Tradisi dan Pembaruan: Tanggapan Buat Ulil - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
01/01/2006

Tradisi dan Pembaruan: Tanggapan Buat Ulil

Oleh Muhammad Akib

Di sinilah Ulil justru tampak tidak melihat sisi positif tradisi. Tradisi justru dia lihat sebagai “tembok” yang mesti kita hadapi. Saya tak tahu pengertian tradisi yang dimaksud oleh Ulil. Bagi saya, tradisi adalah semacam wadah tempat tersimpannya kenangan bersama yang membentuk masa kini. Karena itu tanpa tradisi, kita tak akan mungkin bisa memahami kekinian dan kedisinian kita. Untuk memahami masa lalu sekalipun, kita juga tak bisa mengabaikan kenyataan bahwa kita berada dalam sejarah tertentu, dengan kepentingan tertentu.

Mengapa kita begitu takut pada tradisi? Mengapa kita menganggap tradisi sedemikian buruk, sehingga merasa perlu untuk menampik dan mendobraknya? Mengapa tradisi seolah-olah dianggap tidak memberi ruang bagi pembaruan? Pertanyaan-pertanyaan itu tiba-tiba menyeruak ketika saya membaca tulisan Ulil Abshar-Abdalla Agnotisime Intelektual.

Dalam tulisan itu, Ulil mengambil contoh Kechia Ali, seorang ahli fikih yang menurut dia “menarik bukan karena tema dan bahan yang dia olah. Sebaliknya, karena sudut pandang dan perspektif yang baru dan segar; karena dia memandang bahan kuno itu dengan lensa yang lain.” Keberhasilan ini, bagi Ulil, tak lain karena “etos agnostik” yang berkembang dalam tradisi akademik Barat. Etos itu memungkinkan seseorang untuk mengambil jarak kritis terhadap tradisi, seraya mengembangkan kemungkinan-kemungkinan pembacaan yang baru. Pada akhir tulisan, Ulil mengatakan, “Begitu anda membuka horison ‘lain’ dan kemudian sampai kepada kesimpulan yang ‘berbeda’ maka anda akan berhadapan dengan tembok tradisi.”

Dari kalimat terakhir inilah pertanyaan-pertanyaan di atas muncul. Pertama-tama, saya kira Ulil berhasil memosisikan Kechia Ali, sebagai orang zaman ini, ketika berhadapan dengan tradisi atau warisan leluhur. Kechia Ali, sebagai orang zaman ini, mampu melihat tradisi atau bahan kuno dengan perspektif atau lensa yang lain, justru dengan menyadari bahwa ia hidup di sebuah zaman tertentu yang berjarak dengan tradisi atau warisan leluhurnya. Artinya, tanpa menyadari kekinian atau ketemporerannya, orang seperti Kechia Ali justru akan terjerumus pada apa yang ditakutkan Ulil. Yaitu, pemikirannya hanya akan merupakan restatement atau semata taqrîr.

Dengan menyadari kekiniannya, seorang pemikir dari zaman ini akan mampu melihat apa yang tidak dilihat pemikir sebelumnya. Dengan demikian, kita tidak akan pernah terjun ke dunia dengan kepala kosong. Kita masuk dan menyelami dunia dengan membawa-serta simpulan-simpulan awal yang sudah ada dalam kepala kita. Simpulan-simpulan itu antara lain kita peroleh dari tradisi.

Di sinilah Ulil justru tampak tidak melihat sisi positif tradisi. Tradisi justru dia lihat sebagai “tembok” yang mesti kita hadapi. Saya tak tahu pengertian tradisi yang dimaksud oleh Ulil. Bagi saya, tradisi adalah semacam wadah tempat tersimpannya kenangan bersama yang membentuk masa kini. Karena itu tanpa tradisi, kita tak akan mungkin bisa memahami kekinian dan kedisinian kita. Untuk memahami masa lalu sekalipun, kita juga tak bisa mengabaikan kenyataan bahwa kita berada dalam sejarah tertentu, dengan kepentingan tertentu.

Lantas, kalau kita sudah selalu menjadi bagian dari sejarah masa kini, apakah “intelektual-tanpa- kepentingan”, atau “intelektual agnostik” seperti yang diistilahkan Ulil, itu mungkin?

Berpandangan mesti adanya intelektual tanpa kepentingan itu justru pandangan yang problematis. Mengandaikan adanya intelektual nirkepentingan, sama saja menganggap diri kita bisa hidup dan mampu melepaskan diri dari ketemporalan dan kesejarahan diri kita; mirip elang yang terbang memburu mangsanya di langit tanpa menjejak bumi. Bukankah orang seperti Muhammad Abduh, Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, dan para pemikir Muslim lain, juga sepenuhnya menyadari ketemporeran dan kesejarahan mereka ketika berhadapan dengan teks-teks warisan para leluhur?

Saya yakin, Ulil sendiri sangat berhutang budi pada tradisi dan sejarah yang melingkupinya. Sebab tanpa tradisi dan sejarah kekiniannya, kita mungkin tak akan pernah menyaksikan Ulil seperti yang sekarang ini. Artinya, tradisi dan sejarah itulah yang selalu membentuk pengetahuan atau pra-sangka (pre-understanding, prejudice) kita. Sehingga yang terjadi pada galibnya bukanlah “kita merawat tradisi” sebagaimana ditulis Ulil, melainkan “tradisi dan pra-sangka yang menuntun kita”. Tentu, pra-sangka yang saya maksud adalah pra-sangka yang sah, yang legitim.

Justru dengan bergerak bersama tradisi dan kekinian itulah, kita akan mampu membuka hal-hal baru, pemahaman-pemahaman baru, bukan sekadar “merawat” dan menghafal apa-apa yang telah terwarisi dari leluhur. Arkoun atau Abu Zayd, mungkin tak akan secemerlang sekarang kalau mereka tidak pernah mengakrabi tradisi klasik dan sejarah kekinian mereka. Pertemuan mereka dengan teks-teks klasik, teks Syafi’i umpamanya, tak akan menyuarakan hal baru kalau tidak diracik oleh hasil pertemuan mereka dengan teks seperti Gadamer, Ricoeur, Derrida atau yang lain di masa kini.

Dari sinilah, kita perlu masuk pada poin kedua Ulil: “Mungkinkah studi Islam di Indonesia akan berkembang lebih baik, jika para sarjana yang terlibat di sana mampu bersikap “agnostik” dan berjarak dengan bidang studinya, sehingga bisa membuka sejumlah horison baru?” Sebagaimana sudah saya sebutkan, menghayati dan mengakrabi tradisi dan sejarah kekinian, kesempatan untuk menemukan pemahaman baru selalu terbuka. Ketika kita coba memahami teks-teks yang berasal dari masa lalu, kita tak akan pernah bisa melepaskan kepentingan, harapan, dan aspirasi kekinian kita. Begitupun sebaliknya. Sebab, sejarah tak sepenuhnya putus, namun tak sepenuhnya kukuh juga.

Lalu bagaimana pemahaman baru menjadi mungkin? Karena kita makhluk historis, selalu terlanjur sudah menempati ruas tertentu dari sejarah, dan pada saat yang sama tak bisa melepaskan diri dari masa lalu, maka pemahaman kita sebenarnya selalu terarah ke masa depan. Artinya, pemahaman kita terhadap teks-teks warisan leluhur, oleh aspirasi dan kepentingan kekinian kita, tak lain adalah “revisi” atas tafsir lama guna menemukan kemungkinan-kemungkinan tafsir baru.

Mungkin yang perlu digarisbawahi, pengetahuan kita terhadap tradisi dan sejarah, tak akan pernah sampai pada tingkat yang objektif. Ini disebabkan keberadaan kita yang selalu sudah terlanjur dalam situasi dan waktu tertentu. Karena itu, kita tak mungkin menjadi subjek transendental yang terbebas dari sejarah atau menjadi “intelektual yang agnostik” sebagaimana istilah Ulil.

