Demokrasi Penting, Supremasi Hukum Lebih Penting - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
24/04/2006

Lakhdar Brahimi: Demokrasi Penting, Supremasi Hukum Lebih Penting

Oleh Redaksi

Lakhdar Brahimi (72) adalah diplomat kelas dunia asal Aljazair. Jabatan terakhirnya adalah penasehat Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan. Ia mengabdikan diri di PBB sejak 1994 hingga 2005. Brahimi juga pernah menjadi perwakilan khusus PBB di Afganistan (20001-2004). Karena berhasil di Afganistan, ia ditugaskan ke Irak, namun segera hengkang karena banyak berseberangan dengan kebijakan Amerika Serikat di sana. Berikut petikan wawancara Novriantoni dan M Guntur Romli dari Jaringan Islam Liberal (JIL), Jum’at lalu (7/4).

Lakhdar Brahimi (72) adalah diplomat kelas dunia asal Aljazair. Jabatan terakhirnya adalah penasehat Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan. Ia mengabdikan diri di PBB sejak 1994 hingga 2005. Sebelum mengabdi di PBB, Brahimi sudah malang melintang bersama jabatan diplomatiknya di Aljazair. Ia pernah menjadi penasehat presiden, menteri luar negeri, duta besar Aljazair di Inggris, Mesir dan Sudan, hingga duta besar di Liga Arab. Selama bertugas di PBB, ia pernah diserahi tugas menjadi perwakilan khusus PBB di daerah-daerah konflik seperti Haiti, Afrika Selatan, Kongo, Yaman, Liberia, Nigeria, dan Sudan. Prestasi diplomatik pernah ditorehkannya di Afrika Selatan (1993-1994) ketika berhasil mengakhiri rezim Apherteid dan mewujudkan demokrasi di sana. Brahimi juga pernah menjadi perwakilan khusus PBB di Afganistan (20001-2004). Karena berhasil di Afganistan, ia ditugaskan ke Irak, namun segera hengkang karena banyak berseberangan dengan kebijakan Amerika Serikat di sana.

Berikut petikan wawancara Novriantoni dan M Guntur Romli dari Jaringan Islam Liberal (JIL), Jum’at lalu (7/4), dengan bapak tiga anak yang pernah bertugas di Jakarta (1956-1961) sebagai duta besar National Liberation Front, organisasi politik yang berhasil mewujudkan kemerdekaan Aljazair itu.

JIL: Pak Brahimi, apa pendapat Anda tentang kenyataan dunia muslim yang saat ini terpuruk dalam krisis di berbagai bidang?

LAKHDAR BRAHIMI: Saya kira, itu adalah pertanyaan mendasar yang harus terus-menerus dirapal oleh umat Islam: mengapa kita yang hidup di dunia muslim masih saja terbelakang, sementara belahan dunia lain telah mengalami kemajuan pesat? Umat Islam mau tidak mau harus menjawab pertanyaan itu. Kita tahu, ada banyak negara yang mengalami sejarah bisa bangkit dari keterpurukan mereka. Orang Mesir sering mengatakan bahwa mereka sudah memulai proyek modernisasi lebih awal dari Jepang, tepatnya sejak periode Muhammad Ali. Namun, Mesir sampai kini tetap terpuruk di berbagai bidang, sementara Jepang cepat bangkit dari keterpurukannya. Bahkan, mereka bisa bangkit di berbagai bidang setelah luluh lantak dalam Perang Dunia Kedua.

Kita mungkin menyebut salah satu sebab keterpurukan kita dengan teori ketergantungan (interdependensi). Misalnya, ini semua tak lain dampak dari penjajahan dan peperangan fisik yang dialami oleh hampir semua negeri-negeri muslim modern. Namun kita juga tahu, ada beberapa negara lain yang mengalami nasib serupa, seperti India, Filipina, Singapura, dan lain-lain, tapi mereka dengan dapat bangkit dengan cepat dan berlari kencang mengejar ketertinggalan. Sangat aneh, mengapa dunia muslim sangat sulit untuk bangkit? Ini pertanyaan yang harus diulang-ulang dan dijawab secara cermat oleh umat Islam sendiri.

Anda punya jawaban-jawaban hipotetis atas pertanyaan itu?

Tidak. Saya tidak memiliki jawaban, dan tidak memiliki obsesi untuk memberikannya. Bagi saya, pertanyaan itu harus dijawab oleh semua umat Islam secara bersama-sama, bukan oleh saya pribadi. Bagi saya juga, pertanyaan yang baik adalah bagian dan jawaban. Ketika kita salah menyodorkan pertanyaan, maka kita akan salah memberi jawaban. Misalnya, pertanyaan-pertanyaan yang hanya menyentuh masalah-masalah permukaan, kulit persoalan, seperti soal model pakaian apa yang kita perlukan, soal jenggot, dan lain-lain. Pertanyaan-pertanyaan itu tidak ada hubungannya dengan soal kemajuan dan kemunduran umat Islam. Teruslah umat Islam bertanya. Dan dengan pertanyaan yang baik, niscaya kita akan mendapat jawab dan solusinya.

JIL: Apa Anda sedang merujuk Afganistan era Taliban ketika bicara soal pertanyaan dan jawaban yang salah itu?

Sebagian memang soal Afganistan, tapi banyak juga terkait dengan negeri lain. Kita tahu, negeri yang miskin, tandus, terbelakangan, dan penuh konflik dalam beberapa dekade terakhir itu membutuhkan pertanyaan dan jawaban yang tepat untuk bisa keluar dari keterpurukannya. Tapi belum lagi mereka berhasil mengakhiri perang, baik melawan penjajah ataupun sesama mereka, mereka sudah memberi jawaban yang salah atas persoalan. Seketika Taliban berkuasa, mereka langsung menentang apa yang mereka sebut kultur penjajah dengan menutup pintu sekolah bagi anak-anak perempuan, memaksa mereka tinggal di rumah sekalipun mereka perlu keluar untuk mencari nafkah, mewajibkan hal-hal yang artifisial seperti burqa dan jenggot, dan jawaban-jawaban naif lainnya. Semua itu bukan jawaban yang tepat untuk tantangan yang mereka hadapi.

Sekarang, Afganistan jauh lebih baik daripada Irak yang sedang di ambang perang saudara. Sudah ada sedikit kebebasan di sana sekalipun kekakangan-kekangan lama dari tradisi kesusukan dan doktrin Wahabisme masih sangat kuat bercokol. Tapi para pemimpin mereka tampaknya sudah mengerti akan pelbagai persoalan dunia yang dihadapi Afganistan saat ini. Itu saja bagi saya sudah cukup sebagai langkah awal untuk mengurangi segudang persoalan yang mereka hadapi. Saya tidak ingin tragedi Afganistan era Taliban terulang di tempat-tempat lain. Dunia memang harus dikelola oleh orang-orang yang mengerti tentang dunia dan persoalannya. Saya tidak sedang berfatwa dalam soal agama. Sedari dulu, saya memang lebih tertarik mengurusi persoalan dunia. Dan bagi saya, politik adalah persoalan dunia.

Saat ini, di banyak belahan dunia muslim ada geliat reformasi, baik dalam persoalan sosial, politik, agama, maupun budaya. Namun geliat tersebut seolah-olah berjalan di tempat. Tanggapan Anda?

Saya kira, ada kesalahan persepsi yang terjadi di dalam pikiran banyak umat Islam ketika menghadapi isu reformasi. Ada asumsi kuat di banyak tempat bahwa keharusan reformasi itu berasal dari tuntutan pihak luar; dari tekanan-tekanan politik internasional, dan bukan kebutuhan dalam diri umat Islam sendiri. Sekarang ada anggapan kuat bahwa tuntutan reformasi di dunia muslim merupakan proyek Amerika, sehingga banyak umat Islam yang enggan beradaptasi dengan proyek tersebut. Saya tidak menafikan adanya kepentingan asing dalam agenda reformasi di dunia muslim. Namun, poin yang ingin saya tekankan adalah, bagaimana reformasi itu juga muncul dan dipahami sebagai kebutuhan dari dalam, dari pihak umat Islam sendiri, bukan dari luar. Dengan begitu, reformasi akan benar-benar mencerminkan dan sesuai dengan kebutukan umat Islam sendiri. Bagi saya, sebuah gerakan reformasi tidak akan bisa datang dan dipaksakan dari luar. Karena itu, ia seharusnya lahir dan tumbuh dari dalam. Hemat saya, kenyataan di dalam diri umat Islam memang membutuhkan banyak reformasi.

Selain itu, konteks situasi global juga kurang mendukung gerakan reformasi. Paska Perang Dingin, ambruknya komunisme, dan runtuhnya tembok Berlin, situasi dunia sudah menandakan menangnya ideologi-ideologi blok Barat, khususnya Amerika. Akibatnya, umat Islam menganggap apa yang datang dari Barat semuanya buruk. Sementara yang mendukung proyek-proyek Barat menganggapnya benar dan baik belaka, sehingga banyak ide-ide dari Barat yang dimpor ke dunia muslim. Saya tidak sependapat dengan kedua kecenderungan itu. Ada banyak hal baik yang perlu kita ambil dari Barat sebanyak hal-hal yang perlu dikritik. Tapi yang juga penting adalah bagaimana ide-ide Barat yang baik itu diterapkan di dunia Islam dengan melihat konteksnya yang berbeda.

JIL: Apa yang perlu dikritik dari Barat?

Misalnya sistem ekonomi kapitalisnya yang menurut saya tidak bisa diterapkan di dunia Islam. Bagi saya, sistem yang menopang perdagangan bebas dan eksploitasi sumber daya alam dan manusia yang melampaui batas ini tidak akan membawa perubahan nasib bagi banyak orang, tapi malah justru akan semakin memperlebar jarak kesenjangan ekonomi. Si kaya akan semakin kaya, sementara si miskin akan semakin miskin. Percayalah, dunia muslim yang terpuruk saat ini tidak akan berdaya melawan negara-negara kuat dan kaya dalam kancah persaingan pasar bebas.

JIL: Tapi beberapa Negara Teluk, seperti Qatar dan Uni Emirat Emirat misalnya, tampak berhasil memperoleh manfaat besar kapitalisme dan perdagangan bebas...

Iya benar, tapi negara-negara itu sangatlah kecil. Penduduknya sangat sedikit, sehingga mereka mampu mengatasi pelbagai persoalan ekonomi dan distribusi sumber daya ekonomi dengan mudah. Itu berbeda sekali dengan konteks Indonesia; sebuah negara besar dengan ribuan pulau yang membentang luas dan terpisah-pisah dengan populasi lebih dari 200 juta orang. Selain itu, ada juga semacam paksaan dari kekuasaan pemerintah setempat untuk menerapkan sistem ekonomi rente dengan sedikit saja menyejahterakan rakyatnya. Tapi bagi negara-negara yang memiliki penduduk berlimpah seperti Mesir dan Indonesia, tidak mudah menerapkan sistem kapitalisme yang kurang bisa diukur tersebut. Akan banyak risiko yang akan ditanggung oleh kesenjangan distribusi sumber-sumber ekonomi. Untuk negara-negara kecil seperti di Teluk yang berpenduduk tak lebih dari lima juta orang, risiko seperti itu tidak terlalu menjadi persoalan.

JIL: Apa tanggapan Anda tentang proses demokratisasi dunia Arab. Seperti kita tahu, beberapa proyek demokratisasi lewat kotak suara juga mengakibatkan bangkitnya kekuatan-kekuatan konservatif-radikal seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir, Hamas di Palestina, dan juga sosok Ahmadinejad di Iran?

Sebetulnya kata demokrasi itu ibarat karet yang mudah melar-mengkerut dan karena itu bisa ditarik kemana-mana. Pemilu yang sehat, dan adanya suksesi kepemimpinan secara damai memang tahapan-tahapan demokrasi prosedural yang penting. Namun proses seperti itu tetap saja baru sebatas tahapan, bukan puncak yang berhenti dan harus dicukupkan di tahap itu saja. Pemikiran seperti itu jugalah yang sudah dianut di negara-negara Barat yang sudah matang dalam berdemokrasi. Apakah demokrasi bisa diklaim sudah ada setelah terselenggaranya proses pemungutan suara secara jujur dan adil? Karena itu, pertanyaan setelah proses pemungutan suara adalah: apakah kebijakan pemerintah yang dihasilkan dari kotak suara itu akan benar-benar merupakan perwujudan dari keinginan rakyat?

Saya pernah menjadi duta besar Aljazair di Inggris dan sempat mengamati betul dinamika demokrasi di sana. Dan hal yang membuat saya sangat takjub bukanlah demokrasi lewat pemilu. Itu adalah hal terakhir yang saya kagumi karena sifatnya yang rutin dan sudah hampir tidak bermakna apa-apa. Justu yang paling membuat saya takjub di sana adalah adanya supremasi hukum dan penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia. Dalam pengamatan saya, supremasi hukum inilah yang paling menakjubkan, sehingga Anda tahu, bila hak-hak Anda sebagai warganegara dikurangi atau dirampas, Anda yakin bahwa hak Anda tersebut akan dapat diperjuangkan dan dikembalikan. Ini berbeda sekali dengan apa yang terjadi di banyak negara muslim. Kalau hak-hak Anda dirampas, Anda hanya bisa pasrah dan jangan terlampau berharap akan dapat merebutnya kembali. Jadi, kekuasaan para hakim dan keputusan pengadilan sangat besar perannya dalam menjamin hak-hak warganegara.

Di negara-negara dengan tingkat supremasi hukum yang tinggi seperti itu, Anda tidak kuatir hak-hak Anda akan dirampas tanpa dapat kembali. Di banyak negara dengan tingkat supremasi hukum yang tinggi seperti itu, badan-badan dunia seperti Amnesti Internasional sudah seperti tak punya pekerjaan. Karena itu saya bisa memastikan bahwa pemilu hanyalah prosedur dan rutinitas dari serangkaian proses demokratisasi. Yang jauh lebih penting adalah aspek kedaulatan hukum. Sebab setelah pemilu selesai digelar, rakyat kebanyakan bisa tidak punya kekuatan apa-apa lagi. Di situlah kekuasaan para hakim yang adil sangat menentukan.

Sementara itu, fenomena naiknya kekuatan konservatif dengan membonceng sistem demokrasi di beberapa dunia muslim belakangan ini memang menarik untuk diamati. Hemat saya, dengan standar demokrasi prosedural yang ada, mereka memang sah untuk naik ke tampuk kekuasaan. Namun agenda-agenda yang disuarakan kelompok-kelompok itu memang bisa saja dianggap berlawanan dengan semangat demokrasi itu sendiri. Suara-suara yang punya kecenderungan kuat untuk memasung kebebasan, kurangnya penghargaan atas hak-hak minoritas, dan perlakuan terhadap perempuan yang kurang setara, dan contoh-contoh lainnya, merupakan persoalan yang sangat serius dalam sebuah negara yang mencoba untuk berdemokrasi.

Namun saya juga memahami mengapa rakyat di sana lebih mendengar suara-suara dan mendukung aspirasi kalangan yang konservatif. Ini mungkin sangat terkait dengan sikap pemerintah sebelumnya yang otoriter, korup, dan kurang peduli terhadap rakyatnya. Saya yakin, kalau suatu pemerintah itu peduli dan bersedia mendengarkan suara rakyat, rakyatnya juga tak akan berpindah ke lain hati. Saya kira ini jugalah yang menjadi problem dunia muslim saat ini.

JIL: Anda tentu mengenal Indonesia, karena dulu sempat tinggal di Indonesia cukup lama. Apa pendapat Anda tentang reformasi dan proses demokratisasi di Indonesia saat ini?

Saya pernah tinggal di Indonesia selama lima tahun, sejak 1956 hingga 1961. Karena itu saya sedikit banyak tahu tentang sejarah Indonesia. Kalau berbicara tentang demokrasi di Indonesia, saya kira sejarah Indonesia telah menunjukkan betapa demokrasi itu bisa juga disalahgunakan dan diselewengkan dari tujuannya semula. Di masa Presiden Sukarno, orang Indonesia mengenal apa yang dinamakan Demokrasi Terpimpin. Banyak yang berpendapat, di masa itu tidak ada demokrasi, yang ada hanya kata terakhir. Di era Soeharto, Indonesia mengenal kalimat Demokrasi Pancasila. Bagi para pengeritiknya, lagi-lagi hanya ada kata terakhir, sementara demokrasi dan kebebasan tetap tidak ada. Saya berharap, demokrasi Indonesia saat ini jauh lebih baik dari yang dua sebelumnya.

Namun, saya juga mengamati bahwa dinamika politik dan sosial di Indonesia saat ini telah mengalami kemajuan cukup pesat dibanding ketika saya tinggal di Indonesia dulunya. Namun yang perlu Anda tahu, dari dulu saya sudah sangat mengagumi rumusan Pancasila. Bagi saya, Pancasila adalah sebuah rumusan yang bijak tentang bagaimana mengatasi peliknya keragaman suku, bahasa, agama, dan budaya yang ada di Indonesia. Dan ajaibnya, semua itu bisa dirumuskan bapak-bapak pendiri bangsa Indonesia dalam lima rumusan dasar.

Misalnya sila pertama tentang ketuhanan. Bagi saya, sila ini merupakan rumusan yang sadar akan keragaman agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia. Sila kedua tentang kemanusiaan. Sila ini juga merupakan perwujudan dari prinsip dan misi dari semua agama. Islam, agama yang saya anut, bagi saya punya perhatian besar terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan. Alquran sendiri memilih untuk lebih banyak bicara kepada semua manusia lewat sapaan yâ ayyuhan nâs (wahai manusia), daripada menyapa dengan ungkapan yâ ayyuhal mukminun (wahai orang-orang yang beriman).

Ini sebetulnya merupakan sebuah pengakuan penting terhadap prinsip-prinsip kesetaraan manusia. Sila-sila selanjutnya juga sangat penting bagi Indonesia. Persatuan sangatlah penting bagi Indonesia dengan keragaman bangsa dan budaya yang ada. Karena itu, saya berharap agar nilai-nilai Pancasila itu diterapkan secara konsekuen dan kalau perlu dikenalkan dan disebarluaskankan kepada dunia. []

24/04/2006 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (2)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

menurut saya akal tidak untuk dipertentangkan dengan wahyu. sepeninggal Rasullullah SAW tidak ada jalan lain bagi umat Islam untuk memahami wahyu kecuali dengan akal terkecuali orang2 yang taklid buta.sekarang tinggal kembali kepada nurani kita; menjadikan Islam rahmatan lil alamin dengan akal dan demokrasi atau fanatis formalistik terhadap Islam dan menjadikannya la’natan lil alamin
-----

Posted by iamrullah  on  04/29  at  10:04 PM

Pada akhirnya, Islam sebagai suatu perangkat lengkap yang didalamnya menyajikan norma pedoman kehidupan manusia, pasti (qothi) menyinggung pula makna demokrasi dan hukum. Demokrasi tentu ditafsirkan dari ayat-ayat yang memerintahkan adanya ‘musyawarah’, pencarian titik temu (kalimatun sawa) dan prinsip Islam rahmatan lil alamin. Sementara hukum jelas pada ayat-ayat yang menegaskan prinsip-prinsip syariah seperti larangan berzina, membunuh tanpa sebab yang dihalalkan, berzina dan sebagainya.

Problemnya, manusia yang diberi kewenangan menelisik lebih jauh hal-hal teknis dari hukum dan demokrasi tadi, sering terjebak untuk meminggirkan prinsip dasarnya. Islam memang menghargai rasionalitas tapi tidak untuk membantah pewahyuan. Disinilah letak pertengkaran antara fuqaha dan pembaharu Islam yang beraliran melawan pewahyuan.

Tak heran, jika Al Quran maupun Hadits selalu mengingatkan bahwa manusia dalam menjalankan rasionalitasnya (banyak ayat yang menggunakan kata ‘bagi kaum yang berpikir’ menunjukan rasionalitas dihargai) mesti memohon pula agar diberikan hidayah atau cahaya jalan yang lurus. Agar tafsir tak sesat bahkan merusak tatanan prinsip. Tinggal berbalik pada nurani kita, bagaimana menjalani hidup secara kaffah Islami atau berdamai dengan syahwat meski mesti melawan wahyu?

Posted by Mihradi  on  04/27  at  02:04 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq