Home > Kliping Media > Gatra

Berkat Revolusi Sang Raja

Majalah Gatra, No. 15/II, 24 Februari 1996

MUSIK dangdut adalah musik masyarakat kelas akar rumput alias rakyat kecil. Itulah penilaian sebagian masyarakat terhadap dangdut. Pendapat itu juga dibenarkan oleh Haji Rhoma Irama, sang “raja dangdut” kelahiran Tasikmalaya, 11 Desember 1947. Menurut pimpinan Soneta Group yang juga bermain dan menyutradai sejumlah film itu, kesan tersebut akan terus melekat. “Kalaupun sekarang merambah ke kelas elite, itu hanya bersifat sementara,” katanya. Berikut ini petikan sebagian wawancaranya dengan Andi Zulfikar Anwar dari Gatra. Dilakukan di ruang kerjanya di Radio Muara FM 904 (90,4 - webmaster).

Mengapa Anda tertarik pada musik dangdut?.

Musik ini kan milik orang-orang marginal. Dulu namanya orkes Melayu, yang hanya berhak main di tempat becek, tempat para fuqora wal masakin. Itulah yang membuat saya terpanggil untuk terjun dan kemudian memperjuangkan agar musik ini dapat kompetitif dengan musik lain. Saat itu yang sangat dominan adalah musik pop dengan kelompok musik yang disebut band. Sebelumnya, saya juga orang pop. Kemudian saya terjun ke musik melayu.

Menurut Anda, adakah kategori dalam musik dangdut?.

menurut saya, dangdut sekarang ini dapat dibagi tiga. Yaitu dangdut konvensional-tradisional, dangdut trendy, dan dangdut kreatif.

Yang pertama adalah jenis musik Melayu yang influenced oleh musik India dan Arab. Misalnya, dangdut gaya Elvy Sukaesih dan Mansyur S. Kategori pertama ini warna Indianya lebih dominan. Bahkan ada pula memang lagu India yang ditransfer.

Dangdut trendy adalah dangdut temporer yang memadukan atau remix, misalnya disko dangdut. Sedangkan yang bisa dikategorikan dangdut kreatif seperti gaya Fahmi Shahab, Reynold Panggabean dengan tarantula-nya, dan Soneta.

Apa ciri khas dangdut kreatif?

Kalau saya memang melakukan suatu revolusi musik dengan sadar. Saya merombak tradisi orkes Melayu dalam rangka orkes ini dapat kompetitif dengan musik lain. Sebagai contoh, dari segi lirik dan aransemen, orkes Melayu itu dulunya identik dengan ninabobo, mendayu-dayu, kepedihan dan ratapan. Kemudian saya ubah dengan lirik yang optimistis dan dinamis.

Dari segi musiknya, instrumen yang tradisional saya ganti dengan instrumen elektrik. Saya masukkan alat musik saksofon, gitar listrik, dan backing vocal. Sementara itu, dari segi performance, kalau dulu orkes Melayu tampil dengan duduk, saya buat berdiri dan atraktif.

Dari segi equipment, kapasitas listriknya saya buat sebagaimana musik rock. Saya juga pakai lighting system. Itulah yang saya lakukan secara sadar. Dan, alhamdulillah, bila Anda dengar musik dangdut sekarang ini, maka itulah hasil dari revolusi itu.

Berkat revolusi Anda itu, maka dangdut bisa merambah ke kelas elite?

Saya rasa itu hanya refreshing buat mereka. Artinya, kalau dangdut mencapai kalangan atas, saya kira itu just pleasure, bukan exist di situ. Karena yang namanya segmentasi dalam musik itu tetap ada.

Jadi musik dangdut tetap milik masyarakat marginal? Bagaimana dengan indikasi masuknya musik dangdut ke hotel berbintang lima?

Saya tidak melihat masuknya musik dangdut ke Hotel Indonesia sebagai indikasi bahwa musik dangdut juga menjadi musik elite. Kalaupun mereka menikmati musik dangdut, itu ibaratnya, kalau biasanya makan dengan sayur lodeh, sekali-sekali makan sayur asam. Atau biasanya makan steak, kemudian mereka ingin makan ikan asin. Itu saja. Lagi pula itu bukan sense of music mereka.

Selain Anda, siapa yang pantas untuk dikatakan sebagai pelopor atau yang mempopulerkan musik dangdut?

Saya kira semua artis dangdut memiliki andil dalam menegakkan eksistensi dangdut. Hanya saja kadarnya yang berbeda.

Tetapi ketika dangdut sedang digonjang-ganjing, Anda tampil paling depan untuk menegakkan panji dangdut?

Ya, setahu saya yang vokal untuk fight saat itu adalah saya sendiri. Saya tampil sebagai single fighter. Bahkan dari kalangan dangdut sendiri banyak yang mengecam saya saat itu. Rhoma mengubah tatanan musik Melayu. Banyak yang sinis, Rhoma ini mau ke mana, ha, ha, ha. Saya dianggap keluar dari pakem Melayu. Padahal, menurut saya revolusi musik itu adalah salah satu strategi untuk bisa kompetitif dan eksis. Sebab kalau tidak, musik Melayu akan sama nasibnya dengan musik keroncong sekarang.

Sejak Soneta berkibar, hingga sekarang ini kelihatannya stagnan dalam kreativitas musiknya. Kenapa?

Menurut visi saya, masih format itulah yang terbaik. Karena yang namanya kemajuan belum tentu lebih baik. Contoh, dalam lagu-lagu pop, ada sweet sound, ada kreatif, ada semacam reggae-reggae, rap, itu saya lihat sebagai set back dalam konsep musik. Jadi belum tentu modernisasi itu sama dengan langkah maju atau progres.

Saya tidak mau melakukan hal tersebut. Bagi saya, musik adalah konsumsi rohani yang diserap melalui telinga. Konsepsinya, enak didengar. Kalau mengandung misi, maka misinya harus sampai. Bagaimana kemasannya? Itu harus harmoni. Harus mempunyai human-interest. Sehingga masuk kuping kanan lalu masuk ke hati. Ini standar keberhasilan sebuah musik, bukan selalu harus mengubah.

Jadi terpulang kepada selera konsumen?

Tidak. Main musik itu harusnya jujur, jangan dibuat-buat. Orang lain bilang, “Wah, di sana ada pembaharuan, kita perbaharui.” Bagi saya, oho, nanti dulu. Sesuai tidak dengan telinga kita, culture kita, misi kita, dan sense musik kita? Jadi, saya tidak mau mengikuti permintaan pasar. Pasar yang saya bentuk. Sebenarnya seniman itu harus begitu, berbeda dengan karyawan seni. Karyawan seni memiliki business oriented bukan art oriented.

Kebanyakan lagu-lagu Soneta bernada religius, dan bersifat kritik sosial?

Komitmen kita di atas musik adalah berdasarkan firman Allah, Ya ayyuhalladzina amanu limataquluna maa laa taf’alun. Hai orang-orang yang beriman, jangan kamu memerintahkan apa-apa yang tidak bisa kamu lakukan. Kabura maqtan ‘indallahi antaquuluu maa laa taf’aluun. Sungguh besar murka Allah pada mereka yang cuma pandai ngomong, tapi tidak pandai mengamalkan. Nah, dengan dasar ini, lirik-lirik yang saya buat memiliki responsibility to God and to the People. Not lips-service only. Dengan dasar itu kita berdakwah lewat musik.

Kritik sosial adalah bagian dari dakwah. Amar ma’ruf nahi munkar. Di satu sisi menyeru kebaikan, dan di sisi lain mencegah kemungkaran. Seperti contoh, sebelum orang berbicara tentang globalisasi, saya sudah bicara tentang itu dalam lagu Pembaharuan. Soal jurdil dan luber dalam pemilu, saya sudah bicara dalam lagu Hak Asasi tahun 1977. Sebelum orang mengkritik soal kolusi dan korupsi, saya sudah bicara melalui lagu Indonesia. Karena itu bagian dari dakwah. Tapi tetap bukan tendensius, bukan mau mencari popularitas, bukan ingin menjadi pahlawan, tetapi betul-betul didorong oleh tugas suci.

Kebanyakan penyanyi dangdut sekarang ini berasal dari Tasikmalaya. Apakah cengkok orang Tasik cocok dan pantas untuk lagu dangdut?

Oh, iya, ya, kebanyakan dari Tasik. Saya kira itu hanya kebetulan saja. Ja-Tim, Ja-Teng, Kalimantan, Sulawesi, saya banyak jumpai penyanyi potensial yang hanya belum punya kesempatan.

Anda juga Ketua Persatuan Artis Musik Melayu Indonesia (PAMMI). Berapa jumlah anggotanya sekarang ini?

PAMMI tersebar di 23 provinsi. PAMMI itu cikal bakalnya adalah sebuah yayasan, Yayasan Artis Musik Melayu Indonesia (YAMMI), lahir 1978. Kemudian berkembang menjadi Lembaga Artis Musik Melayu Indonesia (LAMMI) pada 1982. Kemudian tahun 1990-an menjadi PAMMI. Jumlah anggotanya mencapai jutaan.

Dalam keanggotaan ada empat bagian. Yaitu “Pemula”, termasuk seniman gerobok dorong. Kemudian “Madya”, yang kariernya sedikit di atas gerobok dorong. Kemudian “Utama”, ini sudah memiliki kapasitas nasional. Dan anggota nonartis atau simpatisan yang masuk kategori anggota kehormatan.

Dalam grafik kehidupan selalu ada naik-turun. Agaknya, dangdut sekarang ini dalam keadaan naik. Sampai berapa lama bisa bertahan dan kemudian turun kembali?

Itu sangat tergantung pada praktisi musik dangdut itu sendiri. Naik dan turun dalam grafik itu tidak bisa dihindari. Mutlak. Tetapi hendaknya gelombang grafik itu memiliki trend menanjak. Kalaupun turun, turunnya tidak serendah dari yang lalu. Tetapi turunnya itu sedikit sebagai ancang-ancang untuk naik melebihi point tertinggi semula.

Apa kritik Anda terhadap dangdut?

Saya punya obsesi, apalagi dalam zaman globalisasi, musik dangdut bisa menjadi pagar budaya. Makanya, dengan Munas PAMMI Pertama 1994 lalu, sebenarnya PAMMI telah memagari budaya Indonesia. Jadi kami berharap dangdut ini bisa mengantisipasi musik-musik Barat. Paling tidak, musik dangdut bisa menjadi musik alternatif dari dominasi musik Barat yang menjadi kiblat musik dunia.

Saya juga berharap, musik dangdut ini bisa memberikan kontribusi kepada pembentukan manusia seutuhnya. Sehingga dengan demikian, musik dangdut ini bisa dikatakan musik teladan, musik partisipatif. Tidak melulu just for fun only, melainkan juga ada idealisme untuk berkiprah dalam pembangunan.

Caranya bagaimana? Tentu saja melalui lirik-lirik yang konstruktif. Walaupun saya tidak menyerukan semua dangdut supaya berdakwah, paling tidak, tampilkanlah lirik yang positif, konstruktif. Kemudian penampilan yang sopan, berwibawa, tanpa melenyapkan nilai-nilai estetika dan artistiknya. Seperti, bagaimana cara tampil? Seringkali dangdut itu identik dengan goyang. It’s OK. Tetapi bukan erotisme dan sensualitas yang dimaksud. Tetapi goyang dalam arti kata tarian yang mempunyai nilai estetika dan artistik. Karena memang itu termasuk atraksi yang diperlukan. Jadi musik itu nantinya akan memberi suatu sentuhan yang kuat, di samping sebagai konsumsi telinga, juga konsumsi mata.

Anda melihat sekarang ini masih banyak penyanyi dangdut yang penampilannya bersifat erotis?

Tidak sudah jauh lebih baik. Sebelum ada PAMMI, penampilan mereka sering menggunakan kostum yang sangat minim, bahkan tidak manusiawi. Tentu saja ini hanya dilakukan oleh oknum-oknum penyanyi wanita. Saya rasa itu hanya sekadar kompensasi negatif atas ketidakmampuan mereka.

Tetapi sekarang ini sudah mulai terkikis. Dengan adanya DPD-DPD dan DPC-DPC PAMMI, sudah merupakan syarat mutlak untuk tampil dengan menggunakan busana yang sopan. Kalau tidak, langsung disuruh turun. Itu sudah termuat dalam AD/ART PAMMI.


Laporan terkait:


Forum BEBAS tentang artikel di atas. Semua komentar tidak dimoderasi.

comments powered by Disqus

Website ini milik pribadi Ahmad Abdul Haq. Didukung oleh Wikiapbn.