Fundamentalis Kristen Merebak Kuat - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
24/03/2002

Trisno S. Sutanto: Fundamentalis Kristen Merebak Kuat

Oleh Redaksi

Sekarang ini, istilah fundamentalisme menjadi momok baru di dunia terutama Amerika dan sekutunya pasca 11 September 2001. Dan istilah ini selalu diidentikkan dengan Islam. Padahal fundamentalisme merupakan fenomena atau sebuah gerakan yang ada pada semua agama, termasuk agama Kristen.

Untuk mengulas tema fundamentalisme di agama Kristen, Kajian Utan Kayu minggu ini menghadirkan Bapak Trisno Susanto, seorang aktivis dari Masyarakat Dialog Antar Agama (MADIA) Jakarta dan juga seorang ahli teologi Kristen. Wawancara ini merupakan hasil transkrip acara “Agama dan Toleransi” yang dipandu oleh Ulil Abshar-Abdalla di kantor berita Radio 68H pada tanggal 14 Maret 2002. Berikut petikannya:

ULIL ABSHAR-ABDALLA: Mas Trisno, seperti Anda tahu bahwa istilah fundamentalisme ini berkembang di agama-agama lain, tidak hanya di Islam. Secara umum, saya akan memulai pertanyaan, bagaimana dengan perkembangan fundamentalisme ini dalam agama Kristen?

TRISNO SUSANTO: Terima kasih. Saya kira memang satu yang tidak dipungkiri bahwa fundamentalisme menjadi semacam momok untuk setiap orang setelah serangan terhadap WTC itu. Tetapi sesungguhnya kalau kita kembali ke istilahnya yang paling awal, istilah itu berkembang justru di kalangan Kristen awal mulanya. Fundamentalisme itu kata yang kemudian dipakai untuk menyebut serangkaian penerbitan di awal abad 20, antara abad 1909 sampai sekitar 1919 itu ada terbitan brosur yang bernama judulnya itu the fundamentals testimoni of truth, itu istilahnya yang dipakai. Kelompok yang dipakai menerbitkan ini rata-rata adalah para tokoh Kristen, terutama dari kalangan Evangelical dan Protestan konservatif yang berkumpul di sekolah teologi yang dinamakan “Princetown Teological Seminary” di Amerika. Dan istilah fundamentalis pertama kali itu dipakai menurut catatan sejarah sekitar tahun 1920 oleh seorang Kristen baptis bernama Sisilaw. Dia menyebut kelompok yang mendukung program fundamentalisme ini sebagai orang-orang fundamentalis. Jadi itu masalah istilahnya.

Istilah fundamentalisme Kristen di Indonesia terutama sekali dikaitkan dengan dua atau paling tiga hal yang berkaitan dengan itu. Yang pertama, sering disebut kelompok Evangelical atau dalam bahasa Indonesianya, Injili. Evangelical sangat menekankan kepada masalah pertobatan yang pribadi sifatnya, jadi kesalehan pribadi, serta percaya penuh bahwa keselamatan itu hanya karena kematian Isa atau Yesus yang mereka imani. Istilah Evangelical sendiri macam-macam. Di Jerman itu dipakai sebagai istilah lain untuk kata Lutheran lawan dari Calvinis, sementara orang biasa menggunakan Evangelical untuk menyebut Protestan pada umumnya. Selain kelompok Evangelical ini, satu fenomena lain yang juga sangat mewarnai fundamentalisme itu adalah Revivalisme. Ini fenomena di Amerika yang berkembang sekitar abad 18-19 yang menekankan kepada kebaktian-kebaktian kebangunan rohani, istilah mereka, yang bersifat masal, besar-besaran. Ada kebaktian kebangunan rohani besar-besaran dan itu dipelopori oleh tokoh-tokoh rohani sepeti Wesley, dan seterusnya.

ULIL: Tanpa harus kita mengorek kedetil-detilnya, apa pandangan pokok yang membedakan antara orang-orang yang disebut sebagai fundamentalis Kristen ini, baik yang Anda sebut sebagai Evangelical atau pun yang Revivalis, dengan orang-orang Kristen yang lain?

TRISNO: Ada beberapa ciri umum, paling tidak kalau menurut saya itu ada tiga. Petama-tama yang paling utama itu menekankan doktrin tentang bahwa kitab suci Kristen, Al-kitab itu tidak salah. Artinya inherensi (tidak dapat salah) dan invalibilitas yang artinya kitab suci Kisten dipahami sebagai sebuah pengilhaman terus menerus, istilah mereka, secara harafiah. Bahkan kata-kata yang dipakai pun itu tidak bisa salah. Ini doktin sangat kuat dikembangkan untuk melawan tendensi masuknya kajian-kajian kritis terhadap Al-kitab, terutama yang berkembang di Jerman.

ULIL: Tetapi apakah pandangan ini dipunyai oleh kaum fundamentalis saja atau semua orang-orang Kristen umumnya?

TRISNO: Pada jaman sekarang itu dilihat dari perkembangannya, pandangan yang menekankan inherensi dan invalibilitas dari ketidaksalahan kitab suci yang harafiah seperti itu, jarang sekali. Itu hanya ada di kalangan fundamentalis yang sangat ekstrim.

ULIL: Saya akan masuk kepada isu yang lebih berkaitan dengan kita di sini. Salah satu isu di dalam agama itu yang krusial adalah bagaimana pandangan agama itu mengenai orang lain? Apakah kelompok-kelompok Kristen yang fundamentalis ini punya pandangan yang eksklusif, misalnya memusuhi orang-orang lain, memusuhi orang Islam, misalnya?

TRISNO: Bukan hanya orang Islam, terhadap orang Kristen sendiri pun ya. Artinya, kalau tadi saya mengatakan itu persoalan di dalam kitab suci saja, kita tidak mau peduli dengan soal itu. Itu hanya persoalan doktrin awal. Tapi ini kemudian berimbas karena doktrin ini dipakai sebagai perlawanan terhadap Teologi Kristen yang liberal atau modern, yang mengupayakan studi-studi kritis terhadap kitab suci. Karena itu, ciri umum kedua, kalau saya boleh lanjutkan soal ciri umum dulu, adalah adanya kecurigaan atau bahkan kebencian terhadap teologi yang bersifat modern. Ini kemudian punya akibat pada segi praktisnya, yakni mereka membedakan secara tegas antara yang disebut Kristen sejati, dan Kristen nominal atau Kristen KTP, istilah mereka. Karena mereka mengatakan biasanya itu ada tahap-tahap begini; pertama, ada perasaan di kalangan umat bahwa gereja yang sudah terorganisir itu dingin, tidak hangat, artinya ritusnya sudah menjadi terbiasa. Tidak ada gejolak semangat, emosi. Lalu mereka ketemu dengan pemberitaan injil yang hangat, hidup dan berapi-api. Anda melihat sendiri bagaimana kaum fundamentalis itu berkhotbah penuh dengan semangat luar biasa. Lalu kemudian mereka sampai kepada pertobatan pribadi. Jadi mereka itu menjadi persoalan besar untuk kalangan Kristen, karena mereka mengatakan bahwa umat Kristen pada umumnya adalah Kristennya nominal, belum Kristen betul atau kurang Kristen. Sehingga mereka berusaha mati-matian untuk terus menerus merebut umat sesuai dengan mereka.

ULIL: Apakah usaha mengkristenkan orang lain itu sebagai salah satu prinsip atau doktrin utamanya?

TRISNO: Salah satunya ya, terutama kelompok-kelompok Evangelical Revival itu.

ULIL: Apakah semua kelompok Kristen itu begitu doktrinnya? Sebab begini, saya kira yang perlu diketahui oleh para pembaca bahwa sebetulnya dalam Kristen sendiri ada banyak kelompok-kelompok sebagaimana dalam Islam. Bagaimana Anda menjelaskan itu?

TRISNO: Itulah yang tadi saya katakan bahwa problemnya itu bukan hanya dengan kelompok Islam, tetapi di dalam kekristenan sendiri sesungguhnya terjadi pertempuran-pertempuran. Pertempuran dalam artian teologis maupun perebutan umat. Seringkali kelompok-kelompok ini bergerak di kalangan umat. Jadi mereka strateginya adalah mempengaruhi umat satu gereja misalnya, untuk ikut ke kebaktian yang bukan milik gereja itu.

Kalangan fundamentalis Kristen ini seringkali jadi masalah di kalangan kekristenan umumnya maupun dalam relasi dengan agama lain. Bahwa sesungguhnya terjadi konflik–konflik itu bukan hanya konflik eksternal, tetapi juga internal antara kalangan Kristen fundamentalis dengan Kristen mainstream, yang gereja-gereja mainstream di Indonesia sebagian besar berlatarbelakang Jerman maupun Belanda. Jadi hasil dari pengabaran Injil di Jerman dan Belanda, termasuk GKM, GPM juga temasuk GKI, HKBP, GPIB, kemudian GMIM di Manado, GMIT di Timor, itu adalah gereja-gereja mainstream yang membentuk inti dari Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI). Kelompok-kelompok fundamentalis atau kelompok Evangelical yang revival itu terutama hadir dari Amerika latar belakangnya. Dan ini merebak kuat.

ULIL: Mengapa itu bisa terjadi?

TRISNO: Kalau menurut dugaan saya, hal itu terjadi bersamaan dengan proses modernisasi dan pembangunan yang kita jalani sekitar akhir 70-an, kalau saya tidak salah. Tahun-tahun itulah muncul gerakan-gerakan yang sangat militan, yang sangat mengutamakan misalnya pertobatan pribadi, mereka mengusahakan kebangunan-kebangunan rohani yang masal sifatnya. Jadi kebaktian misalnya dulu di tahun 70-an, kalau kita masih ingat Piligrehem pernah mengadakan kebaktian besar-besaran di Istora Senayan. Dan ini tidak hanya merisaukan kelompok kaum muslim, tetapi juga merisaukan gereja-gereja. Mengapa? Karena kelompok-kelompok ini ibaratnya membentuk, kalau saya ibaratkan para churhces, kekuatan sendiri. Jadi para gereja-gereja ini berdiri sendiri-sendiri di luar struktur PGI. PGI tidak memiliki kekuatan sama sekali untuk mengendalikan.

ULIL: Apakah ada semacam pandangan di kalangan Kristen fundamentalis bahwa di luar gereja tidak ada keselamatan secara eksplisit atau implisit?

TRISNO: Saya rasa bukan di luar gereja. Itu istilah yang dipakai di kalangan Katolik. Istilah yang lebih tepatnya di luar kristus, di luar Yesus tidak ada keselamatan. Itu sebuah doktrin dasar sekali dan dimiliki oleh semua umat Kristen. Tetapi yang kemudian menjadi masalah adalah bagaimana mengartikan keselamatan. Apa artinya itu berimplikasi. Implikasinya apa? Dari kelompok fundamentalis atau Evangelical yang sebagian besar dari Amerika, seperti yang tadi saya katakan, itu sangat menekankan arti harafiah sehingga orang yang harus diselamatkan adalah orang yang sudah ditobatkan, istilah mereka, dijadikan Kristen. Baru orang itu namanya selamat mendapatkan jaminan masuk sorga. Tetapi di kalangan gereja-gereja mainstream sekarang ini sudah ada reinterpretasi terhadap kata keselamatan. Misalnya gereja Katolik melalui konsili Vatikan sudah menekankan itu, bahwa keselamatan itu juga hadir di dalam agama-agama lain.

ULIL: Dan saya kira itu perkembangan yang cukup positif untuk hubungan antar agama di Indonesia.

TRISNO: Karena itu, saya sebagai seorang yang aktif di dialog antar agama, melihat bahwa seringkali persoalan-persoalan konflik yang disebut konflik antar agama itu sebetulnya yang terjadi antara kelompok fundamentalisme satu agama melawan satu kelompok fundamentalisme agama yang lain. Jadi Islam dengan Kristen itu bukan Islam dan Kristennya yang berkonflik, tetapi aspek fundamentalisme di dalam Islam dengan aspek fundamentalisme di dalam Kristen. Dan ini kemudian tergantung militansi. Kita tidak bisa menggeneralisir. Ini masalah militansi.

Sekali lagi, kita harus menegaskan bahwa yang konflik itu bukan konflik antar agama. Yang konflik adalah orangnya. Berkaitan dengan itu, saya mau cerita ketika saya dihubungi oleh Pak Johan Effendi yang masih menjabat sebagai Litbang Departemen Agama. Pak Johan mengeluh kepada saya bahwa dia menemukan brosur-brosur penginjilan, semacam kristenisasi yang beredar di lingkungan pesantren. Ini meresahkan umat. Lalu dia tanya pada saya, apakah PGI yang melakukan penyebaran brosur itu. Saya terus terang katakan kepada Pak Johan waktu itu bahwa PGI tidak mampu melakukan itu. Karena kelompok-kelompok ini, yang saya istilahkan, para pengecer ini, kelompok-kelompok kecil para churches ini, dia bergerak di luar struktur, di luar institusi jangkauan PGI. Mereka tidak terlibat, tidak termasuk di dalam PGI. Mereka berdiri sendiri, sehingga akibatnya sulit sekali pengendaliannya. Mereka memiliki jaringan sendiri, dan jaringan ini bersifat internasional, bersifat global.

ULIL: Menurut Anda, bagaimana cara efektif mengatasi persoalan-persoalan itu?

TRISNO: Mengatasi yang efektif itu adalah kampanye. Kampanye di dalam masing-masing agama untuk menyadarkan, itu pertama. Menyadarkan bahwa bukan itulah pesan utama agama. Pesan utama kekristenan itu bukan di situ. Bukan persoalan orang itu masuk atau tidak masuk Kristen. Masalah itu Tuhan saja yang tahu. Tetapi masalah utamanya adalah bahwa keselamatan itu berarti Tuhan mencintai seluruh umat manusia. Keselamatan bukannya persoalan di sorga. Ini yang pertama yang harus disadarkan kepada kelompok-kelompok di dalam dan ini adalah masalah internalnya.

Masalah kedua adalah kampanye kepada agama lain untuk mengatakan bahwa Kristen atau Islam itu tidak monolitik. Ada kelompok-kelompok yang berbeda-beda tafsirannya, dan kita bisa dengan cukup cerdik dan baik menjalin relasi-relasi yang sesuai. Hanya dengan cara itulah, pengaruh-pengaruh kelompok fundamentalis, kelompok Evangelical revival ini bisa kita hadapi.

ULIL: Jadi Anda ingin mengatakan bahwa sebetulnya tugas para agamawan di semua agama itu adalah meluruskan pandangan agama di dalam masing-masing umatnya.

TRISNO: Betul. Itu terpulang kembali kepada bagaimana para agamawan kemudian mengembangkan paham-paham pandangan keagamaan yang inklusif, dialogis dan mau terbuka kepada yang lain. Sikap-sikap ini merupakan tuntutan jaman sekarang. Arus deras pluralisme itu tidak bisa dihindarkan lagi oleh agama mana pun juga.

ULIL: Menurut Anda apakah usaha-usaha itu sudah dilakukan baik dari kalangan Kristen sendiri, terutama PGI sebagai organ resminya gereja-gereja Kristen?

TRISNO: Menurut saya sudah. Saya kira pertentangan di kalangan Kristen itu sudah sampai pada tahap yang kadang-kadang merisaukan juga. Tapi memang mungkin karena Kristen yang jumlahnya sedikit sehingga tidak melebar keluar. Tetapi pertentangan di dalam itu sangat keras.

ULIL: Tapi semua agama saya kira mengalami hal yang sama.

TRISNO: Dan ini adalah sebuah upaya yang harus dilakukan terus menerus mendidik kembali umat mengenai pandangan keagamaan yang benar. Misalnya saya mengambil contoh berdirinya Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta yang di jalan Proklamasi. Itu merupakan suatu usaha dari kelompok mainstream, gereja-gereja mainstream, untuk mempertahankan pandangan yang lebih terbuka tadi. Terbuka baik kepada kajian-kajian kritis ilmu pengetahuan maupun terhadap agama-agama lain, membuka dialog, dan sebagainya. Dan STT Jakarta di kalangan gereja-gereja, para churches itu dituduh sudah terlalu liberal. Itu contoh bagaimana pergulatan di dalam kekristenan itu sangat beragam.

ULIL: Jadi pesan yang ingin Anda sampaikan adalah marilah semua agamawan dari berbagai agama berusaha bersama-sama bergandeng tangan untuk mengatasi masalah fundamentalisme ini. Tidak semua fundamentalisme itu mengandung hal yang negatif, tetapi ada beberapa di dalamnya yang negatif yang harus diakui dan itu harus diatasi bersama-sama oleh kaum agamawan. Jadi marilah kaum agamawan, Barsatulah menghadapi ini. []

24/03/2002 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (0)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq