Home > Kliping Media > Gatra

Peredam Massa yang Bergejolak

Majalah Gatra, No. 15/II, 24 Februari 1996

TIDAK semua laki-laki seperti H. Mohammad Basofi Soedirman. Gubernur Jawa Timur yang dalam dua tahun ini terlibat dalam kemelut dualisme kepemimpinan PDI Jawa Timur itu memang dikenal sebagai tokoh yang memiliki banyak predikat. Selain sebagai orang nomor satu di Jawa Timur, bekas Ketua DPD Golkar DKI Jakarta yang berusia 55 tahun itu juga dikenal sebagai seniman, kolumnis, dan penyanyi dangdut. Lagunya, Tidak Semua Laki-laki, sempat meledak di pasaran. Bagaimana pendapat Basofi tentang perkembangan musik dangdut dewasa ini? Berikut petikan wawancaranya dengan Saiful Anam dari Gatra.

Sejak kapan Anda menyukai musik dangdut?

Sejak usia remaja saya senang musik dangdut. Saya ndak tahu mengapa saya lebih menyukai musik dangdut dibanding dengan yang lain. Saya dulu hafal nama-nama penyanyi dangdut, seperti Kadir dari Surabaya. Hanya, saya dulu tidak pernah manggung, ya hanya suka saja. Sampai sekarang saya tetap suka.

Bagaimana ceritanya sampai Anda rekaman Tidak Semua Laki-laki?

Oh, itu ketika saya masih di Jakarta. Waktu itu saya menjadi Wakil Gubernur DKI, sekaligus Ketua DPD Golkar DKI. Pada suatu hari, kalau tidak salah tahun 1991, ada acara pertemuan anggota koperasi angkutan kota di Terminal Pulogadung. Yang datang banyak sekali. Kebetulan waktu itu ada hiburannya, ya musik dangdut. Yang akan hadir dalam acara itu adalah Pak Azwar Anas (waktu itu menjabat Menhub, sekarang Menko Kesra). Tetapi Pak Azwar datang agak terlambat. Karena ditunggu cukup lama Pak Azwar belum datang juga, banyak peserta yang akan pulang. Lalu saya memberanikan diri tampil ke panggung, menghibur para peserta itu. Tujuan saya sebenarnya untuk mencegah supaya orang-orang itu tidak pulang dan mau menunggu Pak Azwar.

Ketika saya menyanyikan satu lagu, ternyata massa antusias sekali. Mereka minta saya menyanyi lagi. Setelah saya nyanyi sampai lima lagu, saya lupa judulnya apa saja, batu Pak Azwar datang. Ketika saya nyanyi dan Pak Azwar belum datang, saya risau juga. Kalau nyanyi terus bisa kehabisan lagu. Untung Pak Azwar akhirnya datang. Ketika saya menyanyi itulah, saya baru sadar kalau saya punya potensi. Saya sadar kalau suara saya ternyata cukup enak. Kemudian ada yang menawari saya rekaman, ya saya coba. Ternyata sambutan masyarakat besar juga.

Lagu Tidak Semua Laki-laki sukses di pasaran. Berapa honor yang Anda terima?

Saya senang lagu tersebut mendapat sambutan dari masyarakat luas. Soal honor, saya tidak pernah terima kok. Memang itu ada hitungannya. Saya dapat juga royalti dari lagu itu dan cukup besar juga lho. Kalau tidak salah, Rp 400-500 juta. Tapi uang tersebut langsung ada yang menangani dan disumbangkan kepada orang-orang yang berhak, seperti fakir miskin, panti asuhan, dan lain-lain. Jadi uang itu tidak pernah saya terima.

Bagaimana Anda melihat perkembangan musik dangdut dewasa ini?

Saya lihat sangat mengagumkan. Saya ikut senang juga. Sebenarnya sejak dulu sudah banyak kok penggemar musik dangdut itu, hanya masyarakat umumnya malu-malu untuk menunjukkan. Dulu restoran-restoran, hotel, atau tempat-tempat hiburan mana mau membunyikan lagu-lagu dangdut? Ndak ada yang mau. Mereka tampak sinis dengan musik dangdut. Tapi sekarang, musik dangdut sudah menjadi milik masyarakat. Bahkan banyak pejabat sekarang yang menyukai musik dangdut. Ada yang terang-terangan seperti Pak Moerdiono, atau yang diam-diam. Saya lihat di daerah-daerah, bupati-bupati juga banyak yang suka dangdut. Selain itu musik dangdut telah membawa rezeki tersendiri bagi penyanyi, panitia pertunjukan, penjual kaset, dan lain-lain. Kita lihat banyak penyanyi dangdut yang sekarang hidupnya makmur.

Apakah musik dangdut juga memiliki makna secara sosial politis?

Ya, jelas itu. Jadi selain dapat meningkatkan sumber pendapatan, musik dangdut juga memiliki makna sosial dan politik. Dilihat dari aspek sosial, musik dangdut ini dapat menjadi perekat ikatan massa. Dapat meningkatkan hubungan sosial berbagai kelompok masyarakat. Makna politisnya, musik dangdut itu merupakan salah satu mediator bagi seseorang kalau ingin membangun dukungan politis dari penggemar dangdut. Itu salah satu saja. Tentu banyak cara yang lain. Selain itu, tidak kalah pentingnya, musik dangdut itu dapat berfungsi sebagai peredam massa yang bergejolak. Dulu, tahun 1970-an, ketika musik rock masih jaya, massa yang menonton kan sering bertindak beringas. Sekarang, kita lihat berbagai pertunjukan dangdut yang dihadiri ratusan ribu orang, massa bisa menikmatinya dengan tertib.

Ketika Anda mulai manggung sebagai penyanyi dangdut, Anda sadar bahwa hal itu berpengaruh pada perolehan suara Golkar?

Ya. Itu salah satu bukti politisnya. Perolehan suara Golkar di sana benar-benar luar biasa kan.

Ada rencana rekaman lagi?

Keinginan sih ada. Tapi, ya nanti dululah. Sekarang ini saya bahkan ditawari untuk kidungan (menyanyikan lagu-lagu khas Jawa Timur-an yang diiringi gamelan yang diiringi gamelan, yang biasa dipakai dalam ludruk). Tapi, nanti dululah. Kalau saya manggung terus-terusan, bisa gempar. Ha, ha, ha.


Laporan terkait:


Forum BEBAS tentang artikel di atas. Semua komentar tidak dimoderasi.

comments powered by Disqus

Website ini milik pribadi Ahmad Abdul Haq. Didukung oleh Wikiapbn.