Akulturasi Budaya: Jalan Pembentukan Hukum Islam - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Diskusi
02/08/2006

Diskusi di Malang Akulturasi Budaya: Jalan Pembentukan Hukum Islam

Oleh AN. Muhith Elfath

Sejak zaman Rasulullah, ijtihad telah dilakukan oleh para sahabat. Sebagai contoh adalah kasus dari sahabat Muadz bin Jabal ketika hendak diutus Nabi ke Yaman. Begitu juga sahabat Umar yang tidak melaksanakan hukum potong tangan sebagai sanksi pencurian meskipun dalam Alquran sudah jelas ayatnya.

“Umat Islam yang hidup di dunia, khusunya Indonesia, belum menemukan konsep baku tentang hukum Islam. Akan tetapi sebagian besar konsep hukum Islam sangat fleksibel, meski ada beberapa yang harus ketat. Konsep ulama’ yang sangat masyhur, Taghayyur al-Hukm bi Taghayyur al-Amkinah wa al-Azminah wa al-Ahwal, menunjukkan bahwa perubahan hukum adalah sebuah keniscayaan, karena hukum selalu berputar, bergerak sesuai dengan tempat, zaman dan situasi atau kondisi di mana umat Islam berada. Karena itu Islam berkembang sesuai dengan tabiat lokal yang mengitarinya. Fitrah Islam sebagai agama rahmatan lil alamin tidak bisa disamaratakan pada semua Negara.”

Demikian pernyataan Sudirman, salah seorang dosen Universitas Islam Negeri Malang, dalam diskusi yang digelar oleh Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Syariah UIN Malang, 06/05/’06 lalu. Diskusi dengan tema “Akulturasi Budaya: Jalan Pembentukan Hukum Islam”,
selain menghadirkan Sudirman dari Nahdlatul Ulama sebagai pembicara juga menghadirkan Ahmad Chodjim dari Jaringan Islam Liberal, Jakarta.

Lebih lanjut Sudirman menyatakan bahwa hukum Islam tidak selalu menawarkan satu konsep baku yang kaku. “Hukum Islam selalu bergerak mengikuti dari perkembangan zaman”, jelasnya. “Oleh karenanya Islam tidak menafikan bahwa ijtihad sebagai sebuah solusi yang ditawarkan dalam pembentukan hukum Islam.” “Hingga kini pintu Ijtihad
selalu terbuka bagi umat Islam dalam menggapai misinya sebagai agama rahmatan lil alamin dan masih relevan untuk dilakukan pada zaman sekarang”, ucap dosen UIN Malang ini tegas.

Sejak zaman Rasulullah, ijtihad telah dilakukan oleh para sahabat. Sebagai contoh adalah kasus dari sahabat Muadz bin Jabal ketika hendak diutus Nabi ke Yaman. Begitu juga sahabat Umar yang tidak melaksanakan hukum potong tangan sebagai sanksi pencurian meskipun dalam Alquran sudah jelas ayatnya. Karena Umar mencoba memahami situasi dan kondisi yang terjadi pada waktu itu.

Diskusi yang bertempat di masjid Al-tarbiyah Universitas Islam Negeri Malang itu kian menarik ketika sesi dialog dibuka, Adi dan Mangun dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), mengemukanakan pendapatnya tentang konsep yang dirumuskan oleh ulama. Menurutnya, konsep tersebut bukanlah sebuah kesepakatan para ulama, melainkan hanyalah pendapat beberapa orang saja. Tapi kemudian dijadikan sebuah landasan oleh orang-orang liberal dalam memecah belah umat Islam. Menurut aktivis HTI ini, hukum Islam itu sudah tetap dan hanya bersandar pada Alquran dan hadits. Mereka menolak budaya sebagai salah satu unsur dalam pembentukan hukum Islam. Mereka juga menolak bahwa pintu ijtihad masih terbuka hingga sekarang. “Pada zaman sekarang tidak ada orang yang mampu untuk berijitihad”, tandasnya “Ijtihad itu hanya boleh dilakukan oleh orang-orang yang mumpuni pengetahuannya”.

Tetapi pendapat aktivis HTI tersebut buru-buru ditolak oleh Ahmad Chojim, wakil Jaringan Islam Liberal. Menurut Chojim, budaya adalah unsur dasar bagi manusia. Budaya memiliki tiga lapisan, yaitu: nilai-nilai dasar yang bisa dipertahankan, perilaku-perilaku yang terdiri dari ritual, simbol-simbol, dan artefak yang berisi ilmu pengetahuan yang bisa diserap. “Bangsa yang besar selalu menerima budaya, karena budaya adalah nilai dasar hidup”, tegasnya. “Semakin terbuka suatu komunitas, semakin mudah mereka mengalami akulturasi budaya.” “Namun dalam akulturasi budaya, nilai-nilai dasar (basic value) tetap harus dipertahankan. Biasanya sentuhan budaya luar hanya pada lapisan norma dan lapisan artefak saja.”

Begitu juga dengan penyatuan antara hukum Islam dengan budaya lokal setempat. Tujuannya adalah agar bisa mudah diterima dengan terbuka tanpa mengorbankan nilai-nilai dasar budayanya. Hal itu telah dilakukan oleh para walisongo dalam menyebarkan agama Islam di Jawa. Para wali itu berusaha menyampaikan ajaran agama dengan menggunakan budaya lokal. Sehingga Islam yang ada di Jawa mempunyai corak yang unik dan berbeda dengan Islam yang di Arab. Meski demikian, bukan berarti nilai-nilai dasar Islam itu telah hilang dari keislaman orang Jawa. Yang terjadi justru sebaliknya. Praktek-praktek ritual kerap kali dilakukan oleh masyarakat Jawa. Sebagai contoh peringatan pada tanggal 1 Muharram yang diperingati dengan berbagai cara. Akan tetapi hal itu tidaklah memengaruhi nilai-nilai subtantif dari ajaran Islam sendiri.

Sebuah peraturan Hukum Islam tidaklah terlepas dari nilai-nilai konsktektual peradaban. Hukum-hukum yang berbeda tidak harus dilarang. Karena ijtihad sendiri merupakan upaya berpikir keras terhadap kehidupan keagamaan kita. Menurut Chodjim ijtihad terdiri dari beberapa tahapan. Pertama, adalah jihad yang merupakan upaya fisik membangun hukum Islam. Kedua, ijtihad, yakni memilih suatu jalan dengan benar dalam membentuk hukum Islam tersebut. Ketiga, mujahadah, yaitu upaya mendekatkan diri pada Tuhan secara personal dan secara social. Pendapat ini juga diamini oleh Sudirman. Menurut alumni pasca sarjana UIN Jakarta ini perbedaan pendapat dalam menentukan sebuah hukum menjadi sah dalam agama. “Karena hanya dengan berpikir yang mencerahkan dan menghilangkan belenggu otak dari kebekuan-kebekuan tersebut, sebuah jalan untuk mengaktualisasikan hukum Islam dimuka bumi ini menjadi mungkin” tandasnya. Wallahu a’lam bi as-Shawab.[]

02/08/2006 | Diskusi | #

Komentar

Komentar Masuk (3)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Pada kehidupan sehari-hari, pembicaraan mengenai hukum akan mengerucut pada fungsi hukum. Terlepas dari asas, kaidah maupun sumber-sumber filosofi hukum itu sendiri, kehidupan keseharian menuntut kehadiran hukum yang diharapkan fungsinya sebagai rujukan aturan main dalam kehidupan bermasyarakat.

Berangkat dari perlunya hukum dalam keseharian, muncul pertanyaan pilihan: Pembentukan Hukum Islam atau Hukum Islami?

Mungkin akan terdengar ekstrim ketika saya memberanikan diri mengatakan bahwa Hukum Islam belum tentu Islami. Seolah-olah menggugat kewahyuan Al Qur’an dan keutamaan Hadits. Namun coba kita renungkan, ketika perkembangan zaman menempatkan kita pada dunia majemuk. Kita berbaur pada ditengah-tengah masyarakat yang mempunyai beragam kepercayaan, kepentingan dan tujuan hidup. Ketika hukum Islam diterapkan, besar kemungkinan itu akan mencederai rasa keadilan bagi subyek hukum yang tidak melandaskan kepercayaan batin dan imannya pada Islam. Sesuci apapun niatan untuk menegakkan Islam, apabila mencederai rasa keadilan insan-insan ciptaanNya tetap saja bisa digugat ke-islami-an praktek-praktek seperti itu. Dan sesuatu yang mulia tentunya harus ditempuh dengan cara-cara yang mulia pula. Siapa yang mau percaya ketika kesewenang-wenangan dijalankan dengan dalih hal tersebut hanya untuk waktu sementara sampai keadaan ideal tercapai?!

Sebaliknya, jika suatu hukum yang dapat dipandang pada saat hukum tersebut diperlakukan mampu dijadikan jaminan sebagai aturan main yang dapat diterima oleh semua subyek hukum yang terlibat di dalamnya. Pendeknya dapat memenuhi rasa keadilan semua pihak. Bukankah hukum seperti itu dapat dipandang sebagai hukum yang islami, dengan kesadaran bahwa kepercayaan dan keimanan adalah semata-mata urusan antara individu dan Tuhan. Apa masih ada yang keberatan? Kenapa? Bagaimana pandangan-pandangannya?

R. Usman Effendi Dakar Senegal
-----

Posted by R. Usman Effendi  on  08/07  at  02:09 AM

Islam yang diturunkan oleh Alloh kepada Nabi Muhammad saw melalui Jibril telah menerangkan tentang hidup dan kehidupan ini dengan dasar adalah tauhid yaitu menolak semua bentuk “Tuhan” dan menetapkan hanya Alloh saja yang berhak menjadi Tuhan sehigga menghasilkan hukum yang jelas dan pasti serta kebudayaan yang baik yang membawa kebahagiaan untuk kehidupan manusia itu sendiri.

Seiring dengan perjalanan waktu islam itu berkembang dengan pesat ke pelosok dunia yang penuh dengan tantangan baik dari dalam maupun dari luar, dari dalam seperti orang-orang munafik yang mengaku islam tapi merusak islam dan dari luar adalah orang -orang kafir dan musyrik yang semuanya itu di sponsori oleh iblis laknatullah dan anak buahnya sehingga islam itu yang tadinya lurus menjadi bengkok tapi Alloh tetap memperlihatkan kebenaran hukumnya yang pasti dan jelas untuk orang -orang yang mata batinnya hidup walaupun harta dan nyawa taruhannya sampai-sampai Alloh mengadakan transakasi juala beli dengan balasan surga ( q.s. At-taubah : 111).

Pertarungan antara kebenaran dan kebatilan terus berlangsung sampai kiamat dan hanya orang-orang yang di bukakan “mata hati"nyalah yang akan selamat dan ini silih berganti kadang kebenaran di atas sedang kebatilan di bawah dan kadang kebathilan di atas sedang kebenaran di bawah.

Dengan adanya pertarungan itu di saat kebenaran di bawah dan kebatilan di atas hukum dan budaya yang bi bawa oleh islam menjadi fatamorgana serba tidak jelas sehingga budaya dan hukum menjadi rusak dan tidak baik, yang seharusnya menjadi budaya tetapi menjadi akidah seperti peringatan 1 Muharram sekarang yang kita lihat penuh dengan kemusyrikan yang jauh dari islam.

apakah ini yang dis ebut sebagai budaya islam????

Posted by galih  on  08/05  at  08:08 PM

Tuhan telah menjamin bahwa hukum - hukum dalam Al-Qur’an akan berlaku sepanjang masa, jaminan itu tidak serta merta bahwa kita diam dan terbelenggu dalam kejumudan. Hukum-hukum dalam Al-Qur’an bersifat fleksibel dikarenakan redaksinya yang sengaja oleh Tuhan bersifat multi-tafsir. Berangkat dari sinilah, konsekuensinya timbul para ulama-ulama yang terjun dalam konteks fiqh, tafsir, ushul fiqh dan disiplin ilmu lainnya.

Pribumisasi hukum islam, tidak jauh berbeda dengan permasalahan diatas, islam sendiri pada zaman Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam mengadopsi beberapa hukum(Qhisash) dari kitab-kitab suci sebelum Al-qura’n, seperti Taurat, agar masyarakat Arab pada waktu itu tidak mmengalami kesulitan dalam “mencerna” hukum Al-Qur’an. Begitu pula dengan masyarakat indonesia yang multi-etnis dan budaya, pendekatan budaya tanpa meninggalkan nilai-nilai spirit Al-Qur’an adalah cara yang paling baik.  Ingat, Islam bukan Arab, islam adalah agama yang menyeluruh dalam budaya, sikap dan dan mentalitas.

Saya sarankan, agar teman-teman HTI membaca khazanah islam yang berupa kitab-kitab klasik seperti fiqh, tafsir, ushul fiqh, agar wawasan dan pemahaman anda tentang hukum islam menjadi terbuka dan inklusif.

Wa Allahu A’lamu bisshawwab.

Posted by subhan malik  on  08/02  at  06:08 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq