Berbahasa Arab di Jepang - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Editorial
12/04/2004

Berbahasa Arab di Jepang

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Saya belum sempat menonton film “Lost in Translation” yang mengambil latar belakang kota Tokyo, Jepang. Tetapi, pertengahan Maret lalu saya berkunjung ke negeri Timur yang menakjubkan itu.  Sudah tentu banyak hal yang patut dicatat dari kunjungan itu.

Melihat negeri lain, seperti mengenali benda-benda untuk pertama kali. Kita bertemu dengan orang-orang dengan kulit, pakaian, bahasa, dan adat-istiadat yang sama sekali berbeda. Kita bahkan harus menjumpai sebuah musim dan cuaca yang lain sama sekali, juga makanan yang tak kita kenal selama ini.

Saya belum sempat menonton film “Lost in Translation” yang mengambil latar belakang kota Tokyo, Jepang. Tetapi, pertengahan Maret lalu saya berkunjung ke negeri Timur yang menakjubkan itu.  Sudah tentu banyak hal yang patut dicatat dari kunjungan itu.

Datang dari sebuah negeri di mana kota-kotanya kurang begitu tertata dengan rapi dan bersih, hal pertama yang langsung menyambar mata saya ketika masuk ke kota Tokyo adalah pemandangan kota yang begitu tertib, bersih, serta orang-orang yang bersliweran ke mana-mana dengan “kereta angin” alias sepeda kaki. Kepadatan kota Tokyo tak jauh beda dengan Jakarta, tetapi kota ini masih menyisakan trotoar yang nyaman buat jalan kaki dan bersepeda. Seandainya saya bisa melakukan hal itu di Jakarta.

Ketika saya turun di stasiun TCAT di Hakozaki, saya disambut oleh mahasiswa S3 University of Tokyo. Di taksi, saya mencoba berbicara bahasa Inggris dengan mahasiswa itu, tetapi dia rupanya kurang lancar berbicara dalam bahasa itu. Karena saya mendatangi sebuah seminar tentang Islam yang diadakah oleh Japan Association of Middle East Studies (JAMES), saya menduga dia mungkin bisa berbicara dalam bahasa Arab. Dan benar, dia lancar sekali berbahasa Arab. Sepanjang 20 menit perjalanan menuju hotel, saya berbicara dengan bahasa yang selama ini identik dengan umat Islam itu.

Ini adalah sesuatu yang aneh: saya harus berbicara dengan orang Jepang, dalam bahasa Arab, di sebuah negeri yang selama ini tidak pernah saya kenal mempunyai populasi Muslim yang cukup besar. Selama dua hari seminar, saya bertemu dengan banyak sarjana Jepang yang sangat lancar berbahasa Arab, dan ahli dalam kajian Islam di Timur Tengah. Saya agak merasa aneh, karena bertemu dengan sejumlah profesor Jepang yang melakukan kajian tentang aspek-aspek kecil dalam sejarah Islam klasik. Ada seorang profesor yang ahli tentang sejarah irigasi Mesir pada masa Dinasti Mamluk. Ada profesor lain yang ahli tentang tradisi upacara Maulid Nabi di Andalusia pada abad pertengahan. Mahasiswa yang menjemput saya di stasiun itu, sedang melakukan riset tentang sejarah kota Damaskus pada abad 14 dan 15 Masehi, dan sangat fasih bercerita tentang buku karangan Ibn Asakir, “Tarikh Dimasyq”.

Saya sempat berkunjung ke sebuah perpustakaan swasta, Toyo Bunko atau Oriental Library, yang didirikan dan dibiayai oleh keluarga perusahaan besar, Mitsubishi. Perpustakaan ini mempunyai koleksi ratusan ribu buku tentang kebudayaan timur dalam pelbagai bahasa. Saya diajak keliling oleh Direktur Riset, Prof. Tsugitaka Sato, ke seluruh ruangan perpustakaan, melihat koleksi ratusan ribu buku dan manuskrip tua yang menakjubkan. Prof. Sato menghadiahkan sebuah buku yang baru ditulisnya, tentang sosok seorang wali besar dari Asia Tengah, yaitu Ibrahim b. Adham. Sayang sekali, saya tidak paham bahasa Jepang sehingga tak bisa menikmatinya. Bagi anak-anak pesantren, sudah tentu tokoh Ibrahim b. Adham ini sangat dikenal.

Saya benar-benar kaget, ternyata tradisi kajian Islam di Jepang cukup berkembang dengan baik dan kukuh. Inilah yang menjelaskan kenapa muncul beberapa sarjana Islam Jepang dalam tingkatan yang sejajar dengan para sarjana Islam di Barat, seperti Pro. Toshihiko Izutsu atau Sachiko Murata, pengarang buku The Tao of Islam yang terkenal itu.

Jepang tidak saja identik dengan Sony atau Honda. Di negeri ini banyak hal tentang kajian Islam yang patut diperhitungkan oleh sarjana Islam di Indonesia. [Ulil Abshar-Abdalla]

12/04/2004 | Editorial | #

Komentar

Komentar Masuk (4)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Wah ,bisa dijadikan motivasi para mahasi swa di unv islam.coz masih bny org yg mre mehkannya.mrka menggangap prospek org yg mguasai b arab .tdk lebih hanya skedar mjadi guru di lembga pend islam .yg jam mata pelajarnnya seminggu sekali .kalah saing dengan mapel lainnya.  ...Pesan saya : AYO LESTARIKAN B ARAB. Jadikan b arab sbg bhs gaul org islam.

Posted by Alfianne  on  10/12  at  01:20 PM

Saya sangat sependapat manakala ada yang antusias akan khasanah bahasa Arab sebagai salah satu sarana membentuk insan yang melek akan informasi dan komunikasi.Namun hal ini belum terbelit dalam benak kita bersama terhadap pentingnya proses pembelajaran bahsa Arab.Apakah yang melatar belakangi hingga hal ini belum terwujud.Secara universal pencanangan pembelajaran bahasa Arab hendaknya dimulai pembelajarannya dari usia dini hingga dewasa sebagaimana kita mafhum bahwa mayoritas kita adalah Islam. Terlepas dari itu semua alhasil kita harus sama-sama membenahi diri.Selamat buat anda.Dan salam buat rekan-rekan di ISAI khusunya buat Mas Bimo Nugroho, CS
-----

Posted by H.A.Ghofar Syarief  on  07/22  at  10:08 AM

Pemerintah Jepang mengutamakan pendidikan untuk semua warga negara Jepang; tidak aneh jika mereka menguasi Bahasa Arab; karena Bahasa Arab telah diakui oleh Perserikatan Bangsa Bangsa sebagai bahasa International seperti Bahasa Inggris, Bahasa Peracis, Bahasa Spanyol. Sesungguhnya yang aneh didepan mata kita sendiri di Indonesia. Banyak orang Indonesia yang berangkat untuk bekerja di Timur Tengah sebelum Indonesia merdeka sampai sekarang; karena tingginya tingkat pengangguran di tanah air. TKI di Timur Tengah mendatangkan devisa untuk negara pada saat Indonesia sangat membutukan devisa untuk membayar hutang luar negri yang besar. Sangat disayangkan Bahasa Arab tidak diajarkan di SD, SLTP, SLTU dan Universitas di tanah air; karena ummat Islam di tanah air tidak memandang Bahasa Arab sebagai bahasa persatuan ummat Islam. Sebaiknya ummat Islam mendesak Pemerintah mengajarkan bahasa Arab kepada semua murid dari SD sampai Universitas. Negara Timur Tengah yang memiliki banyak uang karena minyak; sebaiknya Pemerintah RI memajukan perdagangan antara Indonesia dan negara di Timur Tengah dimulai dengan pengajaran bahasa Arab di SD sampai Universitas; mengingat masih sedikit jumlah ahli bahasa Arab di tanah air.

Posted by Muhammad Abdullah  on  04/16  at  10:05 PM

Bung Ulil...., terus terang saya bangga dengan Anda (bukannya menyanjung loh!) karena apa? karena berkat langkah,sepak terjang & gerak-gerik Anda kita akan selalu membuka wacana-wacana baru tentang Islam itu sendiri & karena itu ..insyaalah kita akan benar-benar merasakan apa yg disebut dengan “ Izzul Islam wal Muslimin” ....amiiin Akan tetapi masih terlintas dalam benak pikiran saya.. kenapa Anda belum (atau memang tidak) mau mensosialisasikan apa yang Anda gembor-gemborkan itu.yaitu Islam liberalyaitu kepada kami mahasiswa-mahasiswa yg sedang study di Timur tengah (khususnya Yaman) atau belum beranii?? Kiranya cukup sekian ...harapan saya Anda begitu respek dengan “Tantangan” saya ini..semogaaaaaa!! Wassalam

Posted by Ahmed Syukron Amien As-Samaron  on  04/13  at  05:04 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq