Tongkat Musa Demi NKRI: - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
04/06/2007

Tongkat Musa Demi NKRI: Tanggapan atas Tanggapan Ismail Yusanto

Oleh Abd Moqsith Ghazali

Kiai As’ad mengumpamakan NU sebagai “Tongkat Musa” yang siap melawan pihak-pihak yang merongrong keutuhan NKRI. Seruan kebangsaan Kiai As’ad itu kini seakan menemukan relevansinya kembali.

Muhammad Ismail Yusanto (MIY) menanggapi esai saya “NU Vs Gerakan Trans-Nasional” (Jawa Pos, 4/5/2007). Ia tampaknya membaca esai saya sebelumnya dengan penguasaan emosi yang lemah, sehingga cenderung kurang ketelitian dalam memahami kalimat per kalimat. Dia tak sanggup membedakan mana pernyataan saya dan mana yang merupakan kutipan saya atas himbauan PBNU dan KH Hasyim Muzadi. MIY memberi titel tanggapannya “Moqshid Memprovokasi Konflik” (Jawa Pos, 18/5/2007). Atas tanggapan itu, beberapa hal berikut perlu diklarifikasikan dan dijelaskan.

Pertama, istilah “gerakan trans-nasional” yang dipersoalkan MIY adalah istilah yang dipakai PBNU (lihat Taushiyah PBNU, NU Online 24/4/2007) untuk menjelaskan fiil sejumlah organisasi Islam baru di Indonesia yang tampaknya hendak menggantikan Pancasila dan UUD 1945. Dan Hizbut Tahrir, tempat MIY bernaung, adalah ormas yang secara gigih dan sistematis memperjuangkan tegaknya Khilafah Islamiyah dan dengan demikian, secara logis NKRI dianggap tidak relevan.

MIY dkk aktif dan bebas mempengaruhi dan mendakwahkan ideologinya itu kepada warga negara Indonesia. Tapi MIY Cs seperti beredar di luar orbit UUD 1945. Sebab tujuan akhir yang mereka hendak capai adalah penggantian sistem pemerintahan secara radikal. Bagaimana mungkin sebuah ormas di Indonesia dibiarkan bergerak bebas di luar bingkai NKRI, Pancasila, dan UUD 1945?

Kedua, kisah perampasan mesjid NU--yang menurut MIY dianggap fitnah--adalah informasi yang saya ambil dari himbauan Ketua Umum PBNU melalui situs resmi NU, NU Online (25/4/2007). Dan saya yakin, orang sekaliber Kiai Hasyim tak akan mempertaruhkan reputasinya dengan melemparkan fakta yang keliru. Ia menyatakan itu, pasti setelah mendapatkan laporan dari para kiai dan pengurus NU di daerah-daerah. Dalam tradisi NU, setiap ada laporan tentang sesuatu hal selalu dilakukan tabayyun (klarifikasi) terlebih dahulu untuk dicek kebenarannya di lapangan.

Ketika tashawwur (gambaran obyektif) tentang persoalan sudah dicapai, baru dikeluarkan himbauan. Begitulah mekanisme pengambilan dan perumusan himbauan atau Taushiyah NU untuk merespons sebuah peristiwa. Ketika Taushiyah dirasa kurang cukup, NU biasanya akan membicarakannya kembali dalam forum yang lebih tinggi, Munas atau Muktamar. MIY mestinya mengarahkan tuntutan pembuktian pernyataan itu kepada Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi secara langsung, dan bukan kepada saya. Karena NU adalah pihak yang paling dirugikan dari pengambil-alihan masjid-masjidnya ini.

Sekarang para pengurus NU di cabang-cabang terus mengukuhkan kohesi ke-NU-an untuk menghadapi gerakan trans-nasional dan pengambil-alihan masjid-masjid kaum Nahdliyyin. Pengurus NU Cabang Pasuruan misalnya, sebagaimana dilansir NU Online (7/5/2007), hendak memberikan simbol NU pada masjid-masjid yang didirikan warga NU di sana. Ini dilakukan setelah sebelumnya diberitakan, tiga mesjid milik warga NU di Banyuwangi diambil-alih oleh kelompok Islam garis keras. Pengambil-alihan masjid di Banyuwangi itu sekurangnya berlangsung di tiga kecamatan; Purwoharjo, Genteng, dan Ketapang (NU Online, 19/2/2007).

Saya mengerti, yang dituju dari kerisauan PBNU ini sebenarnya adalah agar masjid tak dijadikan--meminjam bahasa KH Hasyim Muzadi--sebagai ”pangkalan untuk menyerang republik dan doktrin NU yang moderat dan toleran”. Publik Islam pasti maklum bahwa begitu kepengurusan atau takmir masjid jatuh ke tangan kelompok Islam garis keras, maka para khatibnya pun akan dicarikan dari kelompok Islam serupa. Tak pelak lagi, mimbar masjid akan menjadi sarana untuk mengkafirkan tokoh-tokoh Islam lain dan mencaci agama lain. Dari atas mimbar masjid pula, sendi-sendi NKRI, Pancasila, dan UUD 1945 kerap digerogoti.

Ketiga, MIY benar bahwa di (sebagian) pesantren diajarkan kitab yang memuat persoalan imamah dan khilafah. Para kiai pesantren dan ustad baik secara sendiri maupun kolektif mempelajari buku sejarah, termasuk sejarah politik Islam. Tapi berbeda dengan umumnya aktivis Islam fundamentalis Indonesia berlatar belakang pendidikan non-agama—yang biasanya memahami Islam melalui majalah dan paling jauh (maaf) terjemahan buku-buku Islam ideologis—para kiai mengerti sejarah Islam dari sumber-sumber utama seperti Târîkh al-Umam wa al-Mulûk karya al-Thabari, al-Bidâyah wa al-Nihâyah karya Ibnu Katsir, al-Sîrah al-Nabawiyah karya Ibnu Hisyam, al-Kâmil fit Târîkh karya Ibnu al-Atsir, Sulukul Malik fî Tadbiril Mamâlik karya Ibnu Abi Rabi’, dan sebagainya.

Melalui buku-buku itu, para kiai mengerti bahwa yang wajib adalah mengangkat seorang pemimpin (nashbul imâm) di berbagai level mulai dari tingkat desa sampai pusat; bukan seorang Khalifah seperti yang dikehendaki Taqiyuddin al-Nabhani yang ditaqlidi secara kâffah oleh MIY Cs. Para kiai selalu melakukan komparasi dan tarjîh secara jama’i (kolektif) terhadap pelbagai jenis pendapat dalam fikih Islam. Inilah yang membedakan antara NU dan Hizbut Tahrir, antara para kiai NU dan aktivis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Dengan kelengkapan dan kecakapan intelektuil yang dimilikinya, seperti ilmu ushul fikih, qawaid fiqhiyyah, qawaid al-lughah, ilmu al-balaghah, ilmu al-ma’ani, ilmu al-jarah wa al-ta’dil, dan lain-lain, banyak kiai yang sanggup melakukan kontekstualisasi pemahaman terhadap kitab kuning. Dalam keputusan Munadharah ”Pengembangan al-’Ulum al-Diniyah Melalui Telaah Kitab secara Kontekstual (Siyâqi)” di PP Watucongol, Muntilan, Magelang, 15-17 Desember 1988, dijelaskan bahwa takrif pemahaman kitab kuning secara kontekstual adalah; [1] suatu proses pemahaman kitab kuning yang mengacu kepada kenyataan baik syahshiyah (individual) maupun ijtima’iyah (sosial) yang melatarbelakangi kehadirannya; [2] upaya memahami kitab kuning yang tidak terbatas pada makna-makna harafiah, tetapi mampu menyentuh natîjah-natîjah (kesimpulan-kesimpulan) pemikiran yang menjadi jiwanya. Walhasil, teks kitab kuning selalu dipahami dalam konteks sintaksis (siyâqul kalâm) dan konteks kesejarahan (siyâqut târîkh) secara sekaligus.

Dengan kerangka metodologis seperti ini, menjadi maklum mengapa NU dan para kiai pesantren tak pernah mengusulkan berdirinya Khilafah Islamiyah. Sebab, tak seluruh apa yang tertulis dalam kitab kuning bisa diikuti begitu saja oleh para kiai. Mereka punya mekanisme sendiri untuk menyeleksi (tanqîh) mana-mana tafsir keagamaan yang relevan untuk diterapkan dalam konteks sekarang dan mana-mana pula yang problemtik. Para kiai akan memelihara teks-teks lama yang masih maslahat. Namun, tak ada keraguan pula untuk mengambil pandangan-pandangan baru yang lebih maslahat. Al-muhâfazhah ‘alal qadîmis shâlih wal akhdz bil jadîdil ashlah.

Dengan kaidah ini, NU tak canggung menerima Pancasila dan tak ragu untuk menolak khilafah islamiyah. NU pernah menolak NII (Negara Islam Indonesia) yang didirikan almarhum Kartosuwiryo, dan ikut menetapkan Kartosuwiryo dkk sebagai pelaku makar (bughat) terhadap negara yang sah, Indonesia.

Melihat gerakan perongrongan terhadap NKRI dan Pancasila yang menguat akhir-akhir ini, saya jadi teringat (Alm.) Kiai As’ad Situbondo. Tujuh belas tahun lalu, dalam suatu pertemuan di Auditorium PP Salafiyah Syafiiyah Asembagus Situbondo, dengan suara lantang dan bergetar membaca Alquran surat Thaha 17-21, Kiai As’ad mengumpamakan NU sebagai “Tongkat Musa” yang siap melawan pihak-pihak yang merongrong keutuhan NKRI. Seruan kebangsaan Kiai As’ad itu kini seakan menemukan relevansinya kembali. []

04/06/2007 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (11)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Menurut saya sekarang ini yang pas ya NKRI. Ideologinya ya Pancasila. Entah 200 tahun yang akan datang. Lha, sekelompok orang ingin tiba-tiba mengganti NKRI dengan sistem lain dalam waktu singkat?

Ibaratnya rumah, suatu ketika ada saudara si pemilik rumah datang berkunjung. Kemudian dengan seenaknya saudaranya itu menuding-nuding, menuduh-nuduh, menyalahkan cara si empunya rumah menata rumah yang telah ditempati sekian puluh tahun. Apalagi kemudian saudara si pemilik rumah itu membuka buku referensinya tentang bagaimana menata rumah yang betul dan membawa berkah. Apa yang dirasakan si pemilik rumah...? Sementara persoalan yang dihadapi si pemilik rumah adalah bagaimana memberi makan para anggota keluarga yang masih lapar, cara memberi keterampilan para anggota keluarga agar bisa mandiri. Ketika diminta solusinya, berulang-ulang dijawab dengan “tata dulu rumah sesuai buku referensi kami ini” baru kemudian anggota keluarga anda semua bisa makan dan bisa mandiri.  Lha, apa begitu caranya memberi solusi...?

Bantulah memberi solusi terhadap persoalan yang ada, berhentilah bertengkar mengenai siapa yang benar dan siapa yang salah. Siapa yang sah tafsirnya dan siapa yang salah. Toh nanti di akhirat semuanya akan diadili. Mari laksanakan keyakinan masing-masing selama itu membawa maslahat bagi masyarakat di sekitar kita.

Posted by hakeem  on  02/13  at  02:08 PM

Yang pasti menurut hujjah Allah, hujjah nabi Muhammad saw. dan hujjah kitab suci-Nya, bahwa TONGKAT MUSA wajib datang pada hari kiamat setelah Muhammad (artinya hari habis gelap terbitlah terang benderang ilmu pengetahuan agama sesuai Al Qiyamah (75) ayat 6-15, Al Baqarah (2) ayat 257, Ibrahim (14) ayat 1, hari kebangkitan ilmu sesuai Al Mujaadilah (58) ayat 6,18,22, hari takwil kebenaran kitab sesuai Al A’raaf (7) ayat 52,53 yang wajib ditunggu-tunggu, tetapi dilupakan) untuk menghadapi pemuka-pemuka agama akhir zaman pemecah belah agama ala Firaun, sesuai Hud (11) ayat 97,98,99, membatalkan fatwa-fatwanya sesuai Al A’raaf (7) ayat 138,139.140.

Wasalam, Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tunggal Agama millennium ke-3 masehi.

Posted by Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tunggal  on  07/24  at  11:01 AM

saya setuju apa yang anda paparkan, terlebih tentang ideologi transnasional. Lantas, kalau tidak transnasional apakah umat islam bisa bersatu dibawah satu kepemimpinan yang berideologikan islam?????? Lalu apa alasan untuk menolak ideologi tersebut?????
-----

Posted by joko  on  05/06  at  10:05 PM

Pernyataan bahwa bentuk negara Indonesia sudah final tampaknya perlu dikritisi dan dikaji ulang. Negara Indonesia yang berdasarkan pancasila adalah final sehingga tidak bisa di-utak-atik lagi sebagai dasar negara. Benarkah demikian? Kalau kita mengkaji lebih jauh, selama ini kita salah meletakkan Pancasila dan terlalu ‘berharap banyak’ pada Pancasila. Bahkan, Orde Baru meletakkan Pancasila sebagai ‘agama’ sekaligus ideologi yang disakaralkan. Padahal, Pancasila tidaklah lebih dari sekedar falsafah hidup. Pancasila hanyalah kumpulan norma dan nilai yang diambil untuk memenuhi syarat berdirinya sebuah negara. Pancasila bukanlah ideologi karena minus konsep/pemikiran (fikrah) maupun metode (thariqah) untuk menerapkannya, sebagaimana halnya ideologi Kapitalisme-sekular, Sosialisme-komunis, maupun Islam yang memiliki fikrah dan thariqah. Pancasila juga tidak memiliki ‘naluri menyerang dan menguasai’ sebagaimana ciri utama ideologi. Wajar saja jika Pancasila tidak bisa menjadikan dirinya eksis, terjaga, apalagi bisa mengembangkan dirinya. Jika dulu kita pernah mengenal istilah ‘demokrasi Pancasila’, ‘ekonomi Pancasila’, atau bahkan ‘ideologi Pancasila’, semua itu tak lebih dari sekedar ‘stempel’ saja. Hakikatnya, Pancasila tidak dan tidak akan pernah melahirkan sistem politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, dll. Sekali lagi, Pancasila hanya dilekatkan sebagai simbol atas ‘defisit ideologi’ yang dialami bangsa ini. Yang terjadi selama ini, karena minus konsepsi hidup, Pancasila ditunggangi oleh ideologi Kapitalisme sekular. Liberalisme, individualisme, dan pragmatisme menjadi nafas bangsa ini. Tiadanya ideologi negara yang kuat menjadikan bangsa ini mudah diintervensi dan dihegemoni negara Barat yang berideologikan Kapitalisme sekular. Walhasil, Pancasila tidak lebih dari ‘kuda tunggangan yang tampak manis dan menarik, yang tetap saja terus ditunggangi hingga detik ini. Anehnya, pada saat terbukti Pancasila sebagai ideologi semu dan gagal menjadi solusi atas persoalan bangsa, kita diarahkan untuk kembali mengambilnya sebagai pengatur kehidupan bangsa ini. Karena itu, terlalu gegabah dan prematur untuk menyatakan bahwa bentuk negara Indonesia adalah sudah final dan ideal. Sebab, sejatinya bentuk Negara yang final dan ideal adalah negara yang dibangun oleh Rasulullah saw. dan diwariskan oleh Khulafaur Rasyidin. Itulah yang seharusnya kita tuju bersama, yakni sebuah negara yang berideologi Islam, yaitu Daulah Khilafah Islamiyah, yang kehadirannya bukan hanya keharusan, tetapi telah menjadi sebuah kewajiban dan keniscayaan.

Posted by Tursina Istibaraq  on  06/15  at  01:07 AM

Ideologi transnasional banyak dipersoalkan dari segi: (1) tidak bersumber dari akar budaya Indonesia sehingga berbahaya bagi keutuhan bangsa; (2) menggunakan Islam sebagai ideologi politik, bukan sebagai way of life; (3) Islam adalah gerakan politik, bukan gerakan keagamaan; (4) mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pernyataan pertama perlu dipertanyakan. Akar budaya Indonesia mana yang dimaksud? Sebab, hingga kini belum ada definisi yang jelas tentang budaya asli Indonesia; apakah animisme, Hindu, Budha, Islam atau kapitalistik seperti yang terjadi sekarang. Secara jujur, sulit untuk mengklaim budaya asli Indonesia. Indonesia dengan posisi strategisnya telah bersentuhan dengan semua ideologi dan budaya dunia. Sebutkan satu ‘tradisi’ di Indonesia, pasti memiliki akar ke budaya luar. Sistem politik kita juga sama; tidak asli Indonesia. Demokrasi, parlemen, bahkan kata republic dalam NKRI saja bukan asli Indonesia, tetapi berasal dari Barat. Sama halnya dengan istilah musyawarah, rakyat, atau dewan; berasal dari bahasa Arab yang berhubungan erat dengan Islam.

Masuknya Islam ke Indonesia tidak lepas dari watak ‘transnasional’ Islam. Pada tahun 808 H (1404 M) datang sembilan ulama utusan Daulah Khilafah Ustmaniyah ke Tanah Jawa melalui kesultan Samudera Pasai untuk berdakwah. Tahun 1421-1436, datang ulama ‘transnasional’ ke Jawa menggantikan utusan sebelumnya yang wafat. Ulama tersebut adalah Sayyid Ali Rahmatullah dari Samarkand, Sayyid Ja’far Shadiq (Sunan Kudus) dari Palestina, Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) dari Palestina. Watak transnasional ini wajar saja, mengingat Islam memang agama bagi seluruh manusia (rahmat lil ‘alamin).

Organisasi Islam di Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari ciri ‘transnasional’-nya. Sebagian pendiri organisasi Islam di Indonesia belajar Islam dari Timur Tengah. Pendiri NU KH Hasyim Ash’ary dan KH Ahmad Dahlan pendiri Muhamadiyah sama-sama belajar di Timur Tengah. Bisa dipahami, sebab pusatnya Islam sejak kelahirannya hingga zaman keemasan Islam memang ada di Timur Tengah. Jadi, menolak pemikiran Islam hanya karena berasal dari luar, apalagi Timur Tengah, adalah ahistoris.

Pertanyaan berikutnya, apakah budaya Indonesia dijamin benar? Tentu, tidak bisa dikatakan bahwa budaya perang antarsuku di Papua, budaya carok di Madura baik, budaya kemusyrikan menyembah leluhur, atau budaya Indonesia sekarang yang kental dengan corak kapitalistik itu baik. Karena itu, yang harus dipersoalkan bukanlah asalnya, namun apakah ideologi itu benar atau salah, dari manapun asalnya.

Tudingan bahwa gerakan Islam menjadikan agama sebagai ideologi bukan way of life, juga penting untuk dikritik. Bukankah ideologi itu adalah way of life? Justru fungsi terpenting ideologi itu adalah way of life. Memang ada wacana yang berkembang, apakah Islam itu sekedar agama ritual atau ideologi. Kalau yang dimaksud dengan agama itu hanya berisi ajaran tentang ketuhanan, ibadah ritual, dan moralitas, jelas Islam tidak seperti itu. Ajaran Islam berisi berbagai aspek kehidupan; dari hubungan manusia dengan Tuhannya secara langsung (akidah dan ibadah ritual/mahdhah), hubungan manusia dengan dirinya sendiri (akhlak, berpakaian, minuman, makanan) hingga hubungan manusia dengan sesamanya (politik, ekonomi, pendidikan, sosial, negara).

Di dalam al-Qur’an, di samping ada perintah shalat, juga ada perintah untuk menaati ulil amri/penguasa yang merupakan aspek politik; di samping kewajiban shaum Ramadhan, ada kewajiban jihad fi sabilillah; di samping kewajiban zakat, ada juga keharaman riba yang jelas berhubungan dengan aspek ekonomi. Islam juga mengenal secara jelas dan rinci hukum qishash bagi pembunuh, cambuk/rajam bagi pezina, dan potong tangan bagi pencuri. Demikian seterusnya. Karena itu, kalau yang dimaksud ideologi itu adalah sistem hidup yang mengatur seluruh aspek kehidupan dengan berbasis pada pandangan hidup tertentu, maka Islam adalah ideologi.  Pemisahan secara mutlak gerakan keagamaan dan politik, apalagi kemudian membenturkan keduanya, adalah cara pandang sekular dan tidak pas dinisbatkan pada Islam. Kalau aktivitas mengoreksi penguasa yang zalim merupakan aktivitas politik, jelas Islam merupakan gerakan politik. Islam bahkan mewajibkan umatnya untuk mengoreksi penguasa yang zalim. Kalau aktivitas Rasulullah saw. mendirikan dan menumbangkan sistem Jahiliah yang ada merupakan aktivitas politik, maka Islam juga merupakan gerakan politik. Karena itu, politik adalah bagian dari ajaran agama Islam itu sendiri. Dengan demikian, gerakan Islam transnasional lebih tepat disebut sebagai gerakan politik yang berdasarkan pada agama (Islam).

Posted by Tursina Istibaraq  on  06/15  at  01:06 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq