Dr. Khaled Abou El Fadl: Hak Asasi Manusia di atas Hak Asasi Tuhan
Oleh Redaksi
Dalam persepsi umum umat Islam, hak asasi manusia tak boleh melanggar hak asasi Tuhan. Ketika sekelompok orang dianggap sesat dan mengancam kemurnian akidah Islam, hak-hak mereka yang asasi tidak lagi layak diindahkan. Benarkah demikian? Berikut perbincangan Novriantoni dan Ramy El Dardiry dari Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan Prof. Dr. Khaled Abou El Fadl, profesor hukum Islam di Fakultas Hukum di UCLA, Amerika Serikat, yang sedang berkunjung di Indonesia.
Dalam persepsi umum umat Islam, hak asasi manusia tak boleh melanggar hak asasi Tuhan. Ketika sekelompok orang dianggap sesat dan mengancam kemurnian akidah Islam, hak-hak mereka yang asasi tidak lagi layak diindahkan. Benarkah demikian? Berikut perbincangan Novriantoni dan Ramy El Dardiry dari Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan Prof. Dr. Khaled Abou El Fadl, profesor hukum Islam di Fakultas Hukum di UCLA, Amerika Serikat, yang sedang berkunjung di Indonesia. Perbincangan belangsung Sabtu (24/7), di Hotel Hilton, Jakarta.
JIL: Dr. Khaled, aksi bom bunuh diri nampaknya kini menjadi tren umat Islam. Hashem Saleh menyebut umat Islam kini fokus pada kamikaze kematian, bukan kamikaze kehidupan. Komentar Anda?
KHALED ABOU EL FADL: Pertama, saya menolak tren tersebut disangkutkan dengan konsep jihad. Pengertian jihad berbeda sekali dengan tren-tren bom bunuh diri sekarang. Jihad juga berbeda dengan gagasan perang suci di masa Perang Salib yang berkembang dari doktrin penyucian diri dengan menumpahkan darah atau membunuh nyawa. Pada konsep perang suci, pembunuhan dianggap mekanisme mendekatkan diri pada Tuhan. Dengan itu, Yesus menjadi rela, dan perang dianggap suci. Apapun kebengisan yang terjadi dalam peperangan lalu tidak dianggap nista dan bagian dari barbarisme.
Pengertian jihad berbeda, karena selalu mengandalkan kekuatan dakwah dan tidak mendendam orang yang tidak memerangi kita. Dalam jihad, Anda tidak boleh berpretensi untuk menjadi penghancur atau menjadikan lawan tumbal untuk keinginan Tuhan. Dalam konsep jihad, perang selalu dipandang buruk (syarr), atau pun keburukan yang tidak bisa dihindari lagi (syarrun dlarûrî). Ia perlu dihindari (kurhun). Ia hanya bisa dibenarkan untuk melepaskan diri dari tirani yang tidak lagi memberi kesempatan untuk menyebut nama Tuhan, atau upaya membela diri kita dari serangan-serangan. Itulah konsep jihad.
Konsep jihad dengan bom bunuh diri, saya kira lebih terkait dengan persoalan modern, bukan berakar dari khazanah moderasi Islam. Secara psikologis, fantasi tentang hidup yang kekal di akhiratmemang ikut memberi nyali bagi para pembunuh itu. Kritik saya, konsep jihad yang diterapkan sekarang telah mengabaikan prasyarat Qur’an tentang persiapan segala sesuatu secara cermat. Tujuannya juga bukan untuk membebaskan (fath). Konsep fath itulah yang tidak kita lihat kini. Yang ada hanya gagasan untuk membuat kekacauan, yang seakan-akan dengan itu dapat melawan dominasi Barat. Di sini kita dapat melihat perbedaan antara konsep jihad bersendi pada prinsip-prinsip moral, dengan ideologi bunuh diri-ofensif yang lebih banyak dipengaruhi ideologi revolusioner tahun 1960-an.
JIL: Jadi Anda menolak tren bom bunuh diri dikaitkan dengan konsep jihad dalam Islam?
Poinnya bukan pada bom bunuh dirinya, tapi pembunuhan tanpa membedakan antara agresor (muhârib) dengan bukan agresor (ghaira muharib). Padahal, dalam fikih itu disebut qatlul ghîlah (pembunuhan serampangan) yang diharamkan. Qatlul ghilah lebih luas berarti membunuh tanpa memberi kesempatan pada si objek untuk membela dirinya, atau yang tidak mampu mencegah tertumpahnya banyak darah. Dalam buku-buku fikih, khususnya pada bahasan tentang peperangan (hirâbah), Anda akan dipertemukan dengan banyak sekali etika-etika yang perlu diperhatikan. Misalnya soal memberi peringatan pada musuh, dan etika menyikapi tawanan. Kita dilarang membunuh tawanan, anak-anak, perempuan, dan orang tak berdaya. Pandangan sovinistik kini betul-betul merasuki ideologi jihad. Anak-anak muda yang melakukan bom bunuh diri itu sedang berfantasi soal perlawanan atas Barat, dan mengkafirkan banyak sekali umat Islam.
Kita melihat itu sangat jelas pada kasus pembunuhan Duta Besar Mesir di Irak, dan penyerangan yang bekali-kali atas kelompok Syiah. Saya kira, semua itu bagian dari pola pikir Wahabisme yang melihat Syiah telah keluar dari Islam dan halal diperangi. Orang-orang seperti Abdurrahman al-Zarqawi mengafirkan semua orang Islam, dan menghalalkan pembunuhan itu dengan alasan mereka murtad. Saya kira, ia tidak pernah membuka buku fikih tentang teori perbauran (nazariyyat tatharrus). Artinya, ketika musuh berbaur dengan umat Islam, apakah dibolehkan membunuh mereka untuk sampai pada musuh?
JIL: Anda setuju mereka sedang berusaha melawan hegemoni Barat?
Saya memang tidak memungkiri adanya problem hegemoni Barat. Tapi kita harus bertanya: apa inti hegemoni itu dan bagaimana negara-negara seperti Cina, Jepang, Iran, Korsel, Korut, dan Turki (sebagian) mampu keluar dari hegemoni? Kita lupa, senjata ampuh dan simbol kejayaan masa kini adalah ilmu pengetahuan dan teknologi. Jangan dilupakan juga membangun sistem bernegara yang tidak korup dan tidak otoriter. Kita harus memilih antara sistem yang dipimpin seorang despot dan sistem yang memperhatikan hajat hidup banyak orang. Kita perlu sistem yang memberi akses pada keluasan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Kita perlu sistem yang mampu mengatasi problem penataan kota, mananggulangi pencemaran lingkungan, mampu menyediakan sumber air bersih, memenuhi swasembada pangan dan menekan penyebaran penyakit. Semua itu hanya dijawab oleh teknologi. Saya kira, hegemoni Barat hanya dapat dimulai dengan memerangi sistem pemerintahan yang korup dan anti ilmu pengetahuan. Kata khail (kuda perang) yang harus disiapkan untuk memerangi musuh di dalam Alqur’an itu, kini telah bermakna ilmu pengetahuan dan teknologi. Barangsiapa yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, mereka akan menguasai dunia.
JIL: Bagaimana dengan reformasi agama seperti yang sudah lama didengungkan Afghani dan Abduh?
Ya, reformasi agama perlu di samping reformasi bidang lain. Di bidang agama, hendaknya fikih jangan dijadikan instrumen penindasan. Gagasan tentang despotisme sekali-kali jangan dikukuhkan oleh agama. Buku saya tentang fatwa yang otoritatif dan otoriter itu maksudnya membendung penyelewengan agama untuk tujuan seperti itu. Reformasi agama perlu juga melandaskan diri pada mengingat Tuhan. Ini poin yang tidak sederhana. Banyak yang menganggap kemajuan akan tercapai dengan memperbanyak kekangan hukum, implementasi syariat atau (lebih tepatnya) sebagian mazhab fikih. Tapi bagi saya, tiang dan sendi agama adalah mengingat Tuhan, dan itu sangat personal dan berkaitan dengan moral. Kita harus membiasakan diri hidup dengan ideal-ideal moral. Semua peradaban tidak bisa tegak di atas fondasi pragmatisme. Setiap peradaban pada mulanya berdiri pada sebentuk idealisme atau impian-impian. Impian-impian moralis itulah yang meletakkan diri Anda pada posisi mulia.
Kita juga harus mengarahkan masyarakat pada prinsip kelembutan (al-hilm). Sebuah peradaban tidak mungkin dibangun di atas fondasi tindak kekerasan. Para pelaku bom bunuh diri itu keliru bila berkeyakinan akan mampu membangun peradaban dengan cara pengrusakan. Saya tegaskan, tidak ada peradaban yang dapat dibangun dari tindak brutal penghancuran. Semua peradaban dibangun atas landasan moral, kegiatan intelektual, dan inovasi-inovasi. Orang-orang Yunani dulunya sangat cinta akan pengetahuan, dan kini orang Amerika dan Eropa sangat respek pada ilmu pengetahuan. Dalam batas tertentu, Jepang juga bersikap sama. Kejayaan peradaban Islam dulunya juga dibangun dengan landasan pengetahuan. Pendek kata: revolusi pengetahuan. Revolusi pennghancuran tidak akan pernah membangun peradaban.
JIL: Bagaimana menggali dan menjadikan idealisme sebagai fondasi peradaban?
Idealisme tidak datang secara kebetulan. Setiap orang yang tekun memperlajari Islam akan tahu bahwa tujuan utama syariat Islam adalah demi kemaslahatan manusia (li mashâlihil `ibâd). Artinya, menghargai kemanusiaan atau humanisme. Nilai-nilai humanis Islam inilah yang perlu digali kembali. Dalam sebuah buku yang ditulis pada abad ke-3 Hijriah dikatakan, yang mesti dipilih ketika terjadi pertentangan hukum adalah yang paling manusiawi (arfaq bin nâs). Pemikir Amerika yang bukan muslim, George Maqdisi telah menulis buku tentang humanisme dalam Islam, The Rise of Humanism in Islam. Saya puas dengan pendapat Maqsisi tentang humanisme dalam Islam. Dia mengatakan, peradaban Islam itu pada asalnya bertolak dari gagasan tentang pentingnya menghargai kemanusiaan atau humanisme; gagasan yang meyakini sisi kemuliaan manusia sebagai fitrah.
JIL: Tapi humanisme itu sekarang lenyap dalam praktik rezim-rezim di dunia Islam!
Sepanjang peradaban Islam, selalu ada rezim yang bermain-main dengan kekuasaan, sementara para ulama hanya ingin mendekat pada sumber kekayaan dan tidak melakukan fungsi kontrolnya. Para ulama hanya berpikir, bila penguasa seakan-akan membela hak Tuhan, dia sudah cukup diberi pahala. Mereka lupa pentingnya mendesak rezim untuk menyejahterakan manusia. Padahal sumber-sumber manuskrip fikih abad kedua, tiga, dan empat Hijriah, jelas-jelas sangat menekankan soal lebih pentingnya memaksimalkan kemaslahatan manusia. Selain itu, kesantunan juga sudah tidak menjadi nilai penting dalam Isalam. Sekarang yang dominan adalah kekerasan. Mereka lupa aspek pembebasan Islam yang merupakan kekuatan Islam berhadapan dengan kesemena-menaan peradaban sebelumnya seperti peradaban Parsi dan Romawi. Semua pereadaban sebelumnya berpangkal dari penaklukan dan penjajahan atas fisik dan kejiwaan masyarakat.
JIL: Dr. Khaled, pemimpin penyerbuan kelompok Ahmadiyah, kemarin menyangkal sedang melanggar HAM. Baginya, hak asasi Tuhan di atas hak asasi manusia. Tanggapan Anda?
Saya akan mengajak untuk membandingkan antara pola pikir kita dengan para ulama pendahulu kita. Para ulama Islam klasik sudah menegaskan bahwa pelanggaran hak asasi manusia tidak akan diampuni kecuali oleh orang yang bersangkutan, sementara hak asasi Tuhan diurus oleh diri-Nya sendiri. Manusia manapun tidak pernah diperkenankan membuat klaim-klaim yang dianggap mewakili hak Tuhan. Dalam konsep tauhid, Allah lebih dari mampu untuk melindungi hak-hak pribadi-Nya. Karena itu, kita harus lebih berhati-hati untuk tidak melanggar hak-hak asasi mansusia. Dalam Islam, Tuhan sendiri pun tidak akan mengampuni pelanggaran terhadap hak asasi orang lain, kecuali yang bersangkutan telah memberi maaf. Seorang khalifah atau penguasa pun tidak berhak mencabut hak asasi tiap individu, kecuali individu-individu tersebut melanggar hak asasi orang lain secara paksa. Pendapat Ibnu Arabi, ahli fikih Hanafi yang menulis kitab Ahkâmul Qur’ân di atas merupakan sesuatu yang menakjubakan karena sudah muncul di abad ke-4 Hijriah.
Karena itu saya berani mengatakan bahwa; mereka yang mengatakan bahwa kita harus mendahului hak asasi Tuhan atas hak asasi manusia, sesungguhnya tidak mengerti khazanah ushul fikih para pendahulu kita. Sejak lama mereka sudah mengatakan, hak manusia di atas dunia mesti didahulukan daripada hak-hak tuhan (haqqul insân muqaddam `ala haqqil Ilâh). Kenapa? Sebab Allah pasti mampu membela hak-hak-Nya di akhirat, sementara manusia harus membela haknya sendiri-sendiri. Beranjak dari pemahaman seperti itu, saya berani membela siapa saja yang tertindas, baik Muslim, Kristen, Ahmidi, Baha’i, atau pun Hindu. Sebab segala bentuk penindasan dan penaklukan atas orang lain adalah bentuk kezaliman, dan setiap muslim hendaknya tidak berdiam diri ketika melihat kezaliman.
Saya pernah membela hak-hak asasi kaum Ahmadiyah untuk tetap hidup secara konstitusional. Ketika pembelaan saya berhasil, salah satu dari mereka bertanya, “Apakah Anda percaya saya masih tetap muslim?” Saya jawab, “Itu bukan urusan saya, karena sudah menyangkut urusan Tuhan. Saya tidak pernah tahu apa yang ada di kedalaman hati Anda, dan tak pernah terobsesi untuk memeriksanya.” Saya bertanya balik, “Apakah wajib bagi saya untuk percaya bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi?” Dia terkejut dengan pertanyaan itu. Saya lalu tandaskan, “Perkaranya mudah saja. Saya orang Islam yang tidak percaya pada kenabian Ghulam Ahmad. Kalau Anda percaya bahwa soal kenabian tidak boleh berhenti, dan meyakini Ghulam Ahmad adalah nabi juga, itu adalah urusan Anda.” Lalu saya tekankan bahwa saya berbeda pendapat dengan mereka dalam soal itu sembari berharap Tuhan menerima pendapat mereka dan tak lupa menerima pendapat saya.
JIL: Apa perlu menganggap suatu aliran sesat atau menyimpang dari Islam?
Bagi saya, tuduhan-tuduhan sesat dan stigmatisasi seperti itu tidak penting lagi di masa sekarang. Orang Baha’i pernah mengaku Islam, tapi mereka meninggalkan lima rukun Islam. Karena itu mereka sangat sulit dikategorikan sebagai muslim. Ketika mereka membuat agama lain, bagi saya itu urusan mereka. Mereka menyembah Tuhan lewat aliran Baha’i mereka. Soal Tuhan menerima atau tidak cara beragama mereka, itu bukan urusan saya.
Karena itu, bagi saya penting sekali mengutip kembali ungkapan Ali bin Abi Thalib untuk menyikapi soal ini. Ali pernah mengatakan, “Ada dua jenis manusia: entah saudara seagamamu atau saudara seetika (al-nâs shinfânî immâ ikhwânukum fid dîn aw ikhwânukum fil khuluq).” Dengan kutipan itu saya patut bertanya, di mana letak sikap tercerahkan seperti Ali itu dalam kenyataan kita sekarang? Saya kira, selama ini kita selalu mengabaikan ayat-ayat tentang toleransi dan banyak yang tidak mau membicarakan atau menyebarkannya. Padahal di situlah terkandung kekuatan Islam secara moral.
JIL: Tapi ulama-ulama Indonesia merujuk Pakistan dan Arab Saudi dalam menyikapi kasus Ahmadiyah. Bagi mereka, menoleransi “aliran sesat” adalah bagian dari nilai-nilai Barat yang permisif atas segala sesuatu!
Sanggahannya adalah dengan membaca sejarah Islam secara utuh. Buku Maqâlâtul Islâmiyyîn karangan al-Asy`ari telah memberi tahu kita tentang banyak kelompok dalam Islam. Dalam serajah Islam, kelompok Druz tetap dibolehkan hidup di dunia Islam. Kalau Ahmadiyyah masih salat, puasa, dan mengucap syahadat, orang-orang Druz tidak lagi melakukan itu semua. Mereka tetap diperkenankan hidup di jantung kekhilafahan. Kelompok Nushairiyyun jauh lebih buruk lagi. Mereka percaya bahwa Ali bin Abi Thalib adalah Tuhan dan juga konsep Trinitas. Mereka berpandangan bahwa malaikat Jibril sebetulnya ingin menyampaikan wahyu kepada Ali, namum keliru dan jatuh ke tangan nabi Muhammad. Ketika tahu keliru, ia enggan mengoreksi kesalahannya.
Nah, kita bisa mengatakan mereka telah berada pada puncak kekafiran. Meski demikian, mereka tetap tidak ditindas dan tidak diperangi. Sebagian dari mereka masih hidup sampai sekarang namun tetap menjadi kelompok kecil yang tersudut. Bagi saya, sikap arif yang perlu ditempuh ulama Islam masa kini adalah respon pemikiran. Para ahli fikih dan teologi masa lampau seperti al-Juwaini, al-Ghazali, Ibnu Taymiyah, dan lain-lain, semua menulis buku untuk menyanggah kelompok-kelompok yang dianggap sesat.
JIL: Tapi itu tidak cukup bagi mereka. Dengan dalih membendung akidah umat, mereka berambisi untuk melenyapkannya!
Tahukah Anda apa akibatnya bila Indonesia mengikuti langkah Saudi atau Pakistan? Tahukah Anda bahwa Ahmadiyah tetap berkembang, bahkan di Pakistan lebih pesat lagi setelah dilarang? Itu semua pantulan balik dari politik penindasan. Ingatlah, pada dasarnya watak manusia selalu bersimpati pada pihak yang tertindas. Karena itu, perkembangan pesat Ahmadiyah itu bukan karena doktrin-doktrinnya memuaskan, tapi karena besarnya simpati masyarakat pada nasib mereka.
Di Arab Saudi, sampai kini aliran-aliran yang dianggap menyimpang tetap hidup sekalipun tidak muncul ke permukaan. Saya pernah menangis ketika bertemu dengan beberapa kelompok yang menganut paham-paham yang tidak masuk akal. Semua itu tetap bisa berkembang di dua tempat suci, Mekkah dan Madinah. Mereka semua bergerak di bawah tanah. Bagi saya, solusinya justru sebaliknya: adakan dialog terbuka dan dengan kepala dingin. Saya memang perlu menekankan bahwa toleransi memang tidak menuntut Anda untuk menjadi relativis tulen dengan menyebut semuanya benar. Toleransi berarti saya berpendapat seperti ini dan saya yakin itu benar. Kalau Anda berpendapat sebaliknya, saya tidak mesti percaya dan saya tidak akan menyerang Anda.
JIL: Anda berpendapat kita sangat mungkin mencari fondasi dasar pluralisme dan toleransi dari dasar-dasar ajaran Islam. Bisa dijelaskan?
Ya. Sebetulnya, kita tidak lagi membutuhkan sekularisme jika mampu menunjukkan dan mengukuhkan gagasan-gagasan tentang toleransi dan humanisme dari khazanah Islam. Problemnya, selama ini kita menyaksikan umat Islam betul-betul telah tercerabut dari akar budaya intelektual mereka. Saya tidak banyak membaca khazanah-khazanah kemanusiaan Yahudi, Kristen, Hindu, dan Budha. Saya bersusah payah menguasai bahasa Ibrani untuk dapat membaca Talmud dalam bahasa Ibrani. Saya juga berusaha membaca Bibel dengan bahasa Latin dan belajar bahasa Aram untuk mampu membacanya dalam bahasa aslinya. Kesimpulan saya, di setiap kitab suci itu selalu ada sesuatu yang manusiawi dan amanusiawi. Ini adalah cara Tuhan untuk menguji kematangan kita.
Fitrah dan akal manusia lah yang berkewajiban membedakan mana yang baik dan mana yang buruk; apa yang harus diambil dan mana yang harus dicampakkan. Kalau kita mau mengikuti watak setan, kita bisa mengambil sisi yang buruk dari kitab suci seperti mengagung-agungkan pembunuhan dengan mengadopsi kisah Daud di Bibel. Bagi saya, itu kisah amat sadis. Tapi apakah orang Barat lalu membangun peradabannya dengan mengadopsi hal-hal seperti itu ? Mereka bisa saja melakukan itu, tapi mereka tidak melakukannya. Mereka justru memilih bagian yang manusiawi dari khazanah peradaban mereka, dan di atas sendi-sendi kemanusiaan itulah mereka mendirikan peradaban mereka.
Setiap peradaban, pada mulanya berdiri di atas sendi-sendi moral agama. Kita tahu sejarah hukum natural yang menjadi landasan hak asasi manusia. Ia muncul seratus persen dari para pemikir agama. Mereka memokuskan pembahasan mereka pada aspek-aspek yang positif dari khazanah masa lampau mereka, lalu memodifikasi. Dalam beberapa segi, pikiran-pikiran mereka menyerupai pemikiran kaum Muslim klasik. Thomas Aquinas pernah ditanya tentang prinsip moral yang paling utama di dunia? Dia menjawab dengan konsep menyeru kebajikan, membendung kemunkaran. Kita bisa menyebut itu jelas-jelas pengaruh khazanah Islam. Tapi itu dikarenakan Aquinas menjadikan Ibn Rusyd sebagai referensi. Ketika dia harus memilih antara antara Ibnu Sina atau Ibnu Rusyd, dia lebih memilih Ibnu Rusyd. Dari konsep amar makruf nahi munkar itu, Aquinas lalu merumuskan gagasannya tentang hak-hak natural dalam Summa Theologica. Setelah itu datang antrean pemikir beragama yang melengkapi pemikiran-pemikirannya yang humanis.
Pemikiran Islam di masa klasik juga sudah mengaitkan antara gagasan tentang hak asasi manusia dengan konsep fitrah. Dalam bukunya al-Wajîz, Imam al-Juwaini mengatakan bahwa penghargaan atas kemanusiaan merupakan fitrah yang dititipkan Allah pada manusia. Dan atas landasan itulah Abu Hanifah cepat-cepat membebaskan budaknya yang bernama Halimah. Di sini tampak jelas bagaimana al-Juwaini mengaitkan antara gagasan tentang penghormatan terhadap hak asasi manusia dengan konsep fitrah. Ini artinya, Anda harus tetap menghargai hak asasi manusia.
JIL: Jadi sisi humanis Islam itulah yang mestinya lebih ditonjolkan sekarang ini?
Akar idealisme kemanusiaan Islam saya kira perlu kita singkap lagi untuk menbangun peradaban Islam. Kita tidak boleh terjebak pada pilihan tunduk buta (at-tab`iyah al-`amyâ) pada Barat atau pun penolakan buta (al-rafdhiyyah al-`amyâ), sehingga tidak lagi mampu melihat manfaat sesuatu bagi kemanusiaan, semata-mata karena ia berasal dari Barat.
Bagi saya, para pelaku bom bunuh diri yang katanya menentang Barat itu sedang berfantasi akan diterima secara ramah di hadirat Tuhan karena sudah putus asa menghadapi dunia yang sulit ditaklukkan. Ini adalah bentuk nyata rasa frustrasi kaum kriminil (ya’sun ijrâmî). Mereka tidak mau bersusah payah untuk belajar, membaca, dan membuat inovasi-inovasi. Semua itu mereka anggap susah. Apa yang gampang? Meledakkan diri, pergi menuju Tuhan sembari menghibur diri akan diberi ganjaran surga.
Karena itu, bagi saya tindak kekerasan adalah bentuk lain dari kemalasan. Ia digunakan oleh orang-orang yang tidak mau bergumul dengan karunia akalnya. Mereka enggan menempa diri dengan belajar, menganalisis persoalan secara cermat, berargumen, apalagi berdialog. Sebagai orang Islam, kita terlampau bernyak berkeluh kesah. Kita merengek karena terzalimi dan tidak tahu apa yang mesti dilakukan. Pertanyaan saya: apa yang sudah Anda lakukan sehingga layak diberi kehormatan oleh Tuhan? Apakah kita sudah mencintai ilmu pengetahuan sehingga Allah tetap merendahkan martabat kita?
Demam keluh kesah disertai rasa malas yang sangat merupakan virus yang saat ini menggerogoti seluruh tubuh umat Islam. Kita hanya ingin memperbudak orang lain, sementara Allah tidak pernah akan menolong orang yang suka memperbudak orang lain. Kita hanya merusak tatanan dunia, sementara Tuhan tidak menyukai itu. Kita membuat hukum tapi bukan hukum yang membela kezaliman dan mereka yang ditindas. []
Komentar
Hak Asasi Manusia telah ditentukan hukumnya oleh hujjah Allah, hujjah nabi Muhammad saw. dan hujjah kitab suci-Nya sesuai:
Al Kahfi (18) ayat 29: Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, barangsiapa berkehendak beriman SILAHKAN, barangsiapa berkehendak kafir SILAHKAN.
HIDUP HAK ASASI MANUSIA YANG TELAH DITENTUKAN ALLAH !
Wasalam, Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tunggal Agama millennium ke-3 masehi.
Assalamualaikum.
Salam buat semua anggota JIL, semoga Allah membuka hidayah pada hati kita, sehingga dapat kembali pada jalan dan ajaran Islam yang benar. Saya sangat menyesalkan tindakan saudara2 anggota JIL yang menggunakan dan memurtar balikkan argumentasi Dr. Khaled Abou el Fadhl, untuk memuluskan jalan pikiran saudara.
Mohon tempatkan pendapat Dr. Khaled pada tempatnya yang sesui, jangan ditempatkan pada tempat yang salah. Tahukah saudara tindakan tersebut dapat menyesatkan pemikiran para pembaca. Bersifatlah sportif, dan hormatilah pendapat sang Dr. dan jangan memperkosa dan memaksa pendapat tsb seolah menyetujui pemikiran saudara.
Assalamualaikum
-----
Saya sangat mencintai Tuhan saya; karena saya sangat percaya bahwa Tuhan saya adalah maha baik, maha welas asih, menurunkan wahyu agar kehidupan manusia lebih bahagia dan sejahtera. Doktrin-doktrin kekerasan yang berakar pada pemikiran bahwa melayani Tuhan adalah lebih utama, akhirnya hanya memantulkan sosok Tuhan yang sangat keras, dzalim dan kasar. Kalau saya, saya tidak mau memiliki Tuhan yang seperti itu : Tuhan yang keras, dzalim dan kasar; kalau begitu, mengapa kita tidak menyembah setan saja?
Wassalam, Rita Maria
Asstagfirullahal’adzim Sesugguhnya Allah maha pengampun lagi maha pemaaf. Dia yang maha Rahman dan Rahim. Jadi Unutk yang membaca tanggapan saya, “Jauhi semua yang menginjak ayat2 Allah!” Kembalilah pada jalan Allah yang lurus, perbanyaklah mengaji pada gutru yang benar. Jangan melihat gelar professor/doktornya, ataupun melihat dia berasal dari mana. Pernah kuliah dimana? . Justru pemikiran Barat yang harus kita jauhi, sebab mereka tidak akan lagi menghancurkan dengan fisik sebab mereka tidak mampu, tapi dengan pola pikir. Maka JIL inilah salah satu refleksi dari dajjal Barat. Jauhi jika Anda tidak ingin dibilang penginjak ayat-ayat Allah!
Dr. Khaled Abou El Fadl mengatakan “toleransi tidak menuntut Anda untuk menjadi RELATIVIS TULEN dengan menyebut SEMUANYA BENAR. Toleransi berarti saya berpendapat seperti ini dan saya yakin itu benar. Kalau Anda berpendapat sebaliknya, saya tidak mesti percaya dan saya tidak akan menyerang Anda”
Saya pikir itu adalah kalimat yang sangat baik dan bijak sebagai seorang muslim dimana toleransi diartikan kita menghargai perbedaan pendapat orang lain dan tidak harus mempercayainya atau membenarkannya karena pendapat kita berbeda dengan orang lain tersebut.
Kalau kita amati JIL (Jaringan Islam Liberal) yang menuliskan MOTTO di halaman muka websitenya dengan tulisa “TUHAN SEGALA AGAMA” dan tulisan2 tokoh2 JIL yang mengatakan semua agama benar maka para tokoh JIL perlu belajar dari Dr. Khaled Abou El Fadl.
Dengan mengatakan semua agama benar dan tuhan segala agama maka JIL tidak mengerti toleransi dan tidak memahami khazanah moral yang hakiki dari ISLAM yang telah ditunjukkan oleh para pendahulu kita yaitu ulama2 klasik seperti diceritakan oleh Dr. Khaled Abou El Fadl.
Semoga para tokoh JIL bisa SADAR dan kembali ke pemahaman dan berislam yang benar seperti contoh ulama2 klasik kita.
Komentar Masuk (9)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)