Menjadi “intelektual agnostik” dalam istilahnya Ulil, sama saja tidak mengakui sejarah dan masa depan kita. Sebagai seorang intelektual, saya yakin kalau Ulil pun mempunyai kepentingan-kepentingan tertentu. Sehingga, hal ini pun saya bisa berbeda pandangan dengan Ulil. Kalau kita kembali ke contoh Kechia Ali, yang membuatnya mampu menghadirkan bidang studi yang sudah dianggap basi menjadi menarik adalah kesadarannya yang penuh akan kebutuhan, kepentingan, dan keberadaannya di zaman ini. Tanpa menyadari kekiniannya, Kechia Ali atau intelektual manapun mungkin hanya akan disibukkan kerja merawat tradisi dan mengahafal apa-apa yang terwariskan dari leluhur.

Artinya, pada akhirnya kita tak lagi bisa membayangkan adanya seorang intelektual yang bebas dari kepentingan-kepentingan. Namun, tidak bisa tidak, kita tetap mesti bersikap terbuka pada tradisi, seraya menyadari bahwa diri kita adalah makhluk yang menyejarah; yang selalu punya pandangan ke depan. Dengan sikap seperti ini, kita tidak lagi merasa dikungkung tradisi, tapi menganggap tradisi sebagai berkah; karunia yang memungkinkan perubahan dan memungkinkan zaman ini terpahami.

Muhammad Akib, mahasiswa tingkat akhir UIN Jakarta, bergiat di Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI).

01/01/2006 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (2)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Menurut saya, tradisi perlu dilawan sekaligus dibela. Tradisi yang harus dilawan adalah yang “menghambat” modernitas. Sebaliknya, tradisi yang “mendukung” kemajuan mesti diperjuangkan. Bahwa tradisi itu menginspirasi pembelengguan sekaligus pembebasan, itu benar. Tradisi mensponsori kemunduran sekaligus kemajuan, juga tidak salah. Lantas, bagaimana menyikapi tradisi ; tradisi intelektual ? Ya, etos agnostik ; agnostisisme intelektual – usulan Ulil – perlu dicoba.

Kali ini, Ulil dalam tulisannya memang fokus pada kritik tradisi intelektual. Ulil merasakan-melihat etos “agnostik” berkembang pesat dalam tradisi akademik di Barat, tapi menciut didunia Islam. Ya, di Barat sungguh pesat. Sampai-sampai Ulil “terbang” untuk belajar disana. Etos agnostik itulah, akhirnya menginspirasi Ulil untuk mencoba melakukan “revolusi (transformasi) intelektual”, khususnya di dunia (akademik) Islam-Indonesia.

Ulil memberikan contoh seorang Kechia Ali (ahli fikih) yang telah cukup berhasil mengolah “bahan kuno” menjadi “produk modern” yang memikat sekaligus mengilhami modernitas. Agnostisisme intelektual Kechia Ali, salah satunya terlihat dalam presentasinya tentang “Marriage, Gender, and Ownership in Early Islamic Jurisprudence”, di Boston University. Meskipun Kechia Ali adalah seorang aktivis politik yang juga cendikiawan, dia telah mampu memposisikan diri secara agnostik dalam studinya. Kechia Ali cukup berhasil menjaga jarak dengan motif sosial-politiknya, dia lebih dekat dengan “kemandirian” intelektualnya ; kecendikiawanannya, daripada kepentingan diluarnya.

Menurut saya, Kechia Ali dan Ulil tahu betul, bahwa kepentingan intelektual adalah intelektual itu sendiri, yakni kebebasan berpikir ; mencerahkan pemikiran. Kedua tokoh ini menegaskan jangan sampai intelektualitas tergadaikan hanya/ semata-mata untuk kepentingan sosial-politik maupun proyek ideologi tertentu dan seterusnya. Jadi, tanpa etos agnostik, dunia keilmuan sulit berkembang, saya kira itu benar. Terlebih jika ada perselingkuhan intelektual dengan kekuasaan. Untuk itu, tugas intelektual-cendekiawan adalah menjaga jarak dari kepentingan diluar keilmuan.

Nah, disini saya mencoba menanggapi tulisan Muhammad Akib. Kawan Akib ini menganggap Ulil mengesampingkan tradisi. Ulil dianggapnya tidak melihat sisi positif tradisi. Tapi, dia sendiri bilang tak tahu (oh mungkin sindiran) pengertian tradisi yang dimaksud oleh Ulil. Menyikapi ini, mungkin mas Ulil yang lebih tepat menjawabnya. Saya yang termasuk pembaca tulisan Ulil “Agnostisisme Intelektual” menangkap bahwa Ulil tetap menghargai tradisi ; tradisi intelektual. Justru, gagasannya itu suatu saat akan menjadi tradisi baru yang cemerlang. Penghargaan tradisi oleh Ulil, dia tunjukkan dengan mengkritik “tradisi kuno”. Ulil berpendapat agar tradisi (intelektual) jangan hanya dirawat, dihafal dan diaplikasikan apa adanya tanpa pembaruan. Dalam proses pembaruan inilah diperlukan etos agnostik ; agnostisisme intelektual. Cara pembaruan (intelektual) seperti inilah yang akan mengembang-pesatkan dunia keilmuan.

Tradisi yang dipahami sahabat Akib, menurut saya, lebih berkerangka universal. Sedangkan Ulil disini lebih fokus pada kritik tradisi intelektual. Bahwa tradisi intelektual didunia Islam, mayoritas masih “kolot”, berbeda dengan barat yang “bebas”. Didunia (akademik) Islam masih banyak pemasungan berpikir-berijtihad, anti modernitas ide, taklid pemikiran, cap sesat-pembantaian pemikiran, politisasi pemikiran dan seterusnya. Tradisi seperti inilah yang harus segera dijauhkan, demi kemajuan pemikiran (Islam).

Saudara Akib menyampaikan kemustahilan adanya intelektual nirkepentingan. Ya, memang benar. Tapi, terpenting menurut saya, intelektual mesti berkepentingan untuk keilmuan itu sendiri ; sekali lagi bukan hanya semata-mata untuk kepentingan sosial-politik- atau ideologi tertentu. Seorang intelektual harus mampu menjaga jarak dengan kepentingan diluar keilmuan, artinya dia harus lebih dekat dengan keilmuan demi kemajuan keilmuan itu sendiri.
-----

Posted by Sarwanto  on  01/07  at  10:01 PM

Assalamualaikum

Mengapa kita begitu takut pada tradisi? Sebenarnya yang kita takutkan adalah tradisi arab yang dipaksakan pada kehidupan kebudayaan tradisi Indonesia. Seandainya tidak ada pemaksaan dengan berdalih kafir, tentunya tidak jadi masalah, seperti hal ini telah diperlihatkan bagaimana perkawinan antara ke dua tradisi itu berkembang di nusantara yaitu ketika walisongo berkiprah.  Anggapan tradisi arab itu demikian buruk, memang telah dipertunjukan yaitu tadi, mengawini anak perempuan belia (6 thn) seperti diperlihatkan di film OSAMA (tentunya ini berdasarkan fakta di arab, dll. Dan tentunya yang terpenting lainnya adalah tradisi gurun pasir dihidupkan di nusantara yang kondisinya jauh berbeda.

Keburukan (salah satunya)yang diperlihatkan dari budaya arab itu, ditengarai bawa perampokan yang sekarang terjadi baru-baru ini di Indonesia, dilakukan oleh teroris yang mengaku beragama Islam (?), ini adalah tradisi padang pasir yang sering terjadi pada perkembangan agama Islam saat itu.

Dan mengenai Ulil Abshar-Abdalla dengan Agnotisime Intelektualnya, memang demikian adanya sesuai dengan kaedah filsafat Agama (David Trueblood) yang dikatakan bahwa Tuhan itu hanyalah suatu ide yang terdapat dalam pikiran manusia yang merupakan pokok khayalan belaka, sehingga jelas bahwa cara berpikir agamawan adalah ilmuwan agama yang selalu berpinjak di awang-awang, sedangkan ilmuwan akademis (Hukum Allah yang tersirat di alam) berpinjak di bumi yang dalam penelitiannya selalu didasarkan pada IMRAD intruduction, method, result and discusion, sehingga Ulil berusaha dalam berpikir satu kaki berpinjak di bumi, sedang kaki yang satunya lagi berpinjak di awang-awang. Kelopkan, biarkanlah terus berkembang menyesuaikan dengan perkembangan jamannya, yang terpenting adalah kita para umat dengan itu dapat meningkatkan kesejahteraan, sehingga kita tidak takut akan perubahan lagi.

Wassalam

H. Bebey

Posted by H. Bebey  on  01/06  at  08:01 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq