Tiga Sebab Kemandekan Fikih
Oleh Fajar Kurnianto
Fikih sebagai produk intelektual pada masa dan dalam konteks tertentu yang bersifat dinamis kini berubah menjadi stagnan serta kaku. Ada tiga penyebab mengerasnya kecenderungan mempertahankan produk fikih klasik tersebut sampai kini. Pertama, fikih diidentikkan dengan syariat. Persoalan kedua menyangkut asumsi tentang sakralitas fikih. Persoalan ketiga adalah hegemoni kalangan konservatif.
HINGGA kini, sebagian besar umat Islam masih meyakini bahwa fikih yang dihasilkan ulama-ulama masa keemasan Islam bisa menyelesaikan berbagai persoalan kekinian. Namun, fikih sebagai produk intelektual pada masa dan dalam konteks tertentu yang bersifat dinamis kini berubah menjadi stagnan serta kaku. Sebenarnya hakikat fikih bukan mengajarkan kekakuan, tapi pelaksana fikih itu yang menganggapnya demikian.
Menurut saya, ada tiga penyebab mengerasnya kecenderungan mempertahankan produk fikih klasik tersebut sampai kini. Pertama, fikih diidentikkan dengan syariat. Padahal, dari sisi kebahasaan saja, fikih yang berarti “paham” sangat berbeda dari syariat yang berarti “jalan”. Perbedaan itu berlanjut pada dataran istilah. Abdul Wahhab Khallaf dalam Ilmu Ushul Fiqh mendefinisikan fikih sebagai pengetahuan tentang hukum-hukum syariat yang praktis yang diambilkan dari dalil-dalilnya secara rinci.
Dalam hal ini, fikih dimaknai sebatas pengetahuan mengenai syariat dan keduanya tidak identik. Terdapat pembedaan yang tajam antara pengetahuan soal syariat dan hukum syariat itu. Fikih akhirnya memiliki ranah yang berbeda dari ranah syariat. Syariat sejatinya adalah ajaran-ajaran ilahi yang universal dan ditujukan untuk kemaslahatan seluruh manusia. Syariat dalam pengertian seperti itu tidak bersifat diskriminatif pada kelompok atau inidividu tertentu.
Sebagai sebuah “jalan”, syariat ibarat rambu-rambu yang mengontrol pengguna jalan agar selamat sampai tujuan. Berbeda dari fikih sebagai pemahaman mengenai “jalan” itu. Jalannya satu. Tapi, karena setiap orang tidak tahu persis jalan sebenarnya, mereka lalu mendeteksi jalan tersebut dengan sudut pandang masing-masing, sehingga muncullah keragaman jalan. Karena itu, dalam ruang lingkup pemahaman (fikih), tidak ada yang memiliki otoritas tertinggi, sehingga bisa menyalahkan pemahaman lain dan mengklaim pandangannya sendiri adalah yang paling benar.
Fikih selalu memberikan ruang yang luas bagi pemaknaan lain mengenai sebuah “jalan” tersebut. Karena itu, dalam sejarah pertumbuhan fikih, perbedaan pendapat antara ulama yang satu dan lainnya bukan merupakan hal baru. Perbedaan antara Imam Syafii sebagai guru dan Imam Ahmad bin Hanbal sebagai murid tidak berdampak apa-apa bagi hubungan keduanya. Tidak ada yang mengklaim kebenaran berada di pihak mereka saja.
Persoalan kedua menyangkut asumsi tentang sakralitas fikih. Ketika fikih diidentikkan dengan syariat, konsekuensinya, ia akan dianggap sakral. Umat memandang fikih sebagai barang yang sakral karena diambil dari dalil-dalil Alquran dan hadis. Dengan pandangan ini, mengubah fikih dipahami sebagai tindakan mengubah syariat yang sakral. Pandangan tersebut diperkuat hadis yang dipahami secara keliru, “Barangsiapa yang membuat hal-hal yang baru dalam masalah agama, maka dia tertolak.” Atau, hadis yang menyatakan, “Sebaik-baik petunjuk adalah Kitab Allah dan sunah Rasul-Nya. Dan, seburuk-buruknya adalah bid’ah (inovasi), karena setiap bid’ah adalah sesat.”
Tidak ada yang keliru pada kedua sabda Rasulullah itu. Tapi, pemahaman yang kurang tepat merintangi kedinamisan serta keterbukaan fikih. Betul bahwa syariat pada hakikatnya adalah sakral dan absolut. Karena itu, mengubah syariat adalah terlarang. Karena syariat bersifat absolut dan mutlak, ia adalah universal, bisa berlaku di segala tempat dan keadaan. Berbeda dari fikih, ia terbatasi konteks penafsir dan berlaku dalam kurun serta tempat tertentu.
Persoalan ketiga adalah tentang hegemoni kalangan konservatif yang sudah lama bercokol, sehingga dianggap memiliki otoritas tertinggi dalam menentukan hukum-hukum agama. Misalnya, dalam konteks Indonesia, kalangan yang dianggap memiliki otoritas itu telah menjadi institusi nasional yang mendapatkan legalitas negara. Setiap saat mereka siap dimintai fatwa atau memfatwakan hukum yang bisa jadi berlaku pada skala nasional. Pendek kata, fikih telah menjadi institusi di bawah kendali pemerintah yang setiap saat potensial diundang-undangkan. Karena itu, tidak mengherankan, menguatnya suara-suara yang menuntut ditegakkannya syariat Islam (juga) ditopang keberadaan institusi legal tersebut.
Mereka yang menuntut syariat menjadi undang-undang negara biasanya berangkat dari asumsi bahwa syariat adalah sakral -karena berasal dari Tuhan-, sehingga harus diundangkan untuk mengikat seluruh umat.
Namun, itu sungguh keliru. Sebab, mereka sebetulnya menyuarakan fikih yang dianggapnya sebagai syariat. Misalnya, mengenai hukum potong tangan, mereka menganggapnya sebagai syariat. Padahal, itu hanyalah sebuah produk fikih. Syariat atau hal yang menjadi substansi ajaran potong tangan, yaitu larangan merugikan orang lain secara sengaja, sama sekali tidak disinggung. Ia hanya disinggung dalam dataran hikmah hukum.
Akibatnya, paham sakralitas dan otoritas hampir selalu mewarnai kemandekan fikih dalam menyikapi realitas kekinian. Dari situlah muncul “kelas khusus” yang seakan mempunyai hak eksklusif dalam menafsirkan ajaran agama. Itulah persoalan mendasar fikih.
Padahal, konteks hukum yang selalu berubah dan perkembangan zaman yang menuntut partisipasi fikih merupakan fenomena yang tak terbantahkan. Pergantian dan perubahan dari satu hukum ke hukum lain menjadi hal yang mesti terjadi. Dalam ilmu fikih dikenal istilah nasikh dan mansukh, yaitu dalil hukum yang meralat dan diralat. Dalam penafsiran teks agama, doktrin tersebut sungguh sangat urgen karena memungkinkan kita menjawab persoalan baru yang datang silih berganti. Evolusi pelarangan khamar dari status bisa ditoleransi hingga dilarang total merupakan indikasi bahwa hukum bersifat dinamis.
Hukum muncul seiring alasan dan argumentasi logis yang dikenakan pada objeknya. Dalam bahasa fikih, hal tersebut disebut illat, yaitu alasan mendasar ada-tiadanya hukum. Karena itu, hukum bukan merupakan sesuatu yang sakral, tapi bisa saja berubah sesuai illat-illat-nya.
Bertolak dari situ, sudah saatnya fikih ditempatkan dalam tataran wacana agama. Berkembang dan mandeknya produk fikih akan sangat bergantung pada pemaknaan tiap individu mengenai apa itu fikih. Sejatinya, fikih memang harus selalu memberikan berbagai alternatif pandangan demi tujuan kemanusiaan yang lebih relevan serta bermaslahat. Sementara itu, asumsi tentang sakralisasi fikih dan terkungkungnya otoritas penafsiran syariat pada individu tertentu tidak akan mampu menjawab persoalan umat manusia yang kian kompleks. Wallahu a’lam.
Komentar
Menurut saya agama menjadi sempit dan picik jika kita memahami ajaran agama secara picik dan sempit dan agama menjadi moderat jika kita memahami secara moderat. Memang betul pemikiran sebagian umat islam terlalu kaku dalam memahami syariah. kaum pengikut ditegakannya syariah hanya berteriak ketika ada masalah yang secara langsung berhubungan dengan keyakinan ideologi mereka seperti wajib jilbab, rajam dan lain lain. mana suara mereka ketika terjadi perusakan hutan, pencurian kekayaan laut, pelanggaran hak asasi manusia, pelantaran anak dan miskin. Pemahaman terhadap agama yang sempitlah yang sebenarnya menghina ajaran tuhan dan agamanya. Mengenai penafsiran kitab suci, terdapat metodologi yang bervariasi, melalui asbaabun nuzul (sebab turunnya ayat dan konteks historis) atau melalui pemahaman bahwa ajaran kitab suci integral dan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Semua itu menurut saya boleh saja memilihnya, seperti bermadzhab dalam fikih dan politik, yang penting kita konsisten dan menghargai orang lain. siapa yang mampu menjamin bahwa yang kita amalkan adalah yang paling benar? kalaupun kita mengatakan bahwa kita mengamalkan kitab suci secara murni, itu kan kita yang mengatakan dan menjamin sedangkan orang lain akan menjawab kita bahwa dalam kitab suci terdapat banyak konteks historisnya, ada ayat yang menghapus dan ayat laing yang terhapus, misalnya dan mereka akan terus mempertahankan argumen mereka. yah, saling menghormati saja lah
-----
Saya kurang bisa memahami alur berpikir Mas Fajar. Saya melihat ada hal yang kontradiktif dan ironikal dalam tulisan beliau. Saya menyambut baik paparan definitif beliau tentang fiqh. Tetapi ke-ironis-an itu terlihat pada saat beliau memberikan problem-sampling, yakni hukum potong tangan. Bukankah hukum potong tangan itu tertera gamblang dalam nash Qur’an dan bukan merupakan kategori ayat mutasyabihat ?? Saya melihat ada hal yang dikondisikan kontradiktif oleh beliau, yakni antara fiqh dan syari’at. Saya justru memahami antara fiqh dan syari’at ada unsur identikal. Meskipun fiqh lebih cenderung pada knowledge-nya, tetapi keduanya sama2 bermain dalam tataran praksis Dinul Islam. Syari’at menurut persepsi penulis adalah substansi (dengan istilah : “nilai2 universal"). Bukankah substansi itu--menurut bahasa tashawwuf--adalah haqiqat ?? Jelas ada nuansa yang berbeda antara syari’at dan substansi. Bisa kita analogikan seperti jasad dan ruh. Kalau kita waras, nggak mungkin dong jasad kita katakan sebagai roh, ataupun sebaliknya. Bisa kacau ‘kan jadinya ? Inilah yang membuat saya berfikir bahwa tulisan Mas Fajar rancu. Atau--sekali lagi--apakah cara berpikir seperti ini menjadi karakter khas sekaligus “dogmatik” bagi teman2 JIL ya??? Wallahu a’lam bish shawab…
Pada dasarnya saya sangat setuju dengan pendapat saudara, tettapi ada beberapa hal yang saya kira masih perlu diduskisakan lebih lanjut. Pertama, tentang arti syari’at yang anda gambarkan sebagai nilai-nilai universal. Saya kira kurang tepat, saya lebih menggambarkan syari’at sebagai ajaran menyeluruh agama Islam, termasuk didalamnya tentang fiqh (hukum Islam). Dan yang lebih penting dari itu adalah tujuan tertinggi syari’at Islam itu sendiri, yang kalau saya mengutip pendapat dari Syathibi, adalah maslahah termasuk didalamnya nilai-nilai universal yang anda maksudkan. Maslahah ini lalu dijabarkan dalam taklif dan lil ifham. Untuk mengetahui maslahah dan tujuan tertinggi syari’at itu, melaui penelitian yang mendalam terhadap al-Qur’an dan al-Hadits. Dan penjabaranya saya kira antum a’lamu minni. Kedua,sebagai konsekwensi, meski ia berbeda dengan fiqh, bukan berarti ia tak berhubungan sama sekali. Jadi jangan memotong mata rantai itu, fiqh sebagai penjabaran atau tepatnya tuntutan dari syari’at, seperti kata ustad Wahhab Khallaf yang anda kutip. Jika fiqh dipisahkan dari syari’at yang didalamnya terdapat maqashid al-Syar’i, maka fiqh justru tidak bisa berfungsi sebagai faktor pendorong alternatif yang mengusung nilai-nilai uiversal. Dan sebaliknya syari’at butuh kepada fiqh, agar ajaran Tuhan itu tidak mengawang-awang ke dunia antah berantah tanpa pernah turun ke dunia. Jadi fiqh bukan hanya wacana keagamaan, tapi juga praksis. Kalau dihubungkan dengan tuntutan formalisasi fiqh dalm hukum positif, saya kira ini wajar, karena memang setiap ajaran agama, termasuk Islam menghendaki ajarannya itu dilaksanakan secara nyata dal;am tindakan praksis, baik yang berkaitan dengan norma prilaku atau peribadatan, yang secar lahir bisa diukur. Dan ingat itulah obyek dari fiqh; fi’lu al-Mukallaf. Dan saya kira tidak semua fiqh itu bisa diformalkan, tetapi ada banyak hal yang lebih baik sebagai aturan normatif yang bisa mendorong terjadinya prilaku sosial. Misalkan bagaimana fiqh ketika haruys menghadapi hal-hal baru seperti masalah jual-beli atau menikah melalui telphon atau internet, bunga bank, cangkok organ tubuh, eutanasia, kloning dan lain-lain yang jelas murni sebagai ciri khas fiqh yang selalu bergerak dinamis. Karena menghentikan fiqh berarrti menghentikan ijtihad dan sama artinya dengan menghentikan denyut gerak kehidupan. Kalau toh ada bebarapa hukum fiqh yang dicoba untuk diformalkan, maka saya kira hartuds tetap memperhatikan beberapa hal; pertama, karena fiqh itu fi zdanni al-Mujtahid, jika sudah dibakukan sebagai norma tunggal dalam melaksanakannya, maka ia akan cenderung konserfatif jika tidak diimbangi dengan kearifan pemakainya dan dalam memahami konteks penerapannya. Misalkan putusan umar yang tidak memaotong tangan pencuri (dimasa pemerintahannya) ketika kondisi negara sedang carut marut oleh faktor ekonomi. Meskipun bahasa nash sangat jelas. Jadi meski secara bahasa hukum ia tegas, tapi dalam menjalankannya, ia tetap memperhatikan situasi dan kondisi. Atau amandemen yang dilakukan Umar pada kasus memberikan zakkat kepada para muallaf, padahal itu secara qthat’i dan shrih disebut dalam nash. Kedua, yang penting juga dilakukan dalam pensyari’atan fiqh meminjam istilah Kutowijoyo, adalah obyektifikasi. Jadi bagaimana yang bisa terserap itu bukan ajaran-ajaran yang subyektifnya tapi yang bersifat obyektif, bisa diterima semua golongan dan tanpa mengembel-embeli dengan label agama. Meskipun barangkali secari tekstual menyalahi aturan nash. Seperti yang dicontohkan Umar.
Kalau saja penerapan syariat Islam berarti: perlindungan terumbu karang, perlindungan hutan tropis, perlindungan orang hutan…
Kalau saja penerapan syariat Islam berarti: pemberian gaji untuk para ibu yg memilih tinggal di rumah utk mengasuh anaknya dari pada berkarir, pengobatan cuma2 untuk ibu2 yg sakit dan melahirkan, kepastian bagi perempuan utk memperoleh pendidikan setinggi2nya dan bekerja sesuai kemampuannya…
Sayangnya, setiap kali kita bicara syariat Islam, maknanya adalah hukum potong tangan utk pencuri (padahal org yg mencuri biasanya org miskin dan kelaparan), perempuan wajib pake jilbab (contohnya spt di Aceh), atau hukum rajam utk yg ketahuan berzinah (contohnya menimpa perempuan Nigeria yg miskin, bodoh; siapa ya namanya, lupa)…
Saya menganggap para politisi yg memilih syariat Islam utk menjaring massa adalah politisi yg paling tidak kreatif dan sangat tidak cerdas.
Saudara, potong tangan yang anda contohkan itu adalah syari’at. Apakah yang tertera dalam Al-Qur’an tentang perintah memotong tangan itu tidak syari’at? Apakah tindakan RAsululah dulu, dimana beliau memotong tangan pencuri, tidak dianggap sebagai syari’at?
Saya rasa saudara terlalu gegabah dalam mengabil contoh. Saya sarankan, jangan sekali-kali mengartikan ijtihad dengan berpikir. Sebab kalau seandainya diartikan seperti itu, maka oreantalis tentu boleh berijtihad dalam masalah Islam. Tapi nyata kan tidak boleh?
Sekian
Komentar Masuk (6)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)