Ahmad Abdul Haq


HIDUP UNTUK MENGABDI

Back | Up | Next

 

Sumber: Kick Andy.com

 

 
Jumat, 02 Juli 2010 21:30 WIBHIDUP UNTUK MENGABDI

HIDUP UNTUK MENGABDI Apakah benar jiwa dan semangat pengabdian itu sudah menempel pada diri manusia dari sejak ia lahir? Ataukah ia lahir dari tahapan proses kehidupan manusia karena peristiwa-peristiwa yang mengiringi jalan hidupnya? Bisa iya bisa juga tidak, bisa juga dua-duanya benar. Sejumlah narsum Kick Andy episode ini, akan menjadi jawaban dari tesis di atas.

Ketulusan pengabdian pertama datang dari pasangan suami istri dari Banda Aceh, dokter Marzuki dan istrinya bidan Asma Sulaiman. Pasangan ini mendedikasikan hidupnya untuk membantu sesama lewat bidang kesehatan. Setamat dari Sekolah Perawat Kesehatan di Banda Aceh, bidan Asma langsung mengabdi di puskesmas desa kecil sementara sang suami meneruskan kuliah S1 di Universitas Syah Kuala Banda Aceh. Bidan Asma melakukan pertolongan medis dan persalinan secara bergerak alias dari pintu ke pintu rumah setiap pasiennya. Dan hal itu ia lakukan selama sembilan tahun, dibantu oleh Dokter Marzuki setamat kuliah. Tahun 1992, atas pertimbangan semakin banyaknya pasien yang memerlukan bantuan mereka berdua, mendorong keduanya mendirikan tempat bersalin dengan dua kamar. Klinik ini kemudian dibesarkan keduanya secara swadaya menjadi rumah sakit umum pada 2003.

Hingga akhirnya bencana tsunami menerjang dan meluluh lantakkan semuanya pada 2004 silam. Belasan karyawan dan puluhan pasien rumah sakit ikut menjadi korban musibah nasional itu. Tapi yang paling pedih bagi dokter Marzuki dan bidan Asma adalah, bahwa mereka harus kehilangan 4 orang anaknya akibat bencana tersebut. Namun di tengah kepedihan dahsyat itu, mereka berdua tak lantas larut dalam kesedihan dalam waktu lama. Dalam waktu singkat mereka berdua langsung terjun ke lapangan bersama relawan-relawan lain untuk mencari korban di tengah-tengah reruntuhan, serta membantu proses pertolongan dan pemulihan korban tsunami dari sisi medis dan psikologis, sembari berusaha menata ulang rumah sakit mereka.

Pengabdian tak kenal pamrih juga muncul dari sisi gelap kawasan lokalisasi yang konon paling besar dan berbahaya di Indonesia, kompleks Dolly Surabaya. Mariani Zaenal prihatin dengan kompleksitas masalah di kawasan prostitusi itu, yang membuat praktik kekerasan dalam rumah tangga serta kekerasan fisik, psikis dan seksual berlangsung dalam kuantitas dan kualitas yang sangat tinggi. Sejak 2006, Mariani yang telah terpanggil menjadi relawan sosial sejak 1983 ini, mendirikan Pusat Krisis Cahaya Mentari bersama teman-temannya, yang bermisi memberikan perlindungan dan advokasi kepada para perempuan dan anak-anak dari keluarga yang bermukim di lingkungan Dolly. Semua bermula saat Mariani berhasil menyelamatkan seorang ibu rumah tangga, yang sedang dikejar-kejar suaminya yang gelap mata karena urusan hutang. Demikian juga saat ia membimbing seorang anak laki-laki korban kekerasan seksual sang ayah, yang kemudian justru melakukan hal yang sama pada 8 anak laki-laki lain yang lebih kecil darinya. Mariani pun rela bekerja 24 jam tanpa gaji, di tengah berbagai ancaman bahaya di wilayah kecamatan termiskin se-Jawa Timur itu.

Semangat untuk mengabdi sebagai relawan kemanusiaan juga datang dari diri Mitra Tobing dan James Tumbuan. Mitra Tobing misalnya. Alumnus Teknik Arsitektur Universitas Indonesia ini, justru memenuhi panggilan jiwanya untuk bermanfaat bagi sesama sebagai relawan. Selulus kuliah, ia hanya bertahan setahun bekerja sebagai arsitek. Saat bencana kemanusiaan akibat perpisahan Timor Timur (Leste) pada medio 1999, ia terjun ke Kupang dan Atambua untuk memimpin penyaluran bantuan pangan dan obat-obatan ke para pengungsi. Begitu juga saat terjadi konflik di Maluku, ia tak berpikir dua kali untuk menyambangi daerah berbahaya itu. Dan di situlah ia harus mengalami kejadian ditodong senjata api dan menerima ancaman bom oleh salah satu pihak yang berkonflik. Mitra pun juga tak sungkan untuk turun langsung memimpin tim relawan ke Afghanistan, yang secara medan dan kondisi lapangan tentunya jauh lebih berbahaya. Dan ia punya banyak cerita seru dari negeri gurun tersebut.

Sementara James Tumbuan, menyadari bahwa ia hidup untuk berguna bagi orang lain saat ia harus hidup di panti asuhan demi meneruskan pendidikan. Selepas kuliah lewat beasiswa, ia langsung bergabung dengan LSM World Vision dan terjun ke daerah-daerah terpencil dan tertinggal seluruh Indonesia sejak 1973. Hampir seluruh daerah bencana dan konflik di seluruh pelosok Indonesia sudah ia sambangi sejak saat itu. Hidupnya ia curahkan untuk menyalurkan pengetahuan, bantuan logistik dan infrastruktur serta tenaga di berbagai daerah yang membutuhkan. Kini ia berpindah medan pangabdian. James kini mengabdi di Myanmar, dan membantu pemulihan di negara yang baru saja dilanda bencana angin badai itu.

Dan dari wilayah paling selatan Indonesia yaitu pulau Rote NTT, ada Johannes Barnabas Ndolu. Pria yang lebih akrab dipanggil John Ndolu ini, adalah seorang pendobrak tradisi adat di kampungnya, yang bagi dia sangat berlebih-lebihan dan menjadi sumber pemiskinan berlarut-larut penduduk pulau Rote. Pesta pora saat upacara pernikahan dan kematian, serta tradisi sumbangan bersyarat yang disebut Tu’u, menurutnya adalah pangkal permasalahan mandegnya perekenomian penduduk serta belitan hutang turun temurun bergenerasi. Apa yang telah dilakukan oleh John Ndolu, sehingga budaya pesta pora serta lingkaran setan hutang turunan di sejumlah desa pulau Rote bisa dihilangkan, dan justru mampu menghimpun dana swadaya masyarakat untuk membiayai beasiswa pendidikan sejumlah pelajar pulau Rote hingga tingkat sarjana? Bagaimana ia menghadapi tentangan dan penolakan dari para tetua adat dan suku karena dianggap murtad bahkan mencoba menghilangkan ajaran dan tradisi adat leluhur yang telah berusia ratusan tahun?
 

Kick Andy: Home • The Show • Special • Andy's Corner • Foundation • Recommended Book • Andy's Friend • Andy's Team • About

Tag: Kliping Media, Kick Andy