Belajar Kembali Bernegara - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Editorial
09/04/2006

Belajar Kembali Bernegara

Oleh Luthfi Assyaukanie

Kita tampaknya harus kembali belajar bernegara. Beberapa peristiwa nasional akhir-akhir ini membuktikan betapa sebagian kelompok Islam di negeri ini gagal memahami falsafah dasar negara kita. Pernyataan dan tindakan mereka sudah jelas-jelas bertentangan dengan Konstitusi Indonesia.

Kita tampaknya harus kembali belajar bernegara. Beberapa peristiwa nasional akhir-akhir ini membuktikan betapa sebagian kelompok Islam di negeri ini gagal memahami falsafah dasar negara kita. Pernyataan dan tindakan mereka sudah jelas-jelas bertentangan dengan Konstitusi Indonesia.

Contohnya adalah perilaku Majelis Ulama Indonesia dan organisasi Islam yang mendukung fatwanya tentang Ahmadiyah. Fatwa tentang Ahmadiyah yang disusul serangkaian tindak kekerasan itu telah menunjukkan kalau tokoh-tokoh MUI lebih mendahulukan pemahaman sempit yang dianutnya ketimbang kebersamaan dalam bernegara.

Konstitusi kita jelas-jelas menyatakan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” (UUD 1945: Pasal 29, Ayat 2). Tapi, para tokoh MUI justru melecehkan rumusan itu dengan mengintimidasi Ahmadiyah lewat fatwa-fatwa.

Kita juga prihatin melihat tokoh Islam di lembaga lain. Pimpinan Departemen Agama (Depag) yang harusnya menjadi contoh pengayom semua agama malah tampil menjadi tokoh antagonis. Permusuhan yang diperlihatkannya terhadap Ahmadiyah jelas menunjukkan bahwa ia lebih mementingkan keyakinan sempit ketimbang arti bernegara yang baik.

Beberapa tokoh Islam organisasi besar seperti Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah juga memperlihatkan gejala serupa. Mereka gagal memahami Konstitusi kita dan lebih senang mengutamakan pemikiran keagamaan yang sempit. Dalam isu-isu hubungan agama dan negara, mereka tampaknya lebih suka “mengarab” ketimbang “mengindonesia.”

Para tokoh Islam di dua lembaga itu juga bersemangat mendukung setiap rancangan undang-undang (RUU) yang berbau Islam, sembari mengabaikan konteks keindonesiaan yang majemuk. Kacamata yang mereka gunakan bukanlah Indonesia yang majemuk dan beragam, tapi kacamata dari Timur Tengah yang bernuansa doktrin-doktrin wahabisme.

Kita kaum muslim agaknya memang harus belajar lagi tentang Indonesia kita, tentang bagaimana membangun sebuah negara modern.

Para pendiri republik ini, sejak dulu sudah sepakat membangun Indonesia sebagai negara modern yang dilandasi semangat kebersamaan dan kerukunan. Mereka tak pernah menginginkan negara agama, apalagi negara Islam. Para pendahulu kita itu juga sudah lelah berdiskusi soal dasar negara. Kini, kita juga lelah melayani hasrat-hasrat ideologis kaum Islamis yang mungkin akan lebih mengakibatkan perpecahan ketimbang memajukan negeri ini.

Sebuah negara modern, dalam konsensus ilmuwan politik dan umat manusia kini, tidak bisa lagi dibangun atas dasar ideologi keagamaan tertentu, apalagi yang sendi-sendinya diambil dari abad pertengahan. Negara modern membutuhkan aturan dan perundang-undangan yang dibuat serasional mungkin dengan memperhatikan semua elemen penghuninya.

Setelah lebih setengah abad merdeka, kita layak berharap para pemimpin Islam Indonesia makin matang dan lebih dewasa dalam menyikapi hal-hal yang berkaitan dengan isu agama dan negara. Jika bersedia menerima bentuk dan dasar negara Indonesia, mereka harusnya juga bersedia menerima segala konsekuensinya. Yang saya maksud “segala konsekuensinya” itu adalah: setiap upaya pembangunan negara haruslah sejalan dengan semangat konstitusi kita.

Jika para pemimpin Islam negeri ini bersedia menerima Pancasila sebagai falsafah dasar negara, mereka harusnya juga bersedia menerima konsekuensi dari asas itu. Negara Pancasila bukanlah negara agama, bukan pula negara Islam. Karenanya, setiap upaya untuk menggolkan peraturan yang potensial memicu perpecahan dan diskriminasi, secara otomatis telah bertentangan dengan Pancasila.

Sejak merdeka, para pemimpin Islam memang tampak tertarih-tatih untuk menerima konsep Indonesia modern yang majemuk. Di tahun 1950-an, lewat partai-partai Islam, mereka berupaya mendesakkan agenda yang ingin mengubah asas Pancasila menjadi asas Islam. Keinginan itu gagal, karena partai-partai Islam kalah Pemilu 1955. Tak patah arang dengan kegagalan itu, mereka kembali mencobanya lewat debat-debat konstituante (1957-1959). Tapi, usaha inipun kembali gagal.

Di masa Soeharto yang represif, para pemimpin Islam yang cenderung ideologis memang tak memiliki tempat. Suara mereka dibungkam dan dipaksa menerima asas tunggal Pancasila. Tapi, keinginan untuk “mengislamkan” Indonesia tak pernah padam. Sejak reformasi, muncul lagi suara-suara yang berusaha untuk ke arah itu, baik lewat partai-partai Islam, organisasi massa, lembaga pemerintah, dan cara-cara lain yang mungkin. Sebagian gagal dan sebagian berhasil.

Karena itu, saya berpendapat bahwa carut-marutnya kehidupan bernegara kita akhir-akhir ini, khususnya soal hubungan agama dan negara, sebagian juga merupakan cerminan kegagapan banyak kaum muslim dalam memahami konsep Indonesia kita. Obsesi yang terus hidup untuk “mengislamkan” Indonesia telah menjadi semacam ranjau yang terus-menerus mengancam keutuhan negeri ini.

Energi yang seharusnya disalurkan untuk proyek-proyek pembangunan negara, terkuras untuk mengurusi agama yang lazimnya menjadi soal pribadi setiap warga negara. Fatwa, RUU, dan Perda yang seharusnya diabdikan untuk membantu pembangunan negara, berbalik jadi penghambat kemajuan dan proses modernisasi negeri ini.

Kita sebagai kaum muslim agaknya memang harus benar-benar kembali belajar bernegara dan mencari cara yang tepat dalam membangun negeri ini.

09/04/2006 | Editorial | #

Komentar

Komentar Masuk (5)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Tak dapat dipungkiri, bahwa masih banyak umat Islam di Indonesia memeluk agamanya sudah seakan-akan sudah sejak lahir. Termasuk saya. Tanpa ingat kapan saya pertama kali mengucapkan Dua Kalimat Syahadat.

Saya sendiri hanya tahu, sedari kecil sudah dididik untuk ke masjid, mengenakan kain panjang yang diikat ujungnya hingga menjadi berfungsi seperti rukuh. Lalu rame-rame jamaah, mengaji, bersama anak2 kecil lain yang hanya tahu bahwa keceriaan kami adalah di masjid yang begitu menyenangkan. Bahkan pernah ada anak lain yang berasal dari keluarga nasrani ikut2an bergembira bersama.

Barangkali tidak hanya saya. mungkin anak2 lainpun merasa bahwa dari situlah awal dari keIslaman kami. Jelas hal seperti itu bukan merupakan jaminan bahwa kami akan memeluk agama dengan baik. Tergantung bagaimana lingkungan akan membentuk dan mendewasakan; tingkat kecerdasan, baik spiritual, maupun intelektual merupakan hal pokok yang akan turut mempengaruhi jalan pikiran seseorang dalam memahami agamanya dengan benar.

Dan perspektif kebenaran, ternyata amat sangat relatif. Setelah mengalami banyak hal sepanjang hidup, alhamdulillah masih diberikan petunjuk oleh Allah untuk berbuat, bertingkah laku, berpikir atas dasar nurani; yang mana nurani buat saya adalah modal dasar penilaian Humanistis. Saya merasa lebih tenang memeluk agama saya, ISLAM, dan berusaha untuk belajar lebih mencintai ALLAH, dengan tidak memikirkan hingar bingar perpecahan, perbedaan pendapat, segala bentuk kekerasan yang bersifat anarki dengan mengatasanamakan kebenaran menurut versi golongan maupun perseorangan. Bukankah lebih baik memikirkan bahwa Allah menurunkan agama untuk kedamaian, adanya harmoni yang indah dalam setiap perbedaan? Bukankah cara berpikir Rasulullah SAW juga demikian?

Salam Arie.
-----

Posted by eko ari wahyuni  on  04/26  at  07:05 AM

Tulisan saudara Luthfi secara garis besar menginginkan jadilah warga negara yang baik sesuai dengan falsafah dan konstitusi negara, sehingga beberapa kelompok harus diajarkan bagaimana bernegara oleh saudara Luthfi. Mungkin yang perlu ditindaklanjuti lebih jauh cukupkah falsafah dan konstitusi negara kita untuk mengatur perilaku semua perilaku bangsa ini yang dapat membawakan bangsanya kepada kebahagiaan dan kesalamatan hidup di dunia dan akhirat...??? Bukankah salah satu dasar negara kita adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, dan menjadikan bangsa yang bertaqwa (menjalankan seluruh perintah Tuhan dan meninggalkan larangannya) Mungkin kita juga harus belajar berIslam (menjadi islam) agar bisa melihat berbagai permasalahan dari kaca mata Islam ( Alquran dan Sunnah) karena aturan2nya lebih menjanjikan hasil dari aturan2 yang dibuat oleh manusia… yang penuh dengan berbagai kepentingan pribadi dan golongan pembuatnya… Mungkin ada kekeliruan sebagian kelompok dalam memahami Islam, tetapi yang terpenting adalah meluruskannya dengan cara memberikan pandangan Islam yang benar(sesuai Alquran dan Sunnah) agar menjadi selaras sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah dalam pemerintahannya. Marilah kita belajar kembali berIslam, agar bisa menjadi warga negara dan bernegara dengan baik, dihormati manusia dan juga diridhoi Tuhan....

Posted by A Fauzi  on  04/20  at  06:05 PM

Saya kira memang seharusnya demikian tulisan bung Luthfi (dan lainnya di JIL), yang dapat memberikan alternatif dalam membahas isu perubahan/reformasi dalam kehidupan beragama di Indonesia, khususnya dari sisi Islam. Isu-isu yang tidak atau kurang diangkat oleh pihak lain tentunya seharusnya bisa diangkat oleh Anda dan JIL dari sudut pandang yg lainnya. Apabila harus mengangkat isu2 yg sudah sering diangkat oleh pihak lain dalam kehidupan bangsa tentunya tidak ada lagi alternatif pemikiran yang bisa dituangkan.

Mengenai hujatan tentunya tergantung bagaimana seseorang atau pihak menilainya. Hujatan tidak hanya muncul dari seseorang kepada orang atau pihak lain, karena pihak yg katanya dihujat fundamentalis misalnya, justru lebih keras dalam menghujat pihak yg tidak sama pandangannya, bahkan bisa dengan kata2 kasar dan kutukan2 emosional. Bisa dilihat bagaimana pihak2 yang sangat pro diberlakukannya RUU APP lebih sering mengumpat dan mengeluarkan kutukan2 kepada pihak yg menolak RUU APP. Inti RUU APP tsb paling tidak semangatnya adalah larangan2, bukan pembatasan. Berbeda dengan di Eropa dan Amerikan, memang disana pornografi menjadi masalah juga, tetapi bukan dilarang total, tapi datur dan dibatasi, termasuk produk2nya, apalagi mengenai hukuman berat itu bila yg mjd objek adalah anak2 di bawah umur. Demikian pula di Malaysia, negara tetangga yg sedemikian maju, memang tidak tergantung dgn pornografi, tetapi kehidupan toleransi beragamanya jauh di atas kita. Memang benar di negara kita toleransi beragama hanyalah termasuk semu, bahkan terkesan di belakang layar saling bermusuhan. Pernah ada artikel dulu yg menyebutkan Malaysia adalah negara muslim dgn kehidupan toleransi beragamanya termasuk tertinggi di dunia. Bagaimana Malaysia bisa punya lokalisasi perjudian, misalnya.

Saya kira memang berat mewujudkan Indonesia paling tidak seperti Malaysia tersebut sbg negara yg kehidupan masyarakatnya memiliki toleransi tinggi satu sama lain, di tengah2 himpitan dan berbagai tekanan masalah ekonomi, sosial, politik dan budaya kita. Salah satunya bisa saja dilakukan oleh JIL, Gus Dur, dan komponen2 reformasi lainnya, sesuai dengan visi dan misinya, meski memang akan banyak sekali hambatan, terutama dari pihak2 yang tidak sepandangan.

Posted by Danny S  on  04/18  at  08:05 PM

Satu hal pasti bagi manusia untuk hidup ada adanya nilai-nilai (way of life) sebagai cerminan langkah hidup sehari-hari dan hari akhir kelak. Siapapun perlu mencermati nilai-nilai ini. Membuat hujatan atau tuduhan pada suatu pihak “konservatif” memang enak apalagi jika hujatan ini akan bernilai jutaan dollar, namun hujatan tidak akan menyelesaikan masalah.

Benar, bahwa umat Islam negeri ini masih melaksanakan simbol saja, bukan pada inti Islam. Masih banyak korupsi, perampokan, penebangan liar dan sebagainya. Hukum Indonesia pun masih didominasi KUHP warisan hukum Belanda.

Tulisan Luthfie (oh ya nama ini berbau Arab juga lho), belum menyentuh akar masalah. Banyak hal sumir, misal tentang hubungan agama-negara oleh ulama masih meng-arab bukan meng-indonesia. Apakah ilham Anda ini bukannya dari kasus Negara vs Kristen dari Eropa?

Satu hal tidak saya fahami, Perda pelacuran dan UU Anti pornografi menghambat kemajuan dan modernisasi bangsa? Jika mau jujur, berapa lama pelacuran dan pornografi ada di Indonesia? Sudahkan bangsa ini bergerak maju dengan pelacuran dan pornografi itu?

Jerman dan USA menerapkan ketat UU yang melarang pelacuran di beberapa negara bagian. Pornografi pun sangat ketat, dan pelanggar di hukum berat. Apakah ada korelasi porno-pelacuran dengan modernitas dan kemajuan bangsa?

Indonesia? Pelacuran dimana-mana dan materi porno pun bebas diperoleh. Sudah majukah Indonesia dengan porno-prostitusi ini, apakah Indonesia juga menjadi modern seperti Jerman-USA? Kenapa tidak melihat Malaysia, mereka maju sekali toh juga tanpa porno-prostitusi.

Jadi, menghujat dan menuduh kelompok “fundamentalis” (dari istilah pun, Anda menang, karena konotasi liberal pasti bagus), sebagai Arabisme, Intolerance, kolot, terdogma agama, hanyalah akan menuai hujatan balik.  Tulislah solusi bagi kehidupan bangsa ini secara realistis-problem solved, kurangilah wacana dekonstruksi Quran, Ahmadiyah, isu Wahabisme, Quran edisi kritis dll.

Anda tentu tahu, dengan kondisi muslimin “grass root” seperti sekarang, itu semua hanya akan “membentur tembok” yang bisa menimpa Anda.

Jika Anda peduli, jangan menulis reaktif, tapi berikan guidance yang jelas dan realistis bagi umat Islam. Wacana dekonstruksi, hermeneutics, relativisme, bukan prioritas yang diperlukan bangsa ini untuk bangkit dari keterpurukan.

Posted by Ndita  on  04/11  at  08:05 PM

Assalamualaikum.

Terima kasih atas masukan ketiga penulis / pembicara ini: Teks Sebagai Jendela dan Cermin Oleh Dr. Ioanes Rakhmat. KH. Abdurrahman Wahid: Jangan Bikin Aturan Berdasarkan Islam Saja. Belajar Kembali Bernegara Oleh Luthfi Assyaukanie.

Semoga terbaca oleh masyarakat kita. Untuk itu, kebetulan kami pernah berdiskusi melalui internet dengan seseorang yang masih buyutnya pahlawan Indonesia, yang berjuang pada tahun 1825, bersorban naik kuda. Adapun hasil diskusi itu, pada saat terakhir, kawan ini membuat tulisan yang aku lampirkan, yang menurutku mencangkup ke tiga idea penulis di atas:

Siapa tidak risau melihat kenyataan yang terjadi di Indonesia. Ada berbagai agama besar dengan umatnya yang sangat besar (Islam), namun kasih sayang, ketentraman, kesejahteraan, kebenaran dan keadilan malah nyaris tidak ada. Atau justru sebaliknya, kekerasan, kerusuhan, pembunuhan, ketidak adilan, kriminalitas, keterbelakangan, kemiskinan, ketidak jujuran, kemunafikan, korupsi, kolusi, dan berbagai pelanggaran HAM justru marak terjadi di Indonesia; dan barangkali mencapai index prestasi nomor wahid didunia (?). Demikian pula yang terjadi dengan di negara2 yang kental sekali agamanya, seperti negara2 berbasis Nasrani: Amerika Latin (Colombia, Argentina, Chilie, Bolivia, Brasil), Philipina; dan negara2 berbasis Islam: negara2 di Timur Tengah (Arab Saudi, Mesir, Suriah, Aljasair, Maroko), Sudan, Nigeria, Pakistan, Afganistan, dst. Lalu, apanya yang salah (?). Berikut ini adalah butir2 analisis yang mendalam tentang Agama, Allah, dan Bangsa yang diharapkan dapat menjadi salah satu sumber untuk mengatasi kerisauan di atas.  Dalil 1. Allah itu tidak beragama. Jadi Ia berlaku adil bagi semua manusia. Agama adalah sekedar sarana untuk mengenalkan Allah, namun Allah sendiri tidak beragama. Dan menurut Gus Dur tidak butuh sembahan dari kita. Yang terpenting bagaimana kita sadar akan kebenaran dan berlaku bijak.  Dalil 2. Tingkat pencapaian puncak pemahaman agama adalah RELIGIOSITAS. Salah satu definisi umum tentang religiositas adalah sbb :  Sikap hatinurani, batin dan pikiran manusia yang selalu diarahkan kepada perbuatan baik, kasih sayang, kebenaran dan keadilan. Religiositas adalah setingkat lebih tinggi dari agama. Religiositas dapat diperoleh tanpa melalui agama, ia diperoleh terutama dari pengalaman hidup. Ibarat kuliah, ini adalah Philosophy Degree atau gelar Doktor.

Setelah bergelar Doktor, maka ilmu lebih penting daripada almamaternya. Kalau baru taraf kuliah, seorang mahasiswa masih suka memamerkan identitas2 universitasnya. Ia masih suka petentang-petenteng dengan jaket almamaternya. Kalau seorang sarjana yang sudah bekerja masih tersekat oleh kotak2 almaternya, dan setiap ke kantor pakai jaket almamaternya, betapa kantor itu akan menjadi ajang sikut-sikutan antar universitas, dan betapa menyedihkan jiwa orang itu (yang terbelenggu oleh almamaternya)!  Demikian pula dengan agama, intisari agama yaitu Allah dengan sifat dasar Nya ("Maha Adil, Pengasih dan Penyayang") menjadi lebih penting daripada agama itu sendiri, atau bahkan agama menjadi tidak dominan lagi sekedar seperti almamater saja. Jadi, kalau sudah mumpuni keagamaan seseorang, bukan agamanya yang penting, melainkan religiositasnya yang amat sangat penting. Ia tidak lagi tersekat-sekat oleh kotak sempit yang disebut agama.  Dalil 3. Keterbatasan kitab suci.  Agama berbasis kitab suci. Dengan demikian, agama mempunyai keterbatasan yang cukup mencolok seperti disebutkan dalam kitab-kitab suci Al-Quran dan Injil.  Misal dalam Al-Quran ditandaskan bahwa apabila semua ajaran Allah SWT dituliskan, maka tinta sebanyak samudera rayapun tidak akan mencukupi. Demikian pula dengan Injil yang menandaskan apabila semua ajaran Isa Almasih dituliskan maka dunia beserta isinya pun tidak akan bisa memuat. Dikatakan bahwa Allah adalah Maha Besar atau Maha TAK TERBATAS; mana mungkin sesuatu yang Tak Terbatas (Allah, milyaran tahun) cukup dijelaskan oleh satu orang saja yang SANGAT TERBATAS (para nabi, yang umurnya mencpai k.l. 80 tahun)!  Jika Allah itu dari minus tak terhingga (alpha, tak tahu kapan awalnya) dan berakhir di plus terhingga (omega, tak tahu kapan berakhirnya), maka seorang manusia yang hidup di suatu range (daerah) umur yang sangat terbatas (katakan 80 tahun) adalah tidak mungkin menjelaskan secara tuntas sesuatu yang tak terhingga (milyaran tahun)! Bumi dan universe sudah milyaran tahun, dan masih milyaran tahun lagi, maka seribu, sejuta atau bahkan semilyar nabi disertai ilmuwan tidak akan pernah selesai mempelajari universe dan Allah! Jadi, ke “Mahabesaran Allah” tidak mungkin cukup diwadahi dalam buku setebal/setipis kitab suci. Ke “Mahabesaran Allah” juga tercermin pada luas dan dalamnya ilmu pengetahuan.  Dalil 4. Pemahaman akan Allah belum selesai dan tidak akan pernah selesai. Banyak orang bijak berkata: “bukan agama yang dicari, melainkan kitab sucinya sebagai sumber agama yang dicari; dan bukan kitab suci yang sangat terbatas itu yang dicari melainkan kebenaran atau Allah yang selalu dicari”.  Kitab suci (yang tipis sekali) beserta para nabinya adalah sangat terbatas seperti ditandaskan sendiri dalam ayat2nya seperti telah diuraikan diatas. Disamping itu, para nabi tsb. hidup dimasa lampau dan singkat (puluhan tahun), sedangkan Allah beserta kebenaranNya adalah tidak terbatas waktu dan tempat serta mengacu kemasa depan (s/d saat ini saja, bumi diduga sudah milyaran tahun umurnya!). Sebagai gambaran KEMAHABESARAN ALLAH:  Seorang ahli komputer merumuskan suatu hukum yang disebut hukum Moore; ia menyatakan bahwa setiap delapan belas bulan akan terjadi lompatan teknologi dibidang teknologi informasi. Ia benar, ternyata komputer berkembang dari XT, AT, …., Pentium 4; demikian pula software: dari DOS, Windows 98, …, Windows XP. Manusia pun terus berkembang, dari jaman batu s/d jaman ini yang ditandai teknologi informasi dan rekayasa genetika. Ilmu Fisika tidak hanya berhenti pada hukum gravitasi Newton, melainkan terus berkembang misalnya teori relativitas Einstein, teori big bang, teori fusi, cloning, nano technology, dst. Buku ensiklopedi yang berjilid-jilid dan tebal sekali, setiap tahun harus di up-date mengingat hampir setiap hari ada penemuan baru di laboratorium riset di seantero dunia.  Kalau ilmu pengetahuan, komputer berikut softwarenya, dan ensiklopedi beserta manusia penciptanya saja berkembang terus menerus dan secara cepat, apalagi Allah YME! Oleh sebab itu, Allah beserta kebenaranNya adalah dinamis, bukan statis, serta lebih banyak bergerak mengacu ke masa depan, dan tidak terlampau sering menoleh kebelakang; dengan demikian Allah adalah bukan milik atau dominasi sesuatu agama (yang seolah-olah hanya berbasis sesaat dimasa lampau), melainkan milik ruang dan waktu yang tidak terbatas dan tidak terhingga!  Agama yang baik akan selalu ingin mencari tahu rahasia Allah yang belum terkuak; bukannya terus-menerus membelenggu, membatasi atau melecehkan Allah dengan mengatakan: Untuk mempelajari dan menghapalkan ke Maha Besaran Allah yang Tak Terbataskan, cukup melalui satu buku tipis saja yang disebut kitab suci; Allah itu cukup PC XT titik (statis) bukan Pentium 5 beserta penerusnya (Pentium X, dinamis, tak tahu s/d seri berapa nanti). Allah itu cukup DOS bukan Windows XP, Allah itu cukup jaman dulu dan tidak punya masa depan! Agama yang negatip hanya berkutat pada nabi2nya yang sudah dahulu kala, dan menganggap pemahaman terhadap Allah sudah dianggap selesai. Kemudian nabi utamanya begitu dibesar-besarkan seringkali melebihi Allah itu sendiri, sehingga agama menjadi Maha Tak Terbatas (mengenal Allah cukup dengan belajar satu agama saja), sedangkan Allah menjadi Maha Terbatas (cukup dijelaskan oleh satu kitab suci setebal kurang lebih 1000 halaman). Pusat ibadat dan puja-puji lalu diarahkan kepada nabi2nya. Umat beragama lalu malas membaca hal2 yang baru terutama science, sehingga menjadi terbelakang dalam berbagai segi kebudayaan.  Agama ditilik dari sisi organisasi dapat berbeda tujuan dengan kitab suci sumber agama itu sendiri. Kitab suci sudah menandaskan dan menyadari keterbatasan dirinya (buku setipis itu), dan KETIDAK terbatasan Allah; sedangkan agama dilihat dari sisi organisasi, terus menerus mengatakan “Pelajaran tentang Allah sudah selesai, yaitu Kitab suci KITA, jadi jangan membaca kitab suci yang LAIN, apalagi pindah agama, tetaplah taat-setia kepada agamamu (=KAMI, para pengurus organisasi agama)”. Oleh agama yang statis-beku-kaku, kita bagaikan diminta untuk terus menerus menggunakan komputer XT dengan DOS, dan dilarang mempelajari atau menggunakan komputer Pentium 5 dengan WINDOWS XP atau LINUX, kita bagaikan diminta untuk terus menerus mempelajari hukum Newton, dan dilarang mempelajari fisika modern. Jadi, agama yang kaku-beku-statis justru membatasi Allah dan membatasi sesama manusia (tersekat-sekat atas nama agama) serta justru dapat menjadi sumber krisis kebudayaan.  Agama yang baik diharapkan menghasilkan manusia yang religius, sekaligus cerdas dan selalu ingin lebih tahu lebih banyak lagi tentang hal yang baru (termasuk agama baru). Manusia religius tidak akan terbelenggu oleh agama, maka ia tidak takut berdoa di rumah ibadah apapun (sesuai caranya sendiri), entah itu kelenteng, masjid, gereja, pura, vihara, dst, sebab ia paham bahwa Allah tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu. Ia juga akan selalu tertarik dan mengikuti perkembangan agama2 baru serta science yang baru.  Dalil 5. Allah itu demokratis, sedangkan agama seringkali otoriter. Allah tidak melarang manusia untuk tidak beragama, karena Allah sendiri pada dasarnya tidak beragama. Allah mengharapkan agar manusia mencapai pemahaman tertinggi yang disebut religiositas melalui berbagai sarana seperti agama, “agama lokal” (misal Kejawen), dan ilmu pengetahuan. Keotoriteran agama nampak pada keinginan mau menangnya sendiri seperti melarang berbagai hal yang tidak sepaham dan ingin menjadi anak emas dinegara yang majemuk/pluralis!  Dinegara maju, apa saja boleh dan justru dianjurkan untuk diperdebatkan (termasuk keyakinan), asal debatnya bermutu dimana kaki dan tangan (kelahi) tidak boleh ikut dipakai dalam adu gagasan! Allah itu Maha Cerdas, Maha Cerdas pasti suka debat, bukan main sweeping, larang-melarang, main ancam-mengancam dan otoriter. Jadi seseorang yang cerdas pasti suka debat, karena debat mengakibatkan kemajuan. Memang, ada kemungkinan agama akan ambruk oleh adanya demokrasi, rasionalisasi, kebebasan berpendapat dan debat, seperti ambruknya gereja Katholik di Eropa pada sekitar abad 18 an.  Monopoli dan otoritarian ajaran agama oleh pemuka agama menyebabkan posisi mereka tidak tergoyahkan dinegara berkembang. Tidak mengherankan bila di Timur Tengah yang penuh dikuasai kyai, ulama dan raja, takut setengah mati dengan demokrasi, rasionalisasi, dan kebebasan berpendapat. Pemuka agama seringkali memonopoli kebenaran dan takut berdebat untuk adu gagasan atau bersaing dengan kebenaran yang lain yang lebih modern; umatnya pun selalu di brain wash (dicuci otak) dengan mengatakan bahwa keyakinan tidak boleh diperdebatkan; atau untuk mengunci terjadinya perdebatan lalu berkilah: keyakinanmu adalah keyakinanmu, keyakinanku adalah keyakinanku! Bukankah ini semua demi kelanggengan kedudukan para pemuka agama itu sendiri dan agar umatnya tidak terpikat oleh pengetahuan baru tentang Allah? Bukankah umat yang besar jumlahnya juga identik dengan income-ekonomi (zakat/persembahan) yang besar pula bagi para pemuka agama? Mengapa Allah Yang Maha Cerdas dianggap bodoh, tak boleh didebat, dan Allah dianggap takut akan demokrasi, rasionalisasi, serta kebebasan berpendapat?  Pemuka agama takut debat, lalu mereka mengatas namakan Allah bahwa Allah tidak suka debat, keyakinan adalah harga mati - atau sesuatu yang beku, kaku dan statis, buku2 yang sangat kritis terhadap agama (dan penyalah gunaan agama) dilarang bahkan di-sweeping, aliran kepercayaan yang baru dan lebih modern dimatikan, dengan demikian kelompok ini menganggap Allah adalah sangat lemah, sehingga perlu dibela dengan mati2an Dalil 6. Agama adalah sesuatu yang abstrak dan sulit dicerna, oleh sebab itu sebaiknya tidak diberikan kepada anak-anak yang belum dewasa (disekolah dasar), apalagi dipaksakan sebagai pendidikan agama. Agama adalah persoalan individu dan merupakan kebebasan untuk memilih. Agama sebagai pengajaran (knowledge) adalah penting dan perlu diajarkan (misalnya keanekaragaman agama beserta ciri mereka masing2). Sebaiknya agama sebagai pendidikan (untuk menarik pengikut baru) diberikan kepada manusia dewasa, waktu mereka belum dewasa cukup diberikan pelajaran budi pekerti. Kalau sejak kecil sudah dicuci otak (brain washing) dengan agama, maka hasilnya persis kondisi Indonesia saat ini.  Bukan kekeluargaan atau kasih sayang melainkan kecurigaan, ‘keterkotakan’ (SARA), tidak pandai/biasa berdebat, kalau debat cepat marah, sulit menerima kekalahan, beku, kaku dan bahkan ini bisa menjadi cikal-bakal kekerasan nanti disaat dewasa.  Dinegara modern seperi USA, Jepang, Korsel, Taiwan, Inggris, Australia, dst, agama memang tidak boleh diberikan pada anak2 SD/SMP/SMA (sekolah negeri) sebagai pendidikan (kecuali sekolah yang berafiliasi dengan agama tertentu). Namun sebagai pengajaran (transfer of knowledge) yang mengajarkan berbagai agama beserta karakteristiknya diperbolehkan, pendidikan agama adalah merupakan tanggung jawab orang tua. Untuk anak, yang lebih baik dan lebih penting adalah pelajaran budi pekerti (hubungan horisontal-antar sesama manusia, jadi sesuatu yang lebih riel/nyata, agama: hubungan vertikal dengan Allah, lebih abstrak). Budi pekerti mengajarkan sopan-santun, taat hukum, menghargai alam dan isinya, keadilan dan hidup bersosial secara baik.  Benarkah dan pernahkah Nabi Muhammad SAW dan Nabi Isa mengarahkan agama kepada anak2? Tidak kan? Oleh sebab itu, para pemuka agama hendaknya mengasihani para anak2 dengan tidak membebani otak mereka dengan pengetahuan yang belum saatnya (abstraksi tentang Allah yang sulit); dan yang lebih penting dan mendasar adalah: agama syarat dengan dogma2 yang beku-kaku, bila diajarkan secara kurang tepat dan bijak justru akan membelenggu kecerdasan anak2, bahkan justru anak2 akan mulai terkotak-kotak sejak dini. Hal ini akan menimbulkan dan menyuburkan falsafah: right or wrong for my religion, yang pada akhirnya akan menghasilkan kelompok fundamentalis yang merupakan salah satu bahan dasar membentuk terorisme! Selain itu, mereka menjadi kurang kritis, pasif, tidak pandai debat, dan kalau debat mudah marah (apalagi kalau kalah)! Adalah lebih bijaksana apabila manusia dewasa dibiarkan memilih agamanya sendiri , tanpa paksaan, setelah dewasa!  Dalil 7. Agama bukan jaminan moralitas, kesejahteraan, kedamaian dan keadilan; bahkan kadang2 agama justru dapat melunakan moral, etika dan hukum suatu negara melalui persepsi yang salah.  Lihat saja, ada berbagai agama besar di Indonesia, namun persaudaraan, perdamaian dan keadilan justru tidak ada; yang marak justru kekerasan, kerusuhan, KKN dan pelanggaran HAM. Para elit (militer, politik dan birokrat), yang notabene berpendidikan tinggi justru merupakan sebab utama kehancuran bangsa Indonesia. Yang diatas rajin korupsi namun bebas dan terhormat, yang dibawah: begitu menangkap pencuri ayam langsung dibakar begitu saja! Demikian pula yang terjadi dengan di negara2 yang kental sekali agamanya, seperti negara2 berbasis Nasrani: Amerika Latin (Colombia, Argentina, Chilie, Bolivia, Brasil), Philipina; dan negara2 berbasis Islam: negara2 di Timur Tengah (Arab Saudi, Mesir, Suriah, Aljasair, Maroko), Sudan, Nigeria, Pakistan, Afganistan, dst. TKW kita di Timur Tengah yang sering mengalami penyiksaan dan perkosaan juga dapat menjadi salah satu bukti nyata (frekwensi perkosaan tertinggi).  Mengapa hal ini terjadi? Jawabnya, dalam hal ini, agama seolah-olah menekankan dan mengeksploitasi sifat Allah yang hanya sebatas Maha Pengasih, Penyayang dan Pengampun; sifat Maha AdilNya sengaja dihilangkan/dilupakan. Misalnya saja keyakinan bahwa apapun atau berapapun berat dosanya jika :  Percaya Yesus dosanya akan diampuni dan masuk surga (agama Nasrani); atau jika berpuasa secara benar atau meninggal di Mekah (saat berhaji) atau mendapatkan barokah di malam Lailatul khadar (malam seribu bulan dimana surga akan terbuka penuh) maka seluruh dosanya akan diampuni dan dijamin masuk surga. Dengan konsep mengobral harga “surga” semudah dan semurah itu, agama berupaya untuk menarik minat calon pemeluk baru (propaganda agama). Namun akibatnya justru negatip, tidak heran bila negara2 dengan agama yang kuat (tapi beku pemahaman) justru menjadi sumber KKN dan pelanggaran HAM! Agama justru dapat menjadi sumber krisis etika dan moral!  Sebagai contoh kongkrit perilaku para agamawan dibumi nusantara, para koruptor kelas kakap, yang tinggal diperumahan-perumahan elit-eksklusif, adalah donatur penting bagi kegiatan sosial atau keagamaan. Pemuka agama dan masyarakat disekitarnya tidak pernah mempertanyakan darimana para pejabat tinggi negara itu mempunyai dana lebih, atau justru sebaliknya, para koruptor ini dijadikan teladan kedermawanan lalu disanjung-sanjung! Demikian pula, melalui acara televisi, etika dan moral generasi muda terus-menerus dirusak setiap harinya: TV kita hanya memperlihatkan dan mementingkan wajah-wajah yang cantik, bagus, rupawan, seksi dan kayaraya, darimana asal kekayaan itu diperoleh tidak pernah digubris, tidak pernah ditayangkan adanya pejabat yang korup, polisi yang busuk, dan jaksa yang kolusi, melalui film2 di TV.  Indonesia bak surga karena negara ini dipenuhi oleh manusia2 rupawan yang kaya raya, agamis, jadi negara seolah-olah bersih dari KKN dan pelanggaran HAM! Seharusnya sifat Maha Adil lebih ditekankan, agar manusia (pejabat) berpihak ke rakyat jelata yang tertindas, dan menuntut para oknum pelaku KKN dan pelanggar HAM dimuka hukum. Jadi sebelum hukum horisontal (antar sesama manusia) terlunaskan/termaafkan, maka oknum tsb. tidak akan mungkin masuk surga (hukum vertikal).  Ulama, pastor, begawan, biksu dan pendeta harus menandaskan bahwa kejahatan manusia juga harus dipertanggung jawabkan dahulu didepan manusia (pengadilan), jadi tidak hanya vertikal melainkan horisontalpun penting (sifat Maha Adil itu lebih mengarah ke horisontal atau sesama manusia dan ini penting sekali)! Mereka harus rajin ke DPR/DPRD, Kejagung, presiden dst. Dalam hal membela kebenaran/moral, tanpa harus berpolitik praktis, mereka harus merasa malu dengan daya juang para mahasiswa/LSM dalam hal pembelaan moral dan kebenaran! Mereka, para agamawan, juga harus malu kepada seorang wanita ceking yang gigih membela manusia melarat dan tertindas, yang bernama Wardah Hafidz dan Dita Sari, atau pria ceking-kecil bernama Munir, yang tidak takut mengorbankan keamanan, kenyamanan bahkan hidupnya!  Mana ada ulama, kyai, ustadz, pastur, pendeta atau biksu, yang turun tangan membela tukang becak, penjual asongan, buruh, TKI/TKW dst secara nyata? Mana ada dari mereka yang menuntut tuntasnya kasus BLBI, tragedi Mei 98, Trisakti, Priok, Kudatuli, KKN, uang hibah haram, pelurusan sejarah 1965, korban cucu-cicit PKI, membela buruh dan TKI/TKW, dst.? (seandainya ada, jumlahnya hanyalah minim sekali, kurang dari 1%, alias satu orang dari seratus pemuka agama!). Sebaliknya, pandanglah negara RRC yang komunis, yang justru menampilkan kesejahteraan, kedamaian dan keadilan; koruptor kelas kakap diburu s/d liang kuburnya dan kalau ketangkap dengan tegas diadili kemudian ditembak mati. Kesejahteraan yang timbul dalam agama seringkali hanya terjadi pada para birokrat (pemimpin/pengurus) agama itu sendiri (karena zakat/derma). Penegakan hukum (legal formal) lebih menjamin tingginya moralitas dan pertumbuhan ekonomi, yang pada akhirnya akan memberikan kesejahteraan, kedamaian dan keadilan bagi rakyat, bila dibandingkan dengan buaian agama yang memabokan.  Dalil 8. Agama Harus Menghormati Budaya Setempat. Semua agama besar di Indonesia berasal dari luar negeri, maka bias budaya pasti ada. Artinya, budaya asing mendompleng agama akan masuk dan mempengaruhi budaya lokal. Alangkah sedihnya kita, apabila di jalan Malioboro, seorang menyapa dengan Amitaba ... (Budha, bhs. Cina), lalu dijawab yang lainnya dengan Assalam ..... (Islam, bhs. Arab), kemudian ada lagi yang menyahut Syallom .... (Kristen, bhs. Yahudi), tak ketinggalan ada yang berkata Hong wilaheng .... (Hindu, bhs. Hindi); kemudian ada yang menjawab secara rasional, sopan dan nasionalis : Selamat pagi, selamat siang dst. Demikian pula dengan budaya berpakaian, alangkah sedihnya apabila blangkon dan surjan Yogya terdesak oleh pakaian Arab atau sari India. Memeluk agama asing haruslah tidak boleh mengorbankan budaya setempat. Yang paling menakutkan adalah penjiplakan cara berpikir dan berperilaku, misalnya menganggap ilmu pengetahuan dan teknologi itu “setan” yang harus dijauhi, dan melakukan kekerasan demi pembelaan agama, konsep yang salah “right or wrong for my religion” (sisi “wrong” sangat berbahaya bagi kesehatan nurani).  Agama yang baik semestinya dapat berperan untuk mempengaruhi kebudayaan suatu suku atau bangsa kearah yang lebih baik. Alm. Mochtar Lubis dalam bukunya yang best seller di tahun 1977 (judul: Manusia Indonesia) mengkritisi secara habis-habisan budaya negatip manusia Jawa (sang mayoritas) yang: munafik, enggan bertanggung jawab, feodal, percaya takhyul/mistis, berkarakter lemah, suka KKN, pelupa, tidak tahu malu, cuek, dst. Dalam konteks negara, agama yang baik semestinya bisa menghapus atau menipiskan kelemahan budaya suatu bangsa. Namun sayang, di Indonesia, peran agama justru kebalikannya, terbukti bangsa ini tidak bisa melepaskan diri dari sumber dari segala sumber krisis yaitu krisis moral dan kebudayaan! Bayangkan bila nalar kita tidak kritis diberbagai bidang, pinjaman uang (utang) luar negeri yang bersyarat telah membelit kita, kurs nilai mata uang yang jauh dari keadilan telah menjajah kita, dan budaya asing yang lewat agama telah mendominasi budaya kita, lalu kita mau jadi bangsa apa? Adalah sayang sekali, kebanyakan agama yang ada justru meninabobokan kemudian secara halus-terselamur menggusur kebudayaan kita!  Dalil 9. Agama mudah diperalat. Oleh para elit politik maupun penipu biasa, agama sering diperalat. Sudah jamak kita tahu bila ucapan Assalamualaikum….. di negeri ini sudah dipakai sebagai pembuka berbuat jahat, sudah menjadi bagian penting dari birokrasi preman. Kedunguan manusia telah mengubah ajaran suci Allah melalui para nabi menjadi belenggu bagi umat beragama. Dan sejarah juga sering menjadi saksi bagaimana penguasa politik, militer, birokrat, ekonomi maupun agama bahu-membahu mendungukan manusia agar dapat dikuasai oleh ambisi-ambisi mereka. Kesetiaan dan ketaatan hampir seratus persen kepada Allah melalui agama disalah gunakan oleh ‘manusia cerdas tapi jahat’. Antara Agama dan partai politik sudah sulit dibedakan. Antara filsafati yang suci bersih dan politik yang hitam kotor bercampur baur. Umat beragama bingung, apakah ia sedang mendengarkan sabda Allah atau orasi politik yang ulung dari seorang Kyai atau Da’i (misalnya Da’i sejuta umat), atau apakah ia sedang ada di mesjid atau sedang ada di kantor partai politik?  Awas, para politisi di Jakarta itu adalah ahli mempolitisir agama. Para pakar politik Barat yang bagaimanapun kita harus akui kualitasnya lebih unggul daripada para politisi kita. Mereka pasti juga ikut dan lebih pandai menggunakan jurus politisasi agama; misalnya saja agar Indonesia terjebak dalam persoalan agama atau agar bangsa Indonesia mendem keblinger alias mabuk agama (semuanya mau diselesaikan dengan agama!). Dengan demikian laju perkembangan IPTEKnya dapat dihambat. Dengan politisasi agama, kasih sayang dimanipulasi menjadi kekerasan dan bahkan pembunuhan, misalnya jihad bom bunuh diri dimana pelakunya dijanjikan pahala yaitu surga. Lihatlah fakta kekerasan dan pembunuhan di negara2 yang agamis seperti: Colombia, Argentina, Aljasair, Afganistan, Mesir, Sudan, Pilipina, Indonesia, Bosnia, Yugoslavia, dst. Lihatlah bagaimana mantan presiden Suharto yang tidak lulus SMA dengan begitu indahnya mempercundangi para akademisi (mahasiswa dan dosen yang notabene adalah bergelar profesor/doktor) di UI, ITB, UGM, IPB, dst., dengan menaklukan/membelokan reformasi melalui politisasi agama (sebagai salah satu strategi save exit yang ampuh; tentang hal ini, harap baca artikel yang lain).  Dalil 10. Agama dapat menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).  Lihatlah sejarah Eropa diabad 17 an. Agama Katholik saat itu sering menghukum ilmuwan, dengan alasan ilmuwan itu membuat pernyataan yang dianggap bertentangan dengan isi Injil. Ilmuwan besar yang dikucilkan antara lain adalah Copernicus, Galileo, Columbus, dan Darwin. Pada abad itu ketika agama Katholik begitu dominan (namun beku, kaku dan statis), Eropa justru mengalami jaman kegelapan. Sekarang, lihatlah perbedaan antara negara Amerika Latin (yang dominan agamanya) dan USA serta Kanada (yang dominan religiositasnya dan ilmuwannya). Sangat kontras sekali, misalnya saja antara USA dan Meksiko yang berbatasan. USA sangat modern, makmur, tentram, sebaliknya Meksiko, padahal mereka sama2 pendatang dari Eropa. Negara-negara Islam juga sama saja, katakan saja Turki, Bosnia, Albania adalah negara2 Islam paling modern, ternyata masih jauh tertinggal dibelakang negara2 Eropa dalam IPTEK, demokrasi dan kemakmuran. Selama pemahaman agama itu masih sempit (fanatisme agama, bukan religiositas), maka selama itu pula negara akan terjebak dalam hiruk pikuk eforia agama. Kita juga dibuat tercengang dengan para ilmuwan negara komunis, misal RRC, mereka maju pesat, misal sudah dapat mengirim astronot ke ruang angkasa, lihat pula negara kita yang dibanjiri otomotif produk mereka dengan harga yang sangat murah (sebab di RRC hampir tidak ada KKN).  Berapa ribu jam belajar yang sudah dihabiskan oleh anak-anak SD untuk “menghapal” hal yang belum saatnya dipelajari (agama beserta bahasa asing dan budayanya)? Bukankah anak2 itu ibarat di “brain washing” sehingga daya kreativitas dan daya saing mereka untuk tingkat dunia menjadi rendah sekali. Karena cara mengajarnya yang kebanyakan doktriner, akibatnya para siswa menjadi kaku, pasip, tidak kreatip, tidak bisa debat, gampang marah kalau debat, dan tersekat-sekat. Hasilnya apa? Toh mirip P4, PMP, dst. Selain itu, setamat SD, kita masih harus menghabiskan sekian ribu jam pelajaran lagi untuk belajar dan mengejar ketertinggalan dalam bahasa Inggris, lalu kapan SDM kita bisa maju kalau kita tidak effisien dalam menggunakan waktu dalam pendidikan (porsi agama terlampau banyak)?  Dalil 11. Semakin udara suatu bangsa penuh polusi doa puja-puji kepada Allah, semakin rusak moral bangsa itu. Kalau kita amati, seringkali tembok-tembok ditulisi: Ngebut, benjut; Yang Kencing disini hanyalah anjing; Daerah bebas narkotik; Dilarang buang sampah disini; dst… Dinegara maju yang masyarakatnya sudah mencapai religiositas, tulisan2 berisi ancaman dan aturan kasar semacam itu sudah tidak ada lagi, sebab aturan itu sudah tertulis dihati sanubari mereka semenjak dini/kecil, yaitu melalui pendidikan budi pekerti. Begitu pula dengan masalah agama, semakin bumi nusantara ini dipenuhi polusi suara yang keras dan hingar bingar tentang agama (Tabliq Aqbar, istigotsah, azan masjid, koor gereja, dsb.), kemudian orang2nya semakin gemar memakai atau memajang aksesori keagamaan (seringkali hanya untuk “sekedar sembunyi”), semakin menandakan bahwa masyarakatnya masih sekedar pandai berdoa dan sekedar bosa-basi agama (formalitas), namun tidak pandai melaksanakan ajaran agama. Siang maling atau korupsi, malam berdoa atau meditasi; para pegawai negeri yang mengaku abdi negara dan abdi masyarakat justru mempraktekan filosufi:”Mengapa harus dipermudah, kalau semuanya bisa dipersulit (agar keluar uangnya)?”. Ucapan dan tindakan bangsa ini ternyata sangat kontras bedanya, alias hipokrit/munafik. Lihatlah kelihaian para politisi tua Orde Baru dalam ber “agama”, kemudian lihatlah “track record” mereka. Alhamdulilah, seratus delapan puluh derajat bedanya! Dengan demikian, dapat kita katakan, apa yang terjadi di Indonesia adalah pelecehan agama, bukan penghormatan agama, apalagi pengamalan agama! Pelecehan agama sama saja dengan pelecehan Allah, ini akan menyebabkan kehancuran moral suatu bangsa dan murka Allah!  Dalil 12. Agama tidak akan berguna apabila rakyatnya lapar, miskin dan bodoh. Ada pedoman hidup yang klasik dan bagus: “Kenyang dulu baru ber falsafah”. Sebaik-baiknya ajaran agama, namun apabila perut umatnya kosong, yang terjadi adalah justru kriminalitas: kerusuhan dan kekerasan. Oleh sebab itu, agama perlu meniadakan sumber-segala sumber kemiskinan dulu, terutama kemiskinan struktural yang disengaja dan sengaja dibiarkan terjadi berkelanjutan oleh para politisi busuk; misalnya: gaji yang tidak layak dan tidak adil. Dirut BUMN terima 50 juta; sedangkan buruh/pns terendah terima 0,5 juta per bulan; rasio 1:100! Sistim penggajian yang berbeda antar departemen dan antar BUMN! Sistem gaji di Indonesia, yang bagaikan hutan belantara, telah menjadikan gap kekayaan yang luar biasa dan menjadikan sumber KKN. Kebodohan akan mengakibatkan kesempitan berfikir, kesempitan berfikir dapat disalah gunakan oleh pemuka agama yang berjiwa preman, hasil utama didikannya adalah kefanatikan, kefanatikan (mengklaim paling suci dan paling berhak atas surga!) akan mengakibatkan radikalism agama yang pada akhirnya akan menghasilkan terorisme! Kemiskinan dan kebodohan menyebabkan mudahnya umat untuk di cuci otak oleh pemuka agama preman, misalnya untuk melaksanakan: jihad (di agama Islam dapat berbentuk bom bunuh diri, sekaligus melakukan pembunuhan masal; sedangkan bunuh diri secara masal bentuk di agama Nasrani); semuanya dilakukan demi dalih masuk surga!  Penutup Kedunguan manusia telah mengubah ajaran suci Allah melalui para nabi menjadi belenggu bagi umat beragama. Dan sejarah juga sering menjadi saksi bagaimana penguasa politik, militer, birokrat, ekonom maupun pemuka agama bahu-membahu mendungukan manusia agar dapat dikuasai oleh ambisi-ambisi mereka. Singkat kata: “kitab suci semua agama sangat terbatas, Allah maha tidak terbatas. Pemahaman akan Allah belum selesai dan tidak pernah akan selesai. Oleh sebab itu, janganlah kita menghina Allah dengan mereduksi/memperkecil kemahabesaran Nya menjadi hanya satu buku yang sangat tipis sekali yang disebut kitab suci. Belajar agama harus sampai mencapai tingkat tertinggi yaitu religiositas! Manusia yang sudah mencapai derajat religiositas yang tinggi, sudah tidak lagi mementingkan wadahnya yaitu agama, melainkan lebih mementingkan isi (intisari/makna) suatu ajaran agama, dan ia tidak pernah berhenti untuk terus mencari Sang Kebenaran! Dan ia menjadi manusia bebas merdeka yang tidak tersekat-sekat lagi. Berbahagialah orang yang tidak beragama namun mempunyai religiositas yang tinggi/dalam, sebab ia akan bebas merdeka dimana saja, kapan saja, dilingkungan apa saja, sebab Allah akan selalu menyertai dia! Manusia religius tidak akan pernah: membatasi Allah sebatas agamanya, membatasi sesamanya atas dasar agamanya; sebab Allah adalah milik semua orang, baik yang beragama maupun yang tidak beragama - sebagaimana matahari diciptakan untuk semua manusia. Allah juga bukan masa lampau, melainkan lebih mengarah ke masa depan. Fakta sejarah juga telah menandaskan bahwa agama dapat diperalat menjadi sumber krisis etika, moral dan kebudayaan apabila dipolitisasi!

Sayang sekali, kebebasan beragama di Indonesia termasuk semu, sebab agama2 baru, yang ternyata banyak sekali jumlahnya, dilarang masuk ke Indonesia (juga kebebasan untuk tidak beragama atau berkepercayaan)! Mungkin hal ini dikarenakan takut mengganggu kemapanan agama2 yang sudah dahuluan masuk Indonesia. Silahkan search (cari tahu) agama baru di internet dengan Google dengan cukup mengetikan: new religion. Selain itu, lihatlah format KTP kita, KTP hanya memuat agama tertentu; padahal agama terus tumbuh dan berkembang, dan religiositas adalah pencapaian terbaik untuk umat manusia; dengan pilihan politis demikian, sudah dapat ditebak bahwa visi kedepan bangsa ini telah salah secara mendasar! Membatasi pengetahuan akan Allah hanya sebatas kitab suci yang tipis, dan membatasi manusia untuk mengetahui rahasia Allah lebih lanjut lagi adalah dosa yang tidak disadari oleh para pemimpin agama saat ini yang pemikirannya statis-kaku-beku!!!

Sebagai penutup, Ibu mohon agar artikel ini disebar luaskan kesegenap penjuru Nusantara (terutama kepada para pemuka agama, aktivis dan cendekiawan keagamaan) dan ke seantero dunia baik secara digital (atau disimpan di archive suatu situs internet), suara (dibacakan di radio) maupun secara kertas (dicetak/dibukukan), dengan harapan untuk menjadi sumber pembahasan/diskusi yang sehat dan sumber riset mengarah ke doktoral (PhD) demi memicu pengertian yang lebih mendalam tentang negara, agama, politik dan Allah. Uluran tangan untuk menterjemahkan artikel ini kedalam bhs. Inggris yang baik untuk kemudian di publish secara internasional melalui internet sangat Ibu tunggu2. Dengan demikian diharapkan negara Indonesia dan dunia menjadi aman, tenteram dan sejahtera.  Tanggapan serta karya anda yang berbobot sangat dinantikan dan diharapkan oleh Ibu, masyarakat Indonesia dan dunia. Saran dan kritik positip (terutama dari para pembaca yang sudah berusia diatas 50 tahun dan berjiwa religius) akan Ibu gunakan untuk selalu mengupdate/revisi artikel ini. Pembaca yang budiman, Ibu mohon agar anda jangan cuek terhadap krisis etika, moral dan kebudayaan yang sedang melanda Indonesia. Sekian dan terima kasih.

Demikianlah tulisan sahabatku yang sedang “bersemedi” yang dikirimkan, semoga impian Ibu Nusantara tercapai. Amien.

Posted by H. Bebey  on  04/11  at  06:05 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq