Dialog Ulil Abshar-Abdalla dan H.M. Nur Abdurrahman - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Diskusi
30/12/2002

Artikel 3 dari 5 Dialog Ulil Abshar-Abdalla dan H.M. Nur Abdurrahman

Oleh Redaksi

Berikut adalah lanjutan dialog Dialog Ulil Abshar-Abdalla dan H.M. Nur Abdurrahman.

UAA:
Sent: Tuesday, December 17, 2002 1:42 PM
Subject: Re: Mengutip kitab tafsir yang 'kurang tepat'


Pak Nur,

Saya, mengikuti Dr. Husein Az Zahabi dalam “At Tafsir wal
Mufassirun”, menganggap bahwa tafsir “Fi Zilal” itu bukanlah
tafsir dalam pengertian teknis istilah itu; itu adalah
refleksi dan kontemplasi Qutb saja. Kalau anda baca Fi
Zilal, persis kayak pidato. Di samping itu, saya mempunyai
“paradigma” yang berseberangan total dengan Qutb; saya
kurang senang memakai tafsir ini (terutama tafsir dia
tentang jihad yang bagi saya “non-sense"). Jadi, kalau anda
merujuk Sayyid Qutb, ini juga rujukan yang kurang tepat,
sebab dalam “standar tafsir” yang normalpun, dia kurang
“diperhitngkan”. Soal Mahmud Yunus, saya kurang banyak
membaca tafsir dia. Tafsir yang saya kutipkan dalam posting
terdahulu atas ayat itu saya kutip dari “Fathul Qadir” karya
Imam Asy Syaukani, sebuah tafsir yang dihormati di kalangan
para penafsir klasik karena menggabungkan antara metode
“dirayah” dan “riwayah”.

Oke, kalau anda tak puas dengan tafsir-tafsir itu, anda
pakai tafsir yang mana? Anda belum menunjukkan, mana konflik
dalam ayat itu antara akal dan wahyu? Kalau tafsir-tafsir
yang anda rujuk itu tidak memuaskan penjelasannya, apakah
dengan sendirinya ada konflik di situ? Di mana konfliknya,
Pak?

salam,

ulil

ps. Soal “Abdalla”, saya menganut kaidah dalam tradisi
pengkajian linguistik Arab klasik, “la musyah-hata fi
isthilahat”, tak usah mempersoalkan nama-nama. Ada soal lain
yang lebih penting: Anda setuju orang-orang yang
berpandangan kritis atas “agama” dianggap kafir dan layak
dihukum mati, karena anda kemaren mengirim posting dari
milis “Sabili” yang menyetujui hukuman mati atas saya
(karena telah menghancurkan Islam dari dalam)? Hukuman mati
atas orang-orang yang berbeda pendapat dalam soal agama
adalah warisan “abad kegelapan Kristen” yang sekarang ditiru
sebagian orang Islam, termasuk Imam Khomeini. Apakah Islam
sedang mengalami “neo-medievalisme”? Tapi, saya ber-husnuz
zan, pastilah Bapak tidak berpandangan demikian. Insya
Allah.

HMNA:
Sent: Tuesday, December 17, 2002 3:47 PM
Subject: Re: Mengutip kitab tafsir yang 'kurang tepat'

Baiklah akan saya tunjukkan konflik antara akal dengan
ayat (36:80) tanpa merujuk kepada tafsir siapapun juga. Dari
segi pengalaman empiris tidak mungkin didapatkan api jika
pohon yang masih basah / hijau digosok. Untuk memperoleh api
dari segi pengalaman empiris, kayu itu harus kering betul.
Jadi yang menyebabkan konflik itu adanya kata akhdhar.
Nantilah apabila anda telah mengemukakan / menjawab sikap
anda dalam hal konflik antara akal dengan ayat, baru saya
akan menunjukkan kelemahan akal itu kepada anda.

Wassalam,

Makassar, 17 Desember 2002

HMNA

UAA:
Sent: Tuesday, December 17, 2002 10:57 PM
Subject: Re: Mengutip kitab tafsir yang 'kurang tepat'

Pak Nur yang baik,

Saya harus berkata apa sekarang. Anda jelas, maaf, kurang
mengerti bagaimana mendudukkan ayat dalam surah Yasin yang
anda kutip itu. Anda memaknai kata “akhdlar” di situ sebagai
sesuatu yang mencakup segala jenis dahan dan pepohonan yang
masih “hijau” atau basah. Ya nggak bisa dong. Mana ada dahan
mangga dipotong jadi dua lalu digesekkan dan keluar api. Itu
tak pernah terjadi, baik sekarang atau pada zaman ayat itu
turun. Memang ayat itu tidak bicara soal segala jenis dahan
yang basah. Ayat itu merujuk kepada satu jenis pepohonan
saja; dan untuk itu kita perlu merujuk kepada rekaman
sejarah yang ditulis oleh para mufassir. Seperti saya kutip
dalam posting sebelumnya, Asy Syaukani dalam “Fathul Qadir”
menyebutkan bahwa kata “akhdlar” di situ merjuk kepada jenis
pepohonan yang ada di Arab saat itu, yaitu pohon “marakh”
dan “‘ifar”. Saya sendiri tak tahu bagaimana terjemahan dua
kata itu, karena saya juga tak tahu jenis pepohonan seperti
apa keduanya itu. Ini persis seperti ayat dalam surah
‘Abasa, “Wa fakihatan wa abba.” Umar sendiri, salah seorang
sahabat utama, tidak tahu apa arti “abba” dalam ayat
tersebut, dan baru paham ketika diberi tahu oleh sahabat
lain. Kata “abba” itu merujuk kepada makna tertentu dalam
tradisi penggembalaan binatang piaraan di padang pasir.

Jadi, sekali lagi, anda tidak bisa mengartikan kata
“akhdlar” itu kecuali merujuk kepada makna kata itu
sebagaimana dipahami oleh sahabat pada saat mendengar ayat
tersebut.

Artinya: hingga sekarang anda tidak bisa menunjukkan
adanya konflik antar akal dan wahyu dalam ayat yang anda
kutip itu. Saya sudah sarankan ayat lain yang jauh lebih
tepat anda jadikan contoh. Karena itu, maaf, saya belum bisa
meneruskan diskusi. Lebih baik anda akui bahwa anda
sebetunya salah kutip. Dan itu tak apa-apa. Dengan begitu
saya bisa melanjutkan diskusi ke jenjang berikut yang anda
inginkan.

Kalau soal kelemahan akal, tanpa harus menunggu
kelanjutan “jenjang argumen” yang akan anda pakai nantinya,
saya akan mengatakan sejak awal: memang akal punya kelemahan
atau keterbatasan. Tetapi dalam posting yang lalu saya sudah
katakan: yang terbatas bukan saja akal tetapi juga wahyu
yang telah menjadi “verbal” dan mengambil bentuk bahasa
manusia tertentu (Ibrani, Siriac, Arab, dan lain-lain).

salam,

ulil

HMNA:

Assalamu ‘alaykum wr.wb.

Baiklah kalau begitu, saya tunjukkan ayat-ayat lain.
Salah satunya masih di S. Yasin, yaitu ayat 40: Laa sysyamsu
yanbaghiy lahaa an tudrika l qamar. Menurut intizhar setiap
bulan terjadi asysyamsu tudrika lqamar, yatiu tatkala
terjadi ijtima’. Seperti baru-baru ini, pada 4 Desember jam
15.30 (waktu Makassar- WIT) 2002, bahkan pada waktu matahari
menyusul bulan di bola langit jalur matahari dengan jalur
bulan berpotongan sehingga terjadi gerhana matahari, jadi
sebenarnya pada hari Rabu petang itu bulan sudah dapat
“diru’yah”, karena bagian matahari yang gelap itu ditutup
bulan. Jadi bagian yang gelap itu adalah bulan, sehingga
sebenarnya bagi penganut ru’yah seharusnya lebaran pada
tgl.5 Desember 2002. Ini satu lagi: Awa lam yaraw ila
ththayri fawqahum sha-ffa-tin wayaqbidhna (S. Al Mluk, 19).
Bukankah sha-ffaa-t dengan yaqbidhna itu kontradiktif?
Burung yang bersaf itu ialah tatkala terbang melaju, tidak
pernah ada burung bersaf pada waktu hinggap, yaitu tatkala
sayapnya yaqbidhna. Bagaimana burung bisa terbang kalau
sayapnya menguncup ke dalam tubuhnya?

Biarlah supaya mujadalah ini dapat berlanjut, tidak usah
saya menanyakan sikap anda menghadapi konflik akal dengan
ayat tersebut, jika dilihat secara literal. Kalau mengenai
sikap saya, saya tidak akan tergesa-gesa meninggalkan
pemahaman yang literal, cukup dipending saja dahulu, hingga
akal saya mendapatkan informasi tambahan yang cukup untuk
dapat mencernanya secara literal. Tetapi sayapun tidak
menyalahkan mereka yang “malas” (saya pinjam term anda)
mencari tambahan informasi, lalu meninggalkan sama sekali
usaha untuk dapat memahami ayat secara literal, terus
melangkah menta’wilkan saja ayat itu. (AlhamduliLlah, saya
sudah mendapatkan informasi tambahan sehingga akal saya
dapat mencerna ayat itu secara literal, namun tidak di sini
saya ungkap, nanti selingannya terlalu panjang sehingga
mengganggu jalannya diskusi). Yang penting, SALAH SATU
kelemahan dalam menggunakan akal ialah tidak selamanya dan
terkadang sulit untuk mendapatkan informasi dari lapangan /
lingkungan, sehingga akal itu (buat sementara) mandeg
jadinya.

Saya akan pindah untuk melanjutkan pendekatan
diagram.

Yang anda sudah sepakati

       input ==> [proses] ==> output

wahyu ==> [proses dalam diri Nabi Muhammad] ==> Al Quran (ayat qawliyah)

surroundings ==> [proses adaptasi & pembelajaran oleh komunitas Arab] ==> kultur Arab

Kultur Arablah yang mula-mula mendapat “suntikan” ayat
qawliyah, secara berangsur-angsur, sehingga ayat qawliyah
itu haruslah dalam bahasa Arab. Innaa anzalnaahu qur.a-nan
‘arabiyyan, la’allkum TA’QILUWN. Mengapa Allah menekankan
pada akhir ayat supaya kita mempergunakan ‘akal. Di sinilah
perbedaan saya dengan anda dalam mempergunakan akal.Hasil
suntikan ayat qawliyah pada kultur Arab, BUKANLAH muatan
lokal. Kalau di Universitas Muhammadiyah mempelajari suatu
proses ayat kawniyah dalam bahasa matematika di laboratorium
fisika, maka hasil kajian itu tidaklah bermuatan lokal
khusus Makassar saja. (Ini akan dilanjutkan setelah tiba
dipuncak, sekarang baru mendaki lereng mendekati
puncak).

Anda sudah menyatakan kesepakatan mengenai diagram itu.
Alirannya berjalan sendiri sendiri. Ada aliran dari wahyu ke
dalam diri Nabi Nuhammad SAW berakhir di Al Quran. Ada
aliran dari surrounding (ayat kawniyah) ke proses adaptasi
dan pembelajaran komunitas Arab, berujung pada kultur Arab.
Jadi tidak ada “pengaruh” kultur Arab terhadap ayat
qawliyah, oleh karena suntikan ayat qawliyah ke dalam kultur
Arab alirannya satu arah. Saya akan berikan illustrasi
mengenai suntikan itu, yaitu asbabun nuzul S.Al Kafiurwn,
S.Al Fiyl dan S.Quraisy. Setelah penguasa Quraisy tidak
dapat meredam perkembangan Islam dengan cara terror, maka
mereka mengadakan pendekatan politik, yang seperti biasa
dalam politik umumnya berlaku kebiasaan koe handel./ dagang
sapi, to take and to give. Penguasa Quraisy bersedia to
give, yaitu seluruh penduduk Makkah artinya kaum kafir
quraisy dengan ummat Islam bersama-sama menyembah. Apa yang
diinginkan (to take) penguasa Quraisy dari Nabi Muhammad SAW
, ialah jika hari ini bersama-sama menyembah Allah esoknya
bersama-sama pula menyembah dewa-dewa yang dipelambangkan
sebagai patung-patung yang diletakkan sekitar Ka’bah. Maka
turunlah S.Al Kafirun menyuntikkan “obat” aqidah lakum
diynukum wa liya diyn. Suntikan berikutnya berupa
“illustrasi” tentang upaya Abrahah ingin meruntuhkan Ka’bah
dengan pasukan bergajahnya yang dibinasakan oleh thayran
abaabiyl yaitu S. Al Fiyl. Adapun maksud suntuikan
illustrasi riwayat itu untuk mengingatkan penguasa Qurasy,
bahwa sejak itu qabilah Quraisy dapat membawa kafilah dagang
sepanjang tahun tanpa kekuatiran di serang qabilah lain di
luar bulan-bulan yang telah disepakati oleh kultur Arab
untuk tidak saling menyerang. Hal ini dillustrasikan dalam
suntikan S. Quraisy, yang ditutup dalam surah itu suntikan
berupa “koreksi” kultur Arab penyembah berhala, supaya
jangan menyembah berhala yang ada di seputar Ka’bah:
Falya’buduw rabba ha-dza lbayt. (Inilah yang dipelintir oleh
para orientalist yang berteori “anekdot semantik” bahwa kata
Allah berasal dari al ilah, yang juga lagi memplintir bahwa:
The Divine Name Allâh was used by the pre-Islamic
pagan Arabs with pagan connotations, notwithstanding the
fact that they considered Allâh as the Supreme Deity
in their polytheistic pantheon and that Allâh was for
them the “Lord of the Ka`ba").

Demikianlah dengan aliran satu arah dari ayat qawliyah ke
kultur Arab berupa suntikan dalam jenis “obat” aqidah,
ilustrasi dan koreksi, menunjukkan SAMA SEKALI TIDAK ADA
PENGARUH KULTUR ARAB KEPADA AYAT QAWLIYAH. Saya telah ada
pada bagian puncak sekarang.Selanjutnya saya mendaki menuju
bagian puncak yang tertinggi dari perbincangan, yang
merupakan KATA akhir dari saya.

Hal yang kita tidak (atau belum?) dapat sepakati ialah
apa yang anda katakan muatan lokal utamanya hudud. Kalau
anda sepakat dengan saya, alhamduLlah, kalau tidak, ya kita
sepakat dalam ketidak sepakatan. Saya hanya dapat berdoa
kepada Allah semoga anda surut langkah dalam hal hudud
ini.

Kata akhir saya ialah: Saya berpendapat tidak ada muatan
lokal, seperti halnya hasil kajian laboratorium di Unismuh
dalam bahasa matematika, itu bukan muatan lokal Makassar. Al
Quran hudan linnaas. AnNaas adalah makhluq pribadi dan
makhluq sosial. Maka Syari’at Islam mengandung hukum
Syari’ah yang ritual dan non-ritual. Syari’ah yang ritual
untuk manusia sebagai makhluq pribadi. Inilah yang disebut
dengan religie, religoin, gosdienst oleh “rasa bahasa” dalam
mother language orang barat. Syari’ah yang non-ritual adalah
porsi bagi manusia sebagai makhluq sosial. Pada Syari’ah
yang ritual akal sama sekali tidak bebas dalam konteks
menjawab pertanyaan mengapa. Akal hanya berurusan dengan
yang deskriptif, bagaimana (caranya), bilamana dan di mana
(dilakukan). Dalam Syari’ah yang non-ritual, akal bebas
terkendali, yaitu dikendalikan oleh: wa athiy’u Lla-ha wa
rasuwlahu- wa laa tanaaza’uw (S. Al Anfaal, 46). Akal bebas
di atas paradigma ayat (Al Anfaal, 46). Artinya silakan
berolah akal, termasuk menta’wilkan sebebasnya asal tidak
dilarang / tidak bertentangan dengan Nash. Sebagai
ilustrasi: Bagaimana nizam dan teknis distribusi modal
usaha? Akal boleh bebas mencari nizam beserta teknisnya,
tetapi tidak boleh melanggar larangan: Kay laa yakuwna
duwlatan bayna la.ghniya-i minkum. Bagaimana cara mengambil
keputusan politik? Akal boleh bebas asal tidak bertentangan
dengan wa syaawirhum fi l’amr. Bagaimana Syari’ah non-ritual
hudud? Apa boleh menta’wikan dengan mengambil “jiwa"nya
saja? Di sinilah perbedaan kita. Boleh menta’wilkan sanksi
potong tangan itu dengan misalnya membuat uu yang dapat
memotong kekuasaan pejabat sehingga tidak mampu melakukan
korupsi, seperti misalnya rencana uu anti korupsi yang
dibawa sendiri ke DPR oleh Jaksa Agung Baharuddin Lopa
almarhum, yang memakai prinsip anna- laka hadza, bukan jaksa
yang harus membuktikan kesalahan terdakwa, melainkan
sebaliknya terdakwalah yang harus membuktikan kebesihan
dirinya dari korupsi. Sekali lagi boleh membuat ta’wil
potong tangan yang demikian, akan tetapi (dan di sinilah
perbedaan kita lagi), potong tangan secara literal tetap
harus dijalankan, oleh karena Nabi Muhammad SAW telah
bersabda, bahwa Fatimahpun kalau mencuri akan kupotong
tangannya.Sabda beliau itu menunjukkan bahwa hudud itu
difahamkan secara literal Jadi hudud secara lteral jalan
terus ditunjang oleh ta’wil memotong kekuasaan melalui uu
anti korupsi.

Tampaknya bagi akal anda menerima hudud itu secara
literal sama sulitnya akal menerima secara literal ayat-ayat
(36:80), (36:40) dan (67:19). Itu perlu mendapatkan
informasi dari lapangan. Anda sudah baca Laporan Khusus -
Tempo 15 Desember 2002, antara lain seperti berikut Tapi ada
juga yang “berat” seperti yang terjadi di Gowa dan
Jeneponto, Sulawesi Selatan. .Mereka menerapkan hukum potong
tangan pada pelaku kejahatan di kawasan tersebut. Sebenarnya
bukan hanya di Kabupaten Gowa dan Je’neponto saja, tetapi
sampai ke ujung selatan yaitu Kab.Bantaeng dan Bulukkumba.
Sejak Forum Bersama (Forbes), yang tokoh-tokohnya dari
anggota KPPSI, bergerak membantu polisi, sudah tidak ada
lagi perampok ternak yang ganas, yang tidak segan membunuh
korbannya, yang sangat meresahkan dan ditakuti penduduk. Ini
merupakan pilihan antara HA perampok yang tertangkap tangan
dengan HA warga yang menjadi korban perampok itu. Saya
sendiri sudah mengalami bagaimana aman dan tenteramnya
daerah kuasa defacto DI-TII dahulu (FYI saya menjabat salah
seorang menteri waktu itu). Dari pengalaman lapangan itu
juga, saya mengambil sikap mundur selangkah, yaitu
memperjuangkan tegaknya Syari’at Islam secara damai,
demokratis, tanpa kekerasan melalui jalur konstitusi, dengan
melalui wadah KPPSI memperjuangkan “rumah politik” yaitu
otonomi khusus Provinsi Sulawesi Selatan, yang
kekhusususannya itu berlakunya Syari’at Islam.

***

Ini adalah yang terakhir dari kata akhir yang menjadi
titik puncak mujadalah. Bolehkah saya memanggil anda sebagai
anakda? Umur saya sekarang 71 tahun liwat beberapa bulan
dalam hitungan kalender Miladiyah, atau 73 setengah tahun
menururt tahun Hijriyah. Panggilan anakda ini juga saya
pakai kepada Dr Qasim Mathar. Saya pernah diduai oleh Qasim
Mathar bersama Dr Taufiq Adnan berdiskusi ttg Islam Liberal
di IMMIM Makassar. pada 12 Oktober 2002 (intermesso, sebelum
berdiskusi karena duduk berdekatan kursi dengan Qasim Mathar
dan juga lama baru berjumpa, kami berdekapan bercium ala
kultur Arab di depan peserta diskusi, walaupun ada beberapa
hal pendapatnya berseberangan dengan saya).

Anakda Ulil, anakda minta kepada saya hukuman apa yang
patut dijatuhkan atas anakda karena faham yang anakda anut
itu? Menururt saya, itu terpulang kepada anakda sendiri. Al
Hawa anakda sendiri yang menjadi jaksanya, Fuad anakda
sendiri yang menjadi pembelanya dan Qalbu anakda sendiri
yang menjadi hakimnya. Saya hanya berdo’a kepada Allah
mudah-mudahan Allah menurunkan hidayahNya kepada anakda,
sehingga mengambil langkah surut ke liberal terkendali, akal
bebas di atas paradigma: wa athiy’u Lla-ha wa rasuwlahu- wa
laa tanaaza’uw Amin

Wassalam,

Makassar, 17 Desember 2002

HMNA

(tulisan sebelumnya | bersambung ke tulisan berikutnya)

30/12/2002 | Diskusi | #

Komentar

Komentar Masuk (0)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq