Ahmad Abdul Haq


Ketinggalan Pesawat!

Back | Up | Next

 

Sumber: Kick Andy.com

 

 
Senin, 15 Maret 2010 11:40 WIBKetinggalan Pesawat!

Ketinggalan Pesawat! There’s always a first time. Itulah yang saya rasakan. Seumur hidup naik turun pesawat, lebih dari seratus hari dalam setahun melanglang buana, baru kali ini ketinggalan pesawat. Dan anehnya ini terjadi dua kali dalam satu perjalanan saya kali ini. Sekali di bandara Barcelona dan yang paling menyebalkan di bandara Wina.

Di Barcelona saya akui ada sumbangsih kesalahan sendiri. Merasa mempunyai waktu lebih memang bisa  sangat membuai. Segera setelah melalui security check point, saya melirik jam di tangan saya. Masih ada sekitar satu jam lima belas menit sebelum jam keberangkatan. Saya pikir – tanpa bermaksud membela diri – seperti layaknya wanita pada umumnya, atau seorang ibu yang bepergian, ini adalah kesempatan untuk mencari barang khas Spanyol, bagi anak-anak di rumah. Setiap beberapa menit, saya melirik ke jam saya, mencoba memperhatikan waktu. Saya sadar betul bahwa saya tidak mau ketinggalan pesawat. Namun pada lirikan ketiga saya menjadi curiga. “Kok aneh, jamnya seperti tidak bergerak?” Saya mulai panik, Bergegaslah saya melihat ke kiri kanan, mencoba mencari jam bandara. None around! Segera saya mendekati kasir untuk mencocokan waktu. “O gosh, this stupid watch went dead on me!” jerit batin saya. Dan saat itu, waktu telah menunjukan 5 menit sebelum jam keberangkatan pesawat saya.

Panik, saya langsung berlari menuju gate. Langkah saya terasa berat. Kehabisan nafas, dari jauh terlihat petugas gate geleng-geleng kepala sambil mengisyaratkan pesawat sudah menutup pintu. Karena melihat pesawatnya masih parkir di gate, saya berpikir, “Masa sih saya tidak diijinkan masuk?”

Antara ngotot tapi berusaha tetap manis, saya menjelaskan jam tangan yang tiba-tiba mati. Petugas tidak bergeming. Saya memelas dan memohon untuk diberikan pengecualian, dia tetap menggeleng. Entah dia mengerti bahasa Inggris atau tidak, hanya satu kalimat yang diulang-ulang dikatakannya tanpa kompromi: “It’s closed. You’re too late,” dalam aksen kental lidah Spanyolnya. Saya masih coba beradu argumen soal tidak dipanggilnya nama saya dan ternyata memang dipanggil tiga kali, tapi dalam bahasa Spanyol. Dalam hati saya mengomel, “Jelas saja nama saya akan hilang dalam kalimat bahasa Spanyol yang sama sekali tidak saya kenali.” Di lain pihak, tetap saya sadari andil kesalahan diri. Tersesat di antara jam yang mati dan oleh-oleh, ini adalah sebuah pelajaran yang berharga.

Seperti tertampar penyesalan dan terhampar dalam lautan ketidakberdayaan, sayapun melangkah menjauhi petugas. Langkah yang tanpa tujuan, tak tahu harus kemana. Akhirnya saya putuskan ke meja informasi untuk mencari tahu apa yang harus dilakukan. Apa yang terjadi dengan dua koper saya? Pesawat apa lagi yang terbang sore itu? Saya harus terbang ke Wina malam ini juga. Sidang CND (Commission on Narcotics Drugs) di kantor pusat UNODC, PBB tahunan akan mulai besok pagi. Dan inilah sebenarnya puncak perjalanan saya kali ini. Inilah mengapa saya berada di Eropa setiap bulan Maret.

Selama menunggu pesawat berikutnya saya mencoba memahami perasaan yang belum pernah saya rasakan: tertolak dan tidak berdaya. Tiba-tiba, sebuah asosiasi muncul. Mungkin begini perasaan pecandu. Dalam konteks dan kadar yang berbeda, penolakan dalam bentuk apapun menyakitkan. Walau kita tahu ada unsur kesalahan kita sendiri yang menyebabkannya, penolakan yang dingin tanpa kompromi, tanpa memberikan solusi, terasa begitu brutal sekaligus sepi.

Di bandara Wina ceritanya berbeda. Saya sengaja datang lebih awal sore itu karena saya tahu koneksi international flight saya yang cukup rumit. Tujuan akhir Bangalore. Rute ini ditempuh melalui Frankfurt dan Singapura. Total 25 jam perjalanan. Sayapun menyiapkan mental.

Begitu sampai di gate, setiap setengah jam diumumkan pesawat akan terlambat satu jam. Keberangkatan jam 6 sore, akhirnya mundur sampai ke jam 9. Di situlah saya panik. Tidak akan mungkin sampai di Frankfurt untuk mengejar pesawat ke Singapura. Akibatnya, sayapun akan ketinggalan pesawat ke India. Chain reaction.

Tidak tahu bagaimana nasib saya malam itu, tubuh saya terasa kelu. Kelu karena lelah fisik dan frustrasi. Frustrasi menunggu. Frustasi tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengubah kenyataan ini. Tidak ada yang bisa dilakukan. Semua terjadi di luar kendali saya. Belum pernah terbayang saya harus menunggu antara 12-24 jam di bandara Frankfurt untuk mengejar salah satu dari dua penerbangan SQ di hari berikutnya. Ini semua gara-gara badai angin. Badai angin ini katanya membuat beberapa pesawat tergelincir, menutup dua dari tiga runaway yang ada. Siapa yang bisa menyalahkan angin?

Di situ saya sadari bahwa saya hanya aktor kecil dari perjalanan ini. Saya hanya pemeran kecil dalam drama perjalanan ini. Bak pertunjukan panggung, ada kuasa lain yang bergerak di belakang layar. Ada Sutradara Agung penentu kondisi cuaca. Ada tim produser perjalanan; mulai dari petugas mekanik, crew lalu lintas udara, kondisi pesawat, pilot sampai kepada sistem komputer. Kelancaran koneksi komputer bertanggungjawab untuk mengatur reservasi, navigasi dan bagasi.

Kompleksitas di belakang layar berbuah perjalanan yang lancar. Selama ini saya tidak sadari, apalagi syukuri, betapa vital proses di belakang layar ini dalam memproduksi sebuah perjalanan tanpa hambatan. Begitu pula dalam produksi lakon kehidupan ini.

Kita kerap lupa tentang terbatasnya peran kita dalam kesuksesan hidup ini. Jika hidup kita tanpa hambatan, sering kita berpikir kita sendiri yang jago. Dan lupa faktor eksternal juga bermain di dalamnya.

Jika kita berhasil mengarungi hidup tanpa narkoba itu memang sebuah pilihan. Namun itupun sebuah anugrah. Seperti perjalanan saya, ada proses di balik layar yang membuat seseorang bebas menentukan pilihan bukan semata-mata hasil karyanya sendiri. Banyak faktor predisposisi (genetik, psikologis, pola asuh dan lingkungan) di luar kendali diri yang berperan besar dalam memerdekakan seseorang dari narkoba.

Seperti sebuah perjalanan, kecanduan adalah sebuah proses kombinasi antara membuat pilihan dan efek dari pilihan itu. Seperti chain reaction, efek sebuah pilihan menentukan apa yang terjadi selanjutnya. Dan ini sering membuat kita tidak berdaya.

Namun, kita harus bertahan. Kesabaran dan ketangguhan dibutuhkan dalam perjalanan sebuah perjuangan. Ini yang membawa saya pulang setelah 34 jam terhempas antara Wina dan Jakarta. Walau harus menempuh waktu 20 jam lebih lama dari biasanya, at the end, I’m just glad I made it home


Kick Andy: Home • The Show • Special • Andy's Corner • Foundation • Recommended Book • Andy's Friend • Andy's Team • About

Tag: Kliping Media, Kick Andy