Ahmad Abdul Haq


MELAWAN NASIB

Back | Up | Next

 

Sumber: Kick Andy.com

 

 
Jumat, 02 Oktober 2009 21:30 WIBMELAWAN NASIB

MELAWAN  NASIB  Terlahir cacat bukanlah sebuah alasan untuk berkeluh kesah dan menggantungkan kehidupan pada orang lain. Setidaknya inilah prinsip yang dimiliki para nara sumber Kick Andy kali ini.

“Dikasi hidup sekali saja saya sudah bersyukur. Tuhan sudah memberikan kesempurnaan, meski saya harus buta,” ujar Zulhadi, penyandang tuna netra. Sementara bagi Sidik yang terlahir tanpa kaki, kecacatan bukanlah sesuatu yang hakiki bagi sebuah kehidupan. “Tuhan memandang kita bukan dari cacatnya, tapi dari kebaikan sama sesama. Kalau kita baik, Tuhan akan suka,” ujarnya.

Meski memiliki kekurangan secara fisik, Sidik dan Zulhadi bukanlah orang yang pantang menyerah. Sehari-hari mereka menggeluti profesi yang tidak jauh berbeda. Sidik menjadi produsen kerupuk berbahan singkong, yang ia jajakan sendiri. Sementara Zulhadi yang tuna netra, setiap hari berkeliling berjualan kerupuk yang diambilnya secara kulakan dari seorang pengusaha kerupuk di wilayah Cengkareng, Jakarta Barat.

Meski tak punya kaki, Sidik setiap hari berbelanja bahan kerupuk dan menjajakan hasil produksinya dengan mengendarai sebuah motor, yang ia rancang khusus. Sementara Zulhadi yang tuna netra, setiap hari menjajakan kerupuk ikan dengan bantuan sebuah tongkat. Ia berjalan dari pagi hingga sore menjelang, kadang sampai malam. “Kadang saya kesasar atau malah kecebur got,” ujar Zulhadi yang diiringi tawa kecilnya.

Zulhadi yang mantan tukang pijat, maupun Sidik yang pernah bekerja kantoran ini memang tak pernah menunjukkan perasaan duka. Meski secara fisik dan kisah hidupnya bisa membuat kita miris, tapi penampilan mereka di Kick Andy benar-benar membawa sebuah keceriaan dan ketegaran.

Begitu juga dengan nara sumber lainnya, seperti Deni Nurzaman. Deni terlahir dengan kondisi kaki yang tak sempurna. Ia berusia 15 tahun dan kini tercatat sebagai murid kelas V di Yayasan Panti Anak Cacat, di wilayah Hang Leukiu, Jakarta Selatan. Sebuah sekolah yang berjarak cukup jauh dari rumah kontrakan Deni di wilayah Jatinegara, Jakarta Timur.

Karena kondisi ekonomi yang cukup sulit, Deni terpaksa harus berangkat dan pulang sekolah dengan menggunakan alat transportasi yang mengenaskan. Ia harus menelungkup di sebuah papan beroda, beralaskan kain dan plastik, yang kemudian harus ditarik oleh seseorang hingga sampai sekolah. Sejak ayahnya menikah lagi, Deni harus menunggu kebaikan kerabatnya untuk menariknya di roda tersebut. Meski demikian Deni mengaku terus bersemangat untuk sekolah. “ Saya mau jadi ahli komputer,” tegasnya.

Ketegasan juga dimiliki oleh Paini dan Seke. Mereka adalah penyandang cacat kaki dan tangan. Paini bekerja secara wiraswasta untuk membuat aneka makanan kecil. Ia juga merekrut penyandang cacat lain untuk bekerja bersama-sama. Mereka kemudian membuat usaha yang diberi nama “Kuber Penca” atau Kelompok Usaha Bersama penyandang Cacat. “Saya kasi mereka motivasi gini, saya cacat, ayo kamu yang cacat juga bisa. Kita buktikan kalo yang cacat mampu,” kata Paini.

Sementara Seke yang memakai satu kaki palsu dengan kedua lengan tanpa telapak dan jari, sehari-hari memiliki profesi ganda. Pagi-pagi menjadi sopir angkutan kota di kawasan Cengkareng, Jakarta, dan siangnya menjadi tukang gigi! Seperti juga nara sumber lainnya, Seke menganggap hidup ini selalu patut disyukuri dan dijalani secara mandiri. “Bagi saya mengemis itu hanya dilakukan orang yang berpikiran salah,” katanya.

Tak hanya Seke, semua nara sumber juga memberikan pernyataan yang senada: cacat bukanlah alasan untuk mengemis atau menggantungkan hidup pada orang lain.

Inilah kisah orang-orang yang memegang nasib hidup dengan keterbatan, melawan nasib dan ketidakberdayaannya dengan usaha dan kerja keras. Selamat menyaksikan.


Kick Andy: Home • The Show • Special • Andy's Corner • Foundation • Recommended Book • Andy's Friend • Andy's Team • About

Tag: Kliping Media, Kick Andy