Home > Kliping Media > Gatra

Sebuah Goyang bagi Integrasi

Majalah Gatra, No. 15/II, 24 Februari 1996

Kelenturan musik dangdut mengadaptasi beragam elemen asing bisa menangkal kesenjangan sosial. Tak sekadar untuk bergoyang pinggul.

MY Bonnie, lies over the ocean/ My Bonnie, lies over the sea/ My Bonnie, lies over the ocean/ So bring back my Bonnie to me.” Itulah dendang sejumlah manusia Fakultas Ilmu Sosial (sekarang Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik – FISIP) Universitas Indonesia di penghujung tahun 1970-an. Tapi jangan salah. Mereka tak menyanyikan kidung cinta yang sedih itu dengan berurai air mata dan rasa pilu. Sebaliknya, struktur lagu didekonstruksi sedemikian rupa dan dikemas ulang dalam derai tawa serta goyang pinggul seenaknya. Kemasan apa lagi yang paling cocok untuk itu kecuali dangdut? Tanpa disadari, para pemuda yang tergabung dalam Pancaran Sinar Petromaks (PSP) itu telah meleburkan warna baru pada tubuh dangdut. Maka lagu-lagu seperti Oh Carol, Send Me the Pillow, Bye Bye Love, dan belasan lagu berlirik Barat lainnya kemudian terdengar “aneh”, dengan bumbu humor di sana-sini.

Tentu saja PSP bukan yang pertama melakukannya. Di akhir dekade 1960, Ellya Khadam sudah menciptakan histeria massa dan kegandrungan publik terhadap lagu-lagu bersyair India. Lagu-lagunya, seperti Vayan kamahina pavane karesole (Bulan ini dia bahagia karena cinta) atau Mandole maratan dole (Suara suling memanggilmu) tak ubahnya mantra yang harus di luar kepala. Salah-salah sedikit tak mengapa, karena makna syair dan ketepatan pengucapan adalah hal sekunder. Suasana gembiralah – terutama pada aktivitas joget – yang harus didahulukan.

Kelenturan dangdut dalam mengadaptasi berbagai elemen asing itu sesungguhnya merupakan kekuatan yang tak dimiliki jenis musik lain. Sebutlah rock, jazz, atau klasik sebagai pembanding. Ketiganya hingga kini masih direpotkan dengan berbagai usaha indigenasi (pribumisasi) yang tak kunjung usai. Kalangan rock masih bersilang sengketa dalam merumuskan format rock Indonesia. Praktisi jazz dilanda sindrom serupa. Bahkan dalam Jakjazz ’95 Desember silam, mereka perlu untuk mendapat pembenaran “ideologis” dengan mengedepankan moto “Jazz Merah Putih”. Komunitas klasik yang menyandarkan diri pada tradisi orkestra pun tak berbeda jauh. Itu terlihat, misalnya, dari upaya keras Dwiki Dharmawan yang mencoba mengawinkan orkestra dengan musik tradisional. Misalnya dnegan komunitas gamelan Kiai Kanjeng, Yogyakarta.

Bagi dangdut, problem indigenasi seperti itu praktis tak pernah mereka hadapi. Padahal, dibanding dengan rock, jazz, atau klasik, elemen pembentuk dangdut bisa jadi lebih kompleks. Ia tak hanya menyerap irama kuraca dari musik India – seperti dipopulerkan Ellya Khadam – melainkan juga musik gambus Arab (dimotori Alwaton Alaydrus), musik Melayu Deli (Emma Gangga), hingga nuansa rock ala Deep Purple (Rhoma Irama). Namun komunitas dangdut mampu meramu seluruh unsur itu dan menghidangkan kembali dalam citarasa yang meng-Indonesia. Komunitas dangdut tak pernah merasakan kegalauan bahwa unsur-unsur budaya asing itu akan menjadi ancaman bagi budaya lokal, seperti kerap diteriakkan para praktisi dari jenis musik lain. Dangdut telah menjadi melting pot, wadah pembauran, sejak awal kelahirannya.

Tetapi, di sinilah kontradiksi pertama mulai muncul. Dangdut yang dalam proses pembentukan identitasnya melibatkan sejumlah unsur kosmopolit bukannya mendapat posisi terpandang, malah mendapat predikat “kampungan”. Penyebabnya bisa sejumlah hal. Misalnya dari lokasi konser yang sering diadakan di tempat kumuh. “Saya senang musiknya, tapi telinga saya terganggu mendengar syair-syair lagu dangdut,” ujar Emha Ainun Nadjib setengah mengecam. Kerisauan Emha rupanya disetujui Arie Wibowo, produser MSC Record, yang banyak menghasilkan album dangdut. Tapi, itu dulu. Sekarang, musik dangdut merembes dari daerahnya di kalangan marginal dan merambah ke pelbagai kalangan secara vertikal.

Dr. Iwan Gardono Sudjatmiko, Ketua Jurusan Sosiologi FISIP UI, melihat dangdut sebagai simbol budaya yang relevan bagi integrasi vertikal. “Batas antarkelas sosial bisa diterobos oleh dangdut,” ujar Iwan. Alumnus Universitas Harvard itu berpendapat bahwa dalam pertumbuhan sebuah bangsa perlu diperhatikan dua jenis integrasi: horisontal dan vertikal. Integrasi horisontal berhubungan dengan suku, agama, jenis kelamin. Problematika seperti itu selalu dihadapi oleh setiap bangsa yang sedang membangun. Apalagi bila terdapat multietnis. Untuk Indonesia, integrasi horisontal itu relatif sudah teratasi dengan baik, setidaknya dengan proses pengindonesiaan yang terus berlangsung sejak Proklamasi Kemerdekaan.

Tapi kesenjangan ekonomi yang terus melebar akan menjadi ancaman serius yang bisa melemahkan hasil integrasi horisontal. Untuk itu upaya integrasi vertikal harus dipercepat, salah satunya melalui jalur budaya. Di sini, dangdut bisa berperan banyak, karena dangdut yang selama ini diposisikan sebagai musik kalangan bawah kini sudah mendapat tempat di kalangan atas. Menariknya, Iwan tak cuma menyebutkan dangdut sebagai katalisator integrasi vertikal. Ia juga menunjukkan fenomena teater buruh dan Festival Istiqlal sebagai dua faktor lain yang akan banyak berperan dalam integrasi ini.

Karena itu, langkah-langkah yang ditapaki Moerdiono dengan “Semarak Dangdut” ataupun “Pesta Rakyat Langlang Buana” mestinya dilanjutkan, dan tak sekadar dimaksudkan menghibur rakyat. Seyogianya, diletakkan sebagai strategi kebudayaan dalam mewujudkan integrasi vertikal, dan dengan demikian menyelamatkan integrasi horisontal yang telah terpelihara. Makna strategi di sini tentu saja tak dalam pengertian one man show seorang Moerdiono belaka. Kesadaran untuk melakukan net working bersama institusi dangdut yang ada haruslah dilakukan. Untuk menyebut contoh, katakanlah jaringan kerja dengan PAMMI (Persatuan Artis Musik Melayu Indonesia), TPI, tabloid Dangdut, dan radio-radio dangdut. Ini bahkan bisa diperluas dengan pelbagai lembaga, komunal, organisasi, ataupun perorangan yang peduli pada musik dangdut.

Pengemukaan peranan musik dangdut ini tentu saja tak mengabaikan lakon pelbagai kesenian Indonesia lainnya yang begitu beragam. Soalnya, satu dari sedikit bangunan melting pot kebudayaan kita adalah musik dangdut – dan sulit menyangkalnya. Jadi, mengapa tak didayagunakan saja demi integrasi secara vertikal? Karena jika kita mendeskripsikan pikiran Iwan tadi, maka secara kongkret musik dangdut adalah simbol budaya yang diterima pelbagai lapisan sosial dalam struktur kemasyarakatan secara vertikal. Berbeda dengan kesenian etnik yang hanya diterima sebagai simbol budaya bagi etnik bersangkutan – meskipun tetap dituluskan etnik lain dalam konteks kesadaran keindonesiaan yang aneka ragam.

Ketua Yayasan Karya Cipta Indonesia (YCKI), CandraDarusman, secara tajam bahkan melihat musik dangdut sangat gampang diterima keanekaragaman Indonesia. Ia memberi contoh kendang – salah satu instrumen musik dangdut – yang juga ditemukan dalam instrumen kesenian beragam etnik dengan nama yang berbeda-beda. “Beda jika piano dan gitar ditampilkan, kesan merasa asing segera menjalar,” kata Candrakepada Joko Syahban dari Gatra. Terlebih-lebih bunyi gendang yang pentatonik itu justru hampir menjadi ciri semua musik kesenian di Indonesia.

Lirik lagu dangdut juga diamati Candrasebagai “kata” yang tak mengerutkan jidat. Ia dengan sangat mudah diapresiasi seolah-olah bagai “bahasa dalam keseharian”. Tak berarti Candratak setuju kepada upaya semacam Evie Tamala yang mencoba lebih menghaluskan lirik lagu dangdut. Toh, cara berbahasa masyarakat juga bukan “tunggul” mati yang tak bergerak. Rhoma Irama pun tampaknya mempersilakannya. “Jika pun tak semua untuk berdakwah, setidaknya bikinlah lirik-lirik yang konstruktif tanpa kehilangan estetikanya,” kata Rhoma.

Dalam pada itu, fenomena teater buruh dan Festival Istiqlal adalah potensi lain yang bisa mempercepat integrasi vertikal tadi. Iwan boleh jadi melihat fenomena teater buruh telah mendapatkan space untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan “arus bawah”. Agaknya, mirip seperti kali pertama musik dangdut muncul di sini. Jika gejala ini dikembangkan, suatu hari ia akan tampil sebagai “dialog budaya” yang menjangkau kalangan atas – seperti diselusuri musik dangdut selama ini. Sudah pasti suara yang diekspresikan melalui teater akan lebih lembut dibanding dengan unjuk rasa yang tak mustahil kerap berakhir fatal.

Akan halnya Festival Istiqlal, ia telah menegaskan ulang bahwa Islam bukanlah sesuatu yang berbahaya. Islam juga mengekspresikan ajaran keindahan, kelembutan, dan kebudayaan yang memperkaya rohani manusia. Tampilnya seni kaligrafi, mushaf, buku-buku kuno semacam kitab kuning, kesenirupaan seperti diperlihatkan di Festival Istiqlal tahun lalu ternyata telah mengundang keterlibatan kalangan atas – birokrat dan pengusaha – pada pengucapan kesenian Islam tersebut. Di sini, proses integrasi vertikal pun berlangsung mulus.

Potensi dangdut ini ternyata bukan hanya bisa menjadi identitas nasional, melainkan juga identitas regional. Pada ASEAN Cultural Meeting di Filipina, Desember 1984, diputuskan bahwa dangdut adalah musik khas negara-negara ASEAN. Alangkah eloknya jika dijajaki kemungkinan mengadakan festival dangdut ASEAN. Inisiatif untuk itu kabarnya sudah diantisipasi oleh PAMMI yang diketuai Rhoma Irama. “Insya Allah, usai Lebaran nanti akan diawali dengan seminar,” kata Putri Rahayu, selaku Ketua I DPD PAMMI, kepada Tuti Herawati dari Gatra.

Sebuah surat pembaca Anton Issoedibyo, yang dimuat di rubrik Dari Pembaca di majalah Gatra tahun lalu, rasanya menggedor kesadaran betapa musik dangdut juga dikenal di Jepang, Turki, dan di belahan dunia lainnya. “Hal ini antara lain untuk membandingkan bahwa jika Jamaika punya reggae, Brasil punya samba, mengapa di kawasan ASEAN kita tak punya suatu jenis musik yang patut dibanggakan?” tulis Anton, pimpinan kelompok musik Geronimo itu.

Jika kawasan ASEAN masih berleha-leha, bukan tidak mungkin kelak musik dangdut malah berkembang. Jepang, misalnya, pernah merilis 200-an lagu Rhoma Irama. Konon, sebuah radio swasta di Australia juga memakai lagu dangdut sebagai pembuka acara siarannya. Karena itu sebuah festival dan seminar dangdut ASEAN mendesak dilakukan. “Jika tidak, saya khawatir kita suatu hari akan mempelajari dangdut dari negara lain,” kata Mashuri, pemilik Orkes Dian Pusparama, Surabaya, kepada Gatra. Sebutlah, seperti musik gamelan yang dipelajari peminat Amerika di negerinya.

Tentu saja pelbagai kerisauan publik terhadap musik dangdut selama ini haruslah dieliminasi – sebagai program skala prioritas. Sebutlah, adanya kesan yang memberi citra seolah musik dangdut selalu seronok dalam konotasi negatif. Mashuri, seperti juga Rhoma, mencita-citakan perlunya program kerja sama PAMMI dengan “John Robert Powers”, selaku lembaga profesional pembentukan kepribadian. Sedangkan untuk olah vokal, bisa dilakukan dengan menghadirkan Camelia Malik dan Rhoma sebagai mentor.

Tampaknya, obsesi hendak menjadikan musik dangdut sebagai simbol budaya tidaklah berlebihan. Seperti kerap dituturkan Rhoma Irama, “Dengan dangdut kita bergoyang, dan melalui dangdut dunia kita goyang.”

Akmal Nasery Basral dan BL


Laporan terkait:


Forum BEBAS tentang artikel di atas. Semua komentar tidak dimoderasi.

comments powered by Disqus

Website ini milik pribadi Ahmad Abdul Haq. Didukung oleh Wikiapbn.