Basmi Maksiat Jangan Buat Citra Tuhan Turun - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
13/10/2002

Dr. Amsal Bachtiar: Basmi Maksiat Jangan Buat Citra Tuhan Turun

Oleh Redaksi

Salah satunya menyebabkan citra Tuhan menurun karena perbuatan-perbuatan tadi. Artinya mereka semestinya melakukan sesuatu yang menyejahterakan dan menenangkan masyarakat. Nah, dengan perbuatan itu, di masyarakat juga timbul kerisauan.

Doktrin Islam yang paling sering dipakai sebagai landasan adanya pengaturan masalah publik adalah amar ma’ruf nahy munkar. Pada tingkat praksis, implementasi doktrin ini acapkali bersinggungan dengan mekanisme dan aturan main yang berlaku. Kasus razia Front Pembela Islam (FPI) yang terjadi di malam Isra Mi’raj yang lalu misalnya, menunjukkan untuk kesekian kali bahwa ruang publik yang seharusnya netral selalu diintervensi oleh aspirasi religius kelompok tertentu yang ironisnya mengabsahkan kekerasan. Bagaimana menyikapi kemaksiatan yang bersembunyi di balik bisnis hiburan? Apakah bisa menegakkan amar ma’ruf nahy munkar, suatu pesan suci Ilahi, dengan cara-cara yang justru menodai kesucian itu sendiri?

Untuk mengulas pertanyaan-pertanyaan di atas, Burhanuddin dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) mewawancarai Dr. Amsal Bachtiar, Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yang juga banyak menulis buku tentang keislaman. Wawancara ini dilangsungkan secara live yang diikuti secara aktif oleh pendengar Radio jaringan 68H Jakarta pada tanggal 10 Oktober 2002.

Pak Amsal, kita ingin membahas konsep amar makruf nahy munkar sebagai salah satu doktrin Islam yang cukup penting. Bisa dijelaskan makna dari konsep tersebut dalam perspektif Islam? Dan, apakah penerapan doktrin tersebut melulu harus menimbulkan aksi-aksi yang anarkis?

Doktrin amar makruf nahy munkar, dalam Islam sama posisinya dengan doktrin-doktrin lainnya. Saya kira, ini adalah doktrin yang cukup substansial dalam ajaran Islam. Itu sebanding dengan doktrin al-nadzâfatu min al-îmân (kebersihan adalah bahagian dari iman, Red), juga ajaran menghormati tetangga. Itu semua merupakan nilai-nilai dasar ajaran Islam.

Nah, persoalannya terletak pada bagaimana kita mengimplementasikan amar makruf nahy munkar itu. Hemat saya, kita harus melihat doktrin ini dalam kerangka tatanan sosial dan ruang publik. Artinya, bagaimana masyarakat bisa menerima dan taat pada hukum-hukum yang disepakati orang banyak. Sebab, kalau semua orang melakukan itu (prinsip amar makruf nahy munkar, Red) dengan cara-cara mereka sendiri, itu akan membuat kekacauan baru. Saya setuju dengan K.H Hasyim Muzadi (Ketua PBNU) yang menolak menghancurkan suatu kemungkaran dengan menimbulkan kemungkaran baru (istilah ushul fiqh-nya, al-dhararu la yuzalu bi al-dharar, Red). Sebab, itu akan sangat berbahaya.

Doktrin amar ma’ruf nahy munkar ‘kan sangat kuat landasan teksnya, baik dari Alquran (misalnya QS. Ali Imran: 110). Sebagian kelompok menyatakan doktrin itu sebagai sumber pengaturan hukum publik. Bagaimana menurut Anda?

Ya, memang pengaturan publik itu mesti ada. Tapi, tidak semua orang boleh bergerak dengan caranya sendiri. Saya analogikan begini. Ketika masyarakat menangkap copet di bus, akan muncul reaksi yang beragam. Sebagian orang menghajar si pencuri, ada yang berteriak, ada yang lari memanggil polisi, dan ada juga yang tidak melakukan apa-apa. Yang tidak melakukan apa-apa tersebut, mungkin berdoa mudah-mudahan copet itu masuk neraka.

Dalam konteks ini, kalau semua orang dibiarkan melakukan pencegahan maksiat dengan caranya sendiri, itu akan berbahaya. Kita harus menyepakati konsensus publik yang sudah ada. Nah, aksi nahy munkar yang dilakukan FPI, tetap harus berdasarkan hukum dan kesepakatan bersama. Jadi tindakan seperti itu tidak boleh dilakukan kelompok-kelompok tertentu atau orang per orang.

Berarti memberantas kemungkaran juga harus taat asas yang disepakati bersama. Kalau begitu, aksi nahyi munkar tidak bisa dilakukan secara swasta?

Benar, hal itu tidak bisa dilakukan oleh swasta. Ini wewenang negara. Zaman nabi atau para sahabat juga begitu. Saya pernah membaca sebuah buku yang agak berkait dengan masalah nahy munkar ini. Pada masa Nabi Isa, ada seorang pencuri yang tertangkap. Lalu dia diserahkan kepada Nabi Isa. Setelah sampai kepada Nabi Isa, masyarakat menuntut agar si pencuri itu dipotong tangannya. Ada yang menuntut agar dipancung dan lain-lain.

Lantas Nabi Isa berpidato: “Baiklah saya akan menghukum orang ini. Anda juga boleh menghukum. Tapi coba ke depan. Adakah di antara kalian orang yang sangat bersih dan tidak pernah bersalah untuk menimpakan hukum atas orang yang Anda katakan bersalah ini?” Ternyata, tak seorang pun yang maju dalam persidangan itu. Kenapa? Karena rata-rata kita tidak pernah selalu benar. Tentu ada kesalahan. Nabi Isa menantang agar jangan menjadi orang yang sok bersih dan suci. Akhirnya, dengan persepsi kita tentang kesucian itu kita seakan menjadi malaikat, lantas berlaku anarkis dan main hakim sendiri.

Ironisnya, anarkisme itu dipraktekkan atas nama Tuhan. Apa akibatnya menurut Anda?

Salah satunya menyebabkan citra Tuhan menurun karena perbuatan-perbuatan tadi. Artinya mereka semestinya melakukan sesuatu yang menyejahterakan dan menenangkan masyarakat. Nah, dengan perbuatan itu, di masyarakat juga timbul kerisauan.

Saya ingin mengutip pendapat sekjen KISDI, Adian Husaini, yang mengatakan bahwa tindakan FPI itu absah dilakukan dengan dua alasan. Pertama, karena kemungkaran itu nyata di depan mata. Kedua, negara tidak memperdulikan lagi kemungkaran itu. Apa komentar Anda?

Dia boleh saja mengatakan demikian. Tapi kita juga melihat bahwa negara pun sudah berusaha menjalankan hukum-hukum itu. Hanya saja, dalam tataran aplikasi aparatur negara belum maksimal. Tapi, kalau wewenang itu kita serahkan pada orang per orang, akan timbul kekacauan-kekacauan baru. Jadi, dalam konteks ini, hal itu perlu diperhatikan juga.

Apakah Anda menilai kalau tindakan FPI juga berkait dengan ketidakpuasan atas kinerja aparat keamanan?

Dalam satu sisi iya. Sebab, FPI melihat masih ada beberapa kasus dan tempat terjadi kemaksiatan dan kejahatan yang bersembunyi di balik tempat-tempat hiburan. Dari situ, mereka menilai kinerja kepolisian yang payah. Kita juga prihatin mengapa polisi masih lemah. Hanya saja, yang saya sesalkan, untuk melakukan maksimalisasi kinerja polisi, kita tidak mesti melakukan aksi serupa itu. Aksi anarkis seperti itu, justeru kontra-produktif.

Pak Amsal, patologi sosial yang disebabkan bisnis hiburan, pada hakikatnya dirasakan banyak orang. Pertanyaannya, mengapa hanya FPI yang terlihat vokal menyuarakan sekaligus merazia secara langsung?

Saya kira ada faktor doktrin agama di sana, seperti doktrin bahwa salat membendung perbuatan keji dan munkar (inna al-shalât tanhâ ‘an al-fahsyâ’ wa al-munkar). Lantas ada beberapa doktrin lagi yang menyuruh mencegah kemungkaran juga, seperti hadits Nabi Saw: “kalau kita melihat kemunkaran, hendaknya dicegah dengan tangan; kalau tidak mampu, cegahlah dengan lidah; kalau masih tidak sanggup, cegahlah dengan hati” (Man raa minkum munkaran, falyughoyyirhu biyadih...dst, Red). Dari hadits ini, FPI mungkin berkesimpulan kalau mereka harus mengambil hierarki yang paling utama. Yaitu dengan kekerasan. Dengan tangan secara harafiah.

Pendengar kita, Mas Herman dari Banyuwangi melihat inkonsistensi K.H Hasyim Muzadi ketika mengutuk tindakan FPI. Menurutnya, Pasukan Berani Mati (PBM) yang dulu juga meresahkan Banyuwangi, tidak dikutuk. Sekarang, FPI malah dikutuk. Bagaimana pendapat Anda?

FPI dan PBM, saya kira, agak sulit dibandingkan. PBM muncul dalam kondisi yang sangat politis ketika Gus Dur mau dilengserkan. Maka, muncullah reaksi demikian itu. Pak Hasyim sulit untuk menampik PBM. Sekarang, mengapa yang dibesar-besarkan justru aksi FPI? FPI sudah berbuat anarkis, sementara PBM belum berbuat ketika itu. FPI sudah lama melakukan aksi-aksi sweeping dan beberapa kali. Terakhir, ya malam Isra’ Mi’raj (4/10/2002) itu.

Pak Yogi di Yogya memandang perlunya perluasan tafsiran atas kata “tangan” dalam hadits tentang tata cara memberantas kemunkaran. Pertanyaan saya, apakah aksi FPI malam Isra’ Mi’raj itu, bisa disebut manifestasi penerapan hadits nabi itu? Maksudnya, karena mereka belum punya kekuasaan, maka tangan di sini diartikan dengan cara merazia sendiri?

Saya setuju akan perlunya perluasan tafsiran makna “tangan” sebagaimana yang diajukan Bapak penanya tadi. Artinya itu tidak mesti dilakukan dengan tangan secara harafiah ataupun tongkat. Pendalaman penafsiran itu penting bagi cara kita memahami ayat-ayat Alquran maupun hadits.

Mas Pongki di Yogya menyebut kalau banyak kejahatan yang lebih urgens untuk diberantas polisi. Jadi ada skala prioritas dalam menangkal kejahatan. Bagaimana tanggapan Anda?

Ya, kinerja polisi ‘kan tidak hanya menyangkut aksi-aksi FPI. Poin saya, semua tindak kriminal yang bersumber dari bisnis hiburan juga harus dituntaskan seperti narkoba, perjudian, prostitusi dan lain-lain. Dalam hukum positif kita, hal itu ‘kan juga dilarang. Tapi, kita juga harus mengerti bahwa aksi FPI yang paling akhir ‘kan juga merusak tatanan masyarakat. Maka dari itu, polisi juga harus terjun. Untuk itu, harus ada blow-up dari masyarakat, apalagi ini terkait dengan masalah yang tingkat sensitivitasnya cukup tinggi, karena berkenaan dengan agama dan lain-lain.

Tadi Khoiruddin dari Gresik menyatakan oke atas pemberantasan maksiat. Hanya saja, dia tidak suka bila dilakukan dengan cara yang anarkis. Dia juga menyindir ormas Islam yang lebih besar yang kurang peduli. Bagaimana pendapat Anda?

Secara substansial kita setuju maksud FPI bahwa maksiat tidak boleh dibiarkan. Oleh karena itu, kita perlu menggalang kekuatan masyarakat, terutama organisasi-organisasi sosial agar mendesak pemerintah untuk lebih proaktif membenahi kinerja polisi, jaksa dan hakim dalam mengambilalih tindakan itu.

Tidak hanya masalah bisnis hiburan, tapi juga korupsi, penyelewengan kekuasaan, pencurian dan lain-lain yang berpotensi merusak bangsa secara strategis. Nah, inilah yang perlu kita pikirkan. Dalam konteks itu kita setuju. Tapi tetap dengan cara-cara yang tidak anarkis. Ibaratnya, kalau ada tikus di lumbung padi, jangan bakar lumbungnya. Kejar saja tikusnya, agar padi tak ikut terbakar.

Menurut Bu Vera di Manado, penting bagi siapapun menghormati mekanisme hukum. Sekalipun FPI memberantas maksiat, kalau melanggar hukum, tetap harus diproses. Bagaimana tanggapan Bapak?

Sebagai warga yang berbangsa, bernegara, dan beragama, bagaimanapun kita punya hukum-hukum sendiri. Ada pelaksana hukum yang mesti kita percayakan. Ada polisi, jaksa dan hakim. Itu prosedur yang berlaku. Di negara Islam sekalipun, tetap ada prosedur semacam itu. Kita juga tidak bisa menjamin kalau hukum yang kita buat seratus persen bisa dilaksanakan, meski sudah kita sepakati.

Sebagaimana kita lihat, masih banyak prosedur hukum yang belum bisa dilaksanakan secara maksimal. Maka, saya setuju kalau orang-orang yang melakukan proses perusakan, mesti ada proses hukumnya. Di samping itu, orang yang melakukan kejahatan judi, pengedar narkoba, pencuri dan perampok, perampas dan koruptor, --yang benar-benar melanggar hukum juga-- harus ditindak juga secara tegas.

Jadi jangan hanya FPI. FPI bagian dari itu kalau melanggar hukum. Mungkin FPI bagian terkecil, karena ini insidental. Tapi yang namanya korupsi, pencurian dan perampokan, hampir tiap hari kita dengar.

Kalau begitu, masing-masing harus punya posisi kerja sendiri-sendiri. Artinya, kalau FPI berusaha menjadi polisi, jaksa dan hakim sekaligus, itu berarti merampas wewenang institusi yang sah. Apa begitu?

Ya. Institusi lain yang sudah kita berikan wewenang, sudah semestinya menjalankan fungsi-fungsi mereka.

Kalau polisi, jaksa dan pihak yang berwenang tidak bisa menjalankan fungsi kontrol sosial itu, bagaimana solusinya?

Nah, disinilah pentingya pressure dari kita. Saya setuju dengan usulan Bapak dari Gresik yang mengusulkan agar FPI menjadi parpol tadi, agar bisa memperjuangkan apa-apa yang diinginkan mereka melalui jalur parlementer. Dari situ, mereka bisa mengusulkan siapa yang menjadi polisi dengan mekanisme fit and propert test atau cara lainnya. Artinya, bila mereka tidak mampu melakukan tugas-tugas yang dibebankan dalam waktu tertentu, maka copot saja jaksa, polisi atau hakimnya.

Pak Amsal, dari beberapa penanya terakhir, terlihat kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap aparat dalam menegakkan social order. Tapi di sisi lain, kita tidak bisa main hakim sendiri. Bagaimana keluar dari dilema ini?

Ya, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan. Umpamanya, kalau kekecewaan itu sudah klimaks dan kita tidak bisa berharap pada aparat lagi, ada mekanisme yang disebut class action. Itu bisa dilakukan. Artinya, kita menuntut beberapa pejabat atau pihak berwenang yang tidak becus dalam menuntaskan permasalahan yang sangat meresahkan masyarakat dan merusak generasi kita. Itu bisa dilakukan dengan mekanisme class action yang mengambil jalan damai dan tidak merusak.

Di sini, tekanan itu datang dari masyarakat keseluruhannya. Di Jakarta ini, kita bisa mem-pressure pejabat dengan jalan damai. Saya pikir, kalau ditekan mereka akan berpikir ulang. Sebab mereka “wakil-wakil” yang kita pilih sendiri. Begitu kiranya kalau kita mau mengambil aksi-aksi yang agak keras dan tegas terhadap mereka. []

13/10/2002 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (1)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Apa yang telah dilakukan oleh para “tentara-tentara ALLAH” adalah suatu hal yang konyol!Dengan meng-atasnama-kan ALLAH dan bahkan menjual ayat-ayat NYA dengan harga yang amat murah,mereka tidak segan-segan untuk bertindak sewenang-wenang!

Apakah suatu “yang jahat” harus dihakimi “yang jahat” pula? Apakah ini salah satu dari apa yang mereka sebut dengan “jihad”?

Jika jawabnya,ya.Maka, menurut saya,mereka telah melakukan pembualan yang amat sangat!

Saya sangat berharap, tindakan seperti ini,tidak ada lagi.Karena Indonesia adalah negara yang demokratis dan setiap “sesuatu” harus melalui proses- proses yang demokratis pula.Jadi,tidak hanya dengan meng-atasnama-kan ALLAH,maka segala masalah akan berakhir!!
-----

Posted by Heru Saputra Abdillah  on  01/02  at  09:02 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq