Terorisme dan Soal Ketidakadilan - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

09/08/2009

Terorisme dan Soal Ketidakadilan Catatan untuk Magda Safrina

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Masalahnya adalah sederhana saja: kekeliruan dalam menafsirkan doktrin agama, “the perversion of religious interpretation”. Mereka bukan pahlawan kaum miskin dan pejuang ketidakadilan. Dan sudah seharusnya kita tak usah menganggap mereka sebagai pahlawan, entah pahlawan dunia Islam apalagi kaum miskin yang menjadi korban ketidakadilan. Mereka adalah penjahat. Titik! Ayat-ayat Quran yang selama ini mereka pakai untuk menjustifikasi tindakan mereka tidak akan bisa menyelamatkan mereka dari kutukan publik.

Tulisan ini adalah tanggapan untuk artikel teman saya, Magda Safrina, yang dimuat di The Jakarta Post, 8/8/09, dengan tajuk “The Jakarta Bombing: A lesson in equality”. Artikel itu ingin mengaitkan masalah terorisme dengan masalah ketidakadilan di Indonesia. Dalam pandangan Magda Safrina, terorisme adalah “bahasa” yang dipakai oleh orang-orang yang kecewa karena melihat ketidakadilan dan kesenjangan sosial di Indonesia agar suara mereka didengar.

Dalam bagian terakhir artikelnya, Magda menyimpulkan: “In conclusion, as long as social injustice still exists in Indonesia, I believe, those who are willing to sacrifice their lives by carrying bombs and other high explosive materials will always exist.”

Menurut saya, analisis Magda ini kurang tepat. Saya sama sekali tidak setuju. Sebaiknya Magda membaca sejarah perkembangan kelompok-kelompok teroris yang memakai ideologi Islam yang polanya di mana-mana kurang lebih sama. Bahasa mereka kurang lebih sama, dan ideologi mereka juga kurang lebih mirip-mirip.

Masalah ketidakadilan dan kesenjangan ekonomi, di mata saya, adalah isu sekunder bagi kaum teroris yang memakai ideologi Islam itu, atau malah isu yang sama sekali tak penting. Isu utama bagi mereka adalah agama. Mereka memandang bahwa dunia Islam saat ini dijajah oleh Amerika, oleh para “salibis”, yang menganut ideologi sekuler yang bertentangan dengan doktrin dan ajaran Islam.

Bahasa kaum teroris yang memakai ideologi Islam itu di mana-mana sama, yaitu bahasa agama. Saya tak sepakat dengan mereka yang menganggap bahwa bahasa agama di tangan teroris itu adalah sekedar selubung saja untuk menutupi isu yang sebenarnya: isu ketidakadilan. Di mata saya, isu ketidakadilan bukanlah isu utama bagi mereka. Yang lebih utama bagi mereka adalah memerangi musuh-musuh Allah yang mengancam Islam.

Jika benar terorisme di Indonesia berkaitan dengan isu ketidakadilan ekonomi, maka yang paling mungkin melakukan “bom bunuh” diri itu adalah orang-orang miskin di Jakarta yang digusur rumahnya hampir setiap saat, para pedagang kecil pinggir jalan yang kerap menjadi incaran petugas Satpol PP, para pelacur yang selalu ditangkapi oleh polisi, dsb.

Nyatanya, kan tidak demikian. Yang melakukan bom bukan kalangan yang selama ini menjadi korban ketidakadilan itu. Yang melakukan bom bunuh diri adalah orang-orang yang telah mengalami indoktrinasi tertentu, doktrin agama yang disebut dengan “jihad”.

Yang melakukan bom bunuh diri selama ini bukanlah orang-orang yang miskin, tetapi kalangan terdidik dari kelas menengah yang punya duit. Bom bunuh diri terakhir di hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton dilakukan oleh dua orang yang harus “check-in” dulu di hotel Marriott dengan biaya paling tidak US $1400—biaya yang tentunya tak kecil untuk ukuran “dompet” orang-orang Indonesia pada umumnya.

Jaringan terorisme internasional yang umumnya mempunyai kaitan dengan Tandzim al-Qaidah (atau lebih dikenal al-Qaidah) itu membutuhkan biaya yang mahal, dan karena itu hanya bisa didanai oleh orang yang kaya seperti Osama bin Laden. Pendana dan pelaku bom bunuh diri itu umumnya bukan orang-orang miskin pedagang kaki lima di pasar-pasar tradisional, misalnya, dan bukan orang-orang bodoh. Mereka berasal dari kelas menengah yang terdidik dan menjalani indoktrinasi tertentu.

Kalaupun ada isu ketidakadilan yang diperjuangkan oleh para teroris itu, maka itu bukanlah ketidakadilan di dalam negeri dalam bentuk kesenjangan sosial-ekonomi yang ada di sekitar kita. Yang mereka maksud dengan ketidakadilan adalah dukungan Amerika terhadap Israel, atau negara Amerika Serikat sendiri yang mereka pandang sebagai wakil dari “dunia kafir” yang mengancam dunia Islam.

Kaum teroris yang melakukan bom bunuh diri di Marriott dan Ritz-Carlton itu tidak sedang memperjuangkan kaum miskin di Jakarta dan kota-kota lain yang selama ini menjadi korban ketidak-adilan di Indonesia, sebagaimana terkesan dari artikel Magda di atas. Bukan, bukan sama sekali. Simaklah retorika pelaku bom bunuh diri itu atau Jamaah Islamiyyah secara keseluruhan, dan di sana kita sama sekali tak menemukan sedikitpun rujukan ke soal-soal ketidak-adilan di tanah air. Rujukan mereka adalah selalu soal Amerika, Yahudi, Israel, kaum salibis, kaum kafir yang merupakan musuh-musuh Allah, dsb.

Artikel Sdri. Magda itu, menurut saya, secara tidak langsung justru bisa menggiring kita untuk berpikir bahwa para pelaku bom bunuh diri itu adalah pahlawan kaum miskin dan pejuang keadilan. Ini jelas tidak tepat. Sebagaimana dinyatakan oleh Prof. Quraish Shihab dalam sebuah wawancara di MetroTV baru-baru ini, terorisme atas nama Islam itu terjadi karena kesalahan tafsir saja. Mereka memaknai istilah jihad dalam Quran itu seenaknya saja.

Walhasil, masalah utama yang mau diselesaikan kaum kaum teroris pelaku bom bunuh diri bukan masalah ketidakadilan di Indonesia, bukan soal penggusuran kaum miskin kota dan pedagang kali lima. Buat mereka, itu semua adalah isu-isu sekuler yang kurang terlalu penting.

Masalahnya adalah sederhana saja: kekeliruan dalam menafsirkan doktrin agama, “the perversion of religious interpretation”. Mereka bukan pahlawan kaum miskin dan pejuang ketidakadilan. Dan sudah seharusnya kita tak usah menganggap mereka sebagai pahlawan, entah pahlawan dunia Islam apalagi kaum miskin yang menjadi korban ketidakadilan. Mereka adalah penjahat. Titik! Ayat-ayat Quran yang selama ini mereka pakai untuk menjustifikasi tindakan mereka tidak akan bisa menyelamatkan mereka dari kutukan publik.

Sebutan Abu Bakar Ba’asyir, terhadap tindakan bom bunuh diri sebagai “‘amaliyyah isytisyhadiyyah (tindakan martir) adalah sebutan yang salah. Bom bunuh diri oleh anggota Jamaah Islamiyah itu adalah tindakan kejahatan. Sebutan yang lebih tepat untuk tindakan itu adalah “jarimah” alias kejahatan, bukan “‘amaliyyah isytisyhadiyyah”.

Demikian catatan saya, semoga bermanfaat.

09/08/2009 | | #

Komentar

Komentar Masuk (83)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Setuju! Sebutan utk para teroris adlh PENJAHAT! TITIK! Mereka telah mencoreng agama Islam di mata dunia. Lalu Ba’asyir? Ah,tua bangka itu sama aja,saya menyebutnya Teroris Tua Yang Munafik! Dia ada dibalik itu semua namun tdk berani mengakuinya!

Posted by Singa Padang Pasir  on  08/25  at  01:42 AM

Memang kalian semua bukan lah muslim yang mengakui islam agama yang kalian yakini, seorang muslim akan merasakan apa yang diderita suadaranya (Orang-orang islam) pernahkan kalian belajar Amal Makruf nahi munkar,,,Tidak pernah menerapkannya,,,,jangan sekali kali kalian mengaku muslim jika tidak pernah melakukan syariat agama,,,allhhu akbar,,,

Posted by boy  on  06/22  at  12:10 AM

Sya koq bingung dg penjelasan semua di atas...knapa tidak dibahas dg sikon politis. Saat menyaksikan penembakan Susilo di Solo, banyk skali hal yg ganjil. Dia cuma guru TPA, melayani konsumsi anak santri, jualan sayuran. Darimana mereka kenal senjata, lalu di rumah yg dihancurkan/rencana Densus-88, ditemukan bahan peledak seberat 200 kg. Akses rmh itu, sempit..di kampung lagi. Dus, bila alur out-in suatu brg, org2 sama tahu. Lha ini..?? masyarakat tak tahu..?? lalu brg itu milik siapa..?? Seorang dosen ITB, pernah katakan...Bhn-bahan itu, tak semua didapat dg mudah, walao seorang dosen senior-pun..Lalu siapa pemilik-Nya.. Tak perlu uraikan dg “ normatif ayat-ayat dlm Al-Quran”. Fakta ini sj, yg perlu masyarakat tahu..Gitu Broo

Posted by ipung  on  12/29  at  11:14 PM

Menurut saya kita harus seimbang dalam melihat segala persoalan. Apa yang dilakukan oleh mereka yang dicap sebagai teroris tersebut adalah merupakan akumulasi kemarahan akibat ketidakadilan global. Bagaimana kita bisa memahami sebuah negara seperti Amerika Serikat bisa “seenak udelnya sendiri” menyerang dan menghancurkan negara lain (Irak dan Afghanistan) sampai luluh lantak, Israel seenaknya sendiri menghancurkan orang Palestina di Gaza, di tepi barat, di Hebron, di Shatila. dan kemudian pergi begitu saja pertanggungjawaban apa-apa, sementara ribuan orang mati, ribuan rumah hancur, ribuan orang cacat, ribuah orang kehilangan tempat tinggal. Tidak ada lembaga internasional manapun yang bisa menuntut mereka ! dimana para pejuang ham pada saat itu, dimana para aktivis pada saar itu, dimana hati nurani ulil pada saat itu ! PBB tidak berdaya, Mahkamah Internasional tidak berdaya. Tidak ada seorang pun yang bertanggungjawab terhadap kehancuran itu. Bandingkan dengan dengan Presiden sudan Omar Basir yang akan diseret ke Mahkamah Internasional karena dituding melakukan pelanggaran HAM, dimana keadilan ?, dimana jargon “equility before the law” ?.  Seharusnya orang-orang seperti Ulil dan cendekiawan lainnya yang mengambil alih masalah seperti ini, berani “berjihad” untuk melawan arogansi negara-negara superpower seperti itu. Anda punya akses, anda punya potensi. Kalau saja anda melakukan itu mungkin mereka tidak perlu menjadi teroris. Karena anda sudah mewakili kemarahan mereka. 

Posted by kimung  on  10/22  at  04:24 PM

Yang satu ghuluw dalam jihad, yang satunya menafikan sama sekali jihad (liberal). Yang jelas, dua2nya sesat. Kok berani2nya memvonis? Lha, iyalah wong ada koridornya di Al Qur’an dan Sunnah. Buat apa dong nabi diturunkan kalau cuman jadi pegawai pos, tanpa memberikan penjelasan yang disampaikan Alloh.

Lha, semuanya juga mengaku acuannya Al Qur’an dan Sunnah. Betul, tapi menurut pemahaman siapa? Pake pemahaman atau logika masing2kah? mimpikah? perasaankah?

Kembalilah ke pemahaman islam yang benar, yaitu yang berdasarkan pemahaman sahabat dan salafush shalih.

Posted by Ahan  on  10/22  at  11:31 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq