Di Indonesia, Tidak Pakai Jilbab Pun Aman - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
05/05/2002

Andree Feillard: Di Indonesia, Tidak Pakai Jilbab Pun Aman

Oleh Redaksi

Perubahan persepsi tentang jilbab yang terjadi di Indonesia antara dulu dan sekarang. Sekarang, kerudung berubah menjadi jilbab yang meniru model Timur Tengah dan menjadi kewajiban syariat Islam untuk kaum muslimat.

Ada perubahan persepsi tentang jilbab yang terjadi di Indonesia antara dulu dan sekarang, kata Andree Feillard, seorang indonesianis dari Prancis.  Andree mendapat kesimpulan ini dari penelitian yang ia lakukan di tahun 1991 dan pengamatannya sekarang. Kata Andree, dulu, ibu-ibu dari Aisyiah Muhamadiyah dan NU memakai kerudung berdasar pada kepantasan, bukan karena kewajiban atau syariat Islam. Sekarang, kerudung berubah menjadi jilbab yang meniru model Timur Tengah dan menjadi kewajiban syariat Islam untuk kaum muslimat.

Perubahan persepsi ini menarik kalau kita kaitkan dengan fenomena pemberlakuan syariat Islam yang sekarang sedang santer-santernya didengungkan. Penelitian tentang realitas pelaksanaan syariat di lapangan, jarang diteliti dan didengarkan hasilnya. Padahal ada kekhawatiran bila syariat diterapkan, maka yang akan menjadi korban atau dampak pertama dari penerapan syariat itu adalah perempuan. Selain mempelajari dan penelitian di Indonesia, Andree juga pernah melakukan penelitian tentang penerapan Syariat Islam di Pakistan dan Malaysia. 

Nah, Andree Feillard yang juga menulis buku NU vis a vis Negara mengungkap secara detail tentang status syariat Islam yang berkenaan dengan perempuan, tidak hanya tentang jilbab saja, juga tentang poligami dan hak waris, kepada Nong Darol Mahmada dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) pada tanggal 19 April 2002. Berikut petikannya:

NONG DAROL MAHMADA: Anda pernah melakukan penelitian tentang praktek syariat Islam di Indonesia berkenaan dengan perempuan. Bisakah Anda bercerita sedikit tentang hasil penelitian tersebut?

ANDREE FEILLARD: Penelitian ini dilakukan tahun 1990-an. Dan saya memang meneliti masalah-masalah yang khusus berkenaan dengan perempuan. Waktu itu, saya mewawancarai 23 tokoh Indonesia yang beragama Islam dan menanyakan pendapat mereka tentang pokok-pokok masalah seperti hak waris, poligami, jilbab yang berkaitan dengan status perempuan. Bagi saya, mereka cukup mewakili, karena mereka tokoh masyarakat, bahkan ketua ormas.

Untuk masalah poligami misalnya, hampir semua responden tidak berasal dari keluarga yang punya pengalaman poligami. Kala itu, poligami merupakan kasus yang belum banyak ditemukan di Indonesia. Jadi, pada tahun 1980-an, praktek itu masih sangat tabu dibicarakan dan menjadi semacam praktik yang tidak pantas. Lalu, tahun 1990-an, muncul suara-suara yang menyebut poligami tidak apa-apa. Dari situlah, saya punya keinginan untuk menanyakan mereka.

NONG: Ada temuan yang menarik yang ada dapatkan tentang poligami ini?

ANDREE: Ya, ada yang menarik dari penelitian saya ini. Saya menemukan, banyak perempuan yang takut pada poligami. Indikatornya, mereka mengucap alhamdulillah jika di keluarga mereka tidak ada yang mempraktikkan poligami. Yang membuat saya kagum, mereka yang dari kalangan santri sangat menghargai atau kagum pada ayah atau kakek mereka yang tidak berpoligami, sekalipun memiliki kesempatan karena mereka tokoh agama atau kiayi-kiayi penting. Jadi ada kebanggaan tersendiri dari kalangan perempuan pada ayah atau kakek mereka yang tidak berpoligami. Di antara keduapuluhtiga tokoh itu, hanya dua orang saja yang masih bisa menerima poligami.

NONG: Apa alasan mereka menerima poligami?

ANDREE: Satu yang pro-poligami dan menganjurkan suaminya untuk melakukannya dengan tujuan untuk menolong perempuan yang akan dinikahi. Jadi bukan untuk nafsu ataupun tujuan lain. Misalnya saja menikahi seorang janda. Dan syaratnya, mereka tidak boleh lebih cantik dan atau lebih muda dari dia. Jadi, tokoh-tokoh yang pro-poligami, terbatas sekali. Saya pikir, poligami itu sulit sekali untuk dilakukan.

NONG: Bukan karena faktor bahwa poligami itu dibolehkan dalam al-Qur’an?

ANDREE: Saya kira ada juga faktor itu. Tapi, yang menjadi masalah adalah keadilan. Yang ditakutkan responden saya dari poligami, lebih karena keadilan itu tidak ada. Jadi, satu laki-laki berlaku adil untuk dua perempuan merupakan pekerjaan yang sulit. Itu yang menjadi alasan mereka.

NONG: Jadi titik tekannya lagi-lagi pada masalah keadilan?

ANDREE: Ya, penelitian saya di Malaysia juga menunjukkan begitu. Bagi perempuan disana, keadilan itu yang sangat sulit. Dan saya pikir yang belum ada di Indonesia adalah tidakadanya undang-undang yang menjamin hak perempuan untuk meminta cerai dengan alasan suaminya berpoligami. Jadi, perempuan harus mengumpulkan dulu alasan ketidakcocokan dan lain sebagainya. Dan itulah yang di-complain para responden saya. Perempuan di Iran punya hak untuk menolak poligami. Mereka punya hak untuk minta cerai. Tapi di Indonesaia, itu belum ada.

NONG: Bagaimana dengan masalah lainnya seperti hak waris dan konsep jilbab?

ANDREE: Dalam hak waris, hampir semua responden sudah mendapat hibah dari sang ayah. Bahkan, terkadang porsi waris yang diberikan untuk perempuan lebih banyak dari yang porsi laki-laki. Untuk konteks ini, kadang-kadang yang justeru berperan dominan adalah masalah perasaan dan nilai-nilai lain yang ditemukan di situ. Misalnya, anak perempuan harus dilindungi lebih ketimbang anak laki-laki, dengan cara memberi lebih banyak sawah atau harta waris.

NONG: Artinya tidak mengikuti aturan satu berbanding dua seperti yang tertera dalam al-Qur’an?

ANDREE: Ya, waktu itu memang seperti itu. Jadi seolah-olah, para ulama mengatakan boleh memberi hibah yang sama atau lebih banyak kepada perempuan. Jadi dari penelitian atas 23 tokoh itu, terlihat perempuan mempunyai kesamaan hak dengan laki-laki. Malahan, perempuan terkadang mendapat lebih banyak. Itu menarik, saya kira.

NONG: Bagaimana dengan jilbab? Sebab, kalau kita lihat kasus penerapan syariat Islam di daerah-daerah sekarang ini, selalu dimulai dari kewajiban berjilbab untuk perempuan?

ANDREE: Penelitian ini dibuat tahun 1991. Dan kondisinya tentu lain dengan sekarang. Responden penelitian itu dipilih dari kelompok yang adil. Misalnya, dalam penelitian saya ini, diminta responden dari 3 orang NU, 3 orang Muhamadiyah dan lain-lain. Hasil penelitian itu bukan untuk memberi nilai, tapi hanya usaha untuk mendapat gambaran dari masyarakat. Saya akui, memang penelitian saya saat itu terbatas, kerena hanya 23 orang. Semestinya lebih banyak orang yang perlu diteliti. Dan mungkin, konteks sekarang dan tahun 1991 itu berbeda. Ada perubahan persepsi. Jadi apa yang saya lakukan itu, permulaan saja. Sebab, dulu banyak yang menanyakan hal seperti ini kepada saya dan saya tidak bisa menjawab.

Waktu itu, banyak juga perbincangan tentang boleh atau tidaknya berjilbab. Dari kalangan santri seperti tokoh-tokoh Aisyiah dari Muhammadiyah, ada perbedaan antara tokoh tua dengan yang lebih muda. Yang tua biasanya tidak memakai jilbab, tapi kerudung. Dan kerudung bagi mereka sudah dianggap pantas. Ibu Aisyiah yang saya wawancarai, kalau bepergian selalu menggunakan kerudung sebagai bagian dari baju kepantasan.

Di kalangan yang lebih muda, kerudung justeru tidak cukup lagi baginya. Cara berpakaian yang pantas bagi mereka adalah memakai jilbab. Jadi, ada perbedaan pemahaman antara generasi tua dan muda tentang pemakaian jilbab ini. Sampai-sampai, generasi muda terkadang mengatakan ke generasi tua: “ibu sepantasnya tidak begini!” Jadi, pengertian kepantasan itu berbeda dari generasi ke generasi. Bahkan, terkadang kalangan NU mempersepsikan jilbab betul-betul kerudung yang lehernya terbuka. Dan bagi mereka, yang memakai jilbab hanya orang-orang Muhamadiyah saja, khususnya Muhamadiyah dari Sumatera Barat yang disebut sarung Minang. Jadi, dari situ terlihat perkembangan antar-generasi dalam menilai kepantasan.

NONG: Menurut Anda, kenapa terjadi pergeseran pemahaman pemakaian jilbab ini dari pengertian kepantasan menjadi sebuah aturan yang sangat formal dalam konteks pelaksanaan syariat? Apakah karena faktor arabisasi?

ANDREE: Memang, ada yang mengatakan semacam arabisasi. Artinya, sesuatu yang datang dari Timur Tengah mesti dikuti secara kasar. Menurut responden-responden saya yang lebih muda dan nota bene menolak jilbab, nenek moyang mereka tidak pakai jilbab. Lantas, muncul pertanyaan: “Apakah mereka bukan orang muslim yang baik?” Mereka (yang pro-jilbab) menjawab kalau mereka itu dulunya tidak tahu. Karena kita tahu, sekarang kita mesti melakukannya. Tetapi banyak juga yang mengatakan --dari responden dan orang-orang Muhamadiyah-- kalau lelaki di Mesir misalnya, agak berbeda dengan lelaki Indonesia. Lelaki di Indonesia diasumsikan lebih beradab. Dengan demikian, lebih menghargai perempuan. Tidak pakai jilbab pun kita di Indonesia terasa lebih aman. Jadi ada nilai kesopanan disitu, dan semacam asumsi, bahwa peradabannya tinggi. Sehingga, tidak memakai jilbab saja sudah dihormati. Kalau kita perhatikan di jalanan, orang laki-laki Indonesia sangat menghormati perempuan.

NONG: Anda pernah melakukan penelitian tentang syariat Islam di Pakistan dan negara lain. Bagaimana Anda melihat fenomena tuntuan syariat Islam di Indonesia dan perbandingannya dengan negara lain?

ANDREE: Saya kira, banyak sekali negara Muslim yang tidak memberlakukan syariat. Mereka hanya memberlakukan sebagian saja. Jadi sedikit sekali yang memberlakukan semua. Seperti di Pakistan, tahun 1947, mereka yang menuntut pemberlakuan syariat Islam hanya sekitar 20 persen penduduk, termasuk Jamaat Islami al-Maududi yang hanya 5 persen. Tapi kemudian berkembang dan penerapan syariat dilanjutkan Ali Bhutto. Ali Bhutto sendiri sebenarnya seorang sekuler, tetapi punya tendensi mencari suara golongan Islam yang radikal. Lantas memberlakukan syariat Islam. Tapi enam bulan kemudian dia jatuh dan digantikan oleh Jenderal Ziaul Haq. Orang banyak berpendapat bahwa Ziaul Haq yang memberlakukannya, tapi sebernarnya Ali Bhutto (tahun 1979). Jadi, di Pakistan itu, dulunya hanya dua puluh persen yang menginginkan syariat Islam.

NONG: Jadi, negara yang memberlakukan syariat Islam masih kontroversial dan mencari bentuk?

ANDREE: Ya, sebab banyak sekali pendapat dan versi tentang syariat. []

05/05/2002 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (7)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

“tidak memakai jilbab saja sudah dihormati” (Andree)

Apalagi memakai jilbab, jauh lebih dihormati...mau??

Posted by viviana  on  10/17  at  09:48 AM

Jilbab adalah indentitas keislaman wanita muslimah untuk menjaga dan dijaga dari perbuatan tak senonoh, bohong di indonesia aman tanpa jilbab baca dong 1 juta anak dibunuh ( aborsi/ thn ) ibu-ibu nya gara pergaulan tanpa batas & tak tahu norma agama & susila, ( bukan berarti berjilbab mesti suci, tp tetap berjuang melawan kekejian ) di samping bebas pornografi & pornoaksi lewat media 2 yg tak ada batas itu apalagi ada kiyai porno, mhs & dosen yg mendukung porno2 spt anda-anda ini, masalah dibarat aman itu karena sudah jadi syetan semua kecuali yg dirahmati Allah ta’ala dari presiden sd rakyat biasa samen leven , homo & lesbi hingga gak ada yg ribut, cuman kejahatan dan pelecehen perdetik selalu tak nihil, aborsi jg lebih tinggi di indonesia, yg ke gerejapun hanya 1/3 yg beragama kristen/katolik..anda di eropa hanya di bagian kecil dan tak mendatakan tapi dah kadung makan dolar / khomer/ babi ya wajar metode berfikir dah seperti mereka..aman..aman..siapa merasa aman dari makar Allaah ( siksa dunia & akhirat ) memang dah keluar dari metode yg benar ( Islam ) karena dah serupa orang kafir yg tak akan tersiksa ( seolah-olah ) dengan kekufurannya ya jelas yang diyakini mereka hidup hanya sekali. surga mereka di dunia ini saja..ookke

Posted by rahmat  on  09/05  at  09:12 PM

Saya tinggal di Eropa. Anehnya, yang saya lihat wanita justru lebih aman tinggal di sini daripada di lingkungan Islam. Di sini wanita bisa bebas jalan sendiri jam berapapun gak ada yang ganggu. Pakaian apapun yang mereka kenakan tidak berpengatuh, mau pakai bikini sajapun tidak akan diganggu orang. Kalapun ada yang mengganggu, paling2 juga saudara2 kita dari Maroko, Aljazair, Tunisia atau Turki. Kalau orang bulenya tidak pernah usil. Memang betul kalo urusan pribadi kehidupan mereka (bule) benar2 bebas, tinggal bersama tanpa nikah atau berciuman di jalan itu sudah biasa. Tapi, itu sebatas urusan pribadi, sebaliknya kalau ke orang lain mereka gak mau mengganggu.
-----

Posted by Dado  on  02/20  at  07:02 AM

Sebelumnya saya beritahu bahwa saya tidak mau dikatan islam aliran apapun. Saya hanyalah seorang muslimm. titik. Meskipun terkadang perilaku saya lebih sering cenderug ke islam liberal dan sebaliknya. Jika apa yang anda tulis itu berdasarkan peneletian anda, tentunya saya membenarkan. Jelas dong, saya adalah manusia normal yang oleh ALLAH SWT dikarunia otak untuk berpikir jadi saya percaya dengan segala sesuatu hal yang logis. Hasil penelitian anda merupakan sebuah fakta logis. Ini bukan berarti saya seorang positivis, saya juga percaya dengan hal-hal yang tidak logis. Saya percaya dengan hal-hal yang tak kasat mata. Buktinya saya percaya ALLAH SWT (Tuhan yang tidak tampak dimata/ghoib/tidak logis). Mengenai berjilbab berarti terlindungi dari tindak kejahatan kelamin (pemerkosaan) dan perzinaan/seks bebas dalam pacaran atau sebaliknya tidak berjilbab berarti tidak terlindungi dari tindak kejahatan kelamin (pemerkosaan) dan perzinaan/seks bebasa dalam pacaran, waduh saya memiliki hipotesa lain tuh. Belum tentu lelaki itu bernafsu hanya karena seorang wanita tidak berjilbab. Bisa jadi kok wanita yang berjilbab penuh (bahkan pakai cadar. bahkan wanita itu adalah nenek-nenek yang sudah berusia 80 tahun misalnya) diperkosa. Pemerkosaan terjadi bukan karena wanita tidak berjilbab akan tetapi karena adal lelaki yang sedang bernafsu dan tidak bisa menahan diri. Lelaki bernafsu bukan hanya karena melihat wanita tidak berjilbab tapi bisa jadi karena habis nonton film “gituan” plus fungsi-fungsi biologisnya sedang mendukung (ada dalam ilmu psikologi faal/psikobiologi. Tanpa fungsi-fungsi biologis yang mendukung, nonton film porno nggak bakal bisa bikin cowok jadi nafsu. Sebaliknya, nggak perlu nonton film pornopun kalo fungsi biologisnya lagi diluar batas kenormalan, nafsu bisa aja meledak-ledak. gitu). Jadi, penelitian-penelitian berikutnya saya dukung deh untuk mendukung hipotesa-hipotesa ini.

Posted by Nurullius  on  02/18  at  08:02 PM

mungkin ini adalah tanggapan juga menyutujui apa yang diungkapkan sebelumnya bahwasanya kurang setuju dengan saudara yang mengatakan bahwa tanpa jilbab pun org akan aman

kata aman disini mungkin bukan berarti akan aman seumur hidup apakah di akhirat nanti yg melakukan akan merasakan aman okelah sekarang kita blm bisa merasakan gimana nanti nya akan tetapi bagaimana pandangan org lain terhadap org yg tdk mengenakannya(baca;jilbab) mungin yg tdk memakainya merasa aman tapi,apakah yg melihatnya merasa aman????

Posted by nur azizah  on  02/06  at  04:02 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq