Gawat Bila Negara Mewajibkan Pelajaran Agama - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
15/06/2003

Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno: Gawat Bila Negara Mewajibkan Pelajaran Agama

Oleh Redaksi

Relasi antarumat beragama sekali lagi mengalami ujian yang lumayan memakan energi. Polarisasi antarumat beragama dalam merespons pasal-pasal krusial RUU Sisdiknas seharusnya segera diakhiri setelah mekanisme demokrasi telah menentukan kata putusnya, yakni sejak DPR pada 11/06/2003 resmi mengesahkan RUU itu. Selayaknya masing-masing pihak berbesar hati, sekaligus membuang jauh-jauh perasaan menang-kalah.

Berikut petikan wawancara Burhanuddin dengan Franz Magnis-Suseno, Guru Besar Filsafat Sosial Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (STF) dan Trisno Sutanto, aktivis Masyarakat Dialog antar Agama (MADIA) pada 12/06/2003:

BURHANUDDIN: Romo, bagaimana perasaan Anda setelah RUU Sisdiknas yang kontroversial itu disahkan?

FRANZ MAGNIS (FM): Perasaan saya mendua. Di satu pihak, saya menyesalkan pengesahan itu, karena RUU dengan materi yang amat kontroversial dan fundamental diputuskan dengan cara seperti itu, tanpa cukup waktu mengadakan sosialisasi. Di lain pihak, UU itu sudah disahkan dan kita harus hidup dengan UU Sisdiknas itu. Nasib UU itu sangat tergantung dari cara pelaksanaannya. Apakah UU itu punya efek positif atau malah menimbulkan kekhawatiran pihak-pihak yang selama ini menentangnya.

BURHANUDDIN: Apakah Anda meragukan efektivitas UU Sisdiknas itu?

FM: Menurut saya, dalam sistem demokrasi, keputusan-keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak tidak wajar diputuskan dengan cara (memenangkan) aspirasi mayoritas saja. Meskipun keputusan kemarin sudah disepakati banyak pihak, tapi dalam kenyataannya UU itu diputuskan secara sepihak dan terburu-buru. Dalam demokrasi, isu krusial seperti ini mestinya perlu didiskursuskan dulu sampai tercapai kesepakatan. Kalau ternyata tidak terjadi kesepakatan, barangkali lebih baik ditunda dahulu.

BURHANUDDIN: Di mana letak kesan buru-buru pengesahan UU ini. Bukankah sudah tiga kali terjadi penundaan?

TRISNO SUTANTO (TS): Waktu kami dari International Conference on Religion and Peace (ICRP), Masyarakat Dialog Antariman (MADIA) dan lain-lain menghadap Komisi Enam DPR untuk menyampaikan keprihatinan kami, pihak DPR menjawab hal yang sama. Menurut mereka, rencana RUU itu sudah dari dua tahun yang lalu, mengapa baru sekarang diributkan? Jika demikian, ada komunikasi politik yang macet, sehingga masyarakat tidak tahu dari awal. Itu persoalan pertama.

Yang kedua, kesan terburu-buru itu makin menguat ketika kekuatan-kekuatan politik mengerahkan massa besar-besaran. Artinya, UU disahkan lebih sebagai respons atas tekanan politik massa, bukan sebagai hasil perbincangan yang lebih jernih, rasional dan dingin.

BURHANUDDIN: Dalam demokrasi, ada semacam ambiguitas. Di satu sisi ia menyandarkan pada suara terbanyak untuk mengambil keputusan, tapi di sisi lain perlu mempertimbangkan aspirasi minoritas. Bagaimana jika dikaitkan dengan isu RUU Sisdiknas?

TS: Ada persoalan yang lebih fundamental dan menakutkan dari isu mayoritas-minoritas. Isu mengenai pendidikan ini merupakan isu yang bisa kita share semua orang. Ironisnya, di tengah masyarakat kontroversi RUU Sisdiksnas diterjemahkan sebagai isu kontestasi agama, sehingga sulit dicari titik temu. Ada pengalihan isu, bahkan distorsi dari percakapan yang terjadi di ruang demokrasi, dengan percakapan di ruang masyarakat.

BURHANUDDIN: Mengapa hanya pasal agama dalam RUU Sisdiknas yang terangkat ke permukaan? Bukankah banyak isu-isu pendidikan lainnya yang lebih urgens untuk dibahas?

FM: Itu sangat saya sayangkan. Soal pelajaran agama menyerap seluruh perhatian kita dalam diskusi mengenai UU ini. Andaikata pasal agama itu tidak ada, UU itu juga memiliki kelemahan yang sangat mendasar, yaitu tidak menanggapi masalah pendidikan di sekolah yang sudah gagal. Kita sudah ketinggalan dari negara-negara tetangga kita, tidak hanya dengan Vietnam dan Cina, tapi juga Malaysia, Philipina dan lain-lain.

Persoalan ini tidak terangkat karena energi kita habis membicarakan pelajaran agama yang diatur dalam UU itu. Memang isu itu mengandung masalah yang krusial dan peka. Ironisnya, kita tidak punya cukup waktu untuk melihat kenyataan bahwa sebenarnya tak perlu ada pertentangan yang bersifat mutlak. Ambisi kedua belah pihak adalah ingin seratus persen menang. Dengan demikian, masalah pendidikan dan pencerdasan anak bangsa justru diketepikan.

BURHANUDDIN: Kontroversi RUU ini semula rasional, tapi lantas berpaling menjadi isu kontestasi agama. Menurut Anda, apakah hal itu terjadi secara by design atau by accident?

FM: Kontroversi seputar “pasal agama” itu tidak bisa dihindari jika melihat butir-butir RUU (pasal 3, 4 dan 13 ayat 1A, Red). Kedua belah pihak kurang bersedia untuk saling mendengarkan aspirasi lainnya. Saya kira, dalam negara yang notabene bukan negara agama, negara mewajibkan pelajaran agama itu jelas gawat. Sebab, negara tidak berhak mewajibkan sesuatu dalam bidang agama. Negara hanya memfasilitasi, mendukung, menjamin hak, dan menciptakan suasana dan struktur yang memungkinkan berkembangnya kehidupan beragama secara sehat. Sekarang pelajaran agama diwajibkan. Bagaimana kalau ada orang yang tidak ingin anaknya mendapat pelajaran agama? Itu satu hal.

Tapi mereka yang menentang RUU Sisdiknas secara mati-matian juga tidak pernah menanggapi keprihatinan banyak pihak yang mendukung RUU Sisdiknas. Ada banyak kasus di mana sekolah-sekolah Katolik dan Kristen, murid-murid beragama lain justru mengikuti pelajaran agama Katolik dan Kristen. Saya bisa mengerti keberatan dari pihak Islam itu. Mengapa kalangan Kristen dan Katolik tidak menanggapi?

BURHANUDDIN: Artinya posisi yang diambil kedua belah pihak seperti harga mati?

FM: Ya, kedua belah pihak mengambil posisi yang mutlak-mutlakan. Sikap ini salah sama sekali. Adalah jelas, kalau kita mau komitmen dengan pluralisme, sekolah juga harus mendukung pluralisme. Kalau sekolah terbuka bagi anak dari berbagai agama, hormatilah orientasi religius anak-anak itu. Kalau dikatakan bahwa orang tua mereka menyatakan tidak keberatan, maka harus diperjelas, sebab biasanya itu menjadi syarat agar anak bisa masuk ke sekolah tertentu. Mungkin orang tua murid merasa lebih penting mendapat pendidikan bagus daripada memikirkan masalah pendidikan agama anaknya di sekolah non-muslim. Tapi sekolah harus menanyakan hak anak mendapat pengajaran agama sesuai agamanya.

Tapi, membukakan pintu bagi negara untuk mewajibkan sesuatu dalam agama, akan berbahaya juga karena agak menyentuh kesepakatan dasar negara ini.

BURHANUDDIN: Apa yang masih mengganjal dari pasal 13 ayat 1A. Bukankah banyak pihak menilai pasal tersebut telah mengakomodasi pluralisme?

FM: Yang mengganjal bagi saya adalah satu poin, yaitu pelajaran agama diwajibkan harus diterima. Kalau hanya difasilitasi,  hak atas pelajaran agama sesuai agamanya dan diajarkan oleh guru yang seagama juga dilindungi, saya setuju sepenuhnya. Bagi sekolah-sekolah swasta, anjuran agar agama lain harus dilindungi, saya kira, merupakan hal yang positif. Tapi jika diwajibkan, itu bukan langkah yang bijak.

BURHANUDDIN: Artinya, kalau sifatnya opsional tak jadi soal?

FM: Kalau opsional itu oke-oke saja. Barangkali kalau UU ini dilaksanakan secara subtil, bisa saja ada hikmahnya. Saya tidak tahu mengapa sekolah-sekolah Katolik dan Kristen tidak bisa punya guru agama Islam yang mengajar di sana. Bagi saya, asal saja guru agama Islam dipilih oleh sekolah, orangnya terbuka, toleran dan tidak punya semangat membenci agama-agama lain, itu bisa sangat positif bagi kami. Yang dikhawatirkan justru guru agama yang ditetapkan dari luar, lantas kami mendapat orang yang di hati kecilnya membenci agama tertentu, maka ini akan membuat susah.

BURHANUDDIN: Bagaimana tindak lanjut dari lembaga-lembaga pendidikan Kristen?

TS: Saya sepakat dengan Romo, bahwa prinsip otonomi dan otoritas tetap harus dijunjung tinggi dalam pelaksanaan UU Sisdiknas. Kalau Wapres Hamzah Haz menawarkan 70.000 guru agama akan disediakan pemerintah itu boleh-boleh saja. Tapi yang menyeleksi guru agama yang cocok, kata putusnya tetap ada di tangan sekolah yang bersangkutan. Ini sesuai dengan otoritas yang dimiliki sekolah, bukan pemerintah yang langsung menaruh begitu saja. Otoritas tersebut tetap berlaku karena sekolah memiliki prinsip otonomi yang tak boleh disentuh pemerintah, apalagi bagi sekolah-sekolah swasta.

BURHANUDDIN: Kini RUU sudah disahkan. Jika kita sepakat dengan mekanisme demokrasi, bagaimana sikap pihak yang menentang RUU dalam menyikapi masalah ini?

TS: Saya tidak berani mewakili mereka, karena masing-masing punya cara pandang. Paling tidak, dalam organisasi di mana saya aktif (MADIA), ada beberapa segi yang kami garisbawahi. Pertama, kita harap semua pihak cooling down dulu, sehingga suasana ini membuka ruang dialog yang lebih intensif untuk menjembatani saling kecurigaan tadi. Peristiwa ini tentu menimbulkan gejolak di masyarakat. Tapi yang penting, bagaimana kita sebisa mungkin meredam gejolak yang ada dengan membuka dialog yang lebih terbuka.

Kedua, setelah UU Sisdiknas disahkan, maka pihak-pihak yang concern terhadap kehidupan keagamaan, harus berpikir tentang cetak biru pelajaran agama dalam sistem yang sesuai dengan kultur yang kita perlukan. Selama ini pelajaran agama diterapkan dengan kultur menghafal sehingga terkesan verbalistik. Bisa dibayangkan, bila pelajaran agama ditambah, maka bertambah pula hal-hal yang harus dihafal oleh anak-anak. Jadi kita harus menemukan model-model pengajaran agama yang lebih terbuka, lebih pluralis dan lebih menghargai pihak-pihak lain

BURHANUDDIN: Terlepas dari itu, agaknya spirit etatisme makin merasuki kelompok Islam saat ini. Mereka percaya negara mampu mampu menyelesaikan setiap detil permasalahan mereka.  Bagaimana tanggapan Anda bila dikaitkan dengan wacana civil society yang tidak menghendaki negara terlalu campur tangan?

FM: Saya kira, harapan yang berlebihan pada negara menunjukkan kekurangpercayaan pada diri sendiri. Memang kita semua membutuhkan negara. Negara perlu untuk melindungi dan memfasilitasi kehidupan rakyat. Tetapi, ada yang berpikir bahwa negara memiliki logika sendiri yang lebih sulit dicapai dalam diskursus civil society.

BURHANUDDIN: Mas Trisno, saat terjadi polemik, elit agama malah terlibat, bahkan menjadi pemain dalam kontroversi RUU. Mengapa mereka bukan mendinginkan suasana saja?

TS: Kalau tafsir pribadi saya, kontroversi ini tidak bisa dilepaskan dari kepentingan menjelang pemilu 2004. RUU ini semacam jualan awal mencari isu-isu yang laku di masyarakat serta jargon-jargon yang digunakan dalam mengembangkan fanatisme massa. Elit-elit politik maupun agama, baik yang pro maupun kontra, terlibat dalam permainan politik menjelang pemilu.

Lebih daripada itu, saya banyak bekerja untuk dialog antar agama. Yang mengkhawatirkan adalah kenyataan bahwa kontroversi ini terbukti memunculkan perasaan saling curiga yang sangat kental pada tiap-tiap kelompok.

Di lingkungan Islam misalnya, jargon yang dihembuskan adalah UU Sisdiknas adalah cara untuk membendung kemurtadan. Di lingkungan Kristen ada juga SMS yang menyatakan, “kalau RUU Sisdiknas disahkan, sekolah-sekolah Kristen wajib mendirikan mushalla”. Hal ini sudah di luar konteks pembicaraan. Nah, pertanyaan yang paling mendasar adalah: apa yang sebetulnya sedang dipertaruhkan dalam UU itu setelah disahkan? []

15/06/2003 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (4)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Pertama-tama, saya ingin menunjukkan bagaimana sejatinya faham sekuler itu. Sekuler berarti menempatkan agama sebagai urusan pribadi manusia dengan Tuhan, yang tidah usah diintervensi pihak manapun (negara, ulama, dsb).

Dengan prinsip semacam ini, kami kaum sekuler menjunjung tinggi kebebasan. Setiap manusia berhak menjalani kehidupannya sendiri berdasar keyakinan masing-masing. Yang mau hidup fanatik seperti orang Taliban silakan saja. Sebaliknya, hak manusia yang ingin hidup secara liberal juga tidak boleh dilarang, itu hak asasi. Yang membatasi hak-hak tersebut adalah hak orang lain: setiap manusia tidak boleh merugikan atau memaksa manusia lain.

Di Indonesia yang sangat plural ini, kami yakin prinsip kebebasanlah yang harus diberlakukan, agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Karena itulah, kami keberatan dengan UU Sisdiknas. Klausul bahwa “pelajaran agama merupakan hak” tentu saja kami setujui. Tapi tentu harus dijamin bahwa “hak” tersebut tidak akan diselewengkan menjadi “kewajiban”. Pelajaran agama seharusnya menjadi pelajaran pilihan. Yang menentukan adalah si anak didik sendiri, atau orang tuanya.

Jadi sangat salah jika partai politik memaksa anak didik menerima pelajaran agama. (Sebagian warga negara beragama Islam yang memasukkan anaknya ke sekolah Katolik memang sengaja menghindar dari pelajaran agama yang mengajarkan bahwa sesama manusia yang beragama lain adalah kafir.) Tidak heran jika muncul kecurigaan bahwa partai-partai tersebut memperalat pendidikan nasional untuk mengindoktrinasi generasi baru yang kelak menerima Piagam Jakarta atau--siapa tahu--negara Islam.

Kepada pengakses situs ini yang berprinsip Islam fundamentalis, kami menghargai eksistensi Anda. Tapi eksistensi kami juga harus Anda hargai.

Salam
-----

Posted by Radix Wahyo Praptowo  on  06/25  at  10:07 AM

Aduh...Mas! Anda kok kejem banget. Kan Islam ngga’ ngajari untuk bicara kaya’ gitu ‘kan:). Ya....la mbok kalo ngga’ setuju ya....udah memang setiap orang berhak untuk memahami agama sesuai keyakinannya dan untuk memahami agama kan ngga’ perlu harus sama....iya ngga’.

Malah aku pikir kalo orang menilai suatu pemahaman seseorang dalam beragama dengan emosional, aku jadi mau tanya sebenarnya paham agama ngga’ orang yang mengumpat pendapat orang lain.

Redaksi:

Terima kasih atas dukungannya. Kita memang perlu lebih dewasa dalam menanggapi perbedaan pemikiran. Kami siap terbuka dan menghargai, bahkan kepada pihak-pihak yang mengecam kami secara tidak fair.

Posted by ahmad aji  on  06/23  at  07:06 AM

Redaksi:

Kiriman dari Doges ini hanya berisi artikel Haedan Nasher tentang tema yang sama. Haedan adalah pengurus PP Muhammdiyah yang tinggal di Yogyakarta. Sebagai perbandingan, tak ada salahnya, kiriman Doges ini kami muat. Selamat membaca.

Minggu, 25 Mei 2003 Menolak Pendidikan Agama (1) Oleh : Haedar Nashir

Apa salah jika pendidikan agama diajarkan oleh guru seagama? Jangan-jangan dikategorikan subversif. Kenapa ada golongan agama malah tak setuju model pendidikan agama seperti itu masuk ke dalam undang-undang? Orang berpikir kok makin sulit ditebak. Kelewat rumit dan sarat muatan kepentingan yang misterius!

Sungguh. Akal sehat sulit memahami dalih penolakan pasal 13 RUU Sisdiknas sebagaimana kini jadi perdebatan publik. Apalagi sampai harus meraba motif yang terselubung. Bagi orang awam, panorama penolakan itu malah terasa paradoks, bertentangan secara nalar waras. Pendidikan agama oleh guru seagama kok ditolak, apa harus oleh yang berbeda agama? Jika kaum agama begitu rupa menolak, jangan salahkan kaum sekular dan kelompok antiagama menolak lebih keras lagi.

Dunia kok makin ruwet. Tak lagi bersahaja. Kaum agamawan dan umat beragama dari agama apapun sesungguhnya perlu malu diri. Organisasi keagamaan kok seperti berebut hegemoni agama. Masuknya pendidikan agama dalam undang-undang terlalu ditarik ke sana ke mari. Padahal ketika kehidupan di negeri ini dan dunia pada umumnya makin dicengkeram demoralisasi dan penihilan nilai-nilai, sebenarnya agama dan umat beragama tengah dinantikan peran kerisalahannya. Bukankah di situ pentingnya pendidikan agama?

Alasan penolakan pun bertebaran ke mana-mana. Dengan nada provokasi lagi. Ada yang berpandangan, secara substansi pasal 13 yang memuat klausul pendidikan agama diajarkan oleh guru seagama itu sungguh bagus dan dapat disetujui. Tapi tempatnya tidak di undang-undang. Lho, jika tidak di undang-undang lantas mau ditaruh di mana? Jika di pasar swalayan siapa yang bertanggung jawab? Jika di keluarga nanti ditolak lagi dengan alasan masuk wilayah yang salah. Bukankah sudah sepatutnya keluarga bertanggung jawab terhadap pendidikan agama tanpa harus diperintah undang-undang? Serba salah jadinya. Lagian kalau sesuatu yang baik dari isi, kan menjadi baik pula diperkuat konstitusi, kenapa mesti ekstrem?

Alasan lain muncul. Negara tidak boleh campur tangan terhadap urusan agama dan umat beragama. Persis seperti praktik di negara-negara Barat sekular, yang menganut paham agama (gereja) terpisah dari negara. Ya, mereka yang berpaham sekular seperti itu tentu perlu dihormati. Tapi masalahnya banyak kelompok agama lain justru memandang agama tak dapat dipisahkan dari negara dan wilayah kehidupan lainnya, kendati format dan derajat keterkaitan satu sama lain dapat bervariasi. Maka kelompok yang menolak paham sekular dan mendukung pendidikan agama dalam Undang-Undang Negara juga harus diterima aspirasinya. Apalagi jika aspirasi itu merupakan arus besar di negeri ini.

Lagi pula, soal pemisahan agama dan negara bagi mereka yang menganut paham demikian haruslah konsisten. Mereka harus menjauh dari keterlibatan apapun yang dilakukan negara dan para pejabat negara terhadap hal-hal yang berkaitan dengan urusan umat beragama yang bersangkutan. Termasuk dalam soal hari raya dan upacara-upacara keagamaan, yang sering kali melibatkan tokoh dan intansi negara. Mereka juga harus emoh pada perjuangan politik untuk kepentingan agama dan umat beragama yang bersangkutan. Mereka tidak perlu menghalangi dan harus merelakan jika terdapat kelompok agama lain yang berpaham sebaliknya untuk masuk ke urusan-urusan kenegaraan.  Kelompok paham pemisahan agama dari negara semestinya juga bersandar secara objektif pada tatanan kenegaraan Indonesia. Bukan pada pengalaman negara-negara dan agama-agama di Barat. Pancasila yang memiliki sila pertama tentang Ketuhanan yang Mahaesa semestinya dijadikan patokan dalam memposisikan diri dalam negara RI. Sila kesatu itu jelas membawa muatan substantif dan imperatif adanya keterkaitan dan tanggung jawab negara terhadap keberagamaan rakyat Indonesia. Bukankah itu bangunan dasar kita berbangsa dan bernegara?

Ada pula pendapat gawat. Masuknya pasal 13 dalam RUU Sisdiknas menunjukkan state-violence, kekerasan negara terhadap warga negara khususnya umat beragama. Alasan seperti itu, menurut ustaz Hussein Umar dari DDII terlalu berlebihan dan dicari-cari. Bagaimana suatu undang-undang yang memberi ruang pada kebaikan yaitu pendidikan agama sampai dikatakan sebagai kekerasan negara? Wong kekerasan negara yang konkret saja masih mudah didaftar, kenapa mesti mencari-cari sesuatu yang tak bertautan? Nanti jika negara menyumbang dana untuk umat beragama bisa dikatakan money politics atau penghinaan. Itu malah tambah berabe. Kenapa mesti berpikir serba negatif gaya kaum strukturalis naif?

Masih ada penolakan lain. Pasal 13 RUU Sisdiknas konon akan menghilangkan kekhasan sekolah-sekolah agama. Kekhususan apa yang hilang? Banyak cara membangun identitas diri yang khas. Apa sekolah itu sama persis dengan lembaga kaderisasi? Alasan ini pun terlalu dicari-cari. Kecuali jika yang dimaksudkan kekhususan itu ialah praktik memprogram siswa didik untuk pindah agama secara sistematik melalui sekolah-sekolah agama yang bersangkutan. Sungguh sulit menebak argumen yang kokoh dari penolakan pasal 13 itu, selain menduga-duga ada sesuatu yang terselubung.

Masih ada dalih penolakan yang terkesan kurang bertanggung jawab. Katanya, tak ada pengaruhnya agama itu diajarkan atau tidak diajarkan di lembaga pendidikan. Toh dunia tetap tidak karu-karuan seperti sekarang ini. Mazhab substansialis dan liberal pun ada di setiap formalisasi agama semacam itu. Jika logika negatif terus dipergunakan, maka semuanya akan berujung ke nihilisasi dan nihilisme nilai. Kalau begitu negasikan saja semua hal. Tak perlu ada pendidikan. Tak perlu bikin universitas dan sekolah. Tak perlu membuat lembaga. Tak perlu ada konstitusi dan aturan main. Tak perlu ada negara. Tak perlu ada rakyat. Malah tak perlu agama dan Tuhan sekalian. Jangan tanggung-tanggung jadi Nihilis.

Hak asasi dan pluralisme pun dibawa-bawa. Mengajar sesuatu yang baik dan menjadi saham bagi kemuliaan manusia kok dikatakan melawan HAM. Mengajar agama oleh guru seagama kok bertentangan dengan HAM. HAM bawaan dari mana? Umat beragama kok menempatkan HAM di atas agama itu sendiri. Lagi pula tak ada satu pasal pun dari The Human Right produk PBB yang dilanggar dari pasal 13 itu. Apalagi kini PBB nyaris tak berdaya apapun terhadap pelanggaran HAM yang kelas kakap seperti agresi AS ke Irak. Adakah dia masih perlu jadi rujukan otoritas? Apalagi untuk sesuatu yang sama sekali tak bertentangan dengan HAM ala PBB yang loyo itu.

Soal melawan pluralisme? Pasal 13 tak bicara satu agama tertentu, sehingga tidak merugikan siapa pun. Tak menggusur kemajemukan, malah mendukung dan menjadi instrumen bagi mekarnya pluralitas. Coba betapa indahnya jika setiap lembaga pendidikan yang memiliki siswa atau mahasiswa berbeda agama justru diberi ruang bebas untuk dididik oleh guru seagama. Maka yang terjadi adalah tumbuhnya seribu kembang di taman. Subjek didik dan guru atau dosen juga akan terlatih dengan perbedaan agama serta komunitas keagamaan. Bukankah fenomena seperti itu justru menawarkan harmoni dan kemajemukan baru?

Justru dengan pasal 13 itu akan ada kontrol kemungkinan terjadinya pindah agama karena praktik pendidikan yang terlampau lepas-bebas dan eksklusif. Jika kecenderungan seperti itu dibiarkan maka bukan sekadar mematikan plurlitas, bahkan dapat menjadi benih disintegrasi sosial dan nasional. Lembaga pendidikan tidak lagi menjadi wahana untuk memantapkan keberagamaan dan akal-budi anak-anak Indonesia. Tetapi malah jadi ajang rebutan konversi dan ekspansi agama-agama. Fenomena seperti itu malah menjadi bom waktu bagi masa depan bangsa, sekaligus sebagai ancaman bagi peradaban kemanusiaan. Kenapa umat para elite beragama menjadi terbelenggu oleh bonsai pemikiran yang kerdil? (bersambung)

Sampaikan kepada rekan Cetak berita ini Minggu, 08 Juni 2003 Menolak Pendidikan Agama (2) Oleh : Haedar Nashir

Apa para tokoh dan kekuatan agama tak malu hati? Bahwa penolakan pasal 13 RUU Sisdiknas secara provokatif itu ibarat sedang menepuk air di dulang. Cobalah bayangkan dan asumsikan. Karena berkebaratan anak didik diajar oleh guru seagama, maka orang akan berasumsi bahwa ada kepentingan yang sedang dilindungi. Yaitu hasrat dan praktik mengajarkan pendidikan agama kepada subjek didik beda agama untuk menambah jumlah umat seagama.

Sebutlah sebagai fenomena pemurtadan atau konversi agama. Jika itu terjadi, sungguh sangat ironis. Institusi pendidikan menjadi ajang ekspansi agama. Kalaulah itu yang berlangsung selama ini, maka betapa kekuatan agama masih menyimpan warisan masa lampau. Bahwa hasrat menambah jumlah pengikut menjadi kelewat besar ketimbang membina umat sendiri untuk menjadi orang-orang salih dan menjadikan agama sebagai kekuatan rahmat bagi semesta alam. Padahal sikap esklusif dan ekspansi seperti itu jelas berat pertanggungjawabannya. Itu bukan sesuatu yang menyenangkan. Bahkan dapat menjadi titik rawan secara moral, sosial, politis, dan teologis.

Mengurus satu umat saja berat amanatnya. Bagaimana dengan berjuta umat? Apalah untungnya berpikir tentang jumlah pengikut manakala kualitas keagamaan umat tak berbuah kesalihan. Hasrat menambah pengikut juga hanya jadi beban manakala tak menghasilkan serba kebajikan. Malah ruang konflik bisa terbuka di depan mata ketika ikhtiar menambah pemeluk itu ditempuh dengan masuk ke ladang umat lain dan menabrak batas-batas. Jika itu terjadi maka agama malah bisa jadi benih konflik, permusuhan, dan fitnah. Lalu orang menjadi alergi terhadap agama dan kekuatan agama karena hasrat ekspansinya yang menyala-nyala. Antarumat beragama bahkan akan terlibat perseteruan dan permusuhan yang sarat pertaruhan.

Bukalah jendela di sekitar. Kini bukan zamannya lagi untuk saling berebut umat beragama. Betapa berat rimba kehidupan yang harus dirambah agama-agama saat ini. Nyaris tak ada waktu untuk bersiasat untuk menambah jumlah. Pemeluk yang ada pun boleh jadi tak terawat, malah satu persatu menyebrang ke dunia lain. Dunia tanpa nilai. Dunia bebas untuk berbuat apa saja. Dunia amoral dan memuja kerakusan. Dunia penuh kesesatan. Pendek kata dunia zaman edan!

Kini kita hidup sudah memasuki zaman edan. Kenapa kaum agamawan masih berkutat umat di pelataran sendiri? Berbanyak-banyak umat malah bisa jadi beban, termasuk beban untuk mempertanggungjawabkannya di hadapan Tuhan. Bacalah sejarah hari ini tentang hidup manusia yang anarkis, liar seperti hewan bahkan lebih liar lagi. Bacalah fenomena kaum ateis, manusia yang pelan tapi pasti menjauh dari Tuhan.

Fenomena agnotis, serba menegasikan dan antiagama. Fenomena sekular, hidup serba memarjinalkan dan menjauh dari nilai-nilai agama. Fenomena materialisme, yakni paham dan praktik kehidupan yang serba mendewakan kebendaan. Fenomena hedonisme, cara hidup memuja kesenangan duniawi. Fenomena pragmatisme yang memihak nilai kegunaan dan suka menghalkan segala cara.

Penolakan pasal 13 juga batu ujian bagi toleransi. Gelora toleransi sedang diuji di lapangan. Apa toleransi tulus hati atau toleransi berkepentingan. Kelompok-kelompok lintas agama pun ikut diuji. Jika wadah seperti itu dijadikan alat untuk menolak RUU Sisdiknas maka berarti memihak kepentingan satu pihak. Itu artinya toleransi dan isu lintas agama tak mampu menembus batas kepentingan kelompok tertentu. Tak lagi melintasi tapi tersekat oleh egoisme. Berlintas-lintas manakala menyenangkan, tetapi berubah jadi ekslusif karena kepentingan sendiri tak terakomodasi. Tak ada sikap berkorban untuk orang lain, kecuali menuntut pihak lain berkorban. Sangat sensitif terhadap dominasi mayoritas, namun tak waspada dengan tirani minoritas.

Kini sebaiknya kekuatan-kekuatan agama lebih menundukkan hati. Bagaimana agama kita jadikan kekuatan profetik atau risalah untuk menjadikan umat manusia di muka bumi ini makin salih. Makin beriman. Makin bertakwa. Makin bermoral. Makin beradab. Makin kasih atas sesama dan menjadi rahmat bagi kehidupan. Tak ada manfaat berebut tulang kering. Singkirkan kepentingan-kepentingan egoisme kelompok dan nafsu ekspansi yang kerdil. Jadikan agama sebagai kekuatan kanopi suci untuk melawan segala bentuk fasad di muka bumi ini. Lawan zaman edan dengan risalah Langit yang teduh. Bukan malah menanam benih persaingan, perebutan, permusuhan, konflik, dan adu jotos.

Kini kekuatan pelangi sedang bermain melakukan penolakan RUU Sisdiknas. Kaum sekular akan masuk untuk memarjinalkan dan menihilkan pengaruh agama dari kehidupan. Kaum antiagama tentu benar-benar menolak pendidikan agama karena agama dianggap ancaman bagi hegemoni ideologinya. Praktisi pendidikan yang selama ini memiliki ikon budi pekerti mungkin ikut menolak karena dilanda rasa cemburu bahwa kehadiran situs pendidikan agama akan menggeser label pendidikannya. Kaum liberalis naif menolak kehadiran pendidikan agama dalam konstitusi negara karena cemas atas bangkitnya kaum formalis agama sekalig us ancaman bagi kehadiran mazhabnya.

Kaum hedonis dan pragmatis pun akan ikut nimbrung menolak RUU Sisdiknas karena dapat menjadi batu sandungan bagi gerak ekspansinya dalam menyebarkan virus pestapora indrawinya ke jagat publik. Pemuja mazhab materialisme tentu harus menolak pendidikan agama karena ancaman bagi dunia kebendaan yang mereka agung-agungkan.

Kaum oposisi akan menjadikan RUU Sisdiknas sekadar titik masuk untuk meruntuhkan rezim yang tak mereka sukai. Sedangkan kelompok-kelompok yang cemas atas RUU tersebut oleh satu atau sekian kepentingan yang tersembunyi yang selama ini menguntungkan mereka, tentu akan melakukan penolakan melalui beribu-ribu pintu logika penegasian.

Bagaimana dengan para politisi? Mereka akan mepermainkan RUU Sisdiknas untuk kepentingan politiknya yang naif. Apalagi bagi partai politik yang tabiat dasarnya memang tak akrab dengan agama bahkan jauh dari agama. Juga bagi partai politik yang sedang dilanda keruntuhan moral karena skandal dan beban sejarah hitam masa silam.

Para politisi dan kekuatan politik jenis ini akan serba gamang dan bahkan mempermainkan RUU Sisdiknas dalam takaran-takaran kepentingan politik mereka. Mereka sesungguhnya tak begitu peduli dengan aspirasi baik yang mendukung atau menolak jika tak ada labanya bagi kepentingan politiknya yang kerdil. Sedangkan umat beragama sekadar dijadikan komoditi politik semata, lebih-lebih menjelang Pemilu 2004.

Siasat media pun tak kalah gencar. Polling penolakan dipublikasikan. Demo terus bergiliran. Isu-isu umum ditarik untuk menolak kehadiran RUU Sisdiknas. Targetnya ialah pembentukan opini publik. Bahwa yang menolak lebih besar dan inklusif. Sedangkan yang mendukung sedikit dan hanya mewakili kaum ekslusif. Maka lengkaplah siasat media bersandingan dengan siasat politik yang mewakili kekuatan-kekuatan pelangi untuk menolak pendidikan agama oleh guru seagama. Sampai di sini media pun ada yang berkepentingan.

Jika kepentingan-kepentingan pelangi itu bersatu mengusung penolakan RUU Sisdiknas, maka yang rugi adalah bangsa dan kekuatan agama. Bangsa akan dirugikan manakala hiruk-pikuk pro dan kontra RUU Sisdiknas bermuara pada konflik yang meluas. Masa depan bangsa pun akan terganggu karena rancang bangun peradaban bangsa yang hendak diletakkan landasan konstitusionalnya jatuh di tengah jalan. Para penumpang gelap politik dan preman bangsa pun akan berpestapora di atas suasana saling tabrak di sekitar RUU Sisdiknas itu.

Sedangkan antar kekuatan dan umat beragama akan tumbuh suasana saling prasangka, permusuhan, dan konflik yang siapapun tidak ada yang teruntungkan.

Di sinilah DPR dan pemerintah pun patut mawas diri. Menunda-nunda pengesahan RUU Sisdiknas hanyak akan menambah suasana makin panas dan rawan segala kemungkinan buruk bagi kehidupan bangsa ini. Jangan menambah krisis dengan kegamangan dan ketidakmampuan menuntaskan masalah. Ambil keputusan dan jangan dilanda keraguan yang berkepanjangan. Keputusan politik pada akhirnya akan menghentikan pro dan kontra.

Kini semua berpulang pada kejernihan nurani dan moral para agamawan, kelompok agama, umat beragama, mendiknas, praktisi pendidikan, pemimpin nasional, dan segenap eksponen bangsa di negeri ini. Apakah masih mau bermain-main kepentingan dalam pengesahan RUU Sisdiknas itu atau menempatkan masa depan bangsa di atas segala-galanya? Kalau dilihat kurangnya, tentu setiap rancangan Undang-Undang selalu ada bolongnya.

Tapi tidak untuk dimuslihati dan dicari ruang kompromi yang salah kaprah. Agama dan pendidikan agama pun terlalu mulia untuk dipertukarkan dengan kepentingan-kepentingan kerdil dan logika-logika yang sesat pikir. Jika masih mau berpikir negatif dan kerdil, kata budayawan Emha Ainun Nadjib, jangan tanggung-tanggung. Daripada munafik terus, lebih baik kafir sekalian. Naudzu billahi min dzalik!

Posted by doges  on  06/21  at  11:06 AM

Terima kasih kepada Islam liberal yang telah dengan susah payah membuat pendangkalan-pendangkalan terhadap umat. Itu yang kita cari! Biar saja Alquran toh suatu saat tidak diperlukan. Salat digunakan saja secara sembarangan, bila perlu buat pemikiran yang menentang fikih tentang salat. Soal toleransi, toleransi saja ke nonmuslim, dan anggap semua umat Islam itu bodoh, dan terus dibodoh-bodohi.

Berbaik hati ke orang Kristen dan ambil saja pemikiran Romo-romo, pendeta-pendeta dsbnya itu dengan sekali comot tanpa kritisi. Nah kalau ulama, cendekiawan muslim yang ngomong meskipun barangkali mereka benar nggak usah ditanggapi saja. Toh kita tidak perlu mereka. Soal jilbab kan soal budaya? Kagak tahu dah guwe. Tapi yang jelas biar saja orang Islam pakai bikini atau bila perlu bugil sekalian toh gak ada dalil yang menyebut bikini itu dilarang ya toh. Kalo istri Mas Ulil, anak Cak Nur semua pakai bikini kan bisa dapat uang tambahan. Sekalian aja kirim ke Penthouse atau Playboy. Pemikiran kolot harus dibasmi. Biar semua orang Islam pindah agama juga.

Tapi ngomong-ngomong kawan-kawan yang di Islamlib kok masih salat ya, terus masih berKTP Islam? Salat, puasa, haji, tradisi juga bukan? Tradisi Arab ya? Sebenarnya kalo pengen tahu masalah Islam yang benar tanya romo-romo misionaris itu, mereka tahu persis jawabannya. Islam itu kan kacangan, kampungan.

OK, deh selamat berjuang. Saya harap minggu depan Anda sudah tidak perlu mengaku Islam lagi ya:)))

Posted by Palak Bapang Kabah  on  06/19  at  07:06 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq