Dilema Partai Agama - Komentar - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Editorial
19/04/2004

Dilema Partai Agama

Oleh Hamid Basyaib

Pernikahan agama dan politik dalam sebuah partai adalah kawin paksa. Karena itu partai politik yang didasarkan atas agama, yang pembentukannya dinyatakan oleh para pendirinya sebagai perpanjangan langsung dari ajaran-ajaran formal agama, niscaya menghadapi pelbagai dilema.

19/04/2004 06:46 #

« Kembali ke Artikel

Komentar

Komentar Masuk (8)

(Tampil semua komentar, ascending. 20 komentar per halaman)

Halaman 1 dari 1 halaman

Assalammu’alaikum wr wb’

Judul analisa ini sangat kontroversial. Sebab sepengetahuan saya Partai Agama (politik) itu tidak ada saat ini dan dahulupun tidak, meskipun pernah ada PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia - kata Islam dikenal dalam bahasa Indonesia sebagai “agama"), Partai Katolik, Partai Kristen (kata Katolik dan Kristen dikenal dalam bahasa Indonesia sebagai “agama"). Sebab umumnya di dalam AD&ART partai-partai yang menyeret-nyeret predikat “agama Islam” atau agama Katolik, agama Kristen tidak mencantumkan tujuan membangun negara/kekuasaan-politik “agama” masing-masing. Umumnya partai-partai tersebut hanya sebatas memperjuangkan dan melindungi kepentingan-kepentingan elite anggota partai yang mengidentifikasi kepentingan grup elite sebagai kepentingan ummat beragama masing-masing. Oleh sebab itu ketika Dewan Konstituante Indonesia yang sedang mengahiri tahapan diskusi ideologi panutan NKRI di tahun 1959 mengalami suasana “tegang” - para elite partai-partai yang menyeret-nyeret “agama Islam” TIDAK MAMPU MEMPERSATUKAN TUJUAN dari masing-masing partainya dan berakibat TERPECAHNYA pandangan-pandangan IDEOLOGIS “agama Islam” mereka di dalam perdebatan sidang mengenai Ideologi NKRI yang akan datang (sesudah selesainya sidang Dewan Konstituante 1959). Dan partai Masyumi yang keras memperjuangkan dimasukkannya apa yang dikenal sebagai piagam Jakarta ke dalam Konstitusi NKRI yang baru telah DIPENCILKAN oleh partai-partai “agama Islam “ lainnya termasuk Presiden Sukarno yang “beragama Islam”. Dan ahirnya sebelum final sidang Dewan Konstituan pilihan Rakyat tsb, Presiden Sukarno dengan dukungan penuh Angkatan Darat mendekritkan “kembali ke UUD-45” yang menjadi DASAR BAGI MASUKNYA PARA JENDRAL ANGKATAN DARAT TNI MENDOMINASI KEKUASAAN NEGARA RI secara DE FACTO di bawah komando Presiden, Panglima Tertinggi, TNI DR. Ir. Soekarno. Dari pelajaran sejarah seperempat abad lebih yang PAHIT itu kini dapat kita amati bahwa sebenarnya partai-partai politik yang menyeret-nyeret “agama Islam” dalam program dan jadwal politik mereka TIDAK MEMAHAMI DENGAN BENAR AL-DINU AL-ISLAM sebagaimana difirmankan oleh Allah swt di dalam al-Quran dan juga TIDAK MEMAHAMI DENGAN BENAR SUNNAH RASULULLAH MUHAMMAD SAW. Menurut hemat saya kaum Muslimin Indonesia, terutama elite Muslimin Indonesia yang ingin beribadah kaffah melaksanakan sumpah yang diucapkan secara lisan pada setiap memulai sholat lima waktu - paling tidak, perlu mencermati KETELADAN BERPOLITIK YANG DIWARISKAN OLEH RASULULLAH MUHAMMAD SAW. Di dalam membangun ummat Muslimin dalam rangka menyampaikan PETUNJUK HIDUP dari Allah swt bagi ummat manusia secara umum. Rasulullah selalu BERKONSULTASI kepada al-Quran dalam segala macam situasi setempat dan global. Oleh karena itu dalam rangka MEMAHAMI DENGAN BENAR AL-DINU AL-ISLAM DAN SUNNAH RASUL maka tidak ada jalan lain kecuali: 1 - Bagi partai-partai Muslimin beserta para tokohnya yang dipercaya massa Rakyat Indonesia perlu SEMAKIN ERAT BERPEGANG KEPADA PETUNJUK ALLAH SWT sebagaimana termuat dalam AL-QURAN. 2 - MENCERMATI strategi dan taktik politik rasulullah Muhammad saw di dalam melaksanakan PERINTAH ALLAH SWT untuk mengubah SISTEM MASYARAKAT JAHILIYAH ARAB ke dalam SISTEM MASYARAKAT ISLAM dari semenjak menerima wahyu pertama hingga menerima PERINTAH BERDAKWAH TERBUKA. 3 - Memperhatikan POLITIK lokal dan global rasulullah Muhammad saw setelah melaksanakan perintah berhijrah ke Madinah. 4 - Memperhatikan SUNNAH rasulullah Muhammad saw dalam memecahkan perekonomian keluarga beliau dan aktivitas kerasulan sebagai fardu ‘ain dan aktivitas hablu min Allah secara berkesinambungan dalam tatanan suatu masyarakat BARU kaum Muslimin. 5 - Perlu semakin RENDAH HATI (bukan rendah diri) dalam memimpin ummat Islam, membimbing mereka agar SADAR DAN MENYADARI DIRINYA bahwa ALLAH SWT akan memberi pertolongan kepada kaum Muslimin YANG MEMINTA PERTOLONGAN LANGSUNG KEPADA ALLAH SWT (maksudnya TIDAK PASIF DIRI dan bersandar kepada OTOMATISME janji-janji organisasi dan para pemimpin) DAN BERUSAHA KERAS UNTUK MENGUBAH NASIBNYA SENDIRI, baik secara komunal maupun secara pribadi. Mengembangkan SOLIDARITAS UKHUWAH ISLAMIYAH dan memerangi PENYALAHGUNAAN KESUKARELAAN, KEIHLASAN, KEJUJURAN di kalangan ummat serta MENGANJURKAN KETELADANAN aplikasi AHLAQU AL-KARIMAH dalam hidup bermasyarakat. Dan para ELITE MUSLIMIN HARUS MENYADARI DENGAN JUJUR bahwa tidak ada suatu lembaga, organisasi, partai maupun wali dan imam mahdi, yang dapat MENYELAMATKAN ummat Islam. Hanya Allah swt -lah yang dapat menyelamatkan ummat Islam melalui hukum yang telah ditetapkan “INNALLOHA LAYUGHOIYYIRUUMA BI KAUMIN HATTA YUGHOIYYIRUUMA BI ANFUSIHIM”.

Oleh sebab itu apabila ada sdr-sdr kaum Muslimin yang merasa terpanggil oleh sitkon untuk tampil ke depan medan perjuangan politik sebagai tokoh yang sanggup mewakili IDEOLOGI ISLAM, maka bagi dirinya harus dapat DENGAN JELAS menapak-tilas jejak rasulullah Muhammad saw (bukan dalam berpoligami) dalam membangun suatu masyarakat Muslimin setapak demi setapak dengan ahlaq Islami, jujur, ulet, teguh, sabar, aktif dan pandai-cerdas (seseorang yang pandai-cerdas adalah seseorang yang dapat menemukan kesalahan pribadi dirinya lalu mengakuinya tanpa keraguan selanjutnya bertobat-membetulkan-tidak mengulangi kesalahan yang serupa), rendah hati, sederhana, egalitarian dan menjaga SATU-NYA KATA DENGAN PERBUATAN.

Semoga tanggapan ini tidak merisaukan mereka yang tidak menyetujui ISI dan gaya penulisan yang saya terapkan.

Wassalam.

#1. Dikirim oleh Siraj al-Soloni  pada  19/04   12:04 PM

Dilema..... Saya sepakat dengan fenomena yang mungkin akan dialami oleh partai-partai “agama” tersebut. Tetapi kita juga tidak perlu terlalu khawatir. Saya kira dilema akan selalu ada dalam setiap kancah dinamika peradaban. Resiko-resiko memang akan dialami secara nyata, namun ini akan menjadi pelajaran yang bisa dirasakan langsung oleh masyarakat secara luas. Bukan lagi semata-mata teori.  Asalkan penghargaan terhadap keadilan dan kemanusiaan disepakati sebagai nilai bersama, Insya Allah akan terjadi dialektika yang positif bagi masyarakat guna menunjang transformasi di segala bidang termasuk tentang agama itu sendiri. Wassalam

#2. Dikirim oleh Iwan Syuhada  pada  19/04   01:05 PM

Seru juga mencermati tulisan Pak Hamid tentang agama dan parpol. Saya ingin menggarisbawahi pendapat anda mengenai dilema yang mungkin saja dihadapi parpol-parpol tersebut. Ada dua hal utama yang pantas diingat berkenaan dengan wacana ini, yaitu ideologi dan visi kedepan. Ideologi sebagai dasar pemikiran suatu organisasi, yang mau-tidak mau akan mewarnai gerak langkah partai. Sejarah membuktikan, hanya organisasi dengan anggota yang konsisten dengan ideologi yang mereka anut sajalah yang sanggup bertahan. Bila mengalami “bias” ditengah jalan, tinggal tunggu kehancurannya. Cukup banyak ideologi yang disajikan berbagai organisasi, seperti komunis, pancasila, liberal, Islam, dll. Hanya mereka yang konsisten sajalah yang sanggup membesarkan lembaganya.  Mengenai visi, sejarah juga membuktikan bahwa organisasi yang memiliki visi jauh ke depan saja yang sanggup bertahan. Bila visi tersebut hanya ingin membentuk rezim, lihatlah uni soviet yang bubar, juga di bolivia, prancis abad pertengahan, firaun, dll. Umumnya rezim akan hancur karena adanya figuritas. Namun bila organisasi tsb memiliki visi pembentukan suatu peradaban, maka akan terlihat bahwa mereka lebih langgeng, berabad-abad. Lihatlah kondisi eropa saat jaman utsmaniyah, +/- 7 abad bertahan, namun hancur karena orangnya tergantikan oleh orang berpaham liberal. Berkaitan dengan parpol, kita akan lihat apakah PKS dan PDS memiliki persyaratan diatas atau tidak, yaitu kader yang militan terhadap ideologinya, dan memiliki visi luas dan jauh kedepan. Dilema seperti yang anda sebutkan tadi saya lihat hanyalah bumbu-bumbu dinamika organisasi yang sebenarnya tidak begitu penting dibanding 2 hal yang saya sebutkan. Time will let us know.

#3. Dikirim oleh Ipank Sabila  pada  22/04   09:05 AM

Bila kita sadari, setiap kita pasti membawa ideologi, dogma, syariat, atau agama masing-masing. Baik itu diletakkan di wilayah prifat atau umum. Menurut saya, lebih mulia orang yang berjuang dengan sekkuat tenaga untuk mewujudkan idealismenya, mis. keislamannya dalam bentuk apa pun termasuk politik, walau pun dia akan terjegal oleh kemanusiaannya. Dibandingkan dengan orang yang menjauhi dogma untuk mengatur urusannya. Karena diungkapkan atau tidak, keislaman seseorang akan tetap dikalkulasikan, jika ia masih meyakini.

Bahkan orang yang sangat bangga dengan kepluralannya. Mereka yang menghindar dari aturan syariat yang diyakininya adalah mereka yang telah memosisikan dirinya bisa membuat aturan lebih bagus dari syariat agamanya sendiri atau mencari aman atau tidak mau beresiko karena dia lebih menutamakan kehormatan diri.

Memang berat mengeksplisitkan identitas keagamaan dalam berprilaku, tapi siapa yang bisa menbghindar dari hakikat tanggung jawab tersebut. Saya kira tidak ada. Wallahu’alam bisshawab.

#4. Dikirim oleh Moch. Irfan HIdayatullah  pada  22/04   10:05 AM

Ba’da tahmid dan sholawat.

Memang betul apa yang Hamid Basyaib tulis, bahwa partai-partai agama akan terjebak pada situasi dilematis yang bisa menyebabkan mereka terjebak pada penodaan citra agama. Saya tidak menggunakan tanda petik untuk kata penodaan karena yang saya maksud penodaan di sini adalah dalam arti sebenarnya. Yaitu suatu pencemaran agama yang dimaksud.

Sebelum dilanjutkan, saya hendak membuat pernyataan bahwa e-mail saya ini hanya khusus untuk menanggapi fenomena partai-partai Islam (khususnya PKS) karena PDS saya anggap sama busuknya dengan partai-partai sekuler lain karena asasnya sudah salah. Ya, tidak ada bedanya dengan partai-partai semacam PDIP, Golkar, PKB, PKPB, dan lain-lain. Hanya beda nama saja. Esensi sama.

Partai-partai Islam (khususnya PKS), sebenarnya telah salah langkah ketika memutuskan ikut pemilu dan menjadi bagian dari pemerintahan. Karena asas yang dijadikan pedoman oleh pemerintahan NKRI adalah sekulerisme (kalau bahasa halusnya : Pancasila). Padahal Islam dan sekulerisme (Pancasila) adalah dua hal yang saling bertolak belakang dan tidak bisa dikompromikan. Partai-partai Islam sayangnya mengabaikan hal ini dan ikut pemilu yang nanti akan berujung pada duduk di pemerintahan.

Kesalahan langkah awal inilah yang lalu menjebak partai-partai Islam pada posisi dilematis, seperti yang telah Hamid Basyaib tuliskan. Sebenarnya, jika kita mau jernih melihat dan mengkaji dalil Qur’an dan Hadits (dengan tafsir yang benar tentunya; bukan tafsir seenaknya ala JIL) plus melihat fakta NKRI, kita akan mudah sekali berkesimpulan bahwa NKRI bukanlah Negara Islam; bukan negara yang didirikan pertama kali oleh Rosul di Madinah dulu. Perbedaan status ini jelas akan membawa konsekuensi : jangan ikut mendukung (apalagi mempertahankan) keberadaan negara sekuler ini. Harus dirubah.

Pemilu tidak akan menghasilkan perubahan. Ia hanya akan merubah individu-individu yang duduk di pemerintahannya. Padahal yang menjadi masalah pokok adalah keberadaan negara sekuler ini. Jika kita hendak mengentaskan kebodohan, kemiskinan, ketertinggalan, dan berbagai masalah pelik di Indonesia ini maka satu-satunya cara adalah ganti negara sekuler ini menjadi Negara Islam; negara yang menerapkan syari’at secara murni dan konsekuen. Yakinlah, pasti masalah-masalah itu teratasi.

Mungkin aktivis-aktivis JIL menyangka saya dan teman-teman saya yang berpendapat seperti ini adalah orang-orang yang putus asa dan tidak kreatif berfikir sehingga langsung menyerahkan segala jawaban masalah pada Islam.

Tidak!

Justru karena kami telah berfikir mendalam dan jernih, akhirnya kami tahu bahwa inilah jalan terbaik.

Ingat, setiap manusia (siapa pun dia, termasuk Anda, para aktivis JIL) tentu memerlukan bantuan dalam menyelesaikan masalah. Minimal bantuan dari segi informasi mengenai bagaimana menyelesaikan masalah itu. Mungkin Anda para aktivis JIL tidak mau merujuk pada kitab-kitab Islam para ulama ketika mencari solusi. Tapi bukankah Anda merujuk pada buku-buku karya penulis lainnya? Seperti Abdullah Ahmad An Na’im? Betul kan? Nah, apa bedanya dengan kami? Kita sama-sama memerlukan bantuan pihak lain dalam mencari solusi.

Kalau Anda para aktivis JIL mencela kami karena kami mencari solusi dalam Islam, berarti Anda pun juga layak (dan harus) mencela diri sendiri. Betul kan?

Lagipula yang saya pertanyakan, kenapa apa-apa yang dari Islam harus senantiasa dinilai dengan kacamata demokrasi dan pluralisme? Memangnya demokrasi baik? Memangnya pluralisme oke?

Mari kita buktikan bersama-sama dengan diskusi yang sehat.

Satu hal, walaupun saya menyerukan agar NKRI ini diganti dengan Negara Islam, tapi saya tidak menyerukan revolusi. Saya setuju dengan konsep teman-teman dari HTI, yang menyerukan Negara Islam (kalau bahasa mereka : Daulah Khilafah Islam) lewat perubahan pemikiran. Karena memang inilah satu-satunya cara untuk mewujudkan negara yang kuat dan didukung rakyat : perubahan pemikiran masyarakat. Jadi, saya nggak setuju dengan cara-cara Amrozi cs. Tapi saya lebih nggak setuju lagi pada cara-cara aktivis JIL. Itu sih hanya akan lebih menghancurkan Indonesia ini.

Allohu akbar!!

#5. Dikirim oleh Firman  pada  25/04   03:04 AM

saya kira analisa anda salah besar. keputusan di majlis syuro bukan keputusan yang diambil oleh orang-orang puncak/ anggota majlis. akan tetapi didasarkan oleh masukan-masukan langsung dari kader-kader partai dari bawah yang disalurkan secara berjenjang dari struktur paling bawah (DPRa) pada masing-masing desa/kelurahan.  Keputusan yang diambil untuk beroposisi penuh merupakan aspirasi kader-kader di akar rumput yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Kami dari kader-kader tingkat bawah sangat mendukung keputusan tersebut.  Dan sangat bersyukur bahwa apa yang kami inginkan sama dengan yang pemimpin-pemimpin kami inginkan. Islam adalah rahmatan lil ‘alamin. Pelajarilah islam dengan hati yang bening.  Jangan pelajari islam tapi bertujuan untuk mencari-cari kelemahan Islam.  Islam itu tinggi dan tidak ada yang mampu menandinginya.

#6. Dikirim oleh fajri ofeser  pada  27/04   11:05 AM

Assalamu’alaikum membaca tulisan anda tentang agama dan partai politik, saya berkesimpulan bahwa anda masih kurang adil dalam mengambil contoh kasus, anda menyoroti PKS dan PDS tapi tidak menyoroti partai lainnya, kenapa? dalam pemahaman saya, PKS tidak terlalu banyak membawa isu agama dalam kampanyenya, PKS tidak membawa-bawa golongan tertentu, seperti PKB atau PAN, yang mempunyai basis massa buta, saya katakan buta, karena mereka melihat sosok pimpinan partai sebagai pimpinan golongan meraka, dalam hal ini NU dan Muhammadyah. Anda terlalu naif dengan mengatakan agama sebagai alat, coba tanya dengan diri sendiri, apakah PKS menjadikan agama sebagai alat atau tujuan? justru yang menjadikan agama sebagai alat ialah partai2 besar nasionalis, seperti beringin dan banteng, yang PASTI akan meninggalkan agama ketika tujuan (kursi) tercapai. PKS memproklamirkan diri sebagai partai oposisi, dengan begitu mereka akan mengawasi pemerintahan dengan cara2 islami, berarti agama sebagai tujuan dan BUKAN alat! PDS memang berkampanye di Gereja, wajar bila anda mengatakan mereka menggunakan alat, jangan menyamaratakan hal tersebut! Kenapa anda berpendapat bahwa ajaran ideal agama tidak bisa diterapkan dalam kehidupan sekarang? hal itu menunjukkan bahwa pemahaman anda tentang agama masih lebih cetek dari saya! Saya menantang anda untuk mengemukakan suatu ajaran yang sesuai dengan dunia saat ini, yang lebih lengkap[ dari ajaran ideal Islam, bila anda mampu, maka saya akan mengikuti ajaran tersebut. Wassalam Note : bila tanggapan ini ditolak, maka anda ialah orang yang tidak tertolong lagi.

#7. Dikirim oleh Fauzan Saifuddin  pada  03/05   04:05 PM

partai manapun pasti menghadapi dilemma, akan tetapi partai agama (baca:islam) potensinya lebih besar baik terhadap konsituennya atau asasnya. tapi enak juga ya jadi partai asas pancasila ya… bisa mancla-mencle mau zina politik kek! mau judi kek! nga ada aturan. bisa koalisi dengan siapa aja termasuk genderuwo politik yang selalu menghisap darah rakyat! bahkan realita nya partai non agama bisa seenake dewek menipu atau menginjak rakyat demi kepentingan elite partai… ini relita lho bukan apologi! ya..... kita liat aja siapa partai yang serius membela yang benar (bukan yang bayar lho) and menyelamatkan negara dari drakula peghisap kaum ploretar
-----

#8. Dikirim oleh setia hadikusumodiningrat  pada  08/05   05:06 PM
Halaman 1 dari 1 halaman

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq