Agama Adalah Jalan Hidup, Bukan Alat Penguasaan - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara,
20/02/2005

Achmad Chodjim: Agama Adalah Jalan Hidup, Bukan Alat Penguasaan

Oleh Redaksi

Tak selamanya Islam dapat berkembang menjadi basis moral yang menuntun umatnya ke arah hidup yang lebih baik. Islam dan agama apapun, ada kalanya justru berkembang sebagai identitas sektarian, serta alat kekuasaan dan penaklukan atas otonomi dan kebebasan masyarakat. Tren seperti itu selalu terjadi, baik di masa Siti Jenar maupun di era sekarang. Itulah antara lain refleksi keagamaan Achmad Chodjim, pegawai sebuah perusahaan Jepang di Jakarta, yang telah banyak menulis buku tentang aspek-aspek esoteris dalam Islam.

Catatan:
Rubrik Kajian di Jawa Pos sejak 11 Februari 2005 dimuat setiap hari Jumat


Tak selamanya Islam dapat berkembang menjadi basis moral yang menuntun umatnya ke arah hidup yang lebih baik. Islam dan agama apapun, ada kalanya justru berkembang sebagai identitas sektarian, serta alat kekuasaan dan penaklukan atas otonomi dan kebebasan masyarakat. Tren seperti itu selalu terjadi, baik di masa Siti Jenar maupun di era sekarang. Itulah antara lain refleksi keagamaan Achmad Chodjim, pegawai sebuah perusahaan Jepang di Jakarta, yang telah banyak menulis buku tentang aspek-aspek esoteris dalam Islam. Kepada Ulil Abshar-Abdalla dari KIUK, lulusan IPB yang telah menulis buku Syekh Siti Jenar, Islam Esoteris, dan Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga, itu mengungkap pergulatan imannya, Kamis (10/02) kamarin. Berikut petikannya.

ULIL ABSHAR-ABDALLA: Pak Chodjim, Anda telah mengarang beberapa buku agama, terutama aspek-aspek yang esoterik Islam. Mengapa Anda tertarik pada aspek-aspek yang bersifat mistikal atau esoteris dalam agama?

ACHMAD CHODJIM: Sejauh pengamatan saya, ada pemahaman yang keliru selama ini tentang kaitan antara unsur yang mistis atau makrifat dalam agama dengan kehidupan nyata. Ketika orang menceburkan diri ke dalam khazanah mistik, seolah-olah dia akan menjadi orang terasing, hidup di awang-awang, dan memisahkan diri dari hidup yang ramai. Maka saya lalu coba mencari tokoh yang sangat intens bergaul dengan manusia lain, sekaligus seorang mistikus. Di situlah saya berjumpa dengan sosok Syeh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga. Kebetulan, kedua tokoh itu asli Indonesia, dari tanah Jawa, dan akrab dengan budaya lokal.

ULIL: Mengapa memilih Siti Jenar, sosok kontroversial yang oleh Walisongo dianggap penyebar aliran sesat, kurang tepat, dan tuduhan lainnya?

CHODJIM: Saya menyadari, selama masa Orde Baru, orang Indonesia sangat alergi mendengar nama Siti Jenar. Belum-belum sudah muncul statement bahwa dia adalah wali yang sesat, melawan arus, mbalelo, dan seterusnya. Bagi saya, situasi semacam itu tidak bisa kita biarkan. Kita harus mampu mendidik masyarakat secara terbuka. Kalau Siti Jenar dianggap sesat, kita mesti tahu di mana letak sesatnya. Mungkin saja dia justru orang yang berusaha membuka cakrawala kehidupan secara lebih luas. Hanya karena sudah ada capsesat yang tergesa-gesa, orang tidak pernah mengenal pola atau alam pikirannya secara tepat.

Bagi saya, selama ini kita lebih banyak “mendengar” dari pada “tahu” tentang Siti Jenar ataupun Sunan Kalijaga. Kita mendengar cerita sana-sini, tapi sebenarnya tidak tahu. Banyak juga yang menulis buku tentang Siti Jenar selama ini, tapi umumnya yang ditulis hanya berupa kisah, hanya cerita-cerita. Sementara soal doktrinnya hampir tidak ada yang mau membahasnya. Selama ini, orang mengenal Sunan Kalijaga sangat intens bergumul dengan kebudayaan, tapi orang tidak pernah tahu reasoning-nya atau alasan mengapa dia intens bergulat dengan budaya.

ULIL: Sejak kapan Anda menaruh perhatian terhadap tokoh-tokoh seperti Siti Jenar dan Sunan Kalijaga?

CHODJIM: Dimulai ketika masih kecil. Bagi saya yang terlahir sebagai orang Jawa Timur, tepatnya Surabaya, cerita-cerita tentang Sunan Kalijaga, Sunan Ampel, dan lainnya, sudah sangat akrab sejak saya masih kecil. Saya dulu sering nonton ludruk maupun ketoprak. Dan di situ pasti ada lakon tentang Siti Jenar. Nah, melalui refleksi pengalaman hidup sendiri, saya kemudian mulai bertanya: mengapa cuma cerita-cerita saja? Apa betul cerita itu sebagaimana adanya? Jangan-jangan cerita-cerita itu tidak ada juntrungannya?!

ULIL: Bagi Anda, apa ajaran Siti Jenar yang masih relevan untuk saat ini dan jarang dikenal banyak orang khususnya dalam soal agama dan makna keberagamaan?

CHODJIM: Makna agama dalam refleksi hidup Siti Jenar tidak begitu terkait dengan soal-soal seperti ibadah murni. Misalnya, dia menerjemahkan makna salat sebagai “kewajiban orang muslim dalam konteks hubungannya dengan Tuhan.” Namun demikian, seseorang sudah bisa dianggap salat bila aktivitas hidupnya (seperti bertani atau apapun) selalu dilandasi oleh rasa ingat akan Tuhan.

ULIL: Semacam eling, begitu?

CHODJIM: Ya. Tapi eling itu sekadar kepercayaan. Yang diinginkan Siti Jenar, semua tindakan real kita antar sesama manusia, harus merupakan wujud dari refleksi keimanan kepada Tuhan. Siti Jenar juga beda dalam menerjemahkan makna zakat. Menurutnya, zakat tidak harus fokus pada pengeluaran 2,5 % dari harta yang kita punya. Ketika seseorang merasa punya harta dan menemukan orang yang patut dibantu, maka dia harus segera keluarkan sebagian hartanya. Itulah yang dia sebut zakat. Jadi, zakat baginya tidak bergantung pada waktu (setahun sekali atau haul) dan jumlah (volume yang mesti dikeluarkan sebagaimana ketentuan formal fikih).

ULIL: Kalau Anda ringkaskan, apa pokok soal yang membedakan pandangan keagamaan Siti Jenar dengan umumnya umat Islam?

CHODJIM: Kalau kita giat menelaah pandangan-pandangan keagamaan Siti Jenar dan Sunan Kalijaga, kita akan menemukan bahwa agama bagi mereka merupakan basis moral kehidupan. Untuk itu, tingkah laku, perbuatan dan tindakan seseorang, baik untuk dirinya sendiri maupun lingkungannya, haruslah merupakan perwujudan dari penghayatan keagamaan. Sementara umumnya masyarakat selalu menganggap agama dalam bingkai tersendiri. Makanya, kadang kita melihat masjid penuh terisi, tapi korupsi tetap bersemi. Masjid penuh terisi, pencuri bisa lari di mana-mana. Nah, kondisi seperti itulah yang tidak dikehendaki Siti Jenar maupun Sunan Kalijaga.

ULIL: Pak Chodjim, Anda pernah mengecap pendidikan di IPB, bukan di perguruan tinggi agama. Mengapa Anda punya minat dan perhatian begitu besar terhadap masalah agama?

CHODJIM: Memang agak aneh, karena di IPB saya belajar pertanian. Kita tahu, bukan hanya di IPB, tapi di semua universitas–terutama yang memiliki fakultas sains—soal agama bukan perhatian utama. Namun dalam perkembangannya, banyak sekali kalangan agamawan yang begitu intensif berusaha menerobos fakultas-fakultas ini. Makanya, ada orang yang terbawa arus besar islamisasi kampus, dan ada juga yang justru prihatin akan arus besar itu. Terus terang, saya termasuk yang prihatin akan arus besar itu. Makanya, dengan jernih saya selalu berusaha membedakan antara bagaimana mestinya beragama, dan bagaimana belajar untuk mendapat ilmu yang saya tuju. Jadi saya tidak terbawa arus.

ULIL: Apakah minat Anda pada kajian agama berkembang selama di IPB?

CHODJIM: Selama di IPB, saya lebih memfokuskan diri untuk belajar ilmu pertanian. Prinsip itu tentu sudah absolut. Hanya saja, supaya tidak ketinggalan isu, waktu-waktu senggang saya gunakan untuk menelaah kembali cerita-cerita tentang Siti Jenar dan lainnya. Buku-buku babad yang selama ini asing, saya beli dan pelajari. Jadi saya mempelajari dua tokoh itu secara otodidak dan mencari sendiri bahan-bahannya.

ULIL: Pak Chodjim, kini kegiatan agama di kampus-kampus sekuler marak sekali. Bagaimana Anda melihat gejala ini menurut wawasan Islam yang esoteris Siti Jenar?

CHODJIM: Bagi saya, dalam hidup ini kita tidak pernah bisa lepas dari tren yang terjadi di dalam masyarakat. Ketika saya masuk IPB sekitar tahun 1980-an, tren Usrah cukup menguat, meski belum sampai seperti tahun 1990-an. Hanya saja, pada masa itu mereka belum bisa melakukan kooptasi seperti yang bisa kita lihat sekarang ini. Makanya, dalam pergaulan sehari-hari di kampus, friksi-friksi belum terlalu timbul meski perbedaan pandangan tetap ada. Konflik juga belum timbul, sekalipun potensinya ada. Potensinya disebut ada, karena masing-masing orang selalu ingin mempertahankan kebenaran versinya sendiri. Padahal, kita mestinya bisa membedakan antara kebenaran di tingkat intelektual dan kebenaran di tingkat realitas. Jangan sampai kebenaran di tingkat intelektual mematikan kebenaran pada tingkat realitas. Umpamanya, orang yang berpandangan A benar, pada tingkat realitas mungkin belum tentu nyata. Tapi kebenaran intelektual itu kemudian dipaksakan untuk benar juga pada tingkat realitas. Akhirnya terjadilah kekerasan yang tidak kita inginkan.

ULIL: Dari sudut padang Islam esoteris, apa yang kurang tepat dari pandangan keagamaan yang berkembang di kampus-kampus sekuler saat itu?

CHODJIM: Pada masa itu, saya menyaksikan agama yang dikampanyekan tidak sebagai basis moral kehidupan, tapi lebih bernuansa politis. Berdirinya Usrah waktu itu menurut saya tidak bisa dilepaskan dari jangkauan-jangkauan politis dan kekuasaan. Maksudnya, berdirinya mereka sebetulnya lebih bertujuan politik ketimbang semata-mata untuk tujuan agama. Mungkin karena itulah mereka lebih mudah berfriksi dengan kelompok-kelompok lain.

ULIL: Kalau dikaitkan dengan pemikiran Siti Jenar, bagaimana Anda melihat pola keberagamaan di kampus-kampus kini?

CHODJIM: Dari hasil pengamatan saya, Siti Jenar lebih menekankan pola kehidupan keagamaan yang lebih bernuansa merdeka. Dia tidak ingin dikuasai orang lain dan terus menerus menyerukan agar orang lain juga tidak berambisi menguasai orang lain. Makanya dia berontak terhadap kekuasaan Demak di masanya, karena dia tidak mau mengikuti satu pakem tertentu, baik dalam beragama ataupun pola kekuasaan. Bagi Siti Jenar, agama merupakan jalan hidup, bukan alat kekuasaan dan penguasaan. Agama baginya menuntut orang untuk menjalani hidup yang benar dan bahagia. Kalau kita telaah lebih jauh, banyak sekali ajaran-ajaran Siti Jenar yang menyinggung soal hak dan kemandirian manusia.

ULIL: Apakah Siti Jenar juga punya pandangan keagamaan yang menekankan soal kemerdekaan manusia?

CHODJIM: Ya. Bahkan pandangannya dalam soal itu bisa dikatakan jauh melompat ke depan. Soal hak kemandirian ada dalam pelajaran Siti Jenar tentang pribadi. Ajarannya tentang pribadi, dalam ukuran zaman sekarang hampir sama dengan ajaran filsafat eksistensialis. Padahal, filsafat eksistensialis masa kini justru digunakan untuk wacana bantahan atas filsafat rasionalis zaman Kant, atau filsafat Kantian dan Cartesian.

Siti Jenar juga mengajarkan manusia untuk hidup secara nyata, tidak di dalam ilusi. Makanya Siti Jenar pernah melontarkan kritik yang lebih kurang berbunyi: “Jangan-jangan pikiran Anda hanyalah buah dari ilusi Anda pribadi, bukan betul-betul buah dari rasa ingat pada Tuhan!”

ULIL: Kenapa dia melontarkan kritik seperti itu?

CHODJIM: Karena banyak sekali orang yang pada masa itu, di awal perkembangan Islam di bawah kekuasaan Raden Fatah, yang sangat intensif melakukan zikir di masjid-masjid sebagai wujud dari angan-angan atau ilusi dalam kehidupan. Itu semua tidak terkait dengan praktik nyata kehidupan, seperti bagaimana usaha untuk bisa hidup lebih mandiri. Nah, yang diinginkan Siti Jenar adalah: orang boleh berzikir, tetapi tidak semata-mata karena itu dianjurkan di bawah otoritas tertentu dan karena orang beragama dituntut untuk begini dan begitu.

Zikir yang diinginkan Siti Jenar adalah yang membuat orang bisa hidup dengan benar. Jadi dia selalu mengaitkannya dengan hidup secara benar. Bagi Siti Jenar, sungguh suatu nista bila seseorang terlihat bersembahyang dan berdzikir, tapi masih mencuri, memaksa, dan berhasrat tinggi untuk menguasai orang lain. Saya kita, ajaran seperti itu cukup relevan dengan kehidupan keagamaan kita saat ini. Sebab kini, kita menyaksikan agama cenderung digunakan sebagai alat politik untuk menguasai orang lain, atau untuk memaksakan kebenaran sendiri-sendiri.[]

20/02/2005 | Wawancara, | #

Komentar

Komentar Masuk (9)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Wah semua menarik perhatian saya untuk memberikan sedikit pandangan, tapi mohon maaf bila kurang berkenan dan tidak ada maksud saya untuk yang negative. Saya telah membaca beberapa karya tulis BpAchmad Chojim dan saya merasakan di masasekarang ini banyak memang umat yg sudah tidak sesuai dengan perilaku yg dicontohkan para Nabi/rasul, bahkan mulai dari pejabat,ulama yg seharusnya jadi panutan eh.. malah jadi edan. Coba kita ambil contoh Harun Al-Rashd sebagai seorang pimpinan yg merakyat dan memang melayani rakyak sesuai dengan apa yg dicontohkan Nabi/Rasul.Jadi kesimpulan saya bahwa sosok Syekh Siti Jenar merupakan suri tauladan yg nyata pada masa itu dan kenapa kita tidak mengambil hikmah dari kenyataan yg ada dan ternyata sampai saat ini kita merasakan bahwa dalam beragama (sesama pemeluk agama)saling hujat,aniaya dan bunuh. Itu semua tak lain akibat Ego yg dimunculkan yg dibungkus agama dan kekuasaan. Mohon maaf

Posted by SIGIT  on  11/05  at  10:09 AM

Menarik semua pendapat tentang ber-Islam harusnya bagaimana? Mengingat Islam sangat berwarna, tergantung dimana Islam tersebut berkembang dan tumbuh. Kadang Islam yang muncul mempengaruhi atau dipengaruhi cara hidup masyarakat diwilayah tersebut. Manusia itu dasarnya berpolitik, jadi islam macam apapun akan berpolitik. Maksud saya begini, apapun islam yang ada di Indonesia, bisakah mengutamakan perjuangan membabat habis (crackdown) penyakit akut seperti korupsi, nepotisme, diskriminasi semua aspek? Tanpa menuding islam yang lain benar atau salah. Bisakah kita satu suara dan melakukan action yang konkret yang mudah dibaca orang Islam awam seperti yang dicontohkan Walisongo atau Shek Siti Jenar. Yang dilawan adalah awan hitam!
——-

Posted by Edi Pratomo  on  01/09  at  03:01 PM

Mengomentari Bang Aminuddin ttg islam kaafah, gimana nih? menyerukan islam kaffah tapi dari sydney, di pimpin bule, mungkin makannya dari duit orang kafir dan menikmati jalan yg mungkin di bikin melalui pajak yg didapat dari kompleks pelacuran king cross dan pake internet pula. Jadi yg kaafah yg kayak gimana? kalo di sini yg kaffah maunya kembali ke jaman nabi, sikat gigi pake siwak, naek onta dll.

Posted by Abdul Somad  on  03/09  at  02:03 AM

Bismillahirahmanirrahim

Saya melihat (mungkin) wacana yang ditawarkan tulisan ini dari perspektif yang berbeda. Saya melihat motif yang mendasari wacana ini adalah adanya keinginan untuk menegaskan salah arahnya arus Islamisasi kampus selama ini yang bersifat (meminjam kata mas Chodim) politis.  Dalam pandangan saya, Islam politis adalah wajah islam yang sebenarnya. Islam adalah sebuah ideologi, maka untuk mencapai maksud dan tujuannya, harus menempuh jalan politis. Istilah politis sebenarnya adalah cap yang kita berikan saja, tapi sesungguhnya ajaran Islam yang kaafah secara inherent telah menunjukkan bahwa Islam itu bukan hanya agama ritual saja, namun merupakan jalan hidup yang menyeluruh.

Posted by aminuddin  on  02/27  at  12:03 PM

Selama ini agama sepertinya hanya menjadi sekedar ritual yangt kesadaran atas kebenarannya hanya mengawang-awang diatas saja. Kemudian di legitimasikan dengan teologi amal=surga, ibadah tersebut sepertinya benar-benar mereduksi kemanusiaan kita, atau bahasa lainnya mengalienasi kita.

Karl Marx, menganggap Agama adalah candu, mengapa? Dalam konteksnya saat itu agama digunakan sebagai pengesahan status quo yang dapat mematikan tekanan-tekanan dari arah rakyat.

Sebab jikalau kita hanya memahami agama sedasar sikap fatalis maka tentunya kita menyediakan diri kita unutk dikuasai oleh orang yang dianggap menguasai agama.

Pemahaman akan filosofi Islam Siti Jenar akan menghantarkan kita kepada kemanusiaan yang sejati. Heran juga ya, orang yang hidup di beberapa abad yang lalu pemikirannya bisa melampui ruang-ruang tabu pemikiran yang banyak memenjara orang jaman sekarang, bahkan mencapai ranah filsafat barat pada saat itu.

Salut

Posted by Geger RIyanto  on  02/24  at  06:03 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq