Diskusi Buku Civil Islam - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Diskusi
01/05/2002

Diskusi Buku Civil Islam

Oleh Redaksi

DISKUSI BUKU CIVIL ISLAM, KARYA BOB HEFNER

Bertempat di ruang pertemuan Taman Ismail Marzuki (TIM), Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Institut Studi Arus Informasi (ISAI) menyelenggarakan diskusi buku karangan Bob Hefner: Civil Islam. Diskusi yang dipenuhi peserta dan wartawan dari berbagai media massa ini menghadirkan Nurcholish Madjid, Saiful Mujani, Ulil Abshar-Abdalla, dan Eggy Sujana sebagai pembicara dan Ahmad Baso sebagai moderator. Dalam transkrip berikut, kami akan menurunkan dua pembahas, yakni Nurcholish Madjid dan Saiful Mujani. Karena persoalan teknis, dua pembicara lainnya, tak dapat kami hadirkan di sini.

Prof. Dr. Nurcholish Madjid:

Saya berharap hanya akan menanggapi, karena pengantarnya di sini sebenarnya adalah saudara Ulil, Saiful Mujani dan Egi Sujana. Saya kira akan menyenangkan sekali mendengarkan penjelasan Egi Sujana mengenai Civil Islam. Tapi karena saya dapat waktu pertama, maka saya mencoba membuat ancang-ancang. Seperti yang dikatakan saudara Baso, nama saya banyak disebut dalam buku ini.

Secara umum, Islam sipil, Islam modern, Islam tradisionalis, atau yang lebih islami seperti Islam sunni dan Islam syi’i merupakan produk sejarah, artinya semua itu mencerminkan pengalaman-pengalaman.

Ketika suatu kelompok terpaksa menyebutkan dirinya sebagai Islam ahlu sunnah wal jama’ah atau Islam Syi’ah, itu jelas adalah produk dari sejarah dan sangat berkaitan dengan pengalaman-pengalaman pribadi masing-masing pelaku sejarah itu, sebab di satu ada problem.

Misalnya kalau kita tanya lebih jauh, ketika orang menyebut dirinya ahlu sunnah wal jama’ah dan yang lainnya ahli Syi’ah, apakah orang Syi’ah tidak mengikuti sunnah?

Kalau kita pelajari hadis-hadis Syi’ah, hanya sedikit yang berbeda, isinya sama. Lalu apa yang membedakan itu. Yang membedakannya adalah jama’ah dan sesuatu yang tak disebut ahlu sunnah, yaitu keadilan. Jadi sebetulnya kalau mau persis adalah ahlu sunnah wal jama’ah bagi kaum Sunni dan ahlu sunnah wasy syi’ah bagi kaum Syi’i.

Syiah itu artinya partai, partainya Ali yang kalau kita kejar dari segi substansinya ada satu partai, satu kelompok yang sangat mendambakan keadilan. Karena itu, Syi’ah bisa diganti dengan ‘adalah, keadilah.

Sedangkan ahlu sunnah wal jama’ah tekanannya ialah jama’ah, yaitu persatuan universal yang muncul pada tahun ke-41 ketika Ali terbunuh. Kaum Sunni kemudian mempercayai satu orang, yaitu Muawiyah. Lalu Muawiyah dengan senang hati mengumumkan tahun itu sebagai tahun persatuan, dalam bahasa arab ‘amul jama’ah. Lalu lama kelamaan menjadi ideologi, yaitu ideologi persatuan universal yang inklusifistik.

Sedangkan kelompok yang melawan itu tekanannya bukan jama’ah, bukan persatuan, tetapi tema perjuangan. Karena pengalaman-pengalamannya, terutama pengalaman Ali berhadapan dengan Bani Umayah yang memang mempunyai tradisi sebagai pemegang kekuasaan di Arabia, maka keadilan jadi menonjol. Oleh karena itu temanya ialah keadilan. Inilah Islam dengan kualifikasi itu. Maka ketika disebut Islam sipil, ini hanya suatu gejala yang memang agaknya tidak terhindarkan.

Apalagi kita punya pengalaman-pengalaman bahwa ada sebagian orang Islam yang tidak sipil. Karena itu, mereka yang sipil, paling tidak secara pasif, seperti dinamakan Bob Hafner, kemudian merasa perlu untuk menamakan dirinya sebagai Islam sipil atau disebut oleh orang lain sebagai Islam sipil, sama dengan Islam liberal.

Kalau kita kejar, istilah Civil Islam sebetulnya redundant, karena Islam sendiri cita-citanya ialah civility yang dalam bahasa Arab sebenarnya gagasan di balik madinah. Ketika nabi pindah dari Mekah ke Yatsrib, nama kota itu diubah menjadi Madinah. Dalam bahasa sekarang, pendirian Madinah adalah suatu deklarasi penciptaan masyarakat sipil, civil society.

Dalam bahasa Arab, peradaban disebut madaniyah. Tetapi di situ ada konsep yang lebih dinamis dari pada Madinah dalam arti kota.

Dari segi etimologis, madinah itu mempunyai dua sumber kata-kata, yaitu madana, artinya mendirikan bangunan dan tinggal di bangunan tersebut, dan dana artinya tunduk. Untuk mereka yang tahu bahasa Arab kalau madana itu berarti madinah, wazannya fa’ilah, kalau dana itu maf’ilah. Dari dana kata “agama” diambil. Yakni, din yang berarti ajaran kepatuhan. Kepatuhan kepada Tuhan. Tetapi karena Tuhan digambarkan Alquran secara abstrak, maka wujud yang paling konkrit adalah hukum.

Di sebuah tempat di Amerika Serikat ada sebuah relief Nabi Muhammad dengan pedang dan Alquran yang diprotes umat Islam Amerika yang tidak tahu. Pada relief itu ada keterangan bahwa Nabi Muhammad dianggap sebagai penegak keadilan bersama Moses (Musa).

Tapi, Musalah yang sebetulnya secara konkrit memulai dengan ide Madinah, dengan bermodalkan The Ten Commandements yang disebut Taurat. Taurat dalam bahasa Arab adalah Syari’ah. Taurat itu hukum syari’ah. Dan dengan modal The Ten Commandements itu, Musa melawan suatu gaya kekuasaan rezimenter, yang dilambangkan dalam diri Fir’aun. Maka Fir’aun ceritanya bermunculan dalam kitab suci karena dia lambang dari suatu pola ketundukan pada pribadi, tidak kepada hukum. Oleh karena itu, ketika Musa berhasil melakukan eksodus, memimpin Bani Israel keluar dari Mesir menuju Tanah Suci, Kanaan, maka eksodus menjadi sangat penting, karena itu merupakan lambang dari kebebasan manusia dari sistem rezimenter Fir’aun.

Kemudian Musa melanjutkan proyeknya dengan mendidik Bani Israel supaya tunduk kepada hukum dengan cara mengajari mereka sembahyang menghadap kotak yang isinya adalah teks The ten commandements. Saya kira itu yang disebut dalam bahasa arab tabut yang merupakan pinjaman dari bahasa Mesir, yakni kotak suci, yang dalam bahasa Inggris selalu disebut sebagai The Ark of Covenant, kotak yang berisi naskah perjanjian antara Bani Israel dengan Tuhan (The ten commandements) yang nilainya semuanya universal kecuali satu, yaitu kewajiban menghormati hari Sabtu.

Penghormatan kepada hari Sabtu itu khas Yahudi. Tapi yang lain-lain itu universal dan abadi. Tidak boleh mencuri, membunuh, dan seterusnya. Tempatnya, sesuai dengan revisi orang nomad, dilakukan di sebuah kubah. Kubah itu sebelum mempunyai arti dome seperti yang ada di atap masjid, adalah kemah besar yang menjadi tempat pertemuan orang-orang nomad, dan di situ sekaligus disimpan barang-barang suci mereka.

Karena Bani Israel orang nomad, maka pola hidup mereka sama dengan orang Arab. Bahkan orang Arab dengan orang Ibrani itu sama. ‘Araba dan ‘abara itu sama. Bahasa Arab itu bersifat conjunctive, seperti kata “ilmu” dan “amal”, akarnya sama. Orang berilmu harus beramal, beramal harus berilmu, karena akarnya ‘ain, lam, dan mim, atau ‘ain, mim, dan lam. ‘abara dan ibrani juga sama. ‘ain, ba, ra, dan ‘ain, ra, ba. Itu artinya orang yang selalu lalu lalang. Itu ada dugaan bahwa Ibrahim atau Abraham itu sebenarnya bukan nama asli. Apalagi kalau betul suatu tesis yang agak jauh bahwa dia itu berasal dari suatu latar belakang budaya Arya, maka Abraham itu artinya “saya menyebrang,” sebab am yang menitis dalam bahasa Inggris I’am itu artinya saya.

Nah, Abraham itu artinya saya menyebrang. Menyebrangnya bisa berarti secara harfiah yaitu seperti cerita tradisional dari Babilonia ke Harram, tapi juga bisa berarti metaforik, yaitu menyebrang dari satu kepercayaan yang palsu kepada yang benar. Sehingga Ibrahim kemudian disebut sebagai The Father of Monotheism, dan paling tidak tiga agama selalu mengklaim sebagai The Children of Abraham.

Jadi, orang Arab dengan orang Ibrani itu sama, yaitu orang nomad. Karena itu, cara hidup mereka juga sama. Misalnya, mempunyai kebiasaaan kemah besar untuk menyimpan barang suci yang pada Bani Israel pimpinan Musa, digunakan sembahyang. Jadi ruang suci untuk menyelenggarakan acara suci dan Bani Israel sembahyang menghadap kotak tadi itu. Ke mana-mana mereka keliling, persis kalau di Mekah kita saksikan orang sembahyang mengelilingi Ka’bah. Bentukya juga sama, seperti Ka’bah, ka’b itu artinya kotak. Cubic, persis sama. Cuma kalau Ka’bah itu besar dan tidak bisa dibawa kemana-mana, kotak perjanjian itu portable, bisa dibawa ke mana-mana.

Nah, selama waktu 40 tahun masa eksodus, banyak sekali anggota Bani Israel yang dibunuh karena tidak mau tunduk pada hukum, yang di dalam Alquran diisyaratkan dengan “bunuhlah dirimu sendiri”, itu maksudnya korbankanlah di antara kamu yang tidak mematuhi hukum. Maka Musa berhasil membuat suatu masyarakat madani: madinah.

Madinah sendiri adalah bahasa Arab dan bahasa Ibrani, karena bahasa Arab dan bahasa Ibrani satu rumpun. Hitungannya saja sama. Harinya juga sama. Ahed, Senain, Tselasyin, Rabiin, Khamisin, sama dengan Ahad, Tsulatsa, Arbi’a dalam bahasa Arab. Karena itu, dalam bahasa Ibrani medinat menjadi negara. Nama resmi Israel adalah “Medinat Israel.”

Jadi kalau orang bertanya seperti yang sering dikemukakan para politisi yang mendambakan apa saja yang bersifat Islam, apakah Islam itu mengajarkan politik, kalau politik dalam arti seperti yang dikatakan dalam siyasah, itu memang problem. Karena siyasah artinya seni untuk mengendalikan orang. Karenanya, orang yang mengendalikan kuda disebut sais. Sais itu bentuk participle dari siyasah.

Nabi sendiri tidak pernah menggunakan perkataan siyasah atau sais, tapi madinah, yaitu konsep mengenai masyarakat yang teratur yang intinya tunduk kepada hukum. Karena itu ada hubungan dengan yang sering disebut republik, yaitu bahwa negara harus didirikan dengan tunduk kepada hukum demi kesejahteraan umum, yang dalam bahasa Arab disebut maslahat ‘ammah, yang setelah menjadi bahasa inggris menjadi common wealth, common welfare, dan sebagainya. Sehingga ketika Bung Karno menetapkan bahwa kita harus membentuk negara republik, itu sebetulnya adalah ide kesejahteraaan umum, bukan untuk kepuasan penguasa seperti dalam kerajaan.

Oleh karena itu, dalam pembelaannya terhadap ide republik Bung Karno keras sekali. “Mengapa kita tidak mau kerajaan.” Kemudian karena Indonesia pada waktu itu tidak punya contoh dari sejarahnya sendiri, maka mereka mencoba Amerika. Karena ada titik temu antara Indonesia dengan Amerika, yaitu sebagai negara artifisial. Indonesia itu sebenarnya bangsa yang artifisial. Tidak seperti Jepang dan lain-lain. Indonesia sebetulnya adalah PBB kecil, United Nations in Miniatur, sebab suku-suku itu semuanya bangsa.

Dalam ukuran Eropa semuanya itu adalah bangsa-bangsa tersendiri. Cuma ini suatu imaginasi yang sukses sekali berkat bahasa Indonesia. Berkat bahasa melayu. Yang kita tahu bahwa perkataan “Bahasa Indonesia” itu bersifat politis.

Karena itu, sekarang ini orang Timor Timur susah, mau pakai bahasa Indonesia tidak enak, karena pengalaman pahit, mau bahasa Portugis tidak ada yang tahu, mau bahasa Inggris, mau belajar kapan lagi. Jadi terpaksa mereka menggunakan bahasa Indonesia, tapi mereka tidak mau menyebut bahasa Indonesia, Melayu Timor katanya. Mereka berhak. Jadi Melayu Timor pun menjadi politik.

Perkataan Indonesia sendiri sebetulnya istilah antropologi yang diberikan oleh Rudolf Bastian pada tahun 1864 yang sebetulnya dimaksudkan untuk mengidentifikasi suatu daerah di Austronesia yang ciri budayanya Indic dan ciri fisiknya Nesos, kepulauan. Maka Indonesia disebut indian island yang kemudian dimaksudkan oleh penciptanya meliputi juga Filipina dan Malaysia sekarang ini. Itu semuanya Indonesia.

Dalam suatu seminar di Kuala Lumpur saya baru tahu bahwa yang pertama kali menggunakan perkataan Indonesia dalam arti politik itu orang Filipina, bukan kita. Ada orang Filipina dengan nada protes mengatakan “bagaimana orang-orang bekas jajahan Belanda, masa’ menggunakan Indonesia untuk diri mereka sendiri. Kita kan Indonesia juga”.

Kemudian, karena yang banyak comparable adalah Amerika, maka Bung Karno dan kawan-kawannya secara instingtif meniru Amerika, maka datanglah ide Republik, ide kabinet presidensil, dan pengakuan kepada pluralitas yang positif yaitu Bhineka Tunggal Ika.

Kemudian dengan ide mencantumkan secara resmi gagasan-gagasan dasar kenegaraan, Pancasila, yang di sana adalah ide-ide keamerikaan di dalam Declaration of Independent. Kemudian bahkan lambang negara pun meniru Amerika, burung buas. Yang pertama kali menggunakan burung buas sebagai lambang negara adalah Amerika. Kalau Eropa binatang buas seperti macan, artinya banyak sekali artifisial, tiruan dari Amerika. Cuma saya sering diledek “tapi sayang, Garuda kita itu pakai kutang.”

Dua hal yang menurut saya tidak ditiru dari Amerika dan sekarang kita bayar mahal sekali adalah ide federalisme dan ide tentang pemilihan umum yang merupakan konsistensi dari sistem presidensil, yaitu pemilihan langsung dan distrik, karena pemilihan umum kita yang pertama tahun 1955 itu dilaksanakan dalam suasana pemerintahan parlementer. Oleh Pak Harto diteruskan begitu saja padahal dia sudah menjadi presidensil, dan kita warisi sekarang. Itu menjadi problem, menjadi sumber problem sekarang ini. Lalu menjadi tidak sipil, tidak civilize.

Ketegangan antara DPR dan pemerintah akhir-akhir ini sebetulnya wajar. Ketika saya di Columbus saya disodori Harvard Law Review oleh seseorang. Di situ ada kutipan panjang. Yang paling relevan saya bacakan saja di sini, untuk mengetahui bahwa sebetulnya ketegangan legislatif dan eksekutif itu wajar. Katanya begini; “Even to its pathologies ... the ritual of confrontation between the president, the house, and the senat are by now second matter to Americans”.

jadi, ketegangan-ketegangan itu sudah menjadi watak yang kedua. Jadi kalau sekarang kita melihat adanya ketegangan, sebetulnya ketegangan itu akibat dari ketidaksediaan melihatnya sebagai sesuatu yang wajar. Gus Dur dikritik, itu mestinya diterima saja. Salahnya dia panik dari semula. Itu sebenarnya wajar saja, tanggapi saja secara wajar. Tapi ya namanya baru belajar, baru tiga tahun. Inggris saja membutuhkan waktu 300 tahun.

Saya suka meledek teman-teman dari Inggris. Mereka kerap menggugat kondisi carut-marut Indonesia. ”Well, just look at your self”, saya bilang begitu. “You have Northen Irland problem.... kill each other. How do you explain that”, saya bilang begitu. Waktu itu saya dan istri sedang berada di London, lalu dalam suatu makan siang dengan orang-orang dari office of foreign affairs, saya ditanya tentang Ambon dan Aceh. Saya bilang dengan sedikit meledek, “why don’t you see it as the price of democratization”.  Mereka marah.

Saya bilang pada mereka: “Just look at your self”, tiga hari yang lalu ada bom meledak di pub yang populer untuk gays and lesbians di dekat taman square, dan ledakan itu terjadi pada Sabtu sore, artinya lagi banyak-banyaknya pengunjung. Kalau kita lihat di televisi, ada 80 orang menjadi korban; kehilangan tangan, kehilangan kaki, beberapa orang mati.

“How do you to explain that”, saya bilang begitu. Padahal Anda ini orang Inggris yang secara formal mempelopori ide tentang toleransi. The act of toleration is written in sixteen eighty nine. 310 tahun yang lalu.

Nah, di sini kita, siapa saja, Barat, Timur, Selatan, Utara, sering menjadi tawanan dari situasi sesaat. Ibarat memahami sesuatu hal yang dinamis itu bersandar kepada snap shot. Ada sebuah kereta api, dipotret, kebetulan kereta api ini KA Jakarta-Rangkas Bitung, melewati Tanah Kusir. Lalu kalau dipotret, di belakangnya ada kuburan. Di bawa ke Irian yang tidak tahu kereta api. Lalu, orang-orang Irian akan bilang, “Jadi kereta api itu barang kuburan, ya.”

Kalau mau tahu kereta api harus bikin video. Bagaimana berangkat dari Stasiun Tanah Abang sampai ke Rangkas Bitung. Itu dinamis. Jangan snap shot. Kalau snap shot, ceklek, Islam teroris, ceklek, Islam begini, ceklek Islam begitu.

Ide tentang republik, meskipun namanya bukan republik, sebenarnya Islam yang mulai. Yaitu lewat ide tentang universal welfare, al-maslahatul ‘ammah. Gus Dur itu mejadi korban dari ucapannya sendiri. Dia selalu mengatakan “tashorruful imam manutun bil maslahah”, artinya politik dari seorang pemimpin harus disesuaikan dengan kepentingan umum. Itu dalil baku di dalam fiqh. Tapi Gus Dur mengubahnya menjadi tasorruful imam manutun bi-saya sendiri. Saya kira begitu dulu. Terima kasih. Assalamu’akum.

Saiful Mujani MA:

Assalamu’alaikum Wr. Wb. Saya diminta mendiskusikan buku. Satu kegiatan rutin sebagai mahasiswa. Jadi saya tidak akan cerita yang beyond Civil Islam sebagai buku. Namun demikian saya ingin bicara ngikutin yang sudah dipaparkan Cak Nur tadi sedikit, dalam konteks yang lebih berkaitan dengan buku.

Sebelum ke sana, pertama-tama saya ingin mengapresiasi bahwa buku ini menurut saya penting sebagai karya untuk komunikasi satu sub-Islam di Indonesia, yang disebut oleh Bob sebagai Civil Islam, dengan dunia internasional yang punya komitmen terhadap demokrasi. Bob punya semangat untuk mengatakan kepada masyarakat internasional lewat karya kesarjanaannya bahwa Islam seperti yang Cak Nur sudah paparkan tadi punya basis kultural dan historis untuk membangun sebuah politik demokratis di mana Civil Islam merupakan basis sosiologis atau sosial yang penting untuk menunjang itu.

Kemana-mana Bob bercerita dari DC sampai ke London dengan lawan-lawannya selama ini yang disebut oleh dia --Huntington dan para pengikutnya yang tidak percaya terhadap, katakanlah, Islam-- punya basis kultural dan tradisi yang baik untuk membangun demokrasi. Jadi menurut Hefner, demokrasi dalam komunitas Islam menjadi penting sebagai media untuk komunikasi. Dan Bob merasa cukup berhasil dalam dakwahnya seperti ini. Itu satu point.

Point yang lain adalah; pertanyaannya kemudian seperti yang sudah Cak Nur katakan tadi, ide-ide atau keyakinan tentang Islam, seperti yang dipaparkan tadi, seberapa besar hal itu ada di dalam masyarakat. Seberapa dominan itu. Mana yang lebih dominan; pemikiran atau gagasan tentang Civil Islam seperti yang diungkapkan Bob, atau yang lain. Kalau Cak Nur tadi memberikan analisa semantik, historis, tentang Islam, tapi di sana sini Bob juga bercerita tentang “Uncivil Islam” dalam berbagai bentuknya, entah yang namanya rezimis, fundamentalis, dan sebagainya.

Oleh karena itu memberikan kategori Civil Islam saya kira sah saja. Kalaupun mau dikatakan redundant, tapi setidak-tidaknya untuk membedakan itu dalam kegiatan terus menerus seperti itu.

Nah, saya melihat, karena Civil Islam dikaitkan dengan demokratisasi, pertanyaan saya adalah; demokratisasi macam apa sebenarnya yang mau dijelaskan Bob dalam buku ini. Kalau dia bicara tentang Indonesia, sebagai negara yang sedang mengalami demokratisasi, demokrasi Indonesia itu seberapa jauh dibandingkan dengan apa dan dengan negara mana. Kalau itu ada kaitannya dengan Civil Islam, bagaimana kalau dibandingkan dengan Civil yang non-Islam. Mana yang lebih baik?

Dengan analisis seperti ini, kita baru bisa sampai pada kesimpulan bahwa Civil Islam itu penting. Kalau tidak memberikan gambaran atau deskripsi tentang ini, perbandingan-perbandingan seperti ini, kita sebenarnya tidak tahu apa-apa. Sebenarnya kita tidak tahu banyak dan tidak bisa mengatakan apa-apa, apakah Civil Islam itu penting atau tidak bagi demokrasi.

Di samping itu, saya melihat bahwa dari bab pertama sampai bab terakhir, saya tidak cukup punya paparan empiris yang memadai untuk sampai kepada kesimpulan Civil Islam. Seperti saya katakan tadi, apakah Civil Islam cukup dominan di masyarakat kita. Kalau dominan, seberapa dominan, dan dibandingkan apa. Kalau tidak dominan, kenapa tidak dominan. Penjelasan-penjelasan seperti ini, bagi saya menjadi sangat penting.

Kemudian perhatian juga harus dicurahkan bukan pada Civil Islam sebagai satu hal yang sudah “jadi”, saya pernah mengusulkan sama Bob; mungkin civilizing islam, islam yang sedang menyipil atau apa, itu mungkin lebih realistis sebagai satu proses dibanding Civil Islam, seolah-olah sudah ada.

Pada tingkat doktrin, mungkin itu tidak masalah, seperti Cak Nur sudah paparkan tadi. Tapi pada tingkat empirik, ketika kita melihat peristiwa-peristiwa yang jauh dari gambaran Civil Islam, lantas bagaimana menjelaskan hal-hal semacam itu. Ini pekerjaan kesarjanaan yang peduli terhadap persoalan-persoalan yang empirik seperti tadi. Maka kemudian saya melihat bahwa Civil Islam itu melupakan; apakah dia dominan dan tidak, kemudian tergantung pada konteks pergumulan, mungkin salah satunya, elit politik.

Saya ingin menegaskan bahwa Civil Islam mungkin merupakan satu temuan, dan ditemukan kembali, katakan begitu. Dia mungkin pernah ada, entah di mana, tapi karena dalam konteks pergumulan elit, kemudian ia menjadi relevan kembali untuk diasah dan dituangkan lagi sebagai alat untuk legitimasi dan untuk, semacam, political survival dari elit itu sendiri.

Kita, saya setidaknya, kalau baca koran dalam 20 tahun terakhir relatif jarang mendengar istilah bughat, misalnya. Istighotsah mendapatkan liputan yang begitu besar di mana-mana, misalnya. Tapi tiba-tiba belakangan ini muncul, bagaikan satu benda yang pernah ada entah di mana, tiba-tiba muncul, dan menjadi penting. Itu, seperti kata Ulil, seperti file yang sudah lama disimpan tapi kemudian menjadi penting kembali, dibentuk kembali, didefinisikan kembali dalam konteks yang sudah berubah ini.

Nah, jadi dalam konteks ini, Bob juga melihat bahwa secara normatif Bob yakin betul bahwa Islam itu pada dasarnya, seperti yang Cak Nur paparkan tadi, adalah mengajarkan landasan-landasan sosial politik yang beradab, yang taat pada hukum, toleran, dan seterusnya.

Tapi kemudian Islam yang seperti ini, yang bagus ini, dilihat oleh Bob telah dirusak, bukan oleh Islam, bukan oleh masyarakat, tapi oleh state. Makanya dia menggunakan istilah uncivil state untuk menyebut kurang berhasilnya Civil Islam di dalam konteks perpolitikan nasional kita.

Bagi saya, ini agak tautologis, karena mengatakan; kita tidak demokratis, kalau kita bicara tentang demokrasi hubungannya dengan konstitusi (negara). Kemudian kenapa kita tidak demokratis? Karena negaranya sendiri tidak demokratis, uncivil. Itu artinya kita tidak mengatakan apa-apa tentang itu. Itu yang saya sebut tautologis.

Juga dalam beberapa hal, saya melihat karya ini lebih bersifat teleologis, jadi output mendefinisikan input. Dari proses untuk membangun proposisi-proposisi yang dia sebut sebagai Civil Islam itu. Karena itu kemudian ketika dia bicara tentang uncivil state, maka sebenarnya persoalan Civil Islam kemudian dilihat dalam kerangka seberapa civilize sebuah state dalam hubungannya dengan masyarakat, bukan dijelaskan apakah NU atau Muhammadiyah atau organisasi buruh itu punya kultur yang beradab atau tidak, dalam hubungannya dengan interaksinya, dalam artikulasi politik dan kepentingannya.

Jadi kemudian bagi saya persoalannya menjadi sederhana, karena intinya adalah pada rezimis islam, atau pada state, atau pada elit seperti itu, bukan pada masyarakat. Saya percaya bahwa perubahan pada tingkat elit jauh lebih mudah ketimbang merubah masyarakat. Itu masalah waktu saja. 10-20 tahun mungkin ketika elitnya berubah insya Allah masyarakat kita jadi beradab secara tiba-tiba, karena elitnya berubah. Itu mungkin tafsiran saya yang salah. Tapi yang saya khawatirkan justru bukan itu.

The uncivil itu besar di masyarakat, itu yang saya takut. Karena kalau itu besar di masyarakat secara umum, entah itu NU, Muhammadiyah, atau apapun, itu membutuhkan waktu yang panjang untuk, apa yang disebut Civil Islam sebagai basis sosial untuk politik demokratis. Itu yang saya khawatirkan.

Oleh karena itu ketika Bob berbicara tentang Civil Islam, sebenarnya saya berharap seorang antropolog yang berbicara dari bawah ke atas, mendeskripsikan; dari Surabaya, dari kampung saya di Banten, bagaimana sih orang hidup di sana. Jadi bottom-up, sampai kepada kesimpulan besar this is Civil Islam. Ini tidak. Dia bikin Islam, dijelaskan dengan rezimis, dengan Eggi Sudjana, dengan Lukman Harun, dengan Dewan Dakwah, dan seterusnya.

Bagi saya, itu pekerjaan BAKIN, bukan pekerjaan seorang Scholar, kalau di Amerika, itu pekerjaan CIA atau FBI. Tidak usahlah, sarjana punya keterbatasan untuk bekerja seperti itu. Makanya, tadi ada yang bercerita bahwa Eggi lagi diinterview sama Baharuddin Lopa, terus saya bilang: Oh itu mungkin setelah dia baca Civil Islam. Ada informasi banyak tentang itu, rezimis Islam, dan seterusnya. Semua diceritakan, direduksi ke dalam elit. Itu mungkin betul, tapi bagi saya bisakah kita menulis sesuatu yang tebal beyond this persons, walaupun aktor penting, tentu saja.

Seorang sarjana, menurut saya, harus melampaui itu, mencari pattern; apakah memang ada yang namanya Civil Islam. Civil Islam tidak identik tentu saja, Cak Nur juga tidak akan mengatakan “saya inilah perwujudan dari Civil Islam”, tentu tidak begitu. Tapi cari yang besar kasusnya sehingga bisa sampai pada kesimpulan yang solid tentang itu. Kalau untuk urusan-urusan konspirasi dan seterusnya seperti itu, seperti yang saya katakan tadi, ilmu sosial, saya kira, punya keterbatan mengurusi itu. Biar polisi saja yang mengurusi itu.

Namun demikian saya ingin mengatakan bahwa dalam jangka pendek, hubungan political culture dengan elit menjadi penting, tapi bukan persoalan seorang individu ingin mempertahankan kekuasaan atau apa, tapi saya melihat lebih dasar dari itu, yaitu basis struktural, dalam hal ini konstitusi, sebagai konteks bagi adanya insentif dan constrain bagi munculnya sebuah bentuk kultur politik tertentu.

Apa untungnya menghidupkan kembali kata bughat, misalnya, konteksnya apa? Menghidupkan kembali kata istighotsah, misalnya, atau apa lagi. Apa untungnya itu? Menurut saya itu harus dilihat dalam konteks konflik antara kantor Presiden dengan kantor DPR, dan sumber konflik itu adalah konstitusi, kalau mau disederhanakan dalam jangka pendek.

Oleh karena itu, kultur dibentuk dalam konteks struktur seperti itu. Nah, karena itu, dalam jangka pendek kalau mau mengurusi ini, apakah Civil Islam mempunyai basis, akan menjadi kuat, akan dibantu kalau urusan konstitusi kita menjadi agenda utama, dalam jangka pendek ini; inkonsistensi di dalamnya kita benahi, sehingga kita menjadi jelas, apakah mau menganut presidentialism atau parliamentarism, harus jelas. Kita sekarang tidak ini dan tidak itu. Ini sumber malapetaka kita. Saya tidak tahu, apakah ini karena kebanggaan kita sebagai bangsa, tidak mau mengambil yang sudah dibuat oleh orang atau apa?

Saya sudah beberapa kali menulis tentang itu dan tidak populer saya kira, kalau suruh milih tentang presidentialism versus parliamentarism di sini

Dalam sistem presidentialism, kemungkinan negosiasi dan akomodasi pihak-pihak yang “kalah” dalam politik nasional sulit diwujudkan. Tetapi dalam sistem parlementer itu mungkin. Karena sistem parlementer identik dengan tahun 50-an. Jadi kita bicara tentang itu; ya parlementarisme itu identik dengan pemerintahan yang sudah stabil, dan seterusnya. Padahal menurut saya dalam konteks masyarakat kita yang plural seperti ini sistem parlementer itu yang memungkinkan bagi kompromi dan konsensus. Semua unsur primordial yang berbeda-beda punya wadah untuk kompromi dan negosiasi.

Dalam sistem presidensil semua itu tertutup. Nah, karena itu saya takut keyakinan orang seperti Albert Stefan atau para sarjana yang mengatakan: di dalam masyarakat seperti ini sistem presidensialism kemungkinan akan gagal. Jadi, konteksnya kultur tadi harus dilihat, menurut saya, harus dalam jangka pendek, dalam konteks persaingan elit yang itu adalah norma yang itu harus diletakkan dalam konteks konstitusi yang tidak koheren dalam konstitusi kita. Terima kasih. []

01/05/2002 | Diskusi | #

Komentar

Komentar Masuk (0)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq