Dua Thaha di Sudan - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Editorial
18/09/2006

Dua Thaha di Sudan

Oleh M. Guntur Romli

Kini Thaha sudah tiada. Tapi namanya mengingatkan saya pada sosok Thaha lainnya yang akhir hayatnya bernasib sama. Thaha kedua adalah Mahmud Muhammad Thaha, guru dari pemikir muslim liberal asal Sudan, Abdullah Ahmad al-Naim.

Pena lebih tajam daripada pedang. Ungkapan itu kadang jadi pujian dan penghargaan bagi para penulis. Namun yang terjadi di Sudan justru sebaliknya: buah pena justru ditebas tajamnya pedang. Pena itu bernama Muhammad Thaha Muhammad Ahmad, Pemimpin Redaksi al-Wifâq, koran harian yang terbit di Khortum, ibu kota Sudan.

Rabu pagi lalu (6/9) sosok Thaha tak dijumpai di kantornya. Ia justru ditemukan di pinggiran kota Khortum, 40 kilometer dari rumahnya, dalam kondisi mengenaskan. Lehernya sudah ditebas dan batok kepalanya diletakkan di atas tubuhnya yang bersimbah darah terbujur kaku.

Peristiwa tragis itu bermula dari beberapa jam sebelumnya, ketika tiga orang tak dikenal mengangkut paksa Thaha dari rumahnya. Setelah keluarganya sadar bahwa itu modus penculikan, mereka menghubungi polisi. Namun semua sudah terlambat. Thaha mati meninggalkan kontroversi dalam umur 51 tahun.

Thaha adalah seorang jurnalis yang sangat akrab dengan kontroversi. Bukan hanya melalui tulisan-tulisannya, namun juga karena karakter dan jalan hidupnya. Ia pernah menjadi aktivis Islam—dua karena itu, dua anak laki-lakinya ia beri nama Khomeini dan Abdul Aziz al-Rantisi. Namun ia juga sangat kritis terhadap aksi-aksi kekerasan yang sering diperagakan beberapa kelompok Islamis di Sudan.

Pada awal 2005, ia berurusan dengan pengadian gara-gara korannya memuat tiga artikel yang menukil buku Dr. al-Maqrizi yang berjudul al-Majhûl fi Hayâti al-Rasûl (Yang Majhul dari Kehidupan Rasul). Dalam buku itu, al-Maqrizi meragukan keabsahan bersambungnya nasab Nabi Muhammad SAW dengan ayah kandungnya, Abdullah bin Abdul Muthallib. Polemik pun merebak.

Tulisan itu dimuatnya dalam rangka menyambut peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Lewat artikel itu, Thaha bermaksud mengajak umat Islam di Sudan agar membaca sosok Nabi secara kritis. Baginya, Maulid bukan momentum pemujaan, namun penggalian kisah dan pengalaman hidup Nabi secara lebih mendalam.

Namun, tulisan itu terlanjur dianggap sebagai bentuk penghinaan dan penodaan terhadap kemulian ajaran-ajaran Islam. Ribuan orang menuntut agar Thaha dipancung. Thaha akhirnya meminta maaf dan menegaskan tidak bermaksud menghina Nabi Muhammad. Ia juga telah menulis bantahan terhadap buku al-Maqrizi.

Pasca-kejadian itu, Dewan Pers Sudan menjatuhkan sanksi tidak boleh terbit selama tiga hari serta denda 8 juta pound terhadap harian al-Wifaq. Al-Wifaq dianggap telah melanggar kode etik jurnalistik di Sudan. Tapi Thaha melawan dan mengajukan banding.

Rupanya, peristiwa tahun lalu itu belum lagi tuntas dan ia berbuntut panjang. Hidup Thaha selanjutnya disibukkan oleh dakwaan pengadilan sekaligus ancaman pembunuhan dari kelompok-kelompok Islam radikal di luar pengadilan. Pada 20 Januari 2006, kantor al-Wifaq diserang puluhan orang tak dikenal. Mereka melempar api ke dalam kantor, melukai Thaha berikut seorang stafnya.

Kini Thaha sudah tiada. Tapi namanya mengingatkan saya pada sosok Thaha lainnya yang akhir hayatnya bernasib sama. Thaha kedua adalah Mahmud Muhammad Thaha, guru dari pemikir muslim liberal asal Sudan, Abdullah Ahmad al-Naim. Mahmud Thaha mati setelah digantung oleh rezim Numeiry pada tanggal 18 Januari 1985. Ia adalah tokoh oposisi penting yang paling gencar melawan rezim Numaery. Sebagaimana Muhammad Thaha, Mahmud Thaha selalu mendapat tuduhan menodai Islam. Ia menolak penerapan syariat Islam sebagai agenda politik Numaery. 

Tuduhan penodaan agama yang ditudingkan pada Mahmud Thaha, terjadi saat ia berani melakukan pengujian secara terbuka dan kritis terhadap isi Alquran dan Sunnah. Dari situ dia melahirkan konsep tentang dua periode sekaligus dua doktrin Islam: Islam Mekah dan Islam Madinah. Bagi Mahmud Thaha, pesan-pesan Alqur’an di Mekah banyak menekankan segi universalitas Islam, isu persamaan, kebebasan, dan antikekerasan.

Sementara Islam Madinah justru terlalu kompromi pada konteks setempat, sehingga syariat Islam terpaksa mengadopsi kekerasan, konflik, diskriminasi jender, ras, dan keyakinan. Di Sudan, syariat Islam versi inilah yang justeru ingin diterapkan saat itu dan menjadi agenda kelompok Islam politik. Atas alasan itu, Mahmoud Thaha menolak penerapan syariat Islam.

Saya membayangkan, jika dua Thaha itu hidup di Indonesia, mungkin mereka akan terjerat pasat 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); sebuah pasal tentang penodaan agama yang telah banyak memakan korban.

Di Sudan, perbedaan dan pengkajian yang kritis atas beberapa aspek Islam telah didakwa sebagai bentuk penghinanaan dan penodaan atas Islam. Sanksi yang diberikan kelompok Islamis pun sungguh tragis dan mengerikan. Apakah nasib tragis dua Thaha itu akan terjadi juga di Indonesia? Dengan lantang kita harus katakan: “Semua itu tidak perlu!” []

18/09/2006 | Editorial | #

Komentar

Komentar Masuk (4)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Tulisan pak Romli sangat baik walaupun sangat tidak baik. Baik, karena Pak Romli ingin mengajak kita agar kita, yang oleh Pak Romli dianggap jahat, menjadi tidak jahat. Tidak baik, karena Pak Romli masih senang mementurkan Islam Liberal dengan Islam Radikal. Istilah Islam Radikal ini sering didengang-dengungkan oleh JIL yang baik hati. Menurut saya Pak Romli terlalu kuatir, karena: 1. Apa betul Islam Radikal yang membunuh Thaha? 2. Atau ada kelompok lain yang muslim atau non-muslim yang memanfaatkan momentum “sifat Thaha”? 3. Apakah Pak Romli memang sangat tahu kondisi di Afrika tersebut? 4. Islam radikal di Indonesia itu “miskin” sementara Islam liberal itu “kaya”, masing-masing kita agak tahu siapa dibalik Islam Radikal dan Islam Liberal toh? 5. Saya sarankan Islam Radikal dan Islam Liberal sering-sering duduk bersama mendengarkan ceramahnya Aa Gym, agar Islam radikal tidak terlalu Radikal dan Islam Liberal tidak terlalu liberal.  Oke itu saja terimakasih, saya Isa Cordova anggota Jamaah Islam Teori pimpinan Pak Rahmat Gunawan
-----

Posted by isa cordova  on  09/21  at  01:10 AM

Liberation adalah kata favorit saya, setelah Rebelation of Mind. Mengapa ? Karena, terpasungnya umat Islam dalam menjalankan syari’at adalah poin penting yang harus ditip-ex dalam kehidupan. Mengapa ? Karena saat men-zero-kan diri, maka kita bukanlah siapa-siapa di dunia ini. Hanya makhlukNYA yang kecil..kecil..dan kecil. Dengan segala upaya yang IA berikan, pantas sungguh pantas diri ini untuk membebaskan diri dari segala yang memasung, mengkerangkeng jiwa pikir dan raga untuk berkhidmat kepada-Nya. Mengertikah anda ??? Mengapa lalu anda mau menjadi ‘pesuruh’ untuk menyediakan kerangkeng, kurungan dan alat siksa yang melenakan demi melepaskan insan dari rasa ketundukkannya pada Illahi ?

Posted by Rebelanita  on  09/20  at  09:10 PM

Barangkali anda sukar membedakan antara kritis dengan hinaan. Mungkin anda harus membaca lagi apa sih isi tulisannya hingga anda cabut aja dengan membenarkan. Zidane aja menanduk dada materazi apalagi orang yang mengkritisi dengan hinaan Nabi yang kita cintai. Baca lagi, mas! Iqro, Iqro, Iqro....!

Posted by LIA  on  09/20  at  04:09 AM

mas Guntur yang saya hormati, jika anda percaya, bahwa manusia adalah makhluk relativ, karena yang ultimate hanyalah Tuhan esoteris, maka menurut hemat saya, ketika melakukan vis a vis antara dimensi substantif dan skriptural, yang dikedepankan bukanlah pembelaan masing-masing pihak. sungguh indah prinsip nahnu shawab wa lakin nahtamila al-khatha’, wa ghairuna khatha’ wa lakin yahtamila ash-shawab.

mas Guntur, saya yakin, bahwa agama tak perlu diagung-agungkan secara simbolis, karena agama adalah unsur spiritual dan semangat. tetapi, di tengah keyakinan akan kebenaran pemikiran dan ideologi keberagamaan kita, sudahkah kita mengritik epistemologi sendiri? agar tidak selamanya yang liberal menyudutkan yang radikal, demikian pula sebaliknya.

mas Guntur, saya merindukan antara yang liberal dan radikal bisa saling melengkapi, bukan saling menyerang. karena, musuh bersama sesungguhnya adalah truth claim, popularitas, dan kekuasaan. saya rindu dengan Abdul Karim Soroush, yang begitu elegan membuat moderatisme islam di Iran.

Islam will never ending, because islam always on going process........., beyond liberal, than radical too.

Arif Fahrudin Head Coord. Hasbiyallah Center, Pesantren Al-Wathoniyah Pusat Klender Jatinegara

Posted by Arif Fahrudin  on  09/19  at  12:09 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq