Diskusi Buku Perlawanan Kultural Agama Rakyat
Oleh Redaksi
Dalam melihat buku Perlawanan Kultural Agama Rakyat yang disajikan kepada saya mengenai salah seorang guru saya Kyai Ahmad Muttamakin, maka perkenankan saya untuk mengemukakan beberapa hal sebagai berikut. Buku ini memuat hal-hal yang sangat mendalam dan saya sendiri melihat bahwa tulisan yang disajikan itu adalah untuk orang yang sudah mendalami Kyai Ahmad Muttamakin baik sejarah, tujuan maupun perjuangannya. Terutama di bagian-bagian awal dari buku tersebut ketika dibicarakan mengenai epistemologi untuk metode yang digunakan di dalam memahami mbah Muttamakin dalam penyebaran agama Islam.
Diskusi Buku Perlawanan Kultural Agama Rakyat
IAIN Jakarta, Selasa, 14 Mei 2002
Gus Dur
Bambang Pranowo
Goenawan Mohamad
Azyumardi Azra
Ceramah Gus Dur
Dalam melihat buku Perlawanan Kultural Agama Rakyat yang disajikan kepada saya mengenai salah seorang guru saya Kyai Ahmad Muttamakin, maka perkenankan saya untuk mengemukakan beberapa hal sebagai berikut. Buku ini memuat hal-hal yang sangat mendalam dan saya sendiri melihat bahwa tulisan yang disajikan itu adalah untuk orang yang sudah mendalami Kyai Ahmad Muttamakin baik sejarah, tujuan maupun perjuangannya. Terutama di bagian-bagian awal dari buku tersebut ketika dibicarakan mengenai epistemologi untuk metode yang digunakan di dalam memahami mbah Muttamakin dalam penyebaran agama Islam.
Banyak hal yang berbeda tetapi saya tidak akan menguraikannya, karena terus terang saja untuk saya harus membaca berkali-kali, kalau baru sekali baca mana mungkin. Lalu yang kedua, yang penting juga bagi saya adalah bahwa dari buku itu tersembul sebuah simpulan yang menurut saya itu sangat dahsyat yaitu bahwa mbah Muttamakin ini telah memberikan pada kita sebuah contoh yang luar biasa mengenai peranan agama dalam kehidupan kita. Apakah hal itu berjalan sebagaimana mestinya? natural ataukah merupakan intervensi yang justru menumbuhkan keyakinan baru didalam tubuh masyarakat atau muslimin di Jawa pada abad ke-18. Seiring itu saya tidak tahu persis karena memang masalahnya masih menunggu pemeriksaan lebih jauh dan yang ketiga bahwa hidup mbah Muttamakin ini sebenarnya merupakan sesuatu yang harus kita perhatikan sebagai bandingan bahwa beliau telah memulai sebuah tradisi baru, telah memulai apa yang dinamakan sebagai pendekatan kultural terhadap kemelut yang terjadi pada masa itu. Itu penting sekali untuk diingat karena ada dua pendekatan yang agak berbeda yang dipakai orang, satu pendekatan politis satu lagi pendekatan kultural.
Pada pendekatan politis yang dipentingkan adalah institusi atau lembaga; lembaga kepesantrenan, lembaga syari`ah, lembaga keulamaan, di sisi lain lembaga keraton, lembaga tradisi yang kebetulan itu dari sisi kejawaan dan juga lebih penting sekali adalah lembaga kemasyarakatan dalam hubungannya dengan kekuasaan. Nah, ini merupakan sebuah kenyataan yang hidup dalam masyarakat yang harus kita beri perhatian cukup dan kita teliti dengan mendalam. Pendekatan kultural ini memang lain dengan pendekatan politis dalam arti bahwa lembaga politis lebih mementingkan lembaga atau institusi. Nah, ini yang pernah disinggung tulisan adik saya Solahudin Wahid di Suara Pembaharuan, dia menyatakan bahwa sebaiknya diadakan perombakan dan perbaikan sistem di dalam NU (Nahdlatul Ulama`). Tentang hal ini segera saya bantah beberapa hari kemudian didalam harian yang sama bahwa dua sisi; satu itu aspek institusional harus kita perbaiki, yaitu penggunaan komputer, modernisasi administrasi dan sistem pelaporan yang baik, sistem order yang baik, hubungan yang baik antara pimpinan dan anggota. Tetapi jangan lupa bahwa NU adalah sebuah kultur, sebuah jalan hidup. Karena itu perbaikan harus kedua-keduanya tidak bisa hanya satu segi saja. Hal itu juga dikatakan oleh mbah Muttamakin tentang keadaan kaum Muslimin. Jadi pada waktu itu terjadi bahwa ada semacam perlawanan kultural dari beliau, saya tidak tahu apa itu agama rakyat atau agama populer atau agama saja saya tidak tahulah, yang penting terjadi pendekatan kultural yaitu bahwa dimulai sesuatu yang baru. Mbah Muttamakin ini kan kita lihat di dalam hidupnya sebagaimana diuraikan dalam buku itu adalah murid dari Syaikh Zain. Syaikh Zain ini seorang Syaikh al-Yamani, seorang pemimpin tarekat yang besar di Timur Tengah terutama Naqsyabandi.
Dia ini sebenarnya adalah penerus dari tradisi Naqsyabandi yang dibawakan oleh Syaikh Khaliq dari Naksyabandi India ke Tanah Kurdi yaitu di Arbarter dari sana ke Aleppo di pantai barat Syiria dan kemudian melalui Madinah dibawa ke Makkah. Karena orang-orang kurdi itu bermadzhab Syafi’i, maka tidak usah heran ulama-ulama kita yang ikut tarekat di kemudian membawa pulang madzhab Syafi’i. Padahal dia sebelumnya bermadzhab Hanafi. Di sini pentingnya arti orang Kurdi, Syekh Zain. Dia mendidik Kiai Mutamakkin. Nah, pada saat yang sama dia juga pernah belajar di dalam uraian buku ini, dalam beberapa riwayat mengenai keberadaan Mbah Mutamakkin tadi itu yang ada dalam disertasi Pak Azyumardi Azra, yaitu diterangkan mengenai Imam al-Kurrani. Seorang sarjana besar, seorang ulama tradisional ini jarang ada orang yang bisa mngedepankan baik tradisi keilmuan yang tinggi maupun kedalaman ilmu pengetahuan. Nah, kedua orang ini saya belum tahu sampai dimana pengaruhnya pada Mbah Muttamakin. Tetapi telah memberikan kepadanya bekal, berupa kecintaan yang mendalam kepada ajaran-ajaran Islam. Ketika dia pulang, saya lihat ada perbedaan saat antara Mbah Mutamakkin dan dua pihak lain yang ada di sana. Yang pertama adalah ahli syari’ah atau ahli fiqih, yang diwakili oleh ulama-ulama yang oleh Demang Urawan di kumpulkan ulama-ulama fiqih ini yang berkeberatan kepada cara-cara perjuangan Mbah Mutamakkin. Di sisi lain juga ada, dan ini diuraikan di dalam buku tersebut, uraian ada nama-nama para ahli tarekat lain yang dibakar oleh sultan-sultan Mataram. Dibakar orangnya hidup-hidup (dihukum). Nah, kalau dilihat dari mengapa kok demikian? Jelas bahwa ulama-ulama itu merupakan ulama yang melakukan perlawanan politik ingin membongkar atau ingin menghancurkan kekuasaan sultan, yaitu dalam hal ini, tadinya Amangkurat diteruskan dengan Pakubuwono II.
Nah, ini saya tidak tahu latar belakangnya apakah ingin menegakkan pemerintahan Islam menurut versi mereka, atau hal lain saya tidak tahu. Di sisi lain ada kaum syari’at, yaitu para ahli fiqih yang jauh dari tasawuf, jauh dari tarekat. Orang-orang ini sesuai dengan adagium yang berlaku hingga saat ini, yaitu: “Imamun Fajru al- Sittina ‘Aman Khoiru Min faudlo Sa’atin” yang artinya; Imam yang zalim enam puluh tahun masih lebih baik daripada anarki satu saat. Karena itu mereka terus terang saja lalu membebek kepada kekuasaan. Ahli-ahli fiqih dulu begitu. Nah, datanglah mbah Muttamakin. Dia datang itu kedua-duanya tidak senang. Yang satu langsung menentang Sultan yang lain lagi membenarkan Sultan dengan segala cara. Nah, mestinya apa? Mestinya pendekatan kultural. Pendekatan kultural dalam arti mengemukakan sesuatu yang baru kepada rakyat dalam hal ini tarekat tetapi tidak digunakan untuk langsung melawan. Yang terpenting adalah mengembangkan sebuah alternatif. Nah, kadang kala kekuasaan yang ada ini gamang terhadap kemungkinan seperti itu. Waktu saya membaca Serat Cebolek dari Dr. Soebardi, disertasi beliau mengenai mbah Muttamakin, saya itu terus terang saja waktu itu teringat kepada, kira-kira awal tahun 90-an, zaman saya mendirikan Forum Demokrasi (Fordem). Saya langsung dipanggil oleh BAKIN. Di sana alurnya di undang buka puasa lalu kepala BAKIN, Bapak Sudibyo dengan wakilnya itu. Lalu di situ saya ditanyain. Tapi pertanyaan itu untuk meringankan saya jangan semua dianggap kalau BAKIN itu mesti jelek (ndaak). Dia bertanya kepada saya “apa Forum Demokrasi sebuah organisasi?” jawab saya “ bukan pak, bukan organisasi”. “Baik kalau begitu, jadi enggak berbahaya”. Lalu apakah Forum Demokrasi ini berniat untuk menjadi oposisi? saya katakan “ lho, bagaimana mau jadi oposisi, wong organisasi saja bukan. “lalu apa?” ya sejumlah orang kumpul-kumpul, gitu aja pak. Pendapatnya kok lain dengan pemerintah? Ya, pendapatnya lain dari pemerintah tapi kan biasa itu pendapat lain, tapi kami tidak institusi lawan institusi kok pak, kami hanya sekedar jumlah orang kumpul tapi tidak berbahaya. Jadi, dengan dituntut begitu, lama-lama secara kultural, posisinya pak Harto bisa menerima dengan kehadiran Forum Demokrasi. Seneng atau tidak seneng ya itu soal mereka, tapi kan tidak di apa-apakan. Saya teringat akan hal itu, jadi mbah Muttamakin itu pada dasarnya juga menentang kekuasaan raja yang terlalu mutlak.
Tapi dia tidak mengatakan menentang, dia hanya berbeda dari kekuasaan dengan kata lain membuat kultur baru. Memperkenalkan kultur baru atau budaya baru dalam kehidupan rakyat (mendidik rakyat dengan cara demikian). Ini sebetulnya yang dilakukan mbah Muttamakin yang pendekatannya bukanlah institusi lawan institusi melainkan institusi yang ia bangun yaitu tasawuf, itu adalah sesuatu yang berada di luar pemerintah. Tapi tidak melawan pemerintah. Ini penting sekali, karena kalau tidak diingat/tidak diketahui atau tidak disadari hal ini, maka kita juga bisa sekarang begitu lagi. Ternyata demokrasi cuma main-main saja. Tidak ada, mana sih forum dari atas ke bawah kok. Saya ingat saudara Agus Miftah pergi haji naik pesawat dalam pesawat itu ada jendral Hartono, Faisal Tanjung, Akbar Tanjung, ada Hamami Minata dan ada Ali Wardana. Begitu masuk dia di panggil oleh Hartono, gus ngapain kamu ke sini? Saya juga heran kenapa saya masuk di dalam kloter tersangka ini. Dalam arti bahwa kita berbeda dari mereka, tetapi kita.… berbeda itu tidak berarti menentang, hanya berbeda gitu aja.
Nah, kalau sanggup kita demikian, sekarang ini ya sama keadaannya dengan mbah Muttamakin artinya apakah kita harus mengembangkan kultur atau model oposisi terhadap pemerintah ataukah kita ini mengembangkan sesuatu yang lain daripada yang dikembangkan pemerintah? Nah, di sini saya melihat mbah Muttamakin telah memulai sesuatu yang baru yaitu dia memperkenalkan bangsa kita kepada pendekatan ketiga; tidak anti dan tidak pro melainkan berbeda… gitu aja.
Ini penting, Dr. Taufiq Abdullah, seorang ketua LIPI pernah menyatakan bahwa hubungan antara Islam dan kekuasaan di Indonesia ini sepanjang sejarah dapat di bagi dalam empat model. Model pertama model Aceh, dimana kampung kecil itu berkembang, tadinya menggunakan fiqih kemudian berkembang menjadi keraton besar-besar misalnya Samudra Pasai dan sebagainya. Karena itulah hukum Islam menjadi sesuatu yang wajar karena dia berkembang secara berlahan-lahan, maka adatpun harus menyesuaikan diri dengan syari`ah di Aceh. Ini yang terkenal dengan; ungkapan orang Aceh “adatpa katamarhum” yang artinya “adat apa katanya almarhum” al-marhum Sultan Iskandar syah kalau Iskandar Muda saya tidak tahu yang mana?.
Kemudian kedua adalah model Minangkabau Sumatra Barat dimana model ini langsung mempertentangkan antara agama dan syari`ah, kebetulan syari`ah itu hukum warisnya selalu berdasarkan Ubuwwah (ke-bapak-an/patriarkhi) tetapi masyarakat Minang justru matriarkhi yaitu nenek-mamak yaitu perempuan yang lebih berkuasa. Lalu terjadi, karena tidak ada kekuasaan yang tangguh (bertahan) tidak ada pemerintahan pusat yang kuat, maka terjadi Perang Padri yang lamanya selama enam belas tahun (1822 M – 1838 M). Nah, perang itupun tadinya akan berlangsung terus menerus kalau tidak ada jendral De Cock, orang Belanda yang mengambil kekuasaan. Lalu disitu diambil kata-kata adat bersendi syara`, syara` bersendi kitabullah tapi itu cuman omong saja sampai sekarang tetap saja nenek-mamak. Tapi disitu terjadi pertentangan antara adat dengan syari`ah.
Lalu model ketiga adalah model Gua Sumatra Selatan sekarang diteruskan oleh para Sultan di negara-negara bagian Malaysia. Islam datang ke dalam sebuah keraton yang sudah ada tradisi pra-Islamnya tapi budaya Islam masuk, jadi campur aduk antara Islam dan tidak Islam, sekarang tambah baru di semenanjung Malaysia itu menjadi tambah lagi tambah Barat (model Barat yang tidak karu-karuan). Yang keempat, ini yang terpenting adalah model Jawa, lha ini mbah Muttamakin yang saya tidak tahu apakah Dr. Taufiq Abdullah mengetahuinya atau tidak tapi yang saya salut bahwa di Jawalah berkembang dalam hubungan antara Islam dan negara itu tradisi NGO (tradisi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)) itu dimulai oleh Joko Tingkir (Sultan Hadiwijaya). Sultan Hadiwijaya ini bertempur dengan menantunya Sutawijaya, dalam pertempuran itu dia kalah. Karena kalah dia kembali lewat bengawan Solo ke Sumenep (Ibunya, Astabrengky) nah, di sana itu sebagai pusat tarekat Qadiriyah waktu itu. Dia kembali mendapatkan kanuragan (kepercayaan akan kebal-kebal) dia akan menuntut balas dan kembali naik perahu lewat bengawan solo. Tentang hal ini dikekalkan di dalam tembang Jawa yaitu “Singgo pilir sang getek sinonggo pekjul kawandoso cacahipun” yaitu rakit didukung oleh empat puluh ekor buaya artinya kalau nanti yang naik buaya itu masuk angin (kentut) ya dimakan. Jadi waktu dia sampai pulau Pringgoboyo di dekat Paciran (sekarang Lamongan), pada suatu malam ia mimpi didatangi oleh gurunya (Sunan Kalijaga). Kata gurunya “untuk apa kamu kembali ke Pajang?” apa mau merebut kembali tahta kerajaan dari tangan Sutawijaya?! Untuk apa? Itu kan bukan tugas kamu! Tugas kamu itu mengajar rakyat, tinggal saja di sini mengajar rakyat nanti kan lama-lama timbul sendiri perlawanan. Nah, betul. Akhirnya dia nurut gurunya tinggal di Pringgoboyo membuat pesantren. Nah, itu tradisi pesantren pertama kali di sana sebelum adanya pesantren di Gunung Karang di Banten. Nah, di situ dia memulai mengembangkan tradisi pesantren. Pesantren-pesantren ini menggunakan sistem kerajaan. Nah, kyai-kyai ini kan seperti raja-raja kecil.
Di sinilah model hubungan multi kratonik itu akhirnya juga dipakai oleh mbah Muttamakin didalam mengajarkan agamanya artinya dia mengubah sesuatu tidak menentang kraton tapi di luar kraton. Resminya dia tunduk kepada kraton secara nominal. Nah, Di dalam Serat Cebolek diterangkan bagaimana dia menghadap raja pada akhirnya tentu saja dan lain-lain. Saya kebetulan sedang menulis tentang itu tapi ya populer tidak ilmiah seperti buku Zainul Milal Bizawie. Ya, populer saja, ringkasan dari beberapa sumber (1). Serat Cebolek itu sendiri, (2). Serat yang sedang saya nantikan yang baru diterbitkan oleh LKiS Jogja yaitu mengenai KH. Rifa`i Batang, kemudian ada cerita tutur dari Kyai Muadz Thahir yang dikemukakan di sini dari versi dia seperti apa? Dari versi sana. Kemudian ada satu sumber yang sangat penting yaitu sumber dari kitab-kitab lama di Jawa. Dengan demikian, dikawinkan dengan buku Milal dan dengan tulisan Azyumardi Azra, maka saya berharap akan punya sumber-sumber yang baik untuk membuat buku tentang mbah Muttamakin karena beliau itu bagi saya sangat penting sebagai tokoh yang membawakan pendekatan kultural di dalam hubungan antara agama dan kekuasaan.
Saya rasa hal-hal inilah yang saya kemukakan sebagai catatan dalam kesempatan ini dan saya berharap mudah-mudahan kita semua dapat mengadakan penelitian lebih mendalam lagi atas cerita mbah Muttamakin yang saya lihat bahwa beliau membawakan pendekatan yang baru. Oh, ya tadi ada yang lupa bahwa disamping rujukan tersebut, saya dalam menulis itu juga bersandar kepada ketoprak. Bahwa Mbah Muttamakin diceritakan oleh ketoprak tentang Demang Urawan, Danurejo dan segala macam itu. Dengan sumber-sumber itu kita harus berani melakukan spekulasi-spekulasi supaya mendapatkan kesimpulan-kesimpulan yang nantinya akan kita teruskan dalam penelitian lebih dalam.
***
Ceramah Prof. Dr. Bambang Pranowo
Tadi pagi saya ketemu Dr. Sugiyat. Dr. Sugiyat itu orang Muhammadiyah yang di PKB. Dia cerita bahwa suatu hari, dia datang dan ziarah ke makamnya mbah Ahmad Muttamakin di Kajen Pati sana. Tapi sebagai orang yang berlatar belakang Muhammadiyah, tentu saja dia kurang akrab dengan tradisi-tradisi yang ada di makam-makam ini hingga akhirnya dia hanya berwudlu kemudian dia beribadah. Kemudian aneh katanya “lho Hp saya kok hilang ya, apa saya kurang ikhtirom dengan mbah Muttamakin”. Akhirnya dia pulang dan ketemulah dengan Gus Dur. Ini cerita aneh dan otentik. Kata Gus Dur “ terima kasih Muhammadiyah kok mau ke mbah Muttamakin” akhirnya, Gus Dur membuka-buka laci, terus Dr. Sugiyat tidak tahu apa yang di cari, ternyata nyari HP, diganti kontan HP-nya sama Gus Dur. Nah, ini syafa`at dari mbah Muttamakin, katanya.
Saya tidak tahu apa yang harus saya sampaikan. Cuma saya tertarik memang dengan tulisan saudara Zainul Milal Bizawie ini, hal-hal yang saya sejak kecil juga akrab. Ternyata saya baru tahu di sini, misalnya saja bagaimana mengkaitkan Dewa ruci itu dengan lakon Bima mencari tirtosari itu di dalam tulisan-tulisan mbah Mutamakkin. Karena inilah suatu cerita yang di daerah saya sangat digemari. Daerah saya itu daerah lereng gunung Merbabu yang dulu itu adalah daerah MMC (Merapi merbabu Complek) itu dulu daerah PKI dan PNI. Itu dekat sekali dengan kota Muntilan, Muntilan itu pusat misi, misi itu setiap kali berusaha tentu saja menyebarkan agama-agamanya ke daerah-daerah lereng Merapi Merbabu itu, tetapi ternyata toh desa-desa yang katanya waktu itu “desa PKI dan PNI” tetap menjadi Islam. Nah, salah satu sebabnya apa? Karena tradisi yang kuat keterkaitan orang setempat dengan tradisi yang di kembangkan oleh para kyai terdahulu antara lain mbah Muttamakin ini yaitu lakon Dewaruci itu. Lakon Dewaruci itu lakon utamanya adalah Bima, Bima adalah satria Pendawa yang nomer dua dan orang Jawa ideal-tipenya itu selalu Pendawa lima itu. nah, nomer dua Pendawa lima itu dikaitkan dengan rukun Islam yang lima. Nomer duanya adalah shalat, dan shalat itu digambarkan dengan bagus sekali didalam lakon Dewaruci. Mengapa begitu? Karena dalam lakon Dewaruci itu Bima mencari hakekat hidup yang di sebut Tirtosari. Kemudian digambarkan bagaimana dia sampai ke hutan, ada dua gunung yang dinamakan dengan gunung Reksomuka. Gunung terebut ditunggu oleh dua raksasa. Dua Raksasa itu namanya Rukmaka dan Rekmukala. Kenapa disebut Reksomuka? karena orang akan terhalang mendapat hakekat dalam kehidupan ini kalau dia tergoda untuk ngreksomuka; muko itu artinya performent lahir, ngrekso itu memelihara. Orang yang hanya memelihara performent lahiriahnya kemudian tergoda untuk nyeleweng. Nah, kemudian yang kedua, setelah bisa mengalah. Di gunung itu ada yang menunggu yaitu raksasa yang namanya Rukmaka dan Rekmukala, tapi dua raksasa bisa dikalahkan oleh siapa? Oleh Bima tadi. Karena apa, karena Bima punya jimat namanya yang disebut kuku pancanaka. Nah ini nanti bisa diterangkan, apa kuku pancanaka itu.
Nah, selanjutnya dia meneruskan perjalanan, dan ternyata ketemu dengan lima raksasa, itupun kalah. Mengapa? Karena Bima punya jimat yang namanya kuku pancanaka itu. Lima raksasa itu di sobek-sobek dengan kuku pancanaka semuanya bisa dikalahkan. Nah, yang terakhir, setelah bisa mengalahkan raksasa ini kemudian dia menyeberang lautan dan disana kemudian Bima ketemu dengan Dewaruci itu. Tetapi, sebelum ketemu itu (inilah yang hebat), dia ketemu dengan ular naga yang besar sekali. Ular naga itu membelit di pahanya, mau mencaplok Bima. Nah, tetapi sekali lagi karena dia mempunyai jimat pancanaka, ular tersebut bisa dikalahkan oleh Bima. Setelah ular kalah, ketemulah yang dicari yaitu Dewaruci. Siapa itu Dewaruci? Dewaruci adalah dirinya yang kecil sekali. Sehingga Bima heran, bagaimana? Karena Dewaruci menyuruh masuk ke dirinya, apa mungkin begitu?
Nah, mari coba bagaimana ini bisa mendekatkan orang Jawa yang katanya dulu yang tidak shalat itu (abangan) dan katanya pun PKI & PNI itu kemudian tetap berorientasi ke santri dan kalau ada khol di Pesantren Tegalrejo, pesantrennya Gus Dur dulu itu. orang-orang ikut untuk merayakan khataman yang diadakan oleh Pesantren Tegalrejo. Mengapa? Karena Dewaruci tadi itu. yang satu adalah orang bisa mendekat Tuhan kalau dia dapat melawan nafsu untuk menghiasi diri. Dia tergoda/terlena oleh karena keinginan untuk menghiasi diri. Bisa saja dengan rumah yang bagus, padahal dia tidak punya uang, akhirnya korupsi. Itu kan menghiasi diri. Kepingin punya kendaraan yang bagus padahal dia tidak punya uang, akhirnya dia menipu.
Kemudian yang lima tadi adalah nafsu-nafsu yang ada pada diri manusia yaitu nafsu: amarah, mulhimah, nafsu sufiyah, nafsu mutmainnah. Nah, ini yang terakhir yaitu ular Naga. Nah, ular naga ini dibaca oleh para orang-orang Jawa ini, ternyata adalah juga nafsu yang bisa menjauhkan orang untuk bisa menerima hakekat.
Kenapa digambarkan kalau Werkudara dalam wayang itu ada ular naga yang membelit pahanya. Dan di Pesantren Tegal rejo di rumahnya pak Mukh adiknya Gus Dur, itu dipasangi di depan rumahnya gambar Bima ini. Ini aneh, di Pesantren kok gambarnya Bima itu. Karena apa? karena orang itu bisa digoda dengan apapun, dengan uang mungkin tidak bisa, dengan kedudukan tidak bisa tapi kalau digoda dengan ular naga belum tentu kuat. Ular naga yang membelit kakinya itu melambangkan nafsu seksual. Mungkin bisa kuat oleh godaan apapun misalnya harta, kedudukan atau yang lain, tapi kalau ular naganya sendiri sudah ngamuk “lhadalah” gagal semuanya. Nah, itu yang kemudian harus dikalahkan. Dengan apa? Dengan Kuku pancanaka. Apa itu kuku pancanaka; kuku adalah kuku, panca adalah lima, naka adalah waktu berarti adalah kuku dalam menjalankan shalat lima waktu. Nah, ini yang bisa mengalahkan itu semuanya.
Inilah yang menyebabkan orang Jawa walaupun dia belum shalat dia tidak mengatakan abangan, mereka mengatakan “dereng ngelampahi”, dereng itu artinya belum, tapi suatu ketika pasti akan menjalankan. Artinya apa, kita harus memberlakukan suatu keberagamaan itu bukan sebagai state of minding tapi sebagai state of be coming sebagai proses yang terus menerus untuk menjadi karena tidak ada yang sempurna dalam keberagamaan kita dan kita itu terus-menerus dalam dialog dengan diri kita, dialog dengan segala yang ada di luar kita untuk akhirnya ketemu hakekat hidup. Oleh karena itu tidak boleh ada yang merasa sempurna diri. Itulah kemudian dilambangkan ketemu dengan Dewaruci, oleh karena itu gambar dirinya yang kecil. Itulah hakekat dari kata Allah hu akbar (takbir) dalam shalat. Allah hu akbar; Tuhannya besar, aku yang kecil.
Nah, inilah salah satu lakon Dewaruci yang kemudian ternyata ada hubungan erat dengan mbah Muttamakin. Dan inilah yang antara lain, yang tadi mengikat antara kejawen dengan Islam. Malah, mungkin kalau di daerah saya kata “ngaji” itu orang pergi ke pengajian. Pengajian kalau di sini ya majlis ta`lim tapi kalau di daerah lereng Merapi Merbabu itu, ngaji artinya dari sanga dan siji. Sanga itu sembilan, siji itu satu. Sembilan itu ganjil, satu juga ganjil tapi sembilan ditambah satu jadi sepuluh, genaplah dia. Nah, orang yang ngaji adalah orang yang ingin hidupnya genap, sebab kalau dia tidak pernah ngaji berarti hidupnya tidak genap. Kenapa tidak genap? Karena yang diurus hanya lubang sembilan. Apa itu lubang sembilan? dikepala kita ini ada mata dua, kuping dua, hidung dua tambah mulut satu jadi tuju, ditambah lagi yang dua di bawah. Sembilan tadi tambah satu, satu itu urusan nyawa/ruh. Oleh karena itu, Indonesia raya kita “bangunlah jiwanya, bangunlah badannya” inilah bapak-bapak, ibu-ibu, adik-adik kita, jadi pentingnya kuatnya tradisi karena kita berjalan ke depan itu akan selamat kalau kita sekali-sekali menengok ke belakang, yaitu tradisi itu. Jadi kalau kita mengemudi hanya melihat ke depan terus, tidak mau melihat ke belakang pasti dia bisa tertabrak atau malah menabrak karena dia tidak antisipasi apa yang dilakukannya. Tetapi harus diingat bahwa tradisi itu sendiri bukan hanya berangkat dari masa lalu. Tradisi kalau dalam tulisan Hodgorm “imperational tradism” tradisi itu juga bisa di depan.
Oleh karena itu mari kita ciptakan tradisi-tradisi baru sehinga kemudian menjadi basis dari kita bangsa Indonesia dalam menghadapi banyak tantangan ke depan. Karena tradisi itu bisa menjadi sebuah kekuatan, bukan hanya problema tapi justru menjadi suatu pijakan landasan bagi kita bersama. Salah satu yang menjadi kelemahan dari apa yang kita lakukan selama ini (selama 32 tahun) adalah karena kita hanya memperhatikan yang fisik-fisik tetapi dari segi memperhatikan tradisi-tradisi kurang sekali.
***
Ceramah Prof. Dr. Azyumardi Azra
Pertama saya menyampaikan apresiasi dan penghargaan atas karya/buku Perlawanan Kultural Agama Rakyat yang ditulis oleh saudara Zainul Milal Bizawie. Hemat saya adalah sangat sependapat dengan Prof. Dr. M.C. Ricklefs dari Canbera yang sekarang menjadi Guru Besar Studi Asia University of Melbourne Australia. Di dalam buku ini, ia tidak hanya mengungkapkan kehidupan Syaikh Ahmad Mutamakkin yang selama ini kita kenal kurang menyenangkan. Dan sumber-sumber yang dikaji disini tidak hanya dari Serat Cebolek, tetapi dari tulisan/naskah Syekh Ahmad Mutamakkin sendiri yang mengungkapkan wacana pemikirannya yang saya kira dari wacana pemikirannya itu banyak yang menampilkan sebuah gejala keagamaan yang pada masa Mutamakkin ini merupakan trend yang sangat penting yang pernah saya sebut yaitu trend Neo-Sufisme yang itu berkembang melalui jaringan para ulama dan juga jaringan para guru murid baik di lingkungan para Ulama luas atau para Ulama independen baik yang berada didalam Hierarki kekuasaan ataupun di luar. Oleh karana itu, karya ini sangatlah menarik sebagai sejarah sosial sekaligus sejarah intelektual, karena mengungkapkan bagaimana perkembangan dan dinamika Islam secara sosial tetapi juga mengungkapkan dinamika Islam secara intelektual yaitu corak dan wacana pemikiran yang berkembang tidak hanya dikawasan Sumatera yang saya tahu juga di kawasan lain.
Saya mendapat kritik sebagai penulis buku Jaringan Ulama. Dalam buku tersebut, seolah-olah Ulama-Ulama itu hanya Ulama-Ulama terkemuka yang berasal dari luar Jawa, khususnya Aceh dan Banjarmasin. Sedangkan Ulama-Ulama Jawa tidak terkaver. Pada abad 16-17, karya Ulama/wacana ulama memang banyak berkembang terutama di kawasan luar Jawa tapi sebagaimana kita lihat perkembangan sejarah sosial dan intelektual Islam di Nusantara, pusat-pusat intelektualisme Islam di Nusantara itu tidak terpusat dan tidak mapan di satu tempat. Pada abad 17 Aceh muncul sebagai pusat Intelektualisme Islam yang terpenting. Saya kira mungkin di Nusantara. Tapi kemudian Palembang muncul di abad 18 dan kemudian juga Banjarmasin di abad 18. Tetapi pada abad 19 terjadi pergeseran-pergeseran yang mulai sangat penting dan saya kira Syekh Ahmad Mutamakkin adalah salah satu tukoh intelektualisme Islam di Jawa karena Syekh Ahmad Mutamakkin adalah yang berasal dari abad yang ke-18 juga. Tetapi kemudian sejak kemunculan Syekh Ahmad Mutamakkin, kita bisa menyaksikan munculnya sejumlah ulama-ulama besar dari pulau Jawa yang saya kira masih perlu kita teliti lagi lebih lanjut, di antara nama-nama yang paling sering kita kenal adalah nama seperti KH. Nawawi Al-Banteni yang merupakan boleh kita sebut sebagai Intelectual Source sebagai pusat sumber Intelektual para Kyai pada masa belakangan karena kita tahu juga kemudian KH. Nawawi Al-Banteni belajar di Makkah dan Madinah itu bersama teman-temannya tiga orang yang diantaranya termasuk yang paling terkemuka disini adalah Kyai Khalil al-Bangkalan Madura yang kemudian Kyai ini menjadi sumber/pusat atau titik tumpuan dari jaringan para Kyai yang ada di pulau Jawa. Dan pada periode selanjutnya kita juga melihat kemunculan tokoh-tokoh seperti Kyai Ahmad Rifa’i dari Kalisalak Pekalongan, yang ini juga merefleksikan sebuah dinamika Intelektual. Kajian mengenai Kyai Ahmad Rifa’i ini disertasinya cukup banyak salah satunya adalah disertasi yang belum lama ini diterbitkan di Yogyakarta oleh Dr. Abdul Jamil yang itu juga merefleksikan sikap perlawanan. Perlawanan yang saya kira dari dua segi, jadi kalau dalam karya yang ditulis oleh Saudara Zainul Milal Bizawie ini disebutkan Perlawanan Kultural Agama Rakyat. Maka karya tentang Kyai Ahmad Rifa’i saya kira mewakiki perlawanan terhadap mungkin bisa kita sebut sebagai Islam birokratik.
Islam birokratik yaitu Islam yang sudah dijinakkan dan kemudian dijadikan sebagai bagian integral dari birokrasi Pemerintahan Belanda Dan ini melalui penghulu melalui peradilan agama dsb. Dan inilah yang kemudian dilawan oleh KH. Rifa’i. Beliau tidak hanya mewakili kecenderungan-kecenderungan yang juga sering saya sebut sebagai Neo-Caligi/Khawarij. Jadi KH. Rifa’i Kalisalak mewakili gejala-gejala setidaknya Neo-Caligi karena didalam wacananya itu menampilkan tiga langkah pokok mewakili paham keagamaan/ideologi Neo Khawarij. Pertama Tafkir yaitu mengkafirkan orang lain diluar lingkaran/lingkungan-lingkungan KH. Rifa’i sendiri yang kemudian para pengikutnya kita kenal sebagai santri Tarjuman yang sekarang ini salah satu pusatnya kelompok itu berada dimasjid Pasar Senen. Kedua, Hijrah yaitu dari wilayah-wilayah orang kafir yang dalam hal ini adalah orang Belanda. Dan yang belum sempat dilakukan adalah Ketiga, Jihad adalah melawan Belanda dan antek-anteknya, termasuk didalamnya adalah penghulu.
Menurut Ahmad Rifa’i sebagai gejala perlawanan adalah bahwa para Penghulu dan fungsionaris keagamaan yang di angkat oleh Belanda telah menjadi kaki tangan Belanda. Oleh karena itu, pelaksanaan hukum agama melalui para penghulu adalah tidak sah karena sudah terstruktur dalam birokrasi. Maka pelaksanaan agama misalnya jika bermakmum pada imam penghulu, itu tidak sah shalatnya/melakukan perkawinan dengan menggunakan penghulu, itu tidak sah perkawinannya, maka harus di ulang perkawinannya. Jadi ini adalah bentuk perlawanan. Kalau KH. Rifa’i melakukan perlawanan keagamaan terhadap Islam birokratis yang dikukuhkan, dibentuk dan dilanggengkan. Maka Syekh Mutamakkin mewakili Perlawanan Kultural Agama Rakyat.
Dalam konteks pembicaraan diskusi pada sore hari ini yang berjudul Agama dan Dialektika antarTradisi: Membangun kearifan Civil Relegion dan peluncuran buku Perlawanan Kultural Agama Rakyat, mungkin perlu kita teliti dan kita cermati pada penggunaan istilah Civil Relegion sebagai Agama Rakyat saya tidak tahu apakah ini yang dimaksudkan. Tetapi kalau kita pakai kerangka Robert ‘N Bellah tentang Civil Relegion maka yang dimaksudkan Civil Relegion adalah bukan pengertian agama dalam pengertian yang konfensional tetapi adalah satu sistem/praktek-praktek yang tidak ada hubungannya dengan agama tetapi adalah suatu sistem nilai kepercayaan yang kemudian sudah membentuk semacam “Teologi” sendiri yang kemudian memiliki ritual-ritual tertentu. Kita ingat misalnya pada masa Orde Baru, ritual-ritual mengenai Pancasila misalnya pada tanggal 17 Agustus harus ada upacara bendera, Penataran P4 dsb. Ini adalah satu bentuk dari manifestasi Civil Relegion dalam konteks Indonesia kalau kita gunakan kerangka Robert ‘N Bellah.
Oleh karena itu, bagi saya mungkin dilihat dari kerangka Robert N Bellah, seorang Sosiolog Agama yang terkemuka di Indonesia yang salah satu karyanya tentang “Agama dan Modernisasi,” yang sudah diterjemahkan oleh Paramadina. Di dalam buku itu ada satu artikel yang penting tentang Islam dan Modernisasi yang mana di dalam karya itu Robert ‘N Bellah mengemukakan bahwa sesungguhnya nilai-nilai dalam Islam itu kompatibel dengan modernisasi dan bahkan nilai-nilai Islam itu mementingkan Modernisasi dan Pluralisme, sangat modern, sangat demokrasi, sangat mementingkan nilai-nilai demokrasi, pluralitas dan sebagainya.
Namun eksperimen demokrasi dan eksperimen pluralitas Islam itu gagal. Karena infastruktur sosial budaya dan kultur masyarakat Arab pada waktu itu kurang menunjang bagi terlaksananya aktualisasi demokrasi dan pluralitas tsb. Tapi dalam konteks pembicaraan kita, saya kira kita perlu mempertimbangkan kembali pengertian atau kerangka sistem dan teori yang ditawarkan oleh Robert ‘N Bellah bahwa Civil Relegion pada dasarnya bukanlah agama konfensional, bukanlah agama tradisional. Tapi merupakan satu bentuk kepercayaan, satu kumpulan dari nilai-nilai dan praktek-praktek yang kemudian didalam realisasinya bukan tidak mirip dengan agama orang kemudian mungkin berpendapat bentuk civil relegion. Misalnya selain pancasila dalam konteks Indonesia, saya kira adalah Sepakbola. Sepakbola dalam konteks global/dalam konteks International adalah satu bentuk dari civil relegion. Di dalam Sepakbola ada semacam teologinya, ada ritualnya dan kemudian ada juga karena agama juga sangat mengandung dari sentimen yang sangat emosional yang kemudian menimbulkan fanatisme dan pada gilirannya memunculkan Holiganisme dalam Sepakbola. Dan oleh karena itu Holiganisme di dalam Civil Religion bernama Sepakbola bukan tidak mirip dengan emosionalisme yang bisa membangkitkan radikalisme ekstrimisme dikalangan agama tertentu sebagaimana yang kita saksikan pada hari ini misalnya di Ambon.
Yang perlu dipertimbangkan lagi adalah penggunaan istilah Agama Rakyat. Mungkin yang dimaksud disini Populer relegion/agama populer. Mungkin kalau kita kaitkan dengan pembicaraan dengan Syaikh Mutamakkin saya kira mungkin karya ini memberikan satu paradigma. Jadi perubahan paradigma (Paradisme) yang selama ini berkembang tentang Syaikh Mutamakkin. Islam yang disebut “Islam Populer” yaitu Islam yang dipraktekkan oleh Islam masyarakat bawah pada tingkat bawah (Grass Rood) bagaimana manifestasi aktualisasi Islam pada tingkat grass rood, biasanya dalam konteks Jawa adalah diasosiasikan atau pun hampir diidentikkan dengan pengamalan Islam yang bersifat sinkretik. Karena berbaur dengan praktek-praktek Tasawuf yang kemudian praktek-praktek tasawuf ini dengan kepercayaan lokal bersifat inklusif. Saya kira itu adalah ciri dari tasawuf. Dan didalam Syaikh Mutamakkin didalam history/periwayatan history-history yang kita lokal ketahui selama ini memang mewakili itu.
Saya kira Gus Dur ketika di angkat/ketika terpilih menjadi presiden RI ke-4 itu, Gus Dur berziarah ke makam Syaikh Mutamakkin seperti yang dikutip dihalaman bekakang bahwa KH. Ahmad Mutamakkin merepresentasikan suatu sistem yang salah yang dimaksud adalah sistem keagamaan yang selalu terpusat pada formalisme, yang dalam hal ini diwakili oleh Syari’ah, oleh Hukum dan oleh Fiqh. Maka kemudian KH. Ahmad Mutamakkin mewakili Islam yang Sufistik, yang inklusif yang kemudian menolak formalisme yang berlebihan sebagaimana yang ditampilkan oleh fiqh. Maka KH. Ahmad Mutamakkin merepresentasikan suatu sistem yang salah. Tetapi setelah saya baca tadi malam dari teks yang diterjemahkan/dianalisis maka sesungguhnya KH.Ahmad. Mutamakkin mungkin tidak terlalu mewakili apa yang disebut yang merepresentasikan kultural Islam di Indonesia. Seperti yang diungkapkan oleh Ricklefs mewakili kecenderungan yang disebut Syari’ah oriented Islam karena berorientasi kepada syari’ah. Karena didalam teks yang diterjemahkan disini, Syaikh Mutamakkin bahkan yang disebut mewakili kecenderungan Neo-Sufisme. Neo-Sufisme yaitu kecenderungan tasawuf yang lebih berusaha mengikuti ketentuan-ketentuan syari’ah (fiqh) dan oleh karena itu konsekwensi dari wacana intelektual KH. Ahmad Mutamakkin ini sesungguhnya mewakili kecenderungan syari’ah oriented/Fiqh oriented yang bersifat akomodatif dan kemudian menerima sinkretisme dari agama lokal yang ada. Oleh karena itu apakah memang Syaikh Mutamakkin mewakili/merupakan representasi dari perlawanan kultural agama rakyat. Agama rakyat dalam pengertian agama populer relegion. Maka kalau kita berbicara tentang agama rakyat maka istilah baku yang sering menjadi kajian-kajian sosiologi dan antropologi agama itu adalah populer relegion yaitu agama rakyat. Nah, agama rakyat tersebut sekali lagi adalah agama yang mudah tercampur dengan praktek-praktek kultural yang tidak lagi sesuai dengan otokrasi/sesuai dengan praktek-praktek yang murni atau mungkin tidak sesuai dengan ortodoksi yang sudah dilakukan/yang sudah distandarisasikan oleh para Ulama fiqh pada khususnya.
Oleh karena itu, menurut saya penting tetapi jelas bahwa antara agama dan tradisi khusunya tradisi lokal yang sudah dibentuk oleh agama dan diwarnai oleh agama akan selalu terjadi dialektika. Saya kira juga menarik apabila kita membaca karya terakhir Basan Tibi yang salah satu temanya membicarakan tentang Islam dan dialektika antar tradisi. Saya kira mungkin lebih relevan adalah bukan membangun kearifan dalam civil relegion tapi menurut saya lebih dalam kontekstual membangun civic cultur, membangun budaya kewargaan, sebab kalau civil religion maka kemudian saya khawatir kalalu civil religion itu bisa jadi adalah ideologi Negara pancasila bangkit kembali menjadi sebuah ideologi negara dan kemudian mengalami kristalisasi dan bahkan kemudian bisa menjadi alat untuk dominasi dan hegemoni kekuasaan. Oleh karena itu agama dan dialektika tradisi ini saya kira sepatutnya kita kembangkan adalah didalam pembangunan dan pengembangan civic cultur di Indonesia. Sebab, dialektika tradisi lokal dengan agama itu justru memunculkan berbagai bentuk pribumisasi, berbagai bentuk eksperimen yang saya kira sangat kontekstual di dalam masyarakat kita. Islam memang universal, itu jelas. Islam dalam hal-hal tertentu dalam Basic Teaching dalam ajaran-ajaran pokoknya Islam yang mempunyai klaim-klaim universal pada saat yang sama kita harus mengakui bahwa Islam yang tumbuh itu, Islam yang harus mempunyai konteks/mempunyai konteks lokalnya. Kalau konteks lokal ini gagal kita bangun, maka kemudian Islam itu menjadi kehilangan maknanya didalam masyarakat kita. Dan akhirnya Islam akan menjadi suatu doktrin atau pun menjadi sebuah ajaran ideologi yang seolah-olah tidak punya relefansinya dengan masyarakat kita sendiri. Dan inilah saya kira gejala yang kita lihat sekarang ini didalam masyarakat kita dengan munculnya wacana dan sekaligus gerakan-gerakan Islam yang lebih menekankan pada aspek universalitas Islam ketimbang konteks lokalnya. Muncul gagasan-gagasan misalnya untuk membangun sebuah kekhalifahan atau khalifah yang bersifat universal yang kemudian pasti menghadapi hambatan-hambatan sosial dan struktural.
Saya kira sulit bagi kita setidaknya bagi saya untuk bisa membayangkan bagaimana sebuah Islam yang dipahami sebagai aspek universal dalam konteks/dalam pengertian sebagai sebuah sistem khalifah itu bisa terwujud bisa terejawantah kecuali barangkali mungkin dengan mengabaikan dalam hal ini dalam konteks struktural yang ada. Jadi oleh karena itu, hemat saya pembicaraan tentang dialektika kultural lokal dengan agama, dialektika sosial antar tradisi agama merupakan topik yang sangat penting untuk kita diskusikan dan mudah-mudahan dari situ kita bisa membangun kearifan civic cultur. Karena dengan civic cultur kita bisa menumbuhkan demokrasi tapi pada saat yang sama demokrasi itu mempunyai apa yang disebut misalnya Robert Headmer dalam karyanya sebagai mempunyai akar didalam tradisi lokal itu sendiri dan itu sudah tercakup pandangan-pandangan keagamaaan pandangan keislaman dan lain sebagainya.
Saya kira hanya inilah beberapa hal yang bisa saya sampaikan dari beberapa gagasan yang mungkin sifatnya lebih instan misalnya daripada uraian yang bersiafat teoritis. Saya kira demikian saja, selamat berdiskusi dan selamat sekali lagi kepada Saudara Zainul Milal Bizawie. Mudah-mudahan karyanya ini merangsang kita semua untuk tetap menghasilkan karya-karya lainnya. Terus terang saja khasanah intelektualisme Islam di Indonesia sebagaimana diwakili oleh Syekh Ahmad Mutamakkin masih sangat sedikit sekali. Kita lebih banyak mengetahui misalnya tentang Ulama-Ulama di Timur Tengah atau kita lebih banyak tahu tentang Ulama-Ulama Mu’tazilah dan Asy’ariah dari pada ulama kita sendiri yang sebetulnya menurut saya menceminkan sebuah intelektualisme Islam yang tidak kalah dibandingkan dengan intelektualisme Islam di Timur Tengah. Saya misalnya mengkritik pandangan Nurcholis Majid yang mengatakan bahwa kita ini, umat Islam di Indonesia baru bisa hanya sebagai konsumen, tetapi belum bisa sebagai produsen. Saya kira apa yang dihasilkan oleh Syekh Ahmad Mutamakkin telah menunjukkuan wacana intelektualitasnya, telah membantah hal itu (pandangan Cak Nur).
Dan oleh karena itu masih banyak yang harus kita lakukan apalagi misalnya teksnya itu ditulis dalam bahasa Jawa dan kita masih belum banyak tahu misalnya karya-karya dari Saleh Darat yang menulis karya Asmarani dan bahkan Tafsirnya itu dengan bahasa Jawa. Oleh karena itu kawan-kawan yang punya tradisi bahasa Jawa punya tanggung jawab moral untuk mengkaji baik KH.Saleh Darat dan juga KH. Rifa’i dari Kalisalak karena seluruh karyanya menggunakan bahasa Jawa yang menggunakan tulisan bahasa Pegon. Jadi karena itulah saya kira karya ini (karya saudara Zainul Milal Bizawie) menunjukkan sebagai bentuk perlawanan kultural agama rakyat oleh Syekh Ahmad Mutamakkin. Dan mungkin para Ulama kita itu selama ini memang kelihatan ditelantarkan dan sekarang saatnya kita membangkitkan, mengemukakan dan mengkaji serta kemudian mengungkapkan kepada publik tentang karya ulama-ulama kita. Mengungkapkan wacana intelektual mereka yang saya kira dalam banyak hal mempunyai konteks yang sangat penting dengan lingkungan masyarakatnya yang ada.
Komentar Masuk (0)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)