Bisnis Ramadan di Televisi
Oleh Hamid Basyaib
KALAU kita menonton televisi hari-hari ini, kita bisa tersesat. Kita bakal menyimpulkan bahwa Ramadan bukanlah bulan puasa, melainkan bulan hiburan dan banjir hadiah.
KALAU kita menonton televisi hari-hari ini, kita bisa tersesat. Kita bakal menyimpulkan bahwa Ramadan bukanlah bulan puasa, melainkan bulan hiburan dan banjir hadiah.
Lihatlah, semua stasiun TV berlomba-lomba menyajikan acara yang berkaitan - atau dikait-kaitkan - dengan Ramadan. Dari tahun ke tahun kita menyaksikan meningkatnya gaya berbusana para presenter acara maupun narasumber. Para perancang mode rupanya habis-habisan mengerahkan keahlian mereka untuk menghasilkan busana-busana seperti itu.
Di satu stasiun terkesan bahwa pembawa acara maupun narasumber mengenakan busana yang senada. Mereka seolah dijadikan peragawan/peragawati oleh perancang mode tertentu ataupun toko busana (butik).
Yang pria umumnya memakai peci --dengan variasi bentuk dan ornamen yang makin kaya (meski tidak berarti makin bagus). “Busana muslimah” yang perempuan pun modelnya kian semarak, dengan aneka hiasan yang sangat meriah (juga tak berarti makin menarik). Semuanya punya ciri yang sama: penuh kombinasi warna-warni (yang tak selalu tepat). Gemerlap. Gemebyar. Anak-anak muda Jakarta punya istilah untuk itu: ngejreng.
Para perancang dan pemakainya seakan mau mengumumkan kepada dunia: Islam pun bisa tampil keren, tidak kumuh sebagaimana terkesan selama ini. Orang bisa menjadi Muslim yang baik (terlepas dari makna kata ini) seraya tetap bergaya.
Bagaimana dengan materi dan substansi acaranya sendiri? Sama sekali tidak terlihat kemajuan. Materi ceramah umumnya itu-itu saja dari tahun ke tahun. Kuis-kuis yang digelar pun mengajukan pertanyaan-pertanyaan elementer di seputar ajaran dan peristilahan agama Islam. Yang berubah adalah hadiah-hadiahnya - makin menggiurkan. Untuk pertanyaan, “Apakah nama-nama Tuhan yang baik?” - yang bahkan diberi arahan tambahan oleh presenter agar mudah dijawab bahwa “jumlahnya ada 99” - seorang penelepon bisa mendapat uang berjuta-juta rupiah plus barang-barang tertentu dari para sponsor.
Yang juga makin mencolok adalah menonjolnya peran para pelawak dalam acara-acara itu. Ajaran-ajaran agama disampaikan dengan penuh canda dan tawa - dan secara umum tak ada kaitannya dengan makna puasa itu sendiri. Kita belum pernah mendengar adanya keluhan atau “protes” dari lembaga atau ormas-ormas keislaman terhadap gejala yang ganjil ini: agama direpresentasikan oleh para pelawak, seolah agama adalah sesuatu yang lucu atau patut didakwahkan secara kocak.
Mengapa stasiun-stasiun TV menyajikan acara-acara dangkal semacam itu? Argumen standar mereka: masyarakat memang menyukainya. Kalau publik suka, rating meningkat, iklan pun banyak masuk. Dari sudut kepentingan mereka, semua itu sah belaka, yaitu menjadikan Ramadan sebagai bulan bisnis dan promosi.
Namun dari segi keperluan peningkatan penghayatan keagamaan, tidakkah MUI dan ormas-ormas Islam yang berkepentingan dengan soal ini perlu melakukan sesuatu?
Mereka mungkin bisa mengembalikan Ramadan ini sebagai bulan puasa. (Hamid Basyaib)
Komentar
Ass. Ramadhan adalah bulan penuh kebesaran Allah. Sebetulnya jika stasiun TV tersebut betul-betul ingin menjadikan bulan ramadhan berbeda dengan bulan yang lainnya. seharusnya menampilkan acara-acara yang berhubungan dengan keislaman. Sinetron usahakan islami dan mendidik, musik masukkan yang islami (nasyid), dan perbanyak siraman rohani. dari berbagai ormas-ormas islam. seharusnya seperti itu. Kenana? karena ramadhan mencirikan islam maka tunjukkan keislamannya. kan cuma sebulan! apa salahnya Stasiun TV melakukan program khusus seperti itu. Tapi memang kenyataannya banyak pebisnis yang tidak mau ketinggalan dalam hal ini. lawakan, hadiah memang boleh ada tapi sepertinya terlalu banyak mendominiasi dari inti keislamam itu sendiri. hingga saat ini duania makin kacau dan makin mendekati kiamat. saya kira setiap masyarakat harus sadar akan hal ini. sehingga bersiap-siap untuk menghadapi maut. dan akhirat.
-----
Apa yg penulis tulis dalam artikelnya memang tidak bisa dipungkiri, saya sendiri melihat sebagai sebuah keanehan yg jika kita lihat dari maksud tujuan penayangan acara keagamaan pada bulan ramadhan ini masih jauh dari maksud&kualitas yg seharusnya.
Yg paling mengecewakan, ketika saya menonton sebuah acara kuliah keagamaan pd salah satu stasiun tv, para pelawak itu malah membuang2 waktu sang ustad dgn berolok2 gak jelas, sangat mengecewakan sekali.
Memang harus diakui pemahaman setiap org tidak selalu sama, sehingga jika kita melihat bahwa pertanyaan yg sering diajukan dari tahun ke tahun dalam acara tny jawab, pasti selalu sama atau serupa, tp itu masih lebih baik dari pada tidak sama sekali.
menurut saya memang untuk merubah sebuah kondisi budaya yg komersil menjadi idealis tidak semudah membalikan telapak tangan karena para pengusaha stasiun tv tentu saja harus melihat dari segi bisnis ttg pengemasan acara tv di bulan ramadhan ini. tp itu bukan suatu justifikasi terhadap isi2 acara tv yg murahan seperti itu. perlu melakukan kajian mendalam atau dibentuk tim kajian untuk menyuguhkan acara tv terbaik terutama yang sifatnya relijius di bulan ramadhan ini. tim kajian inilah yg tidak dimiliki oleh para stasiun2 tv kita, jika pun ada, kajian yg dilakukan adalah bagaimana upaya menarik minat pemodal, pengusaha untuk memasang iklan dsb, bukan kepada segi edukasinya, maka tak jarang acara tv kita semakin tidak layak untuk ditonton saja.
Begitulah mas Hamid. Saya mengangkat permasalahan ini dalam tesis yang tengah saya garap, dan bagi saya, nonton program Ramadhan khususnya Sahur, bagai membaca teks-teks infotainment. Saya tidak sepakat dengan pendapat ‘masih mendingan’-nya saudara Ilham yang mencoba bijak menyikapi pilihan para pengusaha industri hiburan televisi. Realitasnya adalah industri televisi kita memang masih kapitalis murni dalam bentuk yang paling primitif, dan yang ada dalam kepala mereka betul-betul bagaimana menyajikan hiburan yang bisa menarik pemirsa untuk mendongkrak rating setinggi-tingginya. Saya sepakat bahwa ini adalah cerminan masyarakat kita. Acara semacam ini eksis karena didukung oleh pemirsa yang mau saja dikonstruksi oleh para pengusaha hiburan sebagai makhluk yang haus hiburan. Tapi kita juga harus cukup arif melihat ini: bukannya masyarakat kita yang bodoh, bukannya selera mereka memang haus hiburan, tapi mungkin karena mereka tidak tahu ada pilihan lain yang lebih bagus, atau mungkin pilihan alternatif seperti Tafsir al-Misbach di Metro TV itu masih sangat jarang. Ya di mana-mana, sebagus apapun acara-acara televisi, kalau ada yang menyajikan striptease biar cuma satu stasiun dan sepuluh menit lamanya, orang akan lari ke situ, nggak di Amerika, nggak di Indonesia. Saya juga melihat bisnis ramadhan di televisi semacam ini juga eksis karena ada sebagian dai yang senang pula jadi selebritis--itu tak bisa diingkari. Bagi saya sendiri, wacana religius ada dalam sebuah ruang yang semestinya mencerahkan siapapun yang berkiprah ikhlas di dalamnya. Masalahnya, media adalah ruang yang bersifat sekuler. Ketika wacana religius yang disakralkan itu memasuki media yang sekuler...hiks, industri kapitalis media negeri ini dengan sukses berhasil mengerangka wacana religius tersebut agar tunduk dalam kode-kode budaya produksi media yang mengabdi pada rutinitas media untuk menghasilkan profit berdasarkan rating (duh, rating lagi ya pak Faried… memang itulah persoalan terbesar industri televisi kita). Untuk itulah, kita-kita yang menganggap ini bagian dari persoalan ‘menonton televisi’ di Indonesia perlu menularkan kritisisme ini kepada siapapun yang ada di sekitar kita--hitung-hitung bagian dari gerakan media literacy alias melek media, tul nggak?
Saya termasuk orang yang benci dengan acara TV sekarang yang gak jauh dari kekerasan dan pelecehan itu, ada beberapa yang menghibur memang tapi tidak Islami.
Termasuk tayangan Ramadhan, yang dibutuhkan sebenarnya bukan hiburan tapi bagaimana kita bisa mnghayati Ramadhan ini dengan khusuk dan merangsang untuk terus belajar Agama.
Sebagai jalan tengah mungkin gak perlu buang TV kita yang dirumah, kita tugaskan kepada Istri kita untuk membuat list acara-acara yang boleh ditonton oleh keluarga (tentunya kita juga harus membuat sendiri kriterianya), selain itu berikan kepada anak dan keluarga VCD yang Islami (yang bukan bajakan) untuk mengisi waktu disamping les-les agama dan ilmu pengetahuan yang lain.
Yusuf A.
Saya berpandangan bahwa setiap orang berkewajiban untuk melakukan syiar agamanya masing-masing selama tidak ada unsur paksaan. Demikian juga dengan media TV. Walaupun kecenderungan isi yang ditampilkan terkesan hanya berbau bisnis belaka tetapi itu adalah suatu kewajaran bagi setiap perusahaan yang ingin meraih keuntungan dengan memanfaatkan momentum yang ada. Tetapi perlu diingat pula bahwa paling tidak syiar tetap ada di dalamnya. Kalau kita melihat terlalu banyak hal yang berbau kelucuan karena yang membawakan adalah para komedian yang sudah menjadi tugasnya. kalau kita mau memikirkan kembali fenomena ini, kondisi ini menggambarkan bahwa pihak media TV memandang bahwa saat ini masyarakat Indonesia sangat membutuhkan hiburan dibandingkan tayangan yang memerlukan perenungan mendalam atau sudah sulitnya ditemukan kepedulian terhadap orang lain yang lebih menderita dari kita semua sebagaimana salah satu makna puasa dan hal yang menarik dan memiliki nilai jual adalah acara komedi, maka wajar saja bila pihak media televisi menayangkan hal-hal tersebut.
Kita jangan pernah merendahkan pengetahuan yang dimiliki para komedian karena boleh jadi mereka lebih mengerti dari kita hanya cara penyampaiannya yang berbeda dengan para kyai ahli dakwah dan sebagainya. Justru yang perlu kita khawatirkan adalah tayangan-tayangan sinetron yang mengajarkan pada generasi muda hal-hal yang bersifat angan-angan dan instan yang mengakibatkan mereka enggan untuk berusaha sendiri secara positif untuk menjadi lebih baik. terlalu banyak sinetron yang mengumbar kefanaan dunia yang mempengaruhi prilaku dan pola pikir generasi muda yang dibuat terlena oleh modernisasi semu seperti terlalu banyak mengumbar kemewahan, perselingkuhan, gaya hidup bebas dan sebagainya.
Jadi kesimpulannya adalah bagaimana kita menyikapi hal tersebut (fenomena umbar kelucuan) dan bersikap lebih arif atas fenomena ini. Jangan lupa membuat orang tersenyum adalah juga merupakan Ibadah
Wassalam
Komentar Masuk (30)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)