Generalisasi Berlebihan Berarti Gagap Agama - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
28/07/2003

Pdt. Kuntadi Sumadikarya M. Th: Generalisasi Berlebihan Berarti Gagap Agama

Oleh Redaksi

Agenda agama-agama propagandis-misionaris acapkali ditentukan oleh seberapa besar kesuksesan yang dicatat dalam mengkonversi agama orang lain. Paradigma yang diusung tak pernah beranjak dari konsepsi lama bahwa “Tak ada keselamatan di luar Kristus.” Doktrin kuno yang sudah ditanggalkan oleh banyak kalangan Kristen mainstream ini justru dipakai oleh kaum evangelis Kristen untuk menjustifikasi penyuapan rohani (spiritual bribery).

Agenda agama-agama
propagandis-misionaris acapkali ditentukan oleh seberapa besar kesuksesan yang
dicatat dalam mengkonversi agama orang lain. Paradigma yang diusung tak pernah
beranjak dari konsepsi lama bahwa “Tak ada keselamatan di luar Kristus.”
Doktrin kuno yang sudah ditanggalkan oleh banyak kalangan Kristen mainstream
ini justru dipakai oleh kaum evangelis Kristen untuk menjustifikasi
penyuapan rohani (spiritual bribery). Berikut petikan wawancara Ulil
Abshar-Abdalla dengan Pdt. Kuntadi Sumadikarya M. Th, Ketua Sinode Gereja
Kristen Indonesia (GKI) Jawa Barat, pada 24 Juli 2003:

ULIL ABSHAR-ABDALLA: Pak Kuntadi, Anda
tentu sudah membaca laporan Majalah Time tentang maraknya gerakan evangelisme
Amerika di beberapa negara muslim. Apa komentar Anda tentang laporan tersebut?

PDT. KUNTADI SUMADIKARYA: Gerakan Kristen kanan yang punya
paradigma seperti pada masa abad-abad lampau itu memang ada. Tapi, tidak semua orang
Kristen adalah evangelis dan kanan. Sebab penganut tiap-tiap agama, termasuk
Kristen, sudah terdiferensiasi sedemikian rupa, sehingga tidak bisa lagi
dilihat sebagai entitas tunggal. Dalam Kristen juga banyak golongan atau aliran.
Secara pokok, bisa dikelompokkan dalam tiga kategori: pertama, golongan
konservatif atau fundamentalis; kedua, moderat atau mainstream (golongan
mayoritas); dan ketiga, kelompok liberal yang dalam konteks Kristen
berbau kekiri-kirian. Diferensiasi ini harus dibedakan. Kalau tidak, tindakan satu
kelompok yang tidak disetujui oleh kubu lain, akan berimbas, paling tidak
secara opini, pada kubu lain.

ULIL: Gerakan kaum konservatif ini
tak bisa menggambarkan pandangan semua orang Kristen?

Sama sekali tidak! Gereja-gereja
Kristen yang mainstream, berkumpul di Persatuan Gereja Indonesia (PGI). Tapi
dalam rangka merangkul yang lain, PGI juga melibatkan beberapa gereja non-mainstream.
Tetap saja PGI mewakili pandangan-pandangan moderat.

ULIL: Bisakah Anda
menyebutkan contoh gereja dari ketiga kelompok tadi?

Kelompok liberal mungkin belum
sampai pada bentuk gereja, tapi masih berupa pandangan individu-individu. Kalau
gereja yang konservatif, maaf saya tidak bisa menyebut nama gerejanya langsung,
katakanlah berada dalam denominasi Kristen juga, seperti denominasi Pantekosta
dan Kharismatik. Mereka ini berasal dari Amerika, sebagian dari Korea, dan sudah
beroperasi di Indonesia.

Umumnya mereka bergerak di kota-kota besar. Sebab di
kota-kota kecil, meski sudah ada, tetap tidak terlalu menjadi perhatian.
Mungkin juga karena massa mereka berkumpul di kota besar. Bisa juga karena kota
lebih bebas karena adanya kemajemukan ketimbang di kota kecil.

ULIL: Bisakah Anda sebutkan
ciri-ciri mereka yang paling menonjol?

Yang paling mendasar, mereka
masih menganut pemikiran-pemikiran para orientalis zaman dulu, yang melihat
agama lain sebagai agama yang lebih rendah derajatnya dan kurang berharga.
Pandangan seperti inilah yang dalam sejarah Kristianitas disebut sebagai
gerakan atau pikiran Triumphalistik, selalu merasa lebih dan unggul ketimbang yang
lain.

Nah, pandangan itu tentu akan
sangat mempengaruhi “metodologi” pekabaran Injil mereka. Misalnya, ketika
melakukan pelayanan atau penyiaran, maka paradigma seperti ini akan menimbulkan
anggapan bahwa kebenaran dan keselamatan hanya milik mereka saja (truth
claim
). Sementara itu, di luar mereka dianggap salah dan tidak mengerti
apa-apa.

ULIL: Dalam ulasan Majalah Time,
mereka lebih banyak bergerak pada golongan menengah ke atas. Apakah betul
demikian?

Sebagian, betul. Itu lebih cocok untuk gambaran golongan
Kharismatik. Denominasi yang Kharismatik, memang mempunyai target orang-orang menengah
ke atas. Tapi bukan berarti bahwa segmen masyarakat menengah ke bawah
dilepaskan. Tetap saja ada program dan sasaran ke situ. Ini menunjukkan bahwa
di antara denominasi-denominasi yang satu kubu sekalipun juga terdapat
perbedaan-perbedaan yang signifikan antara satu dengan lainnya.

ULIL: Bagaimana proses
sejarah masuknya gerakan evangelisme di Indonesia?

Kalau kita melakukan kilas balik
sejarah, akan ditemukan bahwa pada abad ke-18 dan ke-19, semangat penyiaran
agama Kristen dari Barat ke Timur sangat tinggi. Pada abad ke-20 memang terjadi
revitalisasi, mungkin sejak sekitar tahun 1960-an atau 1970-an. Yang dulu
bersemangat tapi mengalami luntur, kemudian dibangkitkan lagi dalam semangat
dan kekuatan baru. Intinya, sebetulnya sama dengan apa yang terjadinya pada
abad ke-18 dan ke-19: mereka bersemangat untuk menyiarkan agama Kristen
sebegitu rupa agar orang-orang menjadi tertarik.

Hanya saja, mereka yang hidup
pada abad ke-18 dan ke-19, memang tidak berpikir tentang kemajemukan agama dan
lain-lain, seperti yang kita pikirkan di abad ke-20 dan ke-21. Oleh karena itu,
gereje-gereja mainstream, yang sangat sadar akan perubahan dari abad ke
abad, melakukan adaptasi dan peralihan paradigma atas kenyataan kontekstual itu.
Kita tidak bisa lagi menggunakan pendekatan atau metodologi yang digunakan pada
abad ke-18 dan ke-19.

ULIL: Bagaimana sikap kalangan
Kristen mainstream terhadap gerakan evangelisme?

Hal ini tidak selalu bisa
diungkapkan secara gamblang. Kebanyakan Kristen mainstream tidak setuju
dengan cara-cara, paradigma, dan konsep yang dipakai oleh gerakan-gerakan
pengabaran atau penyiaran Injil ini. Sikap itu tidak berarti bahwa kita
meninggalkan apa yang diembankan dalam agama Kristen sebagai misi penyiaran.
Hanya saja, kita merasa perlu memperbaiki metodologi, paradigma dan pendekatan
kita, sehingga aktivitas ini tidak menjadi sumber konflik baru di abad ke-21
ini. Dengan demikian, menjadi ajang sharing spiritual antarumat
beragama.

ULIL: Apa saran Anda pada
umat beragama lain dalam menyikapi persoalan ini?

Menurut saya, harus ada pembedaan
yang jelas terlebih dulu. Aksi sebuah denominasi, gereja, atau individu yang
mempunyai ciri-ciri demikian, tidak otomatis mewakili seluruh kekristenan. Kesalahpahaman
untuk memukul rata semua orang Kristen ini cukup banyak terjadi. Memang bersifat
timbal balik; orang Kristen juga sering menunggalkan umat Islam.

Generalisasi berlebihan antara satu sama lain ini bisa
kita sebut dengan istilah gagap agama. Kalau ada tindakan ekstrim yang
mengganggu masyarakat, maka teguran-teguran untuk dialog tentu sangat
diperlukan. Dialog menjadi perlu, bukan hanya pada mereka yang menjadi sasaran,
tapi juga bagi mereka yang mau melakukan penyiaran. Mereka perlu menyadari
bahwa dialog-dialog diperlukan untuk melakukan penyiaran agama tanpa menimbulkan
konsekuensi kesalahpahaman dan konflik. Sikap itu tentu saja perlu dilengkapi
dengan paradigma dan konsep yang inklusif ketimbang yang eksklusif.

ULIL: Ada kritikan bagi
kaum moderat Islam agar bersuara lebih lantang sehingga pesan-pesannya lebih terdengar.
Bagaimana dengan lingkungan Kristen sendiri?

Saya sangat setuju. Kalangan
Kristen moderat bukan hanya lebih menyaringkan suara, tapi juga harus lebih
populis, sehingga mudah dimengerti oleh orang banyak. Memang PGI sendiri selama
ini belum pernah mengeluarkan statemen-statemen untuk menanggapi persoalan
seperti ini. Ada beberapa kesulitan yang dialami PGI sendiri, seperti yang juga
saya rasakan. Kita ingin adanya saling pengertian. Tapi masalahnya, apa yang
dipraktekkan kaum Kristen kanan, ternyata tidak terkoordinir. PGI mau berbicara
ke siapa? Terlalu banyak kasus yang melibatkan mereka, dan terlalu banyak pula
pihak yang terlibat, tapi tak ada orang yang bertanggung jawab secara penuh. Mereka
lebih banyak bermain secara parsial.

ULIL: Di luar PGI,
apakah ada yang pernah berinisiatif membuat pernyataan?

Saya kira, pernyataan tidak
begitu mempan. Tapi upaya-upaya untuk memberikan alternatif konseptual dalam bentuk
pemikiran tetap dilakukan, meski tidak dalam bentuk wacana yang tertulis.

ULIL: Lantas apa yang selama ini
dilakukan? Apakah mereka hanya dianggap sebagai gerakan kecil yang tidak cukup
penting saja?

Tidak begitu juga. Yang saya
maksud ialah kebanyakan Kristen mainstream tidak begitu mengikuti
perkembangan dalam kelompoknya sendiri. Akibatnya, mereka turut membenarkan
tindakan itu. Mereka tidak melihat bahwa di lapangan, tindakan kaum evangelis
itu menimbulkan konflik di atas konflik yang belum usai. Gereja-gereja atau
para pemuka di Kristen, tidak henti-hentinya berbicara untuk melakukan
penyadaran akan hal itu. Akan tetapi, greget penyadaran itu tidak begitu
bergema selama ini. Jadi memang perlu ada upaya yang lebih keras lagi. Hanya
saja, saya mau menekankan bahwa membuat statemen saja tidak cukup untuk
menyelesaikan masalah ini.

ULIL: Dalam sejarah, gerakan evangelis
datang dan pergi. Sebagian orang melihat ia digerakkan oleh roh Allah, sehingga
tak mungkin dibendung. Tanggapan Anda?

Memang gerakan seperti ini
seringkali muncul, meski sering juga hilang. Kalau dia dipahami dari persepsi
tentang roh Allah, saya anggap itu sebagai sebuah keyakinan. Tapi kita harus lihat
konteks: apakah penyiaran Injil yang kalau diterjemahkan berarti kabar baik,
akan betul-betul bisa tersalur sebagai kabar baik atau justru menjadi kabar
buruk ketika menjadi konflik? Potensi konflik itu akan lebih besar lagi,
apalagi bila ditarik dalam skala yang luas.

Gereja mainstream sangat
kritis terhadap hal itu, tanpa menghilangkan tugas setiap agama —termasuk
Kristen— untuk selalu melakukan penyiaran. Hanya saja, waktunya juga mesti
dibimbing roh Tuhan juga. Mestinya semakin lama kita berbuat, maka kita semakin
arif.

ULIL: Konkretnya, bagaimana
pandangan gereja-gereja mainstream terhadap gerakan pengabaran Injil dalam
konteks keragaman agama yang sudah tak bisa ditolak ini?

Kalau kami dalam GKI, seringkali
berkata begini: “Pekabaran Injil itu tidak sama dengan mengkristenkan orang.”
Tugas kita hanya menyiarkan, bukan melakukan proselitisme (konversi agama).
Kalau kita sudah melakukan proselitisme, maka kita perlu kembali melihat
kenyataan sejarah bahwa setiap kegiatan proselitisme selalu berhadapan dengan
konsekuensi yang tidak bisa kita tanggung nantinya.

Itulah perbedaan antara
proselitisme dengan pengabaran Injil. Penyiaran atau pengabaran itu bermakna
menyiarkan kabar baik, tapi tidak memaksa dan menyudutkan orang untuk masuk ke
agama kita. Sedangkan proselitisme ada usaha untuk memindahkan orang ke agama
kita. Gereja-gereja mainstream mestinya memakai istilah dialog untuk
melakukan pengabaran Injil. Sebagai Ketua Sinode DKI Jabar, saya katakan: “Kalau
kita mempunyai kabar baik, dan mau didengarkan oleh orang lain, maka ingatlah
pesan Yesus supaya kita juga mau mendengar orang lain.” Jangan cuma mau
didengar, tapi tidak mau mendengar.

Ketika saya ingin menyiarkan Injil pada seorang muslim,
saya juga mesti bersedia mendengarkan muslim itu melakukan dakwah pada saya. Ada
mutualisme yang merupakan inti dialog. Niat saya bukan mengkristenkan orang muslim.
Sebaliknya, kaum muslim mestinya juga tidak mengislamkan orang Kristen. Ada
pertukaran kabar baik, dan masing-masing bisa belajar tentang sisi-sisi positif
dari pengabaran atau dakwah. Kalau pada akhirnya terjadi perpindahan agama,
biarlah itu menjadi hak asasi orang. Syaratnya, tidak dilakukan dengan metode
yang melecehkan, menyudutkan, atau membuat orang lain tidak bisa berpikir
secara jernih.

Kalau orang pindah agama bukan
dengan pikiran penuh, tapi karena manipulasi, itu hanya menurunkan kualitas
agama yang ada. Artinya, sekalipun kuantitasnya banyak, tapi kualitasnya akan
sangat menurun.

ULIL: Bagaimana Anda
menjawab tuduhan melakukan kristenisasi dengan bantuan sembako?

Itu sangat tergantung pada
paradigma atau konsep yang berada di belakangnya tadi. Kalau konsepnya memang
ingin melakukan kristenisasi atau mengagamakan orang lain, maka sembako itu akan
menjadi alat untuk mengagamakan. Kristenisasi model itu sama sekali tidak
tepat. Dalam istilah kita, disebut spiritual bribery, penyuapan rohani.
Apa gunanya orang pindah agama hanya karena makanan, pakaian dan obat-obatan!
Inti keberagamaan bukan terletak di situ, bukan? []

28/07/2003 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (9)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

saran: sebelum saudara-saudara memberikan komentar ada baiknya kita simak baik-baik secara positif thinking maksud si penulis. tapi jangan dalam komentar ini menjadi ajang untuk saling menyudutkan, menghakimi dsb. mari kita bangun dialog yang saling membangun tapi bukan untuk menjatuhkan satu sama lain. trima kasih aku cinta Indonesia

Posted by RIZAL  on  09/11  at  05:30 PM

Anda menuduh memabi buta, pada hal anda yang juga lebih membabi buta. Menuduh yang bukan-bukan dengan syak wasangka itu dosa pak. Anda belum mengenal siapa orang kristen, dan mengapa mereka mengasihi orang lain. Kristen mengasihi karena dia percaya bahwa Allah telah memberi banyak berkat untuk dia. Maka ia harus mempersembahkannya kembali kepada Allah apa yang dia dapatkan melalui mengasihi sesama manusia sama seperti sendiri. Bukan seperti perkataan sdr “kurang ajar”, “harus dihajar keras” bukan orang beragama itu. Preman di pasar saja yang tidak jelas agamanya apa juga tidak seperti ungkapan sdr tersebut yang menyebut dirinya beragama. Janganlah begitu pak. MariLAH kita bercermin setiap saat, apa kita memang lebih baik dari orang lain. Kita sama-sama orang berdosa, penuh kelemahan di hadapan Tuhan. Apalah kita ini. Semua manusia adalah ciptaan Tuhan. Tuhan saja sang pencipta tidak semenamena kepada ciptaanya. Namun gaya sdr sudah seperti sang Penguasa seolaholah lebih tinggi dari Tuhan. Bercerminlah. Tuhan memberkati sdr.
-----

Posted by balosan rajagukguk  on  07/28  at  12:07 PM

Membaca tuduhan apriori dari anda, saya pikir tidak sedangkal itu motivasi kristen. Kristen bertugas memperkenalkan “the love of Jesus” kepada siapa saja yang mau. Tidak ada manipulasi seperti yang anda tuduhkan. Ketakutan islam di indonesia ini terhadap isu kristenisasi yang sering dijadikan alasan untuk membakar gereja, membunuh orang Kristen, tidak memberi izin mendirikan sekolah, rumah sakit sebagai pelayanan umum masyarakat terlalu berlebihlebihan. Kalau islam sungguh berakar dalam masyarakat indonesia saya pikir ketakutan yang berlebihlebihan tidak perlu ada dan tidak perlu ada penindasan kepada sesama manusia demi nama Allah. Allah kok dibelabela. Biarkan saja Allah membela dirinya. Kok manusia ciptaan mau membela penciptanya. Saya jadi heran melihat perilaku islam indonesia. Saya sudah hidup di timur tengah, tidak ada sikap islam seperti di indonesia. Anda harus tahu agama kristen jelas berpihak kepada orang marginal. Tiada pilihan selain mengasihi mereka dengan motivasi memperkenalkan kasih Jesus Kristus. Jadi tidak perlu kita mencari kambing hitam dalam beragama. Terimakasih. Tuhan memberkati saudara.

Posted by balosan rajagukguk  on  07/28  at  11:07 AM

Sdr. Pangestu,

Wake up man (mengambil istilah anda) kelihatan sekali anda sangat ketinggalan. Siapa bilang ulama kita tidak ada yang menyebar ke daerah-daerah pelosok, banyak bung ..!! Anda bisa cek ke desa-desa terpencil di Kalimantan, Sumatra dll. Mereka itu lulusan pesantren yang punya tugas mulia membangun manusia berakhlak dengan cara yang sederhana tanpa banyak gembar-gembor bahkan mereka mengorbankan jiwanya demi kejayaan Islam.

Wake up man, kalau anda bilang banyak orang Islam yang ngebom dll, itu oknum bung, dalam ajaran Islam tidak ada ketentuan seperti itu, pasti mereka salah mengartikannya, dan juga sekarang ini kita semua tahu masalah bom, bukan lagi agama tapi sudah bergeser ke wilayah politik, bisa juga ini rekayasa Barat / Kristen dan Yahudi (?) untuk memecah belah umat Islam (??).

Wake up man, Kristenisasi saat ini sudah mengkhawatirkan, karena mereka sudah tidak lagi mengindahkan ketentuan yang diatur pemerintah, bahkan ada yang pakai mengancam, memperkosa atau meracuni pemuda/pemudi dengan narkoba baru kemudian dimurtadkan, wake up man, apakah sdr. Tumbuk sudah membaca semua fenomena ini.

Jadi wake up man, ini memang abad 20 dan kita hidup di Indonesia, tapi kita juga harus waspada dengan bahaya kristenisasi, karena mereka tidak akan senang sebelum kita mengikuti mereka. Jadi wake up ya Sdr. Tumbuk ............. (Janganlah anda mengecilkan umat anda sendiri man ..!!!)

Posted by Rully Zaini  on  08/21  at  06:08 AM

Sdr. Andi, tugas mulia dan “naluri” setiap agama adalah menyebarkan agama untuk “menyelamatkan” umat manusia. Islam, Hindu, Budha, demikian juga Kristen. Tak ada salah dengan penyebaran agama Kristen, seperti juga Syiar dalam agama Islam.

Yang salah adalah para ulama kita yang cenderung mementingkan diri sendiri, cari selamat sendiri, cari kaya sendiri.

Orang Kristen melakukan Kristenisasi bukan hanya di Blitar tapi juga di seantero dunia. Bahkan di pedalaman Irian Jaya, di tengah hutan gung liwang liwung. Para missionaris tinggal di atas pohon puluhan tahun dalam rangka mengkristenkan mereka.

Memangnya ada ulama yang berbuat yang sama ke sana?

Saya Islam, dan saya tidak cemas dengan Kristenisasi. Seandainya mereka menyebar juga why? Mungkin cocok dengan kebutuhan bangsa ini, di saat ini? Saya sendiri tetap Islam, bangga dengan Islam. Sampai sekarang. Orang pindah agama tak semudah ganti pesawat atau sepeda motor. Mereka punya alasan kuat.

Wake up, Man! Anda bukan tinggal Negeri Taliban yang seluruhnya Islam dan hidup seperti di zaman Nabi. Wajib piara jenggot, dan wanitanya pakai burqah. Ini abad 290 di Indonesia. Negara melindungi 5 agama besar. Sejauh mereka baik, its okey. Orang Kristen, Budha Hindu kalau mendatangkan kesejahteraan bersama, ketertiban, saling memberikan kontribusi untuk kemajuan and gaul ‘kan okey? Daripada ngaku-ngaku Islam sejati tapi ngebom-ngebom, membunuh orang gak berdosa. Menjarah kafe, ngrampas-ngrampas handpone pengunjung. Bikin malu!

Wake up, man. Anda hidup di abad 20 di Indonesia!!!

Posted by Tumbuk Pangestu  on  08/16  at  10:09 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq