04/2010

Teror

Oleh Syafa'atun Aisya

Saya ingat insiden itu. Saat mereka memukuli lawan-lawannya persis seperti maling ayam yang tertangkap basah. Perilaku sadis yang mengingatkan saya pada potongan-potongan gambar peristiwa kerusuhan. Film Rwanda. Beberapa kerusuhan seputaran saya tinggal. Perang antar geng preman karena rebutan jatah. Saat satu kelompok ingin menghabisi kelompok lain. Dengan alat-alat tradisional. Sementara negara lumpuh tak berdaya. Hidup dalam teror. Bagaimana anda menjalaninya?

I

“Mbak, duduknya biasa aja..” Seorang petugas datang menghampiri dan menegur saya.

“Ha?! Apa..?” Saya terbengong-bengong tak mengerti.

“Duduk lu tu. Gak boleh cross leg,” kawan duduk di sebelah saya mencoba menjelaskan.

“Duduknya, mbak. Kakinya biasa aja. Dah pake rok, duduknya begitu lagi,” petugas kembali mengingatkan saya.

“Kenapa?” Saya bertanya balik. Kembali tak mengerti.

Apa yang salah? Saya mengenakan rok selutut pagi itu. Dan merasa tak ada yang salah dengan gesture tubuh saya. Saya sengaja berdandan dengan sopan pagi itu. Mengenakan blus putih lengan panjang, rok hitam selutut, bersepatu, dan duduk manis mengikuti jalannya sidang.

Tak boleh silang kaki. Ya, tapi kenapa? Ada aturan untuk tak boleh duduk dengan kaki silang ya? (Atau takut terjadi adegan buka kaki seperti dalam “Basic Insting”? Tapi saya kan pake underwear. Dan rasanya-rasanya tak sejenjang Sharon Stone). Sementara laki-laki di belakang saya mengenakan celana jeans dan duduk bersila. Punggung bersandar santai. Pengunjung lain yang sibuk ribut berkomentar terhadap pernyataan para saksi ahli juga dibiarkan.

Insiden itu langsung mengubah mood saya. Konsentrasi saya buyar. Saya tengah hadir pada acara persidangan uji materi UU PNPS di MK. Omongan Ulil yang tengah menjelaskan kasus Mutsailamah al Kahzab, orang yang mengaku nabi pada masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq mengawang di udara.

Selain Ulil Abshar Abdalla, ada Mudji Sutrisno, Emha Ainun Najib, Mahendradata, dan lain-lain yang tak saya ingat namanya. Mereka dihadirkan sebagai saksi ahli baik dalam posisi yang pro atau kontra terhadap UU ini.

Saya mainkan kamera mengusir kemuraman saya. Mode manual terpasang. ASA 800, speed 1/15. Jepret sana sini. Meski tak ada sudut istimewa. Sementara terus menahan keinginan kaki yang kadang gatal ingin disilangkan

II

Sidang break untuk Shalat Jum’at. Palu di ketuk. Pekikan “Allahu akbar!” segera menggema.
Saya bergegas turun dari balkon atas. Pengunjung di lantai bawah ramai. Pengunjung dengan atribut jubah dan sorban merangsek masuk ruang sidang. Peserta sidang keluar satu persatu.
Keriuhan terjadi saat peserta sidang yang pro pencabutan UU mencoba keluar ruangan.

“Kafir!”
“Murtad!”
“Bunuh aja. Halal darahnya.”
“Copot aja jilbabnya. Islam apaan tu. Gak pantes!”

Beberapa orang mengacung-acungkan tangan. Petugas keamanan gedung berusaha menenangkan.

“Udah.. Udah.. Sholat jumat..”

“Kalo mereka ma ketahuan gak sholat..”

Teriakan terus bersahutan. Saya berada dalam keriuhan pemuda-pemuda tanggung dengan urat leher yang mengeras. Kata-kata kotor berhamburan dengan mudahnya. Sempat merasa ngeri saya berusaha mencari gambar.

Mereka tampak sadar kamera. Senang dengan beragam alat yang dengan segera merekam aksi mereka. Gambar bergerak atau gambar diam. Keberadaan saya, perempuan dengan rok selutut, rambut tergerai, dan baru saja ditegur petugas dengan posisi duduk yang (dianggap) tak pantas, tampaknya bukan masalah. Mereka senang saya turut ambil bagian merekam aksi mereka.

III

Ulil sibuk menelpon atau ditelpon seseorang.
Aura kecemasan meruap di ruang yang dikhususkan bagi para saksi ahli.

“Pastikan Ulil bisa keluar dengan aman.”
“Lewat belakang aja..”
Beberapa kawan ikut sibuk mengatur strategi.

“Bawa mobil, Mas?”
“Gak. Pake taksi.”
“Lewat belakang aja, Mas. Nanti kita kawal.”
“Ok, Amanda mana?”

Ulil bergegas pergi. Makanan dan minuman yang terhidang tak tersentuh. Makalah dan buku catatannya tertinggal.

“Takut juga Ulil ya?” Saya bertanya naïf.
“Gak punya basis massa sih..” Seorang kawan merespon pertanyaan saya. Guyon.
“Mungkin juga ya,” Saya ikut tertawa.

IV

“Mereka itu serius mau ngebunuh orang ya?” Saya kembali bertanya pada teman seperjalanan saya. Lagi, pertanyaan yang naif.

“Lu gak inget kasus Monas kemarin. Mereka bisa mukulin orang kayak gitu.”

Saya ingat insiden itu. Saat mereka memukuli lawan-lawannya persis seperti maling ayam yang tertangkap basah. Perilaku sadis yang mengingatkan saya pada potongan-potongan gambar peristiwa kerusuhan. Film Rwanda. Beberapa kerusuhan seputaran saya tinggal. Perang antar geng preman karena rebutan jatah. Saat satu kelompok ingin menghabisi kelompok lain. Dengan alat-alat tradisional. Sementara negara lumpuh tak berdaya.

Hidup dalam teror. Bagaimana anda menjalaninya?

Dulu, ancaman bunuh membunuh ini sempat juga mampir ke kotak surat saya. Sudah lama sekali. Saat saya masih aktif mengikuti mailing list yang membahas tentang kebebasan dalam berkeyakinan. Milis itu pun sudah lama tak saya sentuh. Sama seperti nasib keanggotaan saya pada beberapa milis. Mata saya tak punya cukup energi untuk membaca surat-surat yang terus masuk.

Entah dari mana si pengirim mendapatkan alamat surat saya. Saya acuh saja. Menganggapnya sebagai surat nyasar yang tak ada bedanya dengan kiriman surat-surat aneh yang meminta donasi untuk keluarga perang atau saya dinyatakan menang lotre oleh sebuah akun internasional.

Tapi setelah lebih dari sekali surat itu masuk, dengan jelas menyebut nama saya, dan membuat bulu kuduk saya meremang membaca kata-katanya, saya putuskan untuk menutup alamat surat tersebut.

Saya bayangkan hidup menjadi Ulil. Dengan fatwa halal darahnya bagi orang-orang tertentu. Yang bisa tiba-tiba hilang nyawa di tangan orang tak dikenal. Dikeroyok ramai-ramai seperti maling kesiangan. Sementara, layaknya film-film India, aparat keamanan bertindak saat rumah telah hangus terbakar.

Saya ingat Munir. Untuk kasus yang berbeda. Hidupnya akrab dengan ancaman. Matipun dijalaninya dalam terror. Pembunuhnya tetap dibiarkan misteri.

Apa yang bisa diurus dengan benar di negeri ini?

V

“Pengalaman pernah ke Turki, apa bedanya dengan Jakarta?” Seorang teman bertanya.

“Angin di Turki memang sedang berhembus ke kanan. Setau gue gak “senorak” ini lah kelompok kanannya. masih enjoy sama sekularisme (Attaturk ok banget untuk hal ini). Banding di sini? ampun bener deh.. “

Balas saya. Dalam konteks menguatnya gerakan agama dalam negara.
Meski menjawab pertanyaan ini serasa menjawab pertanyaan, bagaimana rasa ketoprak dengan soto ayam?

Anda bisa menemui mesjid dimana-mana di Turki. Dengan arsitektur yang mirip (membuat saya kerap nyasar saat mematok sebuah mesjid sebagai penanda jalan). Istanbul bahkan disebut-sebut sebagai kota seribu mesjid. Tapi tak ada aturan yang mewajibkan anda menghentikan aktifitas saat shalat jumat tiba. Atau kewajiban mengenakan “pakaian takwa”. Malahan, bagi para perempuan, jangan pernah berharap akan disediakan mukena di mesjid untuk shalat.

Beberapa agenda untuk lebih menampilkan citra islami memang mulai didesakkan kelompok kanan. Seperti dibolehkannya jilbab masuk di institusi-institusi formal pemerintahan (meski ada juga peraturan-peraturan aneh yang diberlakukan untuk asrama-asrama putri yang lebih ketat dari pesantren).

Pertarungan politik ini terjadi tingkat pembuat undang-undang. Saya tak melihat kelompok-kelompok masyarakat yang show off gembar-gembor syariat Islam di jalan (jangan sampe kejadian deh. Dan kayaknya gak laku juga di masyarakat. He.. Ngomongin Turki jadi pengen balik.

Tentang hal ini seorang kawan lain memberi gambaran menarik:
“Turki sedang dipengaruhi ikhwanul muslimin, makanya gayanya ngga norak, sama kaya gaya PKS or menti menkomiinfo kita, perlente abis. yang ada di (sini) ini gaya afganistan, dekil, norak dan membabi buta..”

Hm, Afganistan, akankah kita menuju ke sana? 

08/04/2010 | Gagasan | #

Komentar

Komentar Masuk (43)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

To : sobirin di 41

Bro ... Janganlah mencak-mencak seperti itu ? Cool sajalah ? Kan enak ?

Di Muslim sendiri saat ini sedang bergulat dalam mencari pola yang pas dalam hidup kekinian. Dari mulai yang ekstrim dengan menjadikan semua tingkah lakunya persis sama dengan MUHAMMAD RASULULLAH tanpa memberikan ruang bagi NALAR u- mengkritisinya sampai ke yang menetapkan NALAR sebagai HAKIM bagi perilaku kesehariannya sehingga lupa pada hal BASIC pada ISLAM yang terangkum dalam IMAN, ISLAM dan IHSAN.

Terus warna-warni MUSLIM yang seperti ini digeneralisir menjadi satu identitas ? Apakah bisa dibenarkan ? Tapi kalau soal TUHANNYA MUSLIM, maka MUSLIM menjadi SATU yaitu ber TUHAN YANG SATU (AHAD) yaitu ALLAH SWT.

Inilah namanya pergolakan dalam internal agama, bukannya pada substansinya melainkan pada supplemennya.

Dalam memberikan penilaian ke pihak lain, maka masalah DISTORSI dan MISPERSEPSI merupakan sumber utama KONFLIK dan ini sering dipraktekkan oleh semua pihak tanpa terkecuali yang MUSLIM saja. Tapi akan berbeda kalau penggunaan bahasanya adalah bahasa UNIVERSAL yang tentunya memenuhi kaedah OBYEKTIFITAS yang berdasarkan FAKTA-FAKTA dalam suatu PENCERITAAN ALUR yang LOGIS. Kalau ada orang yang menentang hal itu, maka itulah KAFIRUN yang SEBENARNYA karena MENENTANG FAKTA, LOGIKA dan OBYEKTIFITAS tidak terkecuali pada MUSLIM sendiri.

Posted by Hari  on  09/06  at  11:44 AM

Ya mengamati tingkah laku mereka memang kadang aneh. Satu sisi, cara berpakaian mereka meniru adat orang arab khususnya banyak perempuan yang berjilbab sampai hanya terlihat bola matanya.

Tetapi di sisi lain yang menyangkut soal “transportasi” mereka tidak mau meniru Nabinya. Misalnya, alangkah indahnya jika yang berjilbab itu kalau bepergian naik “onta” saja, seperti yang dilakukan oleh nabinya (sunah rasul). Kalau nabinya umi (buta huruf) umatnya ya ramai-ramai ikut umi saja, gak usah belajar baca. Muhammad saja tidak bisa baca tulis bisa jadi nabi dan konon juga pinter bisnis.

Sementara, saya lihat justru banyak wanita berjilbab naik mobil yang buatan orang kafir atau sepeda motor yang juga buatan orang kafir, seharusnya yang diimpor besar-besaran oleh negara kita yang mayoritas muslim ini mestinya “onta” saja jangan mobil.

Harusnya kalau memang anti orang kafir, anti juga menggunakan produknya dong!!! pakai saja semua produk yang dihasilkan dari sesama muslim. Bila perlu makan sehari-hari, menunya ya korma sajalah, jangan makan fried chiken Mack Donald atau pitza.

Kadang aku bingung dengan sikap orang muslim.

Posted by suprayitno  on  09/02  at  02:45 PM

orang itu mengakunya pembela islam tapi sebenarnya perusak islam, mereka itu orang2 islam yang tidak bersyukur atas kemajuan kemanusiaan, mereka ingin kembali kejaman Rasullulah SAW, seolah olah orang kafir itu tetap kafir dan orang islam itu tetap islam semua sudah berubah, yang dibilang kafir itu bisa sesungguhnya islam dan yang menyebut dirinya islam itu bisa saja iblis bahkan orang2 yang kafir itu yang menemukan listrik,listrik yang menjadi terang dunia yang bisa bikin orang2 itu pidato di lousdpeaker dengan keras,dan bisa naik speda motor kesana kemari, saya nggak ngerti maunya apa mereka itu, mereka sebenarnya juga tidak melaksanakan perintah alQuran dengan konsekwen, di al quran katanya ada ayat kalo ketemu orang kafir harus dibunuh, apa bener itu, kalo bener coba laksanakan itu bunuhin semua mereka biar mereka sendiri yang hidup, apa ini yang namanya orang2 biadab

Posted by sobirin  on  08/27  at  08:59 PM

Saat di dunia ... Ruh dan jasad bersatu. Sebelumnya belum menyatu. Kemudian dipisahkan lagi ... Terus apakah ruh dan jasad dapat dipersatukan kembali ? Demi u- mempertanggungkan jawabkan action yang dilakukan saat di dunia ? Yang banyak sekali action tersebut lolos dari hukuman ?

Logikanya sederhana ... Asalnya tidak ada. Terus ada --di dunia--. Terus tidak ada lagi. Apakah yang tidak ada ini tidak bisa diadakan kembali ?
Kalau sebelumnya bisa diadakan ? Kenapa setelah tiada ini ? Tidak bisa diadakn kembali ?

Inilah namanya keadilan yang berkaitan dengan penyelesaian atas masalah yang begitu kompleksnya bagi diputuskannya suatu perkara yang seperti benang kusut melintir-lintir ...

Posted by Hari  on  08/25  at  02:48 PM

Mas s ...

Perbedaan itu memang indah ... Jadi tidak perlu u- mencari titik temu segala ... Tapi penceritaan atas point of view kita perlu diinformasikan ke yang lain ... Agar kita tidak terjebak kepada ke absolutan cara pandang kita sendiri ... ? Ternyata di luar itu warna warni ... Dalam hal ini saya terkesan dengan pemikiran DIALEKTIKA HEGEL --TESIS ... ANTI TESIS ... SINTESISnya ... maupun pencarian kebenarannya ARISTOTELES --Kalau ada 2 hal yang menyatakan 1 pokok masalah yang sama, sedangkan 2 hal tsb saling bertentangan, maka secara intuisi akan ada .... Pertama, Hanya ada salah satu yang benar, karena tidak mungkin kedua-duanya benar, karena penjelasannya saling bertentangan. Kalau tidak A ya B. Tidak mungkin A dan B benar. Kedua, kedua-duanya salah, baik A atau B kedua-duanya salah yang benar adalah C. Sedangkan C sendiri masih harus dicari.

Dalam kasus ruh ini yang menurut Mas merupakan hal yang netral, yaitu sesuatu yang tidak bisa dipersalahkan dengan demikian juga tidak bisa dibenarkan bahkan sampai Tuhan sendiri tidak bisa memberikan hukuman kepadanya meskipun tempatnya ruh tsb yaitu jasadnya melakukan tindakan2 yang banyak menyengsarakan orang lain. Tetap saja ruh tidak bisa dipersalahkan, sehingga saat orang tsb mati alias ruh meninggalkan jasadnya, maka selesailah sudah ceritanya.

Persoalannya sederhana, apakah Mas percaya dengan adanya kehidupan kembali setelah terjadinya KIAMAT ? Dimana akan dipertemukannya kembali jasad dengan ruhnya ? Dimana jasad yang dipertemukan dengan ruhnya itu mengambil bentuk yang bisa berbeda dengan jasad saat di dunia ? Yaitu suatu jasad yang akan bisa menerima tekanan-tekanan lingkungan yang sangat luar biasa dan tidak pernah musnah atau mati lagi ?

Dengan dipertemukannya ruh dengan jasad-nya lagi maka persoalan-persoalan yang berkaitan dengan tindakan kita, baik dalam hubungannya dengan yang MENCIPTAKAN KITA atau dengan sesama manusia atau dengan lingkungan yang kita diami saat di dunia akan diperhitungkan secara DETAIL dan COMPREHENSIVE karena semua tercatat dengan rapih sampai sekecil-kecilnya.

Ada sentilan dari Al QUR’AN ...

Kenapa kamu ingkar --menafikan-- dengan hari berbangkit ?
Padahal ...
Kamu dahulunya itu tidak ada ...
Kemudian ada --di bumi dengan bersatunya ruh dan jasad-- ?
Kemudian kamu tidak ada lagi --mati, berpisahnya ruh dan jasad-- ? Hal ini pasti kejadian, karena setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati.
Kemudian kamu akan dibangkitkan kembali --dipertemukannya kembali ruh dengan jasad-- dan akan terus menerus ada u- menerima reward and punishment sesuai dengan kebenaran keyakinan dan sekaligus resultante tindakan kita ?

Asalnya TIDAK ADA ... Kemudian ADA ... Terus TIDAK ADA lagi ... Yang AKHIRNYA ADA dan ADANYA ini untuk seterusnya. Masa The Absolute EXISTENCE tidak bisa melakukan hal ini ?

Posted by Hari  on  08/19  at  11:21 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq