Ahmad Abdul Haq


Kaya Miskin Tetap Putus Sekolah

Back | Up | Next

 

Sumber: Kick Andy.com

 

 
Selasa, 31 Mei 2011 10:00 WIBKaya Miskin Tetap Putus Sekolah

Kaya Miskin Tetap Putus Sekolah Awalnya saya kuatir bahwa saya mungkin tidak peka lagi terhadap kehidupan sehingga kehilangan ide untuk menulis. Tapi saya kemudian yakin bahwa bukan kehampaan ide yang membuat menulis menjadi sulit, melainkan waktu yang terbatas. Saya adalah tipe orang yang membutuhkan keheningan total untuk menuangkan sebuah pemikiran menjadi kata-kata. Sebagai ibu tiga anak remaja dan bekerja penuh sebagai wiraswasta sosial, keheningan memang sebuah hal yang langka.

Setelah sekian lama mengalami kevakuman inspirasi, saya tergerak dan penasaran untuk mengetahui asal usul datangnya inspirasi. Lucunya memikirkan sumber inspirasi justru membuat saya mendapat inspirasi lagi untuk menulis. Padahal sudah hampir beberapa bulan saya berhutang tulisan ke Bang Andy.

Dan ternyata hanya sesederhana itu, inspirasi timbul dari curiosity, rasa penasaran saya sendiri.

Curiosity itu anugerah. Rasa penasaran yang sehat akan membuat kita senantiasa berpikir dan menggali hal-hal yang menarik perhatian kita. Dan pada akhirnya, kita selalu belajar sesuatu yang baru tentang hal yang kita minati.

Nah, salah satu hal baru yang saya pelajari minggu ini adalah masalah putus sekolah. Satu dari tiga remaja berusia antara 13-18 putus sekolah di Indonesia. Ternyata hal yang sama juga terjadi di Norwegia. Putra Mahkota Haakon memaparkan keprihatinannya ketika kita berbincang informal soal hal ini dalam pertemuan Young Global Leaders di Oslo.

Ternyata putus sekolah masih menjadi masalah baik di negara makmur seperti Norwegia maupun di negara berkembang seperti Indonesia. Bedanya begini: di Norwegia remaja yang putus sekolah memang memilih untuk tidak melanjutkan sekolahnya, sementara di Indonesia putus sekolah terjadi karena ketiadaan biaya.

Sayapun terusik soal remaja Norwegia yang "memilih" untuk tidak melanjutkan sekolah. Apa sebenarnya alasan utama mereka? Setelah kita berdiskusi lebih jauh, saya mendengar dua hal. Hal pertama adalah sebagian besar dari mereka ingin langsung bekerja. Artinya, jenjang pendidikan SMA dirasa tidak penting untuk mendapatkan pekerjaan seperti menjadi pelayan restoran, penjaga toko atau pekerjaan lain yang tidak terlalu butuh pendidikan tinggi. Hal kedua saya yang dapati adalah fasilitas yang diberikan negara kepada rakyat yang tidak memiliki pekerjaan.

Bayangkan, negara Norwegia memberikan santunan sekitar tiga puluh juta rupiah per bulan per orang!  Itu adalah penghasilan orang termiskin di Norwegia. Memang benar biaya hidup di sana setinggi langit dan santunan senilai itu sebenarnya pas-pasan, cukup untuk makan dan tempat tinggal saja.
Untuk lulusan sekolah menengah yang bekerja, gaji pertama mereka kira-kira empat puluh juta rupiah per bulan. Bayangkan jika gaji itu dibawa ke Indonesia, betapa nyamannya hidup remaja bekerja ini!

Hal ini membuat saya berpikir.

Di tengah situasi kekurangan, tiga juta remaja di Indonesia putus sekolah dan tidak dapat melanjutkan ke jenjang SMA karena faktor ekonomi. Sebagian besar dari mereka sangat ingin melanjutkan sekolah. Sebagian besar juga sangat ingin untuk memiliki keterampilan tambahan karena mereka percaya pendidikan dapat memberikan mereka pekerjaan yang layak.

Di tengah situasi berkelimpahan, remaja Norwegia tidak lagi merasa pendidikan tinggi itu penting. Sebagai lulusan sekolah menengah mereka sudah dapat bekerja dengan penghasilan yang cukup layak. Lebih parah lagi, tidak bekerjapun, mereka tetap menerima santunan yang tidak jauh berbeda dengan gaji yang mereka terima jika mereka bekerja. Rasanya sangat mudah tergoda untuk "memilih" untuk tidak melanjutkan pendidikan SMA. Bahkan bermalas-malasan saja tetap "digaji" negara.

Di sini kita bisa lihat bahwa kemakmuran ternyata mereduksi hakekat pendidikan. Pendidikan yang seharusnya membuat seseorang memiliki sumber daya untuk berkembang dan mengembangkan orang lain dikalahkan oleh fasilitas dan kelimpahruahan. Kelimpahan pula yang menyebabkan orang menjadi malas. Kelimpahan bahkan membuat orang lupa atau enggan untuk berjuang.

Satu kesamaan dari kondisi Indonesia dan Norwegia ini membuat saya berpikir bahwa remaja putus sekolah di kedua negara adalah "korban" sebuah sistem. Yang satu korban sebuah sistem kemakmuran, yang lain adalah korban dari sebuah sistem yang belum bisa mengentaskan kemiskinan.

Mana sebenarnya yang lebih mengenaskan, putus sekolah karena tidak ada biaya atau putus sekolah karena kehilangan tantangan dan perjuangan untuk hidup yang layak? Sayapun agak bingung menjawabnya. Menurut saya, dua kondisi ini sama tragisnya walaupun "tragis" dalam konteks yang sangat berbeda. Bagaimana menurut anda?
 

Kick Andy: Home • The Show • Special • Andy's Corner • Foundation • Recommended Book • Andy's Friend • Andy's Team • About

Tag: Kliping Media, Kick Andy