Bush Sering Pakai Istilah-istilah Biblikal - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
13/04/2003

Azyumardi Azra Bush Sering Pakai Istilah-istilah Biblikal

Oleh Redaksi

What went wrong with America? Apa yang salah dalam diri Amerika? Jawabannya kira-kira, horison warganya yang cupet bertemu dengan sosok presiden yang fundamentalistik serta kelompok Hawkish di sekitar Bush yang selalu melihat dunia seperti paku yang harus dipalu. Tata dunia multipolar menjadi kemustahilan di saat Amerika yang hyperpower ini disetir oleh segelintir orang yang berpandangan agresif dan konservatif.

Berikut petikan wawancara Ulil Abshar-Abdalla dari Kajian Islam Utan Kayu dengan Prof. Dr. Azyumardi Azra, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta pada 10 April 2003:

Kita bicara tentang Amerika di bawah rezim Republikan, George W. Bush. Dulu kita bisa menerima nilai-nilai positif Amerika. Tapi invasi unilateral ke Irak seolah merontokkan pandangan lama kita tentang Amerika. Selaku orang yang pernah belajar lama di sana, bisakah Anda jelaskan tentang apa yang salah dengan Amerika?

Saya belajar tahun 1986-1993 di Columbia University, ketika masa pemerintahan Ronald Reagan, dan sempat mencicipi sedikit masa George Bush Senior. Sebagaimana ayahnya, Bush Junior adalah presiden dari kubu Republik. Bila dibandingkan dengan Partai Demokrat, Partai Republik dianggap lebih hati-hati dan “objektif.” Sehingga para pemilih muslim di sana cenderung memilih Partai Republik. Sebab, partai ini diangap lebih konservatif, dianggap tidak terlalu pro-Israel, dan lebih berpihak pada apa yang disebut di sana sebagai family values (nilai-nilai keluarga yang mengagungkan lembaga pernikahan, Red). Biasanya, tema ini dekat dengan tema-tema agama dan diangkat menjadi isu kampanye oleh para kandidat dari kubu Republik.

Pemilu tahun 2000, suara kaum muslim di Amerika lebih banyak diberikan pada Bush?

Ya, lebih banyak pada Bush, karena running mate (pasangan) Al Gore, kandidat presiden dari Partai Demokrat adalah seorang Yahudi, yaitu Joseph Lieberman. Karena itu, mayoritas muslim memberikan suara pada pasangan George W. Bush dan Dick Cheney.

Tapi kebijakan luar negeri Bush nyatanya lebih banyak membahayakan negeri-negeri Islam. Kenapa demikian?

Ya, ada dua faktor penting yang saling berkaitan dalam hal ini. Pertama, naiknya Bush menjadi presiden bukan secara popular vote. Kita tahu, Al Gore menang secara popular vote, tapi Bush yang naik karena menang secara electoral colleges.

Kedua, kepemimpinan Bill Clinton sebelumnya (dari kubu Demokrat) dianggap penuh skandal yang menyangkut kasus-kasus seksual dan lain-lain. Maka, masa kepemimpinan Bush Junior lebih berorientasi untuk membenahi kesalahan-kesalahan moral yang dilakukan Clinton. Maka, semangat yang berkembang di Amerika saat ini adalah neo-konservatif. Saat ini pemerintahan Bush didominasi kalangan neo-konservatif yang amat agresif.

Apa mainstream kaum neo-konservatif ini?

Kubu neo-konservatif mengalami penguatan —salah satu faktornya— karena meningkatnya semangat “fundamentalisme” Kristen. Dalam hal kebijakan, mereka cenderung lebih keras, agresif dan lain-lain. Presiden Bush, secara keagamaan, sangat fanatik, dan itu tercermin dari beberapa blunder yang dia lakukan. Misalnya saja, pasca-tragedi 11 September, dia menggunakan istilah crusade (perang salib) untuk menyebut operasi militer melawan Taliban di Afghanistan. Artinya, dia cenderung menggunakan istilah yang mencerminkan simbolisme religius, seperti crusade, infinite justice (keadilan tak terbatas), dan seterusnya.

Dia juga mempopulerkan istilah axis of evil (poros kejahatan). Apa makna tersirat istilah-istilah itu?

Ya, istilah axis of evil itu bagian dari istilah Biblikal. Tadi kita menyebut kebangkitan neo-konservatisme. Nah, kebangkitan kaum neo-konservatif ini, celakanya ditambah parah oleh tragedi 11 September yang kemudian memperkuat sikap keras pemerintahan Amerika di masa Bush. Sekitar dua minggu lalu, majalah Newsweek memuat laporan tentang Presiden Bush dan God. Di majalah itu Presiden Bush dilukiskan bagai sosok yang tak hanya saleh dan taat, tapi juga mempunyai semangat yang kuat untuk menjuangkan nilai-nilai yang dia percayai.

Ada analisis mengatakan bahwa jauh hari sebelum tragedi WTC sudah ada rencana mewujudkan Amerika sebagai polisi atau tukang gebuk dunia. Figur-figur konservatif seperti Paul Wolfowitz, Donald Rumsfeld dan Richard Perle seperti menunggu kesempatan agar pandangan mereka dijalankan. Komentar Anda?

Ya, memang ada keinginan kuat seperti itu sebelumnya, dan itu dimungkinkan oleh kenyataan bahwa Amerika adalah kekuatan satu-satunya di dunia. Pandangan inilah yang kemudian mendorong munculnya apa yang kita kenal sebagai unilateralisme Amerika. Makanya, Amerika tidak lagi peduli pada hubungan-hubungan yang bersifat multilateral, dan keputusan–keputusan bersama melalui lembaga-lembaga multilateral seperti PBB.

Semangat seperti itu ditambah dengan psychological mood tragedi 11 September di mana orang Amerika umumnya menjadi korban (being victimized) tindak terorisme. Dari situ, muncul semangat untuk menumpas terorisme dari akar-akarnya tanpa mempedulikan lagi tatanan hukum internasional.

Tapi kita harus berpikir lebih proporsional. Kalau menyebut Amerika, tentu kita sedang berbicara tentang Amerika yang sangat kompleks. Yang melakukan kebijakan-kebijakan keras itu, mungkin bisa kita katakan sebagai pemerintahan Amerika yang saat ini dikendalikan oleh seorang presiden yang demikian adanya dan punya komando militer. Di lain sisi, jika dikaitkan dengan invasi terakhir, kita tahu, bahwa demonstrasi antiperang juga banyak terjadi di Amerika. Bahkan, aksi tersebut dilakukan dalam jumlah yang lebih besar dan lebih anarkis dari demo-demo antiperang yang ada di Indonesia.

Yang menjengkelkan, negara-negara Teluk seperti Kuwait, Arab Saudi, Qatar dan lain-lain justru menjadi pendukung unilateralisme Amerika.

Ya, realitasnya memang lain. Dalam kenyataannya, penegakan ukhuwah (persaudaraan) itu juga dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk kepentingan politik. Jadi kalau Arab Saudi, Kuwait, atau negara-negara Teluk lain, misalnya bersekutu dengan Amerika, memberi basis militer, dan lain-lain itu lebih karena ketergantungan mereka pada Amerika, baik dari sudut politik maupun ekonomi. Faktor-faktor demikian tidak bisa kita abaikan, sekalipun kita berkoar untuk membina persaudaraan.

Anda belajar cukup lama di Amerika. Anda tentu tahu ide-ide cemerlang dan nilai-nilai memukau yang muncul dari Amerika. Apakah Anda kecewa dengan performance pemerintahan Amerika sekarang?

Ya, tentu saja saya sangat kecewa. Sebab, Amerika --baik pemerintahan maupun lembaga-lembaga swadaya masyarakatnya-- selalu berbicara tentang demokrasi, HAM, toleransi, penghormatan terhadap pluralitas, diversitas, dan lain-lain. Akan tetapi, dengan menyerang Irak, dengan dalih apapun -–entah untuk membangun demokrasi atau apapun-- tetap saja tidak bisa dibenarkan. Sebab, kita tak mungkin bicara tentang demokrasi, tapi pada saat yang sama mengerahkan kekuatan senjata untuk membangunnya. Memang perlu demokratisasi di negara-negara Timur Tengah. Hanya saja, itu harus tetap dilakukan dengan cara damai, demokratis dan tak memakai senjata, kudeta, apalagi invasi.

Karenanya, kita harus membangun dunia yang lebih bercorak multilapolar, tidak unipolar. Harus ada kekuatan check and balance bagi kekuatan Amerika. Kalau sebuah kekuatan tidak ada penyeimbang, maka terjadi kecenderungan —yang oleh Lord Acton disebut— power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut akan cenderung absolut korupnya). Jadi, kekuatan yang tidak ada mekanisme check and balance, akan cenderung untuk semena-mena.

Mungkinkah kita bedakan tindakan Bush yang mengkhianati nilai-nilai demokrasi, dengan demokrasi itu sendiri sebagai nilai yang kita butuhkan dan tetap kita pertahankan?

Karena itu, kita harus berpikir secara objektif dan proporsional. Meski Presiden Bush, PM. Tony Blair dan PM. John Howard melakukan tindakan seperti itu, kita harus tetap membedakan perilaku orang-perorang dengan nilai-nilai. Jadi, kita mesti tetap berorientasi pada nilai-nilai, bukan orang-perorang.

Seolah Bush ini adalah oknum?

Ya, siapapun jugalah. Kita mesti berorientasi pada nilai-nilai; bahwa demokrasi, penghormatan atas hak asasi manusia, komitmen perdamaian dunia, merupakan nilai-nilai yang sangat luhur dan diajarkan setiap agama. Meskipun ada orang yang melanggar itu semua, jangan sampai membuat kita surut dan mundur, lalu kemudian tidak lagi menerima nilai-nilai luhur tersebut.

Pascatragedi 11 September, orang Amerika merasa bahwa norma-norma liberal mereka yang dianggap sebagai core (norma inti) seakan diancam dari luar, terutama dari kaum yang mereka sebut sebagai kelompok radikal Islam. Apakah kemarahan mereka sekarang karena ada perasaan bahwa “America under attack”?

Psychological mood masyarakat Amerika pada umumnya sekarang memang merasa under sick; nilai-nilai liberalisme dan kapitalisme yang ada pada mereka seolah berada di bawah ancaman kelompok yang mereka sebut sebagai teroris.

Hanya saja, dalam melihat masalah luar negeri, perspektif rakyat Amerika, umumnya amat sempit dan bersifat inward looking. Mereka cenderung melihat lebih ke dalam dirinya sendiri, dan tak terlalu peduli dengan dunia luar. Perumpamaannya, bila mereka melihat dunia luar, penglihatannya seperti memakai kacamata kuda. Ini karena mereka merasa paling besar dan tak terlalu butuh orang lain. Sebelum menjadi presiden, Bush Junior hanya pernah dua kali berkunjung ke luar negeri; ikut ayahnya ketika menjadi dubes, dan pernah sekali lagi. Inilah yang mungkin membuat horison mereka dalam melihat masalah-masalah seperti yang kita bicarakan ini menjadi sangat sempit.

Salah satu edisi, Newsweek pernah memuat tulisan Farid Zakaria yang berjudul Why do they hate us? (mengapa umat Islam membenci kita)? Apakah umat Islam yang memusuhi Amerika karena membenci nilai-nilai liberal mereka?

Saya juga membaca artikel itu. Tapi saya malah takut publik Amerika tidak membaca artikel itu. Dalam artikel itu dijelaskan tentang beberapa kebijakan atau sikap Amerika yang menumbuhkan kejengkelan, khususnya di kalangan masyarakat Islam. Misalnya saja masalah konflik Palestina-Israel. Konflik tak berujung ini menjadi sumber kejengkelan atas Amerika, karena Amerika dalam konteks itu dinilai menampilkan standar ganda, dan mungkin juga di tempat-tempat lain.

Tapi nampaknya para pengambil keputusan di Washington DC tidak mau memperhatikan hal-hal seperti itu; tidak mau melihat keadaan secara lebih objektif. Lantas, kejengkelan yang berkembang di Timur Tengah semakin lama semakin menguat. Dalam suasana psikologis umat Islam yang merasa tertindas, misalnya di Palestina, maka tak salah bila penderitaan yang mereka hadapi itu diindentikkan dengan ulah Amerika, dan menimbulkan kebencian luar biasa.

Dalam New York Times Magazine minggu lalu, seorang kolomnis Amerika, Paul Berman, menobatkan Sayid Qutb sebagai filosof terorisme Islam. Dalam hal ini, apakah masalah kita terkait politik luar negeri Amerika yang tak adil, atau karena dalam Islam sendiri ada nilai-nilai yang secara kuat membenci nilai-nilai Amerika, seperti pemikiran Sayid Qutb yang menganggap Barat sebagai simbol evil (kejahatan) seperti pandangan Bush?

Menyebut pemikiran Sayid Qutb sebagai filsafat teror, saya kira, berlebihan. Apalagi kalau mengatakan bahwa pemikiran atau wacana yang dikembangkan Sayid Qutb itu secara spesifik ditujukan atas Amerika. Pemikiran Qutb itu sebetulnya dalam banyak hal merupakan self-correction, atau kritik atas apa yang terjadi dalam diri umat Islam sendiri, yang oleh Qutb disebut sebagai jahiliyah abad modern. Hanya saja, Qutb cenderung menawarkan pendekatan atau cara yang keras sebagai upaya untuk mengurangi itu.

Jadi Anda tidak setuju kalau ketegangan umat Islam dengan Amerika karena tak suka nilai-nilai Amerika?

Saya kira tidak. Memang, ada nilai-nilai yang di-share bersama, juga nilai-nilai yang mengalami kemerosotan atau tidak kompatibel dengan Islam dan juga dengan agama-agama lain. Itulah yang dikritik oleh Qutb. Masalah dalam pemikiran Qutb itu, terletak pada cara radikal yang dia tawarkan, yaitu melalui tiga tahapan: takfir (pengafiran individu, komunitas atau sistem, Red), hijrah (eksodus sementara waktu dari tatanan yang tidak ideal, Red) dan jihad (berupaya sekuat cara untuk merubah keadaan yang tidak ideal, Red). Jadi, itulah yang kemudian menimbulkan masalah. 

Jihad yang ditawarkan Qutb, pada tahap pertama diajukan pada umat Islam sendiri yang dia anggap masih mempraktikkan amalan jahiliyah di abad modern. Sekali lagi, pemikiran Qutb itu, tak secara spesifik mencerminkan kebencian dan kemarahan atas Amerika dan negara-negara Barat.[]

13/04/2003 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (1)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

menurut saya pemerintahan As sekarang lebih baik dari pada selama pemerintahan Bush....
saya percaya bahwa Obama akan berhasil membawa As yang lebih baik dimasa depan…
Obama selalu berusaha untuk memperbaiki pemerintahan yang selama ini terlanjur jelej dimasa lalu, dean Obama optimis bisa melakukan halitu,,,
let’s to change the power of United Stated....

Posted by adhe HI 08  on  04/26  at  07:51 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq