Filsafat Cahaya Suhrawardi dan Sejumlah Kritiknya - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Diskusi
24/08/2010

Filsafat Cahaya Suhrawardi dan Sejumlah Kritiknya Reportase Tadarus Ramadan JIL Sesi II

Oleh Saidiman Ahmad

Isyraqiyyah, oleh Ulil, digambarkan mirip dengan ilham para nabi. Ia bukan kebenaran yang diperoleh secara gradual sebagaimana dalam tradisi filsafat demonstratif. Ia muncul dalam apa yang disebut “aha moment.” Meski ia datang seperti sekelebat cahaya, tapi sebenarnya bisa diuraikan secara panjang lebar. Isaac Newton, misalnya, memang menangkap ilham sekilas ketika ia melihat apel yang jatuh. Dalam sekejap ia menyadari sebuah kebenaran. Meski peristiwa itu sangat singkat, tetapi Newton kemudian berhasil membangun pengetahuan baru yang melandasi seluruh perkembangan ilmu pengetahuan setelahnya, yakni teori grafitasi. 

Tadarus Ramadan Jaringan Islam Liberal hari kedua mengangkat pemikiran Syaikh Syihabuddin Abul Futuh Yahya Suhrawardi al-Maqtul (1144-1234). Muhammad al-Baqir (dosen ICAS Jakarta) dan Ulil Abshar-Abdalla (JIL) menjadi narasumber. Diskusi ini dipandu oleh Taufik Damas (alumnus universitas al-Azhar, Mesir).

Suhrawardi al-Maqtul adalah seorang sufi yang mencoba memaparkan gagasan sufismenya secara filosofis. Itulah sebabnya, menurut al-Baqir, Suhrawardi dikenal sebagai seorang teosof atau yang mengajarkan sufisme dan filsafat sekaligus.

Al-Baqir memaparkan panjang lebar soal sejarah yang melatarbelakangi lahirnya pemikiran Suhrawardi. Gagasan utama Suhrawardi biasa disebut Isyraqiyyah atau illuminasionisme yang berarti filsafat cahaya.

Gagasan Isyraqiyyah muncul sebagai respon terhadap kecenderungan filsafat peripatetik yang sangat populer di kalangan sarjana Islam saat itu. Peripatetisme sendiri adalah corak filsafat yang berasal dari tradisi Aristotelian. Masuknya peripatetisme ke dunia Islam adalah akibat langsung dari persentuhan dan ditaklukkannya sejumlah wilayah yang merupakan pusat-pusat pengembangan filsafat peripatetik dan Yunani secara umum. Al-Baqir menyebut ada gairah yang sangat besar saat itu dalam penerjemahan karya-karya Yunani. Karya-karya itu diterjemahkan dari bahasa Yunani ke bahasa Suryani. Kemudian dari bahasa Suryani ke bahasa Arab.

Ulil Abshar-Abdalla menambahkan bahwa peripatetisme di dunia Islam begitu berpengaruh dan penting. Pada masa-masa awal penaklukan Islam, orang-orang Arab (Muslim) bertemu dengan masyarakat taklukan yang memiliki peradaban pengetahuan yang sangat tinggi. Para filsuf peripatetik berhasil memberi landasan filosofis bagi ajaran Islam, sehingga mereka tidak perlu merasa terbelakang berhadapan dengan peradaban-peradaban tinggi yang mereka taklukkan.

Abu Ali al-Husain Ibn Abd Allah Ibn Sina (980-1037) adalah tokoh utama filsafat peripatetik. Hampir seluruh bangunan pemikiran filsafat Islam setelahnya tidak bisa lepas dari pengaruh filsafat Ibn Sina. Memang setelah itu muncul sejumlah tokoh yang mencoba melancarkan kritik terhadap Ibn Sina. Salah satu pengkritik utama Ibn Sina adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’i atau al-Ghazali (1059-1111). Tapi, menurut Ulil, bahkan al-Ghazali pun menggunakan logika peripatetian untuk menyerang Ibn Sina.

Hal itu ditegaskan pula oleh al-Baqir. Al-Baqir menuturkan bahwa sebenarnya, sebelum mengarang buku Tahafut al-Falasifah (kerancuan para filsuf), al-Ghazali mengarang buku Maqasid al-Falasifah (Gagasan-gagasan Para Filsuf). Itu menunjukkan bahwa al-Ghazali menguasai secara mendalam pemikiran yang hendak ia kritik. Dan lagi, menurut al-Baqir, sebetulnya arah kritikan al-Ghazali bukan pada filsafat, melainkan para filsuf. Itu sebabnya judul bukunya bukan Tahafut al-Falsafah (Kerancuan Filsafat), melainkan Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf).

Titik tengkar utama kisruh kaum peripatetik dan tradisi Isyaraqi yang dibawa oleh Suhrawardi adalah pada klaim kebenaran. Kaum Isyraqi dan sufi secara umum mengandaikan bahwa ajaran mereka berpusat pada metafisika. Jika para filsuf, terutama peripatetik Aristotelian, mengandalkan analisa, maka para sufi menyandarkan diri pada kontemplasi intuitif. Ibn Sina berusaha melukiskan realitas, oleh karenanya disebut hushuli. Sementara Suhrawardi berupaya merefleksikannya atau musyahadah, ilmunya disebut hudluri.

Bila di dalam peripatetik, subjek yang mengamati dan objek yang diamati memiliki jarak, maka dalam tradisi Isyraqi, subjek dan objek identik dan tidak ada jarak. Al-Baqir menunjukkan analogi lukisan dan cermin. Lukisan adalah bentuk pemikiran peripatetik. Sifatnya kaku, karena ia menggambarkan realitas. Sementara apa yang tampak pada cermin sangat fleksibel mengikuti realitas yang dipantulkannya. Oleh karenanya, al-Baqir mengklaim kebenaran Isyraqi tidak bisa diragukan. “Ia benar dan tidak mungkin salah” tegasnya. Dasar dari Isyraqiyyah adalah pengalaman langsung. Sebuah pengalaman tidak mungkin salah: ia melampaui kategori salah dan benar.

Persoalannya adalah ketika sebuah pengalaman coba diungkapkan. Pada masa-masa awal perkembangan tasawwuf di dunia Islam, pengalaman mistik spritual diungkapkan dalam bentuk puisi. Baru Ibn Arabi yang mencoba mengungkapkannya dalam bentuk telaah filosofis. Meski begitu, al-Baqir tetap menyebutkan bahwa karya-karya Ibn Arabi dan Suhrawardi adalah karya mistik tasawwuf, bukan filsafat.

Ulil mengakui bahwa Iran memang memiliki semangat yang luar biasa untuk merawat tradisi mistik dan filsafat. Hal ini tidak dijumpai dalam tradisi-tradisi di belahan dunia Muslim lain. Di tempat-tempat lain, sufisme dan filsafat malah dicurigai dan dimusuhi. Kendati demikian, al-Baqir menyatakan bahwa tasawwuf Isyraqiyyah sesungguhnya sangat dipengaruhi oleh tradisi hikmah Persia kuno. “Aku menghidupkan filsafat Persia Kuno,” al-Baqir mengutip Suhrawardi. Suhrawardi tidak hanya menyatukan, melainkan juga melanjutkan filsafat perenial.

Tetapi memang demikianlah adanya hubungan antar-peradaban. Sejarah menunjukkan bahwa Islam menjadi besar karena persentuhannya dengan peradaban-peradaban besar. Sebagian besar peradaban itu diadopsi dan dikembangkan. Tradisi filsafat, tasawwuf, kesenian, dan sains adalah buah persentuhan Islam dengan peradaban-peradaban lain.

Ulil mencoba memberi gambaran umum, tradisi filsafat peripatetik yang ingin dikritik oleh Suhrawardi. Peripatetik sebenarnya adalah nama yang disematkan pada ajaran Aristoteles, filsuf agung Yunani. Peripatetik berarti jalan-jalan. Ini merujuk pada cara Aristoteles mengajar di Academia sambil berjalan dan berdiri. Itu sebabnya, dalam bahasa Arab, filsafat peripatetik disebut al-Falsafah al-Massya’i.

Peripatetisme bertumpu pada logika Aristotelian. Intinya adalah bahwa pengetahuan yang benar bisa didemonstrasikan dengan menggunakan metode demonstratif (burhani). Acapkali ada sesuatu yang dianggap benar karena masyarakat menganggapnya benar. Tapi itu bukan kebenaran menurut tradisi ini. Opini bukan kebenaran, ia hanya pengatahuan umum yang belum tentu benar dalam pengujian demonstratif.

Metode demonstratif yang sering juga disebut silogisme atau qiyas adalah penggabungan dua elemen pernyataan yang kemudian menghasilkan kesimpulan baru. Ulil memberi contoh: bila A adalah B dan B adalah C, maka A sama dengan C. Bila semua preposisi benar, maka kesimpulannya juga benar. Kaum peripatetik meyakini bahwa semua kebenaran pasti bisa diurai dengan silogisme atau metode demonstratif. “Semua bentuk kebenaran adalah relasi,” tegas Ulil.

Menurut Ulil, peripatetisme yang dalam tradisi Arab disebut hushuli ini sangat jelas dalam dunia matematika. Sebuah bangunan soal matematika harus memiliki unsur-unsur yang benar. Jika ada salah satu unsurnya yang salah, maka kesimpulannya akan melenceng. Dia menjadi benar karena berdiri di atas preposisi yang benar. Bagi kaum peripatetik, seperti Ibn Sina, tidak ada kebenaran yang lepas dari prinsip ini, pun kebenaran dalam versi kaum sufi dan Isyraqi.

Al-Baqir dan salah seorang peserta diskusi, Sahal Mubarak, menunjukkan kritikan tajam dari Suhrawardi atas prinsip kebenaran silogisme peripatetik yang ditunjukkan oleh Ulil. Menurut mereka, jika sebuah kesimpulan yang benar harus berdiri di atas preposisi yang benar, maka preposisi yang benar juga harus berdiri di atas pengandaian kebenaran lainnya. Dan demikian seterusnya. Dengan demikian, silogisme berisi jebakan tautologis yang tak berkesudahan.

Ulil mengakui bahwa memang ada perbedaan antara al-hikmah al-isyraqiyyah dan al-hikmah al-burhani. Isyraqiyyah, oleh Ulil, digambarkan mirip dengan ilham para nabi. Ia bukan kebenaran yang diperoleh secara gradual sebagaimana dalam tradisi filsafat demonstratif. Ia muncul dalam apa yang disebut “aha moment.” Meski ia datang seperti sekelebat cahaya, tapi sebenarnya bisa diuraikan secara panjang lebar. Isaac Newton, misalnya, memang menangkap ilham sekilas ketika ia melihat apel yang jatuh. Dalam sekejap ia menyadari sebuah kebenaran. Meski peristiwa itu sangat singkat, tetapi Newton kemudian berhasil membangun pengetahuan baru yang melandasi seluruh perkembangan ilmu pengetahuan setelahnya, yakni teori grafitasi. Mengutip Mainonides (Musa al-Maimun), filsuf Yahudi yang hidup dan bergaul dengan tradisi filsafat Islam, Ulil menyatakan bahwa Isyraqi memang adalah momen singkat, tapi sebenarnya tetap bisa dijelaskan melalui prosedur logis peripatetik.

Apa yang diungkapkan oleh Ulil diamini oleh Ryu Hasan, peserta yang berlatar belakang ilmu bedah syaraf. Menurut Ryu, ilmu pengetahuan modern telah memporak-porandakan bangunan pengetahuan di zaman klasik. Apa yang dulu disebut metafisika, sekarang adalah fisika. Dulu orang menganggap histeria sebagai fenomena metafisik, ilmu kedokteran ternyata telah menemukan gejala-gejala fisik penyebabnya dan bisa disembuhkan dengan minum beberapa butir obat penenang. Fenomena bertemu dengan sosok yang memberi ilham tertentu, seperti pengalaman para nabi, sekarang disebut indigo. Dan itu bisa disebuhkan dengan tablet obat tertentu.

Pertanyaan tentang aspek liberal dari tradisi sufisme yang berkembang dalam tadarus Ramadan JIL tahun ini coba dijawab oleh Ulil. Ulil menceritakan masa akhir hidup Suhrawardi. Ia meninggal di Aleppo, Syiria, yang didominasi kaum Sunni yang sangat benci terhadap filsafat. Ia bersahabat baik dengan gubernur setempat, al-Malik al-Zahir al-Ayyubi, anak Salahuddin al-Ayyubi, khalifah pada saat itu. Pemikiran-pemikiran Suhrawardi rupanya mengganggu para ulama ortodoks. Sebagaimana umumnya tradisi tasawwuf, Suhrawardi juga menawarkan pandangan esoteris yang melampaui perbedaan-perbedaan partikular agama-agama. Sekelompok ulama konsevatif yang terganggu dengan ajaran Suhrawardi ini meminta khalifah menghukum Suhrawardi. Suhrawardi meninggal karena ulah para ulama konservatif Sunni tersebut.


24/08/2010 | Diskusi | #

Komentar

Komentar Masuk (8)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Hei...saidiman-ulil cs..... Islam adalah ibarat cahaya putih, dari fungsinya maka cahaya itu menampakan apa-apa yg ada termasuk juga warna-warni benda-benda, hingga kita bisa tau bahwa ini adalah ini....itu adalah itu...(wilayah ini/tampak adalah pengetahuan), namun bukan sebaliknya bahwa apa-apa yg tampak menjadi elemen cahaya itu...ini rancu...hasil olah fikir manusia adalah pengetahuan, sedangkan : “ Ilmu itu tidak bersuara tanpa rupa “. (Hadits Qudsy). Bisa anda bayangkan.... pengetahuan, apa lagi ilmu yg tanpa suara tanpa rupa yg notabene adalah cipta-NYA, sudah sedemikian adanya.....lantas bagaimana dengan Pencipta ilmu itu.......membayangkan saja susah… apalagi hanya dengan berdasarkan tulisan si ini.....si itu....padahal tujuan cipta manusia : “ Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembahKU “. Tidak ada manfaat semua pengetahuan di alam kubur nanti apalagi di padang mashar..., kecuali “........maka jika sesorang datang kepada KU dengan pengetahuan dan ilmu-ilmu maka Aku akan mengajukan tuntutan-tuntutan........ “. (Hadits Qudsy). Ijtihad hanya dibenarkan jika seseorang itu telah terbuka hijab alam fikirnya......( seperti kitab kedua Imam Syafii, tentu dengan perjalanan spiritualnya). Lantas apa yg bisa kita peroleh dari pemikiran-pemikiran yunani-yunani kuno itu....plato pernah berkata : “ Aku berfikir karena itu aku hidup “. Cobalah ente tanyakan sama aristoteles dan plato :” Apakah kalian sekarang sedang berfikir “. Saya yakin semua ulama-ulama besar menahan sebahagian untuk tidak diberitakan apa yg diketahuinya, karena khawatir akan timbul fitnah yg besar di kalangan umat, bahkan ada yg menyesal....Imam Sofyan attsaury (Raja Fiqh) Hingga sampai kepada kesimpulan Al-Ghazali : “ Hanya Raja yg tau tentang Raja “. Cobalah kalian bedah kitab-kitab yg selama ini kalian enggan meliriknya, saya yakin kalian akan sampai kepada kesimpulan : “ Seseorang tidaklah dianggap bertaqwa hingga ia mengharamkan yg halal karena khawatir dapat mendatangkan haram “.(hadits). Kepintaran seseorang tidak serta merta menyelamatkan ia di alam kubur apalagi di akhirat nanti.
Apa yg kalian rasakan andaikata bertemu dengan Issac newton Albert enstein, Al hllaj, Yaziddun Bustomi, Ibnu Sina, Al Arabi, Atstsaury.... saya yakin kalian pasti merasa orang yg paling bodoh....bagaimana kiranya jika kalian bertemu dengan Pencipta mereka, semua yg kalian bawa tidak ada artinya........tau apa kalian tentang cahaya.......Tidak ada kewajiban untuk menyerukan bahkan mengajak orang lain untuk sepakat atas ajaran-ajaran para orang-orang yg kalian kagumi, karena mereka sendiri tidak berbuat begitu, kemudian juga karena sudah ada Alquran dan Sunnah.
Rasulullah menahan dari ilmu-ilmu yg khusus dan hanya orang-orang yg khusus di ajarkan. Seakan Rasulullah mengajarkan bahwa menuntut ilmu itu harus mencari guru (orang)..... bukan kepada kitab-kitab, buku-buku dll....kemudian menafsirkan sendiri semaunya.....maka jadilah tulisan-tulisan yg kacau balau nggak ada juntrungannya, comot sana-sini.....agama semaunya......membingungkan orang bodoh dan membodohkan orang bingung.......

Posted by Matt  on  10/12  at  08:13 PM

@joko: benar sekali jika anda mengatakan demikian bahwa para pengaku wali harus di tes psikotik.

Untuk Ibnu ‘Arabi, karena dia hidup dijaman yang lampu, saya pikir tidak perlu melakukan tes psikotik, apalagi Nabi Muhammad, sangat tidak perlu, karena kita akan menemui pusaranya saja yang berumur 1500an tahun 

Yang jadi pe-er, mungkin bagi ulama’ jaman sekarang perlu diadakan tes psikotik - itu pun bagi yang mereka mengaku wali saja.

Posted by Muhibbuddin  on  09/16  at  09:51 PM

perlu dicek dulu, deh, jangan2 mereka yang mengaku nabi atau wali sebenarnya adalah psikotik: merasa disapa oleh sesuatu yang besar, bertemu tokoh2 besar (ibn al ‘arabi biasa mengaku bertemu khidhir)

Posted by joko  on  09/02  at  03:58 PM

Waduh, dengan pengetahuan yang saya miliki, saya sebenarnya malu untuk berkomentar, tapi saya sungguh menikmati tulisan ini. Saya cuma bisa bilang: kalau memang benar islam menjadi besar karena persentuhannya dengan peradaban-peradaban besar, apakah boleh saya berpikiran bahwa persentuhan islam dengan peradaban modern ini telah melahirkan suatu bentuk islam kontemporer yang akan membuat islam lebih besar lagi ?. Wah kalau memang begitu, boleh dong saya sedikit berbangga menjadi muslim liberal.

Posted by Teguhsuseno  on  08/31  at  02:04 PM

apakah pengalaman mistis yang terjadi pada beberapa orang adalah suatu yang nyata dan universal, sehingga dianggap mesti benar?ibnu arabi menyatakan bahwa seorang pendaki jalan spiritual harus hati-hati karena bisa saja ia direkayasa oleh kekuatan semu sehingga seolah-olah ia berada di sidratul muntaha padahal tidak.

Posted by kajenar  on  08/30  at  05:16 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq