Agama Bukan Pedoman Mati - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Editorial
11/10/2004

Agama Bukan Pedoman Mati

Oleh Hamid Basyaib

DUA santri berjalan kaki menuju pesantren mereka sehabis libur panjang. Tiba di pinggir sungai, mereka mendapati seorang gadis muda yang bingung. Ia tak berani menyeberangi sungai yang cukup deras. Ia minta si santri senior agar bersedia menggendongnya untuk menyeberang. Yang dimintai tolong menolehkan wajah, pura-pura tak mendengar, dan menyeberang sendirian. Tanpa diminta, santri junior membopong gadis itu, dan menyeberangkannya sampai di tepi utara sungai.

DUA santri berjalan kaki menuju pesantren mereka sehabis libur panjang. Tiba di pinggir sungai, mereka mendapati seorang gadis muda yang bingung. Ia tak berani menyeberangi sungai yang cukup deras. Ia minta si santri senior agar bersedia menggendongnya untuk menyeberang. Yang dimintai tolong menolehkan wajah, pura-pura tak mendengar, dan menyeberang sendirian. Tanpa diminta, santri junior membopong gadis itu, dan menyeberangkannya sampai di tepi utara sungai.

Kedua santri pun melanjutkan perjalanan. Menjelang tiba di gerbang pesantren, santri senior bertanya dengan tegang, “Kenapa kau bopong perempuan yang bukan muhrimmu tadi? Bukankah kiai kita dan kitab-kitab mengajarkan supaya kita tidak bersentuhan dengan perempuan bukan muhrim?”

Santri junior berhenti melangkah dan menyahut, “Rupanya kau masih menggendong perempuan itu? Saya sudah meninggalkannya di tepi sungai tadi...” Si santri senior menganggap ajaran agama adalah harga mati yang berlaku di segala tempat, di semua situasi, tanpa kompromi. Dia tidak sudi menolong orang yang sangat membutuhkan sekalipun, sepanjang pertolongan itu ia pandang melanggar harga mati tersebut. Dia pun risau memikirkan perbuatan saudaranya yang ia anggap sebagai dosa.

Santri junior memperlakukan agama sebagai pedoman hidup yang kontekstual, yang penerapannya harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Ringkasnya: agama harus sejalan dengan kemanusiaan dan perkembangan sejarah umat manusia. Alasannya sederhana: agama adalah untuk manusia. Bukan sebaliknya.

Dan justru dengan begitu barulah agama layak disebut sebagai pedoman hidup, bukan “pedoman mati” atau belenggu jiwa. Ia menerima ajaran elementer bahwa “menyentuh” nonmuhrim secara umum tak dianjurkan, tapi di hadapannya ada perempuan muda gemetar, yang butuh bantuan untuk bisa menyeberangi sungai. Akalnya dengan mudah memutuskan: ajaran agama yang spesifik itu harus ditunda. Ada kepentingan lebih besar dan urgen yang butuh bantuannya. Setelah merampungkan tugas kemanusiaan itu, ia kembali mengerjakan hal-hal lain tanpa beban apapun.

Dan dengan cara itu ia menepiskan ajaran spesifik agama demi mengamalkan ajaran umumnya: berbuat baik kepada sesama, membantu orang yang membutuhkan. Si santri senior sebaliknya. Sudah tak berbuat apa-apa untuk menolong orang, padahal dia sangat mampu untuk itu, pikirannya tentang apa yang dipandangnya sebagai dosa terus mencekam dirinya.

Ada peristiwa dramatis dalam kisah nyata karena kasus menerjemahkan agama sebagai “pedoman mati” itu. Para ulama petugas di sebuah sekolah putri di Arab Saudi persis si santri senior - malah jauh lebih buruk. Sekolah yang mereka jaga terbakar, murid-murid berusaha menyelamatkan diri tapi dihalangi dan digiring kembali masuk ruangan karena gadis-gadis itu dinilai berbusana tak layak. Petugas kebakaran yang datang untuk menolong pun dirintangi dengan alasan serupa: lelaki nonmuhrim diharamkan, bahkan sekadar untuk melihat perempuan nonmuhrim dalam keadaan tak berjilbab dan bercadar. Puluhan murid itu pun mati terpanggang. Betapa mahalnya harga agama yang dianut sebagai “pedoman mati”, bukan pedoman hidup. (Hamid Basyaib)

11/10/2004 | Editorial | #

Komentar

Komentar Masuk (24)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Assalamualaikum.Wr.Wb. membaca artikel saudara sangat menarik.Betul agama bukan pedoman mati tapi pedoman hidup, sebab ketika orang mengenal agama dengan kafah tidak sepotong-potong kemudian mengamalkannya dengan tidak melihat ruang dan waktu maka akan menemukan jalan hidup yang sakinah wa rohmah dan mati itu tidak memerlukan pedoman karena itu urusan Allah SWT. Tetapi ketika orang itu hidup dan ingat akan mati maka perlu menyiapkan diri dengan memedomani aturan agama sebab “walal akhiratu khaerulaka minal ula” Wassalamuakailum Wr.Wb.
-----

Posted by kadir  on  03/26  at  08:04 PM

Bias memang, sama halnya ketika kita sedang berada pada sebuah kendaraan, tiba-tiba saja ada yang menyodorkan tangan untuk meminta sedekah, ketika itu kita berpikir seandainya kita memberikan kepada mereka apakah ini sebagai sebuah ketulusan, atau kita malah berpikir dengan memberikannya kepada mereka justru mendidik mereka untuk tetap berlaku demikian, saya berharap bahwa judgment kepada mereka yang memberi atau tidak memberi tidak dapat kita jatuhkan dengan melihat fenomena tersebut, kemudian kita kaitkan perilaku mana yang terbaik, menurut pedoman agama yang telah kita serap selama ini.

Posted by indra DJUMNA  on  10/27  at  10:11 AM

Setiap kasus yang terjadi dalam sejarah manusia selalu mempertemukan antara nilai, aturan (sebagai m akhluk beragama), kebijaksanaan dan tindakan yang berkumpul menjadi solusi. Ketidakbijaksanaan manusia yang anda tokohkan dalam “kasus anda” tadi tidak bisa menjadi premis untuk membuat pernyataan tentang ATURAN MATI sebuah peraturan Tuhan.

mungkin sebelum mempublikasikan sebuah pemikiran, ada baiknya kita melakukan penelitian yang terukur, pengkajian yang mendalam dan analisa serta pembahasan yang holistik. by the way, tulisan ini hanya akan menjadi lecutan agar manusia (yang membacanya) terus belajar menjadi DEWASA dan BIJAKSANA dalam menunaikan tugasnya sebagai abdillah.

Posted by maria  on  10/25  at  08:11 AM

yang jadi masalah dalam tulisan ini bukanlah masalah dua orang santri dan seorang wanita yang butuh pertolongan, tetapi apa yang dituliskan oleh penulis dalam memberikan contoh pengamalan sebuah ajaran agama oleh santri senior.

masa sih santri senior gak tahu. masalah muhrim & bukan muhrim sampai segitunya. islam itu rahmatan lil ‘alamin. jelas kalimat ini sudah dijabarkan dan ditanamkan oleh guru2 di pesantren.

rahmatan lil alamin membawa kebaikan untuk semua.

kisah tentang sekolah di arab saudi penulis tidak mempunyai referensi dalam tulisannya, jadi kesimpulan saya penulis bisa aja membuat-buat.

Posted by denny  on  10/25  at  05:10 AM

karena agama islam murni turunnya dari allah yang menjadi faktanya adalah alqur’an mulkarim tidak akan dapat di ubah isinya sampai hari kiamat. islam fundamentalis adalah salah satu jaringan agama yang menjadi saingan barat dalam memasukkan doktrin-doktrin pengaburan syariat islam. yang menjadi budak barat adalah jaringan islam liberal yang tidak mengakui hukum allah karena salah dalam menuntut ilmu walaupun titelnya tinggi tapi titel itu didapat dari negara mana? jadi pada intinya agama islam itu adalah pedoman mati bagi umat manusia .jadi yang mengatakan agama bukan pedoman mati adalah orang islam sekuler/JIL yang menjadi musuh umat islam.asalamu’alaikum.

Posted by Abdul  on  10/23  at  01:10 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq