Syariat Islam - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Buku
20/07/2003

Syariat Islam Pandangan Muslim Liberal

Oleh Burhanuddin

Kebanyakan aktivis syariat Islam tidak siap meletakkan syariat Islam dalam diskusi publik yang rasional. Statemen-statemen semacam “syariat tak bisa divoting,” “syariat lebih unggul daripada konstitusi sekuler” misalnya, selalu mewarnai sidang-sidang tahunan di MPR belakangan ini.  Ruang pergumulan untuk mengisi cetak biru (blue print) konstitusi, terutama di negara-negara Muslim, sering diramaikan oleh aspirasi religius sebagian kelompok untuk memberi visi Islami pada konstitusi.

Judul Buku: Syariat Islam, Pandangan Muslim Liberal
Penulis: Al Asymawi, Saiful Mujani, Azyumardi Azra, Taufik Adnan Amal, Ulil Abshar-Abdalla, et all.
Editor: Burhanuddin
Penerbit: Jaringan Islam Liberal dan The Asia Foundation, Juni 2003
Harga: Rp. 22.000,- (pesan ke JIL diskon 20%, hubungi Anick/Novri/Burhan telp. 021-8573388 ext 127)

Wacana
syariat Islam bersifat pelik berkenaan dengan sifat hubungan Islam sebagai
sebentuk keyakinan atau agama dengan formulasi hukum Islam historis yang selama
ini disebut syariat (An-Na’im, 1994). Pada saat syariat Islam dibicarakan dalam
locus dan konteks historis dan profan, maka syariat Islam harus siap
didudukkan dalam bingkai penilaian yang fair tanpa berharap ada
keistimewaan apapun karena anggapan akan sakralitas fungsi dan sumbernya.

Kebanyakan aktivis syariat Islam tidak siap
meletakkan syariat Islam dalam diskusi publik yang rasional. Statemen-statemen
semacam “syariat tak bisa divoting,” “syariat lebih unggul daripada konstitusi
sekuler” misalnya, selalu mewarnai sidang-sidang tahunan di MPR belakangan ini.
Ruang pergumulan untuk mengisi cetak biru (blue print) konstitusi,
terutama di negara-negara Muslim, sering diramaikan oleh aspirasi religius
sebagian kelompok untuk memberi visi Islami pada konstitusi.

Memang dewasa ini
muncul kecenderungan baru di banyak negara Muslim untuk menerapkan syariat
Islam dengan cara memanfaatkan kebebasan dan demokrasi yang —suka tidak suka— juga memberi peluang bagi
munculnya ekspresi keagamaan dalam kutub paling ekstrem sekalipun. Aspirasi
penerapan syariat Islam berbanding lurus dengan pasang naik demokrasi di
negara-negara muslim. Di antara mereka juga fasih melantunkan idiom-idiom
demokrasi dan memaksimalkan lembaga-lembaga demokrasi sebagai sarana mencapai
tujuan.

Partai Keadilan di Indonesia, FIS di
Aljazair yang memenangkan pemilu putaran pertama tahun 1991 yang kemudian
dibatalkan oleh rezim militer, hanyalah sebagian contoh partai-partai Islamis
yang memperjuangkan agenda syariat Islam dalam pemerintahan. Di sejumlah negara
Muslim lain seperti Pakistan, Yordania, Mesir, Maroko, Iran, dan Kuwait,
kelompok-kelompok Islamis mereka ikut bersaing di pentas politik nasional
masing-masing dengan menggunakan prosedur pemilihan umum.

Namun demikian,
sebagian besar pemerintahan Islam dibangun lewat prosedur non-demokrasi. Arab
Saudi misalnya, secara konsisten memberlakukan syariat Islam dalam kehidupan
sosial-politik melalui jalur otoritarianisme sejak Muhammad al-Saud dan
Muhammad bin Abd al-Wahhab menyepakati suatu kontrak politik yang melahirkan
kerajaan kaya minyak itu.

Pemerintahan Taliban sebelum
dirobohkan koalisi Amerika Serikat juga menjadi contoh yang baik betapa
otoritarianisme menjadi jalan tol bagi pelaksanaan syariat Islam yang eksesif
di di Afghanistan. Demikian juga di Pakistan tahun 1980-an di mana program “Islamisasi”
yang digelindingkan rezim militer di bawah Zia ul-Haq menarik minat kekuatan politik
Islamis —yang tidak pernah menuai simpati rakyat dalam pemilu seperti Jamaat-i-Islami
yang didirikan Abu A’la al-Mawdudi—untuk berkolaborasi dengan militer.

Buku yang ada di
hadapan Anda ini pada dasarnya berambisi menyuguhkan sederetan fakta pengalaman
negara-negara Islam dalam berdialektika dengan syariat Islam dan isu-isu
kontemporer soal demokrasi, HAM, civil society dan lain-lain. Pertanyaan
pendek yang kerap menghantui adalah: “Mengapa para pengusung syariat Islam tak
pernah menarik pelajaran dari banyak negara Islam yang melakukan eksperimentasi
yang gagal dalam memberlakukan syariat Islam?”

Atau,
jangan-jangan, kenyataan yang tersajikan di negara-negara yang menerapkan
syariat Islam itulah yang mereka tempuh dengan sengaja, di mana pertumbuhan ekonomi per-kapita yang rendah,
tingkat pendidikan dengan indikator tingkat melek huruf yang amburadul, pendeknya
harapan hidup (life span), dan absennya kesetaraan gender, siap
dimaklumkan asalkan syariat Islam terlaksana.

Alih-alih memberi garansi bagi
terpeliharanya hak-hak politik (political rights) dan hak-hak sipil (civil
liberties
) warga negara, para pengusung syariat Islam juga tidak serius
membenahi —apa yang disebut Saiful Mujani sebagai— “indeks kemaslahatan
publik.” Jikalau sedari awal berdirinya rezim syariat Islam selalu memaklumkan
jalan pintas otoritarianisme, maka adalah sulit, untuk tidak menyebut mustahil,
mengharapkan indeks kemaslahatan publik akan lahir dari tangan-tangan mereka.

Realitas sui-generis itulah
yang akan diketengahkan buku yang dibagi menjadi dua bagian ini. Sebelum
beranjak pada bagian pertama, buku ini didahului “provokasi intelektual” juris
asal Mesir, Muhammad Sa’id al-Asymawi. Pendahuluan bertajuk “Jalan Menuju
Tuhan” ini berdasarkan terjemahan dari salah satu sub-bahasan dalam master-piece
al-Asymawi, Al-Islam al-Siyasi (1992).

Bagian pertama terdiri dari lima
tulisan panjang, yaitu “Syariat Islam, Konstitusionalisme, dan Demokrasi,” “Negara
dan Syariat dalam Perspektif Politik Hukum Indonesia,” “Syariat Islam di Aceh,”
“Simbolisasi, Politisasi dan Kontrol terhadap Perempuan: Studi Kasus di Aceh,”
dan “Selamatkan Indonesia dengan Syariah.” Tulisan pertama yang ditulis Saiful
Mujani dimaksudkan untuk memotret gambaran komparatif negara-negara yang
menerapkan syariat Islam dibandingkan dengan asas paling dasar dari raison
d’etre
berdirinya sebuah negara, yakni kemasla-hatan sebesar-besarnya bagi
warganya.

Tulisan kedua dari Arskal
Salim dan Azyumardi Azra coba mengulas hubungan negara (baca: Indonesia) dengan
syariat dari perspektif legal-formal dan sejarahnya. Taufik Adnan Amal dan
Samsu Rizal Panggabean menukikkan kasus penerapan syariat Islam di Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD) sejak UU No. 44 tahun 1999 dikeluarkan. Kedua penulis dari
Forum Kajian Budaya dan Agama (FKBA), Yogyakarta, ini menyinggung aspek
kesejarahan, sosiologis dan yuridis dari penerapan syariat Islam di NAD.
Sementara aspek kesetaraan perempuan ter-cover dalam tulisan Lily Z. Munir.
Adapun tulisan Ir. M. Ismail Yusanto memberikan perspektif dari sudut kalangan
yang selama ini gencar memperjuangkan penerapan syariat Islam di Indonesia.

Bagian
kedua dari buku ini berisi materi perdebatan dalam acara workshop terbatas
yang diadakan Jaringan Islam Liberal (JIL) pada tanggal 10-11 Januari
2003 di Puncak, Jawa Barat. Workshop itu bertajuk Shari’a:
Comparative Perspective
yang diramaikan oleh kehadiran Prof. Dr. Abdullahi
Ahmed An-Na’im dan kontributor JIL di seluruh Indonesia. Workshop itu sendiri
terbagi menjadi tiga sesi; pertama, Shari’a: Comparative Country Case
Studies
; kedua, Shari’a: The Indonesia Case; dan ketiga, Toward
Reformation of Islamic Law.
Sesi pertama diantarkan oleh Prof. Dr.
Abdullahi Ahmed An-Na’im dan Prof. Dr. Azyumardi Azra, sementara Ir. M. Ismail
Yusanto, Samsu Rizal Panggabean dan Lily Z. Munir bertugas mengantarkan sesi
kedua. Adapun sesi ketiga tidak ada “narasumber” yang mengantarkan diskusi,
kecuali Ulil Abshar-Abdalla, Lies Marcoes-Natsir dan Syafiq Hasyim yang memandu
sesi terakhir ini. Setiap peserta menjadi narasumber dalam workshop di
awal tahun ini.

Demikianlah,
isu syariat Islam selalu menawarkan perdebatan menarik, bak tabir misteri yang
tak kunjung usai dibicarakan. Dalam konteks nation-building kita,
perdebatan di seputar isu syariat Islam bisa dikatakan setua umur republik ini.
Hanya saja, kini kalangan yang terlibat dalam perdebatan isu syariat Islam
tidak lagi terpaku pada narasi-narasi besar. Tak ada lagi oposisi biner antara
kalangan Islam vis-à-vis nasionalis dalam menerima atau menolak syariat
Islam. Menariknya, baik yang mengusung maupun mementahkan penerapan syariat
Islam oleh negara sama-sama berasal dari “rahim” Islam, sama-sama lahir dan
besar dari tradisi Islam, dan sama-sama fasih memakai justifikasi teologis dari
kekayaan khazanah klasik Islam untuk membenarkan argumennya.

Dengan demikian, persepsi dan
pandangan umat terhadap konsep syariat Islam tidaklah monolitik, apalagi jika
syariat Islam dikaitkan dengan konsep politik, demokrasi dan pemerintahan.
Persepsi terhadap syariat Islam tergantung pada ruang dan waktu di mana faktor
politis, sosiologis, ekonomis dan antropologis berperan membentuk apresiasi dan
persepsi yang beragam. Lihatlah suasana sidang-sidang konstituante pasca pemilu
1955, Masyumi dan NU merupakan kekuatan utama pengusung Islam sebagai dasar
negara. Kini NU dan Muhammadiyah justru paling depan menolak amandemen pasal 29
UUD 1945. NU dan Muhammadiyah menjadi “tembok pertama” yang harus dilewati bagi
kelompok-kelompok baru dalam Islam (new Islamic movement) yang
belakangan ini gencar mempromosikan syariat Islam sebagai solusi krisis.

Krisis
multidimensional yang berkepanjangan di Indonesia memang seringkali memunculkan
keputusasaan beberapa pihak dalam mencari formula penyelesaiannya. Karenanya,
dalam menyikapi isu-isu teknis yang meniscayakan solusi rasional malah melahirkan
respon-respon simbolis seperti anggapan bahwa penerapan syariat Islam
akan menjadi panacea, menuntaskan segala krisis bangsa. Ia dianggap
sebagai eliksir, obat mujarab yang langsung manjur menyembuhkan segala
penyakit. Ironisnya, pada saat bersamaan, solusi rasional yang diharapkan
muncul dari orang atau pranata-pranata “sekuler” tidak kunjung tiba, malah
pranata tersebut dinilai bagian dari sumber persoalan yang harus segera
diatasi.

Last but not least, diskusi publik soal syariat Islam di Indonesia yang melibatkan
“pertarungan” antara “anak-anak kandung” Islam membuktikan kebenaran adagium
“Islam warna-warni.” Syariat Islam menjadi korpus teks yang terbuka untuk
ditafsirkan siapa saja. Tidak ada lagi pihak yang berani mengklaim paling punya
otoritas menafsirkan Islam karena tidak ada satupun orang di muka bumi ini yang
berhak mengklaim bahwa dialah yang memiliki “hak paten” atas Islam. Selamat
Membaca !

Burhanuddin

Utan Kayu, 20 Mei 2003

20/07/2003 | Buku | #

Komentar

Komentar Masuk (28)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

SALAM PERSAUDARAAN,

SARAN SAYA,
Saya berharap saudara penulis untuk mau lebih banyak lagi mengambil referensi dari literatur buku-buku pergerakan Islam ideologis, atau setidaknya mengambil referensi pandangan yang berimbang yakni dari perspekstif tokoh-2 gerakan islam yang mapan semisal HT dan IM, yang cukup concern pada masalah politik dan islam.

Saya memahami kegemaran anda membaca dan mengambil pendapat-pendapat para orientalis barat (karena memang studi anda di sana) yang berbicara masalah islam-politik seakan-akan mereka paham dan memberi solusi actual soal agama dan kehidupan, namun sebenarnya beberapa diantaranya saya menilai menyimpang dan jauh dari solusi tersebut, intinya “PERLU ADA SKALA PRIORITAS DALAM MENCARI REFERENSI PANDANGAN, MANA YANG LEBIH DIDAHULUKAN” dan terus ikuti diskusi-2 perbandingan pandangan, lakukan diskusi dan ber-tabayunlah untuk mempertajam dan meluruskan khazanah keislaman anda, dimana anda tidak memvonis siapa yang salah/ benar, pada salah satunya sebelum melakukan perbandingan antara keduanya, pilih mana yang lebih kuat/ argumentatif, dan tentu semua itu harus dilandasi dengan rasa iman pada Allah dan Rasul-Nya dan semangat untuk mencari kebenaran.

Itu semua dilakukan sebelum anda memutuskan untuk membuat sebuah tulisan atau buku...agak sulit memang namun itulah yang akan membuat anda mampu keluar dari pandangan-pandangan salah…

Demikian saran saya.terimakasih.

wassalam.

Posted by abu raihan  on  01/17  at  10:57 AM

saya sangat tertarik dengan buku Syariat Islam padangan muslim liberal. Di mana bisa saya dapatkan? Atau dapat dikirim langsung ke tempat kami di Aceh?

Posted by zainal abidin  on  10/18  at  12:03 PM

Well, nampaknya masih cukup alot perdebatan mengenai penyelenggaraan syariat Islam di Indonesia… namun memang dilihat dari sisi logika sekilas saja penerapan syariat di Indonesia memang tidak tepat/mungkin memang belum saatnya. lagipula para pendukung syariat masih terlalu naif...selain mimpi-mimpi yang terinspirasi oleh kenabian Muhammad, teman-teman belum bisa cukup meyakinkan seluruh elemen bangsa bahwa syariat akan benar-benar baik untuk semua elemen bangsa. bahkan saat syariat belum berdiripun sebagian muslim radikal sudah berani melakukan tindakan teror dan intimidasi terhadap kelompok lain dengan landasan syariat yang mereka yakini sendiri. lantas bagaimana jadinya kalau syariat itu bukan hanya di pikiran mereka saja namun sudah menjadi UUD negara?lampu yang bukan main hijau warnanya bagi mereka… jika teman-teman JIL dapat memberikan referensi atas argumen mereka menolak syariat, mana referensi dari teman-teman yang pro? ada bukti/referensi yang AKTUAL dan RELEVAN untuk Indonesia saat ini khususnya? kalau teman-teman pakai contoh masa nabi Muhammad ya jelas beda...jaman sudah berubah. Indonesia bukan sekedar kumpulan suku yang gemar berperang dan hanya bisa dijinakkan dengan pedang dan potong tangan!!dunia sudah beridealisme baru, sesuatu yang beradab dan berspiritualitas baru… jadi mungkin mental-mental manusia Indonesia didewasakan dan diperbaiki dulu biar apapun jalan dan cara yang kita pilih tidak menjadi neraka bagi yang lainnya…
-----

Posted by Bambang Widiatnolo  on  03/14  at  11:03 AM

Indonesia itu negara yang memiliki suku dan agama yang plural. jika ingin mengatur semuanya dengan syariat Islam tidak mungkin, kecuali kita semua udach Islam tentunya ... kita juga perlu menghargai dan memikirkan posisi orang lain yang berbeda. Bila dilihat kebelakang, maka agama pertama di Indonesia bukanlah agama Islam. oleh karena itu, sulit untuk menerapkannya. Poin yang terutama adalah apakah kita sudah siap untuk semuanya, untuk menjalankan syariat Islam .. ??!

seharusnya kita tidak boleh egois .. yang harus dipertanyakan adalah bagaimana caranya agar Islam tidak dipandang sebelah mata oleh orang lain .. juga semestinya kita semakin mempererat persaudaraan dengan sesama dan menjaga kedaimaian negara kita .. itu yang terpenting !!!

Posted by Ms. Modren  on  02/24  at  05:02 AM

Assalamu alaikum warrahmatullahi wabarkatu…

Saudaraku. saya mungkin seorang muslim yang masih awam, tapi sudah cukup bukti buat saya untuk mengatakan bahwa syariat dibumi Allah SWT (indonesia) sangat kita butuhkan. saudara masih butuh bukti seperti apalagi. kerusakan pola pikir remaja, kriminalisasi yang begiu merajai kehidupan, pelecehan terhadap kondisi kemanusiaan. masih belum cukup? anda kami panggil sebagai orang-orang yang cendikia kiranya itu tak berlebih. karena kami tahu intelektualitas saudara lebih dari kami. kemampuan saudara berdebat dengan bahasa apa saja, saudara mampu. tapi dengan bahasa tuhan saudara terlalu lemah. ingin rasanya hati ini menagis perjuanagan Rasul Allah akhirnya berakhir ditangan umatnya sendiri yang mengaku sebagai orang-orang liberal. mudah-mudahan kata-kata ini belum melupakan saudara” berhukumlah kamu dengan hukum ALLAh” berdebatlah dengan nurani saudara, selamat untuk matinya nurani keislaman saudara.KARENA BESOK ADA HARI AKHIR, SEBUAH PENGADILAN ABADI YANG MUNGKIN SUDAH SAUADAR TOLAK DARI HASIL PERDEBATAN DENGAN TEMAN-TEMAN SAUDARA.  SAYA TAHU PASTI TULISAN SAYA TIDAK AKAN ANDA MUAT CUKUP ANDA RENUNGKAN DAN BERPIKIRLAH.

Posted by sasli  on  04/05  at  09:04 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq