Hanung Bramantyo: “Agama Hanyalah Medium” - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
01/11/2010

Hanung Bramantyo: “Agama Hanyalah Medium”

Film-film yang dibuat oleh Hanung Bramantyo belakangan ini selalu berhubungan dengan persoalan agama. Tercatat misalnya film Perempuan Berkalung Sorban, Ayat-Ayat Cinta dan Sang Pencerah. Untuk mengetahui latar belakang lahirnya film-film “religius” itu, Vivi Zabkie dan Saidiman Ahmad mewawancarai sang sutradara.  Wawancara ini disiarkan langsung, Rabu, 27 Oktober 2010, dari KBR68H bekerjasama dengan Jaringan Islam Liberal (JIL) dan disiarkan 40 radio di seluruh Indonesia. 

Ketika Anda membuat film ber-genre keagamaan, ini kebetulan saja, ada misi khusus, atau ini bagian dari pencarian?

Sebenarnya kalau komentar salah seorang teman, saya dituduh memiliki misi menyusupi ajaran Islam secara radikal.

Keren sekali itu tuduhannya.

Ya seperti itu. Mencoba untuk menyusupi ajaran-ajaran Islam secara radikal, secara tidak syar’i. Tuduhannya seperti itu. Dan itu terjadi setelah saya membuat film Perempuan Berkalung Sorban. Terus embel-embelnya banyak sekali karena film itu berangkat dari novel yang dibiayai oleh Ford Foundation. Kemudian seolah-olah Amerika berada di belakang saya. Gagah sekali ya…

Sebenarnya, berbicara soal film agama itu karena saya berasal dari komunitas Islam. Bapak saya di Jogja dulu ketua Majlis Ekonomi Muhammadiyah. Dari kecil saya di Kauman sekolah di TK Aisyiah Bustanul Athfal. Itu TK-nya Muhammadiyah juga. SD, SMP, SMA di Muhammadiyah juga. Dulu saya sempat nyantri di Klaten di tempatnya Kiai Siraj, pesantren Nahdlatul Ulama (NU).  Jadi memang saya dekat dengan komunitas Islam. Keluarga saya adalah keluarga Islam yang taat. Ibu saya Cina muallaf, gitu. Ayah dan kakek saya itu dikenal sangat dekat sekali dengan ulama. Jadi komunitas Islam itu bagian dari tempat bermain saya.  Setiap kali Ramadhan, saya tidak pernah absen menjadi panitia Ramadhan di masjid di kampung saya.

Remaja masjid juga ya….

Remaja masjid juga. Nah, tiba-tiba saya menjadi sekuler, sempat menjadi sekuler, pada saat saya duduk di bangku SMA Muhammadiyah. Dari SD kelas empat saya sudah bergelut dengan dunia teater. Saya dikenalkan pada dunia teater itu justru di kelompok masjid. Jadi teater masjid gitu. Namanya dulu teater al-Kautsar. Saya masuk di situ dan berkecimpung dengan dunia pentas. Dulu di Jogja pentasnya di Samisono. Samisono itu seperti Graha Bhakti Budaya kalau di Jakarta. Kalau sudah pentas di situ, sudah seniman gitu lho. Nah, pada saat itu saya merasa bahwa dunia panggung adalah kehidupan yang nyaman. Angkatan saya banyak memang, tapi yang masih bertahan di dunia panggung cuma saya. Akhirnya berlanjut sampai SMA.  Di SMP saya didukung oleh guru Bahasa Indonesia saya. Ibu Harianti, namanya. Hobi saya berteater itu mendapatkan dukungan setiap kali ada acara sekolah, baik acara peringatan Isra’ Mikraj atau Maulid Nabi Muhammad di SMP Muhammadiyah.

Anda selalu tampil, gitu?

SMP Muhammadiyah III selalu membuat acara panggung. Dan kepala sekolahnya memang agak seniman. Maksudnya, dia sangat terbuka.

Jadi Anda tumbuh di tempat yang memang pas?

Ya. SMA itu justru kebalikannya. Di SMA Muhammadiyah I Jogjakarta waktu itu. Pada saat saya masuk, teater sudah dibubarkan oleh kepala sekolah karena dianggap tidak ada kegiatannya. Akhirnya saya putus asa. Saya langsung bilang sama bapak saya. Sementara teman saya yang satu angkatan di SMP tidak satu SMA . Dia di SMA I Teladan yang ada teaternya dan sedang giat.

Langsung ngiri dong?

Ya, langsung ngiri saya. Terus saya bilang sama ayah, saya tidak suka saya sekolah di SMA Muhammadiyah. Saya mau keluar cari sekolah yang ada teaternya. Saya dimarahi sama ayah. Bukan karena saya ingin keluar dari sekolah itu hanya karena melihat teraternya. Bukan. Saya keluar karena putus asa. Terus ayah saya bilang, kalau memang tidak ada teater di situ, ya kamu yang bikin. Jadi jangan ngikut. Biarkan saja teman kamu bubar, biarkan teman kamu itu ikut teater-teater di SMA mereka masing-masing, tidak masalah. Kalau memang tidak ada, kamu bikin. Itu namanya pemimpin. Ayah saya bilang seperti itu.

Ini menarik sekali. Soal Anda hidup berkesenian dan Anda ternyata dari Muhammadiyah dan bersekolah di Muahmmadiyah. Pernah ada pertentangan?

Nah, ini kelanjutannya. Pada saat saya membuat teater di situ, pertentangan pertama dating dari kepala sekolah.Ia tidak suka dengan kesenian teater itu karena image teater adalah seniman jalanan, seniman yang tidak syar’i. Akhirnya ada lokakarya teater SLTA se-Daerah Istimewa Jogjakarta. Undangannya saya lihat itu. Terus saya minta persetujuan dari sekolah untuk ikut dan disetujui. Diam-diam kita keluar ikut lokakarya itu. Ternyata tidak sampai itu saja. Setelah lokakarya, harus ada festival. Jadi pulang harus bikin teater dan difestivalkan. Itu problem lagi buat saya. Sudah diam-diam; bagaimana ini harus tampil. Yang tampil khan tidak cuma tiga orang. Kalau lokakarya tiga orang tidak apa-apa. Tapi kalau tampil minimal lima orang. Bagaimanan cari dua orang lagi? Akhirnya saya bergerilya di situ. Kaktu itu kita tidak boleh berteater karena teater dianggap kegiatan yang tidak syar’i. Misalnya seperti ini: waktu itu ada adegan begini. Saya mementaskan sebuah naskah tentang tempat di bawah jembatan Kali Code. Jembatan Kali Code itu ada komunitas pelacur, preman, gitu kan. Saya menampilkan itu. Di situ harus pelacurnya pakai jilbab. Saya bilang, apa tidak lucu?!

Kalau di Iran atau Mesir, barangkali ada yang begitu itu ya…

Ya. Ini kan pelacur.

Di Jogja pula.

Ya. Di Jogja masak pelacur pakai jilbab. Apa tidak mencoreng nama Islam? Saya bilang begitu. Pokoknya semua yang tampil di atas panggung harus islami. Udah, bagaimana caranya pokoknya harus islami. Akhirnya saya ganti, bukan pelacur, tetapi perempuan tomboy. Perempuan tomboi boleh dong pakai jilbab. Oke, pada saat adegan si preman ketemu ibunya, kebetulan ceritanya si ibu itu mencari-cari anaknya yang sudah lari sejak umur limabelas tahun. Ternyata gedenya jadi preman. Ketemu di situ, cium tangan dong, memeluklah.

Tidak boleh lagi?…

Ya, tidak boleh lagi karena itu bukan muhrim. Saya berdebat segala macam panjang sekali. Bagaimana sih ibunya. Itu kan jadi klimaks dalam sebuah tontonan. Kalau tidak memeluk, ya paling tidak cium tanganlah. Kalau tidak ada adegan begitu, tidak klimaks. Akhirnya saya ngomong dengan mazhab seni, dia ngomongnya dengan mazhab syafi’i. Dia keluarkan ayat ini dan itu bahwa perzinaan itu tidak hanya zina tubuh, tapi juga zina mata, zina. Begitu…

Ini debat dengan kepala sekolah tadi?

Ya, dengan kepala sekolah di situ. Intinya saya give up. Akhirnya ya sudahlah. Kalau memang tidak ada teater, ya sudah. Yang penting saya sudah merasa pernah berbuat sesuatu. Dari situlah titik awal saya menjadi sekuler. Saya menjadi nakal. Saya menjadi menolak Islam. Saya menjadi tidak suka dengan Muhammadiyah. Itulah awal karir saya menjadi “murtad”.

Perjalanan hidup Anda saja menarik untuk dijadikan film, seru banget gitu.

Seru sekali.

Kita ingin tahu penjelasan Anda menjadi “jauh dari agama” ketika itu.

Intinya setiap orang punya sesuatu yang dipakai untuk eksistensinya. Eksistensi itu kebutuhan mendasar manusia. Ketika dia bisa eksis. Dengan energi, pikiran dan obsesi dia merasa hidup. Dia merasa ada. Saya merasa bahwa keinginan saya untuk eksis itu diharamkan. Itu kan sudah mengebiri saya, membuat diri saya menjadi seorang yang salah lahir. Akhirnya saya menyalahkan takdir, menyalahkan hidup saya. Kenapa saya harus menyukai teater kalau ternyata teater atau seni itu diharamkan oleh agama saya? Dulu sempat, saking sengitnya berdebat, saya marah sekali. Karena saya nakal dan ngaco, sempat kepala sekolah saya itu bilang bahwa darah kamu itu halal untuk saya tumpahkan.

Kepala sekolahnya ngomong seperti itu?

Ya. Kepala sekolahnya ngomong seperti itu. Berarti kan…

Anda takut ketika dibilang halal darahnya seperti itu?

Ya iyalah. Takutlah. Apalagi saya siswa SMA dan dia adalah kepala sekolah dan ulama. Dia dikenal sebagai ulama pada waktu itu. Dia sering mengisi pengajian sebagai seorang ustaz yang disegani. Ibu saya dan masyarakat pengajian di kampong saya juga tahu bahwa kepala sekolah itu seorang ulama terpandang. Ketika dia bilang darah saya halal untuk ditumpahkan, berarti saya dosa dong. Nah, akhirnya saya bertanya, apakah Islam sekejam ini? Saya kemudian nyantri di pesantren Kiai Siraj, NU.

Kok milih pesantren NU? Kan latar belakang pendidikan Anda Muhammadiyah?

Kebetulan Kiai Siraj itu kakek saya. Kakek tapi tidak sedarah. Orang Jawa itu kan kalau dekat sedikit dianggap sebagai simbah, pakde, meskipun tidak sedarah. Nah, saya nyantri ke sana. Saya senang karena ada kesenian di sana. Keseniannya itu bersalawatan , bertabuh-tabuhan dana ada nyanyian di sana. Jadi agama itu menjadi menarik, menjadi punya warna di situ. Karena itu saya betah di situ. Tapi memang pada awalnya saya merasa sedang mencoba membunuh hasrat saya. Jadi membunuh keinginan saya bahwa saya santri. Saya ingin memperdalam Islam dan tidak mau memperdalam kesenian. Saya ingin mengetahui Islam lebih jauh.

Dan justru ternyata di sana Anda menemukan kesenian.

Ya. Saya menemukan kesenian di situ. Dari situ saya mencoba mendalami kesenian lebih jauh, gitu.

Apakah Anda punya rencana bikin film soal Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dengan judul , misalnya, Sang Pengayom?

Soal Sang Pengayom Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, memang ada rencana. Sebenarnya Sang Pencerah itu ada sequel-nya.

Jadi ada lanjutannya?

Ya, ada lanjutannya. Karena sebenarnya Muhammadiyah tidak hanya Kiai Ahmad Dahlan, tidak hanya berhenti pada saat Muhammadiyah berdiri. Tapi ada hal yang lebih esensial yang harus beliau lakukan setelah Muhammadiyah itu berdiri. Justru pada saat Muhammadiyah berdiri, itu titik awal sebenarnya. Titik awal Kiai Ahmad Dahlan memulai perjuangannya. Dari situ saya kasih judul Sang Penanda.

Jangan-jangan sudah mulai digarap?

Kita sedang riset sekarang. Apakah bisa tayang tahun 2011 atau tahun 2012, tergantung dari riset saya sekarang ini. Nah, di dalam Sang Penanda itu, Kiai Ahmad Dahlan akan berhubungan dengan banyak orang, dengan banyak tokoh.  Karena tahun 1912 atau 1900-an adalah awal masa pergerakan, lahirnya pergerakan. Karena banyak sekali priayi dan intelektual muda yang lahir dari priayi-priayi karena disekolahkan oleh Belanda. Belanda kan membuka politik etis, kemudian pribumi bisa sekolah. Akhirnya bisa pintar, bisa kritis. Maka, muncullah tokoh-tokoh pergerakan seperti Haji Samanhudi, HOS. Cokroaminoto, Semaun dan lain-lain. Nah, Kiai Ahmad Dahlan itu ada di tengah pergerakan yang sedang hangat ketika itu. Di Solo ada Sarikat Dagang Islam. Ada Tirto Adisuryo di Bogor. Karena Muhammadiyah sejalan dengan semua gerakan itu maka seperti ada perahudan ada angin segar untuk berlabuh kea rah modernisasi. Pada saat berlabuh ke arah modernisasi itulah terjadi gesekan dengan kaum tradisional.

Itu titik ketegangannya

Ya, gesekan dengan kaum tradisional. Itulah yang akhirnya muncul pada kongres umat Islam di Cirebon tahun 1923. Di situlah pertemuannya Kiai Ahmad Dahlan dengan Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari.

Apakah perjalanan hidup Anda mempengaruhi pandangan-pandangan Anda ketika membuat film dan berkarya di masa berikutnya?

Ya, kebetulan dulu saya tidak tuntas nyantrinya karena bentuk pesantren Mbah Siraj itu tidak seperti pesantren Gontor atau Tebuireng.

Berapa lama Anda nyantri di situ?

Kira-kira tiga bulan sampai lima bulan. Tapi setelah itu, setiap Jumat, Sabtu dan Minggu saya tidur di sana, mengaji segala macam. Akhirnya saya keluar dan melanjutkan aktivitas kesenian saya di Jakarta dengan masuk di Institut Kesenian Jakarta (IKJ).  Sebelum itu saya sudah berkecimpung dengan dunia teater, sanggar dan lain-lain. Di IKJ saya banyak sekali bertemu dengan orang dari berbagai agama. Dari Kristen, Islam, Budha, Hindu, semua ada di IKJ. Mereka memiliki pandangan yang bebas. Saya masuk dalam sebuah pusaran kreativitas yang bebas di situ. Tapi kemudian saya rindu pada satu hal, bahwa nilai-nilai keislaman itu sebenarnya sangat menarik, sangat adem dan mengayomi. Tapi saya tidak mencoba untuk menelusuri itu lebih dalam. Saya tinggalkan dan saya hanyut dalam berkesenian. Saya membuat film Brownis dan Catatan Akhir Sekolah. Begitu saja saya menikmati hidup. Akhirnya sampai pada titik kesempatan Ayat-Ayat Cinta. Sepanjang dari film Brownis sampai film Ayat-Ayat Cinta itu saya tidak bersinggungan dengan agama Islam sama sekali.

Itulah masa-masa sekuler, kalau bisa disebut?

Ya, itulah masa-masa sekuler itu di situ. Pada saat saya melihat novel Ayat-ayat Cinta itu saya kemudian teringat ibu saya. Pada saat saya hijrah pertama ke Jakarta, pesan ibu saya, kamu kalau sudah bisa membuat film, tolong buat film untuk agama kamu. Itu ibu saya yang Cina, yang muallaf. Itu amanat dari ibu saya, bukan dari bapak saya. Bapak saya dari lahir sudah Islam. Tapi ibu saya muallaf. Jadi kata-kata itu justru muncul dari ibu saya. Saya pikir kata-kata ibu saya itu hanya sambil lalu saja. Ya, namanya juga ibu, menasihati itu biasa. Tapi saat saya melihat novel Ayat-Ayat Cinta itu, lantas terdengar suara ibu saya itu. Akhirnya, ya sudah lah. Oke, ini amanat dari ibu, begitu pikiran saya ketika itu. Novel itu saya baca. Terus terang, jujur saja, novel itu jelek sekali. Kenapa jelek sekali, karena …

Penulisnya marah nanti

Saya sudah bilang seperti itu pada penulisnya. Kenapa jelek sekali, karena tokoh Fachry dalam novel tersebut sangat too good to be true.

Sangat ideal

Ya, sangat si boy sekali. Dulu kan ada Catatan si Boy. Udah ganteng, kaya, dicintai, baik, alim lagi. Ini juga seperti itu. Si Fachry itu. Hanya kelemahannya Fachry itu miskin. Nah, akhirnya saya menemukan satu hal di situ, bahwa cerita tentang Islam itu penuh dengan cinta; Islam itu mengedepankan sabar dan ikhlas dan tidak melakukan penyerangan, tidak melakukan anarkhi, kekerasan. Itulah yang saya ambil dan saya serap. Akhirnya saya adaptasi menjadi sebuah skenario. Pada saat proses pembuatan film Ayat-Ayat Cinta itu, saya tidak melakukan salat apa pun. Saya tidak salat. Itu pada saat bulan Ramadlan. Saya juga tidak puasa dan tidak berdoa.  Saya mencoba untuk berkesenian total dan saya percaya dengan kemampuan otak saya. Jadi saya menisbikan sesuatu yang berada di luar otak. Sementara yang religius itu tidak. Saya tidak percaya itu semua. Akhirnya pada saat saya membuat itu, idealnya saya syuting di Kairo. Pada saat saya datang ke Kairo, melihat pemandangan di sana. Wah, di kepala saya sudah yakin bisa syuting di sini. Harus syuting di sini. Sudah potret segala macam. Saya menemui produsernya dan saya katakana bahwa anda akan dapatkan film yang sangat bagus. Percaya pada saya, filmnya akan sangat bagus. Nah, ketika saya bilang itu, artinya saya sudah melupakan Tuhan. Saya sudah melupakan segala macam. Pada saat disetujui, saya langsung merasa mendapatkan apa yang saya inginkan. Tapi ternyata saya tidak bisa syuting di Mesir, dilarang, saya tidak mendapatkan ijin. Karena tidak mendapatkan ijin syuting di Mesir, berarti saya kehilangan lokasi, saya kehilangan momen, dan saya kehilangan aktor. Aktor seperti Aisyah dan Naura seharusnya orang Mesir asli. Tapi saya kehilangan itu semua. Saya sudah kehilangan semuanya. Bagaimana ini, masih dilanjutkan atau tidak? Dilanjut, saya bilang begitu. Bagaimana caranya harus dilanjut? Saya semakin merasa tertantang. Akhirnya dilanjutkan. Intinya kita harus bisa menciptakan. Tidak bisa syuting di Mesir, tidak apa-apa, kita cari lokasi di Indonesia…
Akhirnya ketemu di Semarang. Wah, saya puas sekali. Tuh, kan saya bisa melakukan sesuatu karena saya menggunakan otak saya. Oke, satu hal seperti itu. Kemudian syuting semua sudah selesai. Tinggal satu hal: kalau tidak ada padang pasir, tidak ada Piramid, tidak ada unta, Mesir, bagaimana? Sementara novelnya sangat rinci menggambarkan tentang Mesir.  Ekspektasi saya sangat tinggi karena saya sudah melihat resensi dan tanggapan soal film itu di internet. Mereka berharap bahwa film itu harus sesuai dengan novelnya. Itu semakin membuat saya takut. Akhirnya kita harus cari cara, pokoknya kita harus syuting di sana. Udah deh, lima orang saja yang berangkat ke Mesir: sutradara, kameramen dua orang, sound dan produser. Lima orang saja, masak tidak bisa mengambil gambar sembunyi-sembunyi di Mesir. Akhirnya saya ngurus visa di sana dan ternyata tidak boleh, tidak dapat visa.

Sekalipun alasannya untuk berkunjung?

Ya. Saya sudah berkoordinasi dengan KBRI di Mesir. Tetap tidak boleh. Ya sudah bagaimana caranya bisa berangkat saja. Kemudian kita pakai maskapai SQ, tapi ketika di Bandara Soekarno-Hatta, SQ menolak dan tidak mau memberangkatkan kami ke Mesir. Mereka tidak mau berspekulasi menerbangkan orang yang tidak punya visa. Akhirnya sudah lepas semua. Kalau tidak dapat Piramid, onta dan padang pasirnya sajalah. Saya punya foto Piramid nanti di-scan kemudian dikasih burung yang bergerak. Selesai, gampang. Saya minta onta dan padang pasir saja. Saya cari di Google padang pasir yang terdekat dengan Indonesia dan ketemu di India. Sebenarnya ada yang lebih dekat, tapi tidak ada koneksi ke sana. India, kebetulan produsernya orang India. Kita jalan ke sana. Sembilan belas orang berangkat ke sana. Empat pemian, sisanya adalah kru dan sutradara. Lokasinya ada di daerah Jodpur. Dari Bombai sampai Jodpur itu seharusnya kita naik pesawat. Ternyata kita tidak dapat pesawat.

Tetapi saya tetap ngotot meski tidak dapat pesawat. Sebelum itu, kontrak semua kru sudah habis. Karena syuting mundur, mundur, kontrak kru hanya enam bulan sehingga kru tidak bisa membantu saya. Kemudian saya melobi. Saya lakukan lobi, tolong dong ini, demi apalah, akhirnya mereka mau. Mereka mau kerja untuk saya tanpa ada tambahan pembayaran. Sampai di Bombai, seharusnya kita naik pesawat. Karena hanya ada satu flight dan hanya ada dua kursi buat saya dan produser, saya tidak mau. Akhirnya kita naik bus AC seperti bus AC jurusan Semarang-Jakarta, bukan bus eksekutif. Perjalanan itu melintasi negara, bukan melintasi kota lagi. Yang kita lintasi adalah Gujarat. Setiap kali saya mendapatkan hambatan, saya selalu bertanya pada diri sendiri, apalagi ini Tuhan yang akan Elu kasih ke gue?!

Di situ mulai muncul nama Tuhan?

Ya, itu terus, mulai dari Mesir. Apalagi ini? Oke, gua jabanin. Lu mau apa gua jabanin, gitu kan. Nah, sampai di situ, oke kita jalan. Saya tanya pada unit lokal di situ, ini berapa jam dari Bombai ke Jodpur? 12 jam. Oh bisa. Saya biasa naik bus 24 jam pergi-pulang Jakarta-Jogja, Jogja-Malang. Semua siap. Sampai perbatasan Gujarat, ternyata tidak ada paper yang lengkap sehingga kita ditahan di situ. Ini belum syuting lho. Di Gujarat saya berhenti, dan kita ada lima belas orang, tidak ada suaka apapun. Kalau kita hilang, ya hilang saja itu. Tidak ada yang nyari juga. Dan, itu ada Riyanti Cartwaight, Carissa Putri dan Ferdy Nuril. Kita ditodong di situ dengan senjata.

Sebegitu besar tantangannya

Ya. Kita ditodong di situ. Karena bus itu tidak membawa surat-surat lengkap untuk melintasi Gujarat.

Lalu dialog dengan Tuhan itu muncul lagi kapan?

Itu muncul lagi, ya di situ muncul. Ya Tuhan, aduh sebentar (nangis sejenak). Ini terakhir. Kalau sampai saya hilang di sini, kalau kita semua hilang di sini, ya kita akan hilang begitu saja. Pada saat itu saya sudah pasrah. Gua siap deh, Lu mau ambil juga gua udah siap. Saya bilang begitu. Saya bersama beberapa kru lantas diskusi. Ya sudah. Bagaimana kalau kita balik saja?  Sudah tanggung ini. Jalan terus, hadapi semuanya. Ternyata Alhamdulillah kita berhenti di tempat itu hanya lima jam. Kita bisa jalan melintasi. Pada saat jalan itu kita bersorak luar biasa. Senangnya luar biasa. Kita jalan sampai sana, sampai syuting. Sampai lokasi kita sujud syukur Karen kita bisa syuting segala macam. Esok syuting semangat, nih. Tapi tetap ada pertanyaan, apalagi nih?

Tapi Anda juga sujud syukur?

Ya, tetap. Sudah ada perubahan. Sujud syukur, gitu.

Meskipun mungkin belum puasa

Ya, belum puasa. Akhirnya esoknya syuting, tapi kamera tidak bisa dipakai. Masih ada terus ada hambatan sampai film sudah selesai syuting. Selesai syuting dan semua sudah senang, semua pulang ke Indonesia. Tapi saya masih tinggal di India karena harus ngedit di India. Hasil syuting yang di Semarang itu sudah diedit lebih dulu, tinggal sisanya yang ada di India. Tempat editingnya itu tidak representatif karena cari yang murah. Kita ngedit tidak di Bombai, tapi di Cenai. Kalau kita keluar, di Cenai itu kiri-kanan ada gelandangan di mana-mana. Setelah selesai diedit, masuk ke lab. Biasanya, kalau sudah masuk di lab, tinggal ditransfer ke 35mm. Selesai, bisa dibawa pulang. Ternyata, setelah dimasukkan ke situ, dibilang bahwa data-data yang ada tidak connect sehingga harus diedit ulang. Jadi kita melakukan editing ulang di situ seperti kita melakukan editing pada jaman dulu. Dipotong pakai gunting, disesuaikan dengan yang ada di video. Short awalnya di mana, aktingnya di mana. Kalau aktingnya garuk-garuk, endingnya garuk-garuk, ya sudah di situ dipaskan. Itu terus berlanjut sampai selesai dan kita balik ke Indonesia. Pada saat balik ke Indonesia, kita lihat hasilnya gambarnya scratch. Scratch itu seperti film lama itu. Seperti film G30S PKI itu. Itu film lama kan? Aduh, ini tidak bisa tayang. Di situ, apalagi sih Tuhan, ya Allah apalagi sih? Akhirnya ada yang bilang ini bisa diatasi kalau kita melakukan produksi di Thailand. Berarti harus diperbanyaknya di Thailand. Ya, harus diperbanyak. Film itu di-copy lagi di Thailand. Kita bawa copy-nya ke Thailand. Pada saat sudah selesai semuanya di Thailand, kita bawa ke Indonesiadan tercegat di imigrasi. Tidak boleh masuk ke Indonesia karena itu dianggap barang impor.

Anda mempertanyakan lagi ketuhanan, dan ketika pada puncaknya, Anda merasa?…

Akhirnya saya merasa begini: Ya Tuhan, oke deh. Oke saya bilang begitu. Kalau film ini sukses, itu bukan karena gue, tapi karena Kamu. Mengapa? Karena semua yang ada di otak saya tidak ada di film ini: tidak ada Mesir, tidak ada aktor Mesir, tidak ada Piramid. Film ini sudah jauh dari novelnya. Artinya, penonton akan mengamuk, akan marah dan pasti tidak ada yang nonton. Dan, karir saya habis. Itu yang ada di otak saya. Tapi, kalau film ini sukses, semua karena Kamu.

Di situ, boleh disebut, barangkali kesombongan Anda pada Tuhan runtuh?

Sudah runtuh karena Kamu, ya Allah. Saya menyebut nama Allah itu tidak bisa. Saya menyebut nama Tuhan. Tuhan, udah, ini karena kuasa-Mu, Tuhan, ya sudah. Habis dari Thailand bisa masuk, bisa preview dan bisa premier. Biasanya kalau ada adegan premier saya ikut nonton. Ini tidak, saya di luar, takut. Tadinya saya tidak mau dateng ke premier. Tapi waktu itu dipaksa oleh produser. Kamu harus tetap ikut, kemudian satu per satu penonton yang keluar matanya sembab. Dia memeluk saya, terus mengucapkan selamat dan segala macam. Tapi dalam hati saya berkata bahwa mereka undangan, tidak bayar. Jadi mereka akan bilang film itu bagus. Oke, saya tunggu film ini di gedung 21, saya tunggu. Hari pertama 50 ribu penonton di seluruh Indonesia. Padahal, film-film sebelumnya biasanya hanya 10 ribu sampai 15 ribu. Ini hari pertama 50 ribu. Hari kedua 60 ribu, hari ketiga 80 ribu, hari keempat 100 ribu sampai tiga minggu 100 ribu. Kita seperti dapat bonus jekpot itu loh, cring criing criing. Saya dikasih tahu, hari ini 100 ribu. Dalam hitungan 1 minggu saya dapat 600 ribu penonton, dalam hitungan 2 minggu saya dapat 2 juta penonton, 3 minggu 3 juta penonton.

Pada saat itu Anda masih berdialog dengan Tuhan?

Pada saat itu, ya sudah, ini semua adalah karya-Mu bukan karyaku.Setelah itu saya baru merasa harus melihat kiblat. Saya harus melihat Mekah. Waktu itu saya datang dan langsung bilang kepada ibu bahwa saya mau umroh.

Itu film berarti semacam titik balik buat Anda?

Sebelum masuk Mekah, baru sampai Jeddah, dada saya sudah bergetar tanpa sadar. Saya sudah mengucapkan labbaik allahumma labbaik itu di perjalanan dari Jeddah. Kebetulan saya tidak ikut paket-paket umroh yang disediakan. Saya bareng adik saya yang kebetulan sudah ada di sana. Saya sudah pakai pakaian ihram di Jeddah langsung ke Mekah. Biasanya, kalau turun dari Jeddah kan langsung ke Madinah, dari Madinah baru ke Makkah. Ini tidak, dari Jeddah saya langsung ke Mekah. Jadi miqot saya harus di atas pesawat, kemudian turun sudah berpakaian ihram. Dari Jeddah menuju ke Ka’bah itu saya sudah bergetar. Ketika masuk ke gerbang Masjidil Haram melihat Ka’bah, oh ya Allah, merinding sekali. Saat melihat Ka’bah, lutut saya tidak bisa digerakkan. Saya langsung jatuh, bruk. Di situ itu saya baru bilang, Allahu Akbar. Itu di situ saya bilang.

Bagaimana Anda berdialog dengan Tuhan padahal sebelumnya Anda melawan terus-menerus?

Ya itulah kenyataannya. Tapi setelah itu tidak kemudian langsung jadi alim, gitu. Tidak.

Saya berada di puncak karir. Pada waktu belum ada yang bisa menandingi Ayat-Ayat Cinta dalam perolehan jumlah penonton. Mendadak nama saya dikenal. Semua orang mengenal saya, media asing dan kemudian media lokal. Di situ, saat karir naik, saya justru merasa berada pada karir paling rendah dalam religiusitas.

Akhirnya saya sering merasa rendah dalam hidup. Saya merasa apa yang saya lakukan selama ini menjadi sekuler, menyakiti ibu saya, menyakiti mantan istri saya pada waktu itu, menyakiti anak saya karena perceraian. Itu semua, hari demi hari, mendapatkan balasannya. Dan teman-teman, para kru yang selama ini menganggap saya sebagai orang yang sangat powerfull, yang punya keinginan itu sangat absolute dan kuat, ternyata jauth menangis seperti bayi. Seperti anak kecil yang merengek. Jadi saya berada pada titik yang saya tidak tahu dan tidak bisa lepas dari itu semua. Sampai akhirnya, tanpa sadar, saya mengangkat telepon. Dan nomor yang saya pencet adalah nomor mantan istri saya. Saya minta maaf padanya. Saya minta maaf pada anak saya, saya minta maaf pada ibu saya. Pengaaman itu berlanjut terus…

Semacam pencarian?

Pencucian, ibaratnya begitu. Saya seperti diperes. Ya Allah, luar biasa itu.

Tapi kalau kita lihat film-film Anda yang “Islami” itu, sebenarnya Islam yang Anda tampilkan bukan Islam konvensional, tapi Islam yang juga menggugat. Dalam Ayat-Ayat Cinta ada dialog soal kekerasan di dalam bus, tokohnya menolak kekerasan.

Sebenarnya, menurut saya, agama adalah medium sebagaimana kalau saya mau makan yang saya makan itu bukan piringnya, tapi vitamin yang ada di dalam makanannya.

Substansi?

Piring itu mau pakai porselen, pakai plastik atau pakai daun pisang, itu adalah medium. Nah, buat saya agama hanyalah medium. Substansinya saya bisa berdialog dengan Tuhan dan menghayati makna dari kata-kata Tuhan itu. Sebenarnya Tuhan itu ingin apa? Tuhan ingin berbuat apa? Pada waktu pembuatan film Ayat-Ayat Cinta saya selalu minta, gue mau ini, gue ingin itu. Tapi, apakah ini yang terbaik buat saya? Ternyata tidak. Jadi Tuhan memberikan sesuatu yang tidak saya minta, tapi itu yang terbaik buat saya. Dan buat saya, itu bukan sesuatu yang konvensional.

Tema apa dalam film yang selanjutanya akan Anda garap?

Film berikutnya tentang Islam. Film itu berisi tentang bagaimana di dalam sebuah masyarakat saya melihat ada orang non muslim. Seperti saya punya teman orang Hindu, tapi dia sangat peduli. Dia melakukan puasa. Setiap Ramadhan dia melakukan puasa karena semua karyawannya puasa. Kenapa dia puasa, karena dia yakin bahwa puasa itu sehat. Makanya dia ikut. Kemudian ada orang terdekat saya yang pindah agama dan dia merasa menjadi sangat terbuka ketika memeluk agamanya yang baru. Pada saat pindah agama, dia menjadi sangat halus budi pekertinya, tidak keras kepala. Pengalaman itu mempengaruhi pergulatan diri saya dan bagaimana saya, sebagai muslim, menyikapi semua itu. Intinya buat saya, Islam yang rahmatan lil ‘alamin adalah Islam yang merahmati siapa pun. Tidak ada di situ kata-kata merahmati hanya untuk orang Islam, tidak ada. Tapi merahmati siapa pun dan apa pun.

01/11/2010 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (4)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

proses keislaman kita pd umumya berkutat pada tekstualitas seperti ngaji shalat dan ibadah2 lainnya. terkadang tak menjamin lahirnya kualitas keislaman yang paripurna. kualitas keimanan dan ketaqwaan kita terkadang lahir dari pemberontakan dan ke"nakal"an kita dalam beragama. seperti gunung yang makin kuat semburan laharnya maka dia makin kokoh. jadi jangan takut “melawan” tuhan.. karena dari perlawanan kita lahirlah sebuah ketulusan akan kehadiran-Nya yang begitu indah bagai cahaya di atas cahaya… so.. seperti kata alm. cak nur.. banyak pintu menuju tuhan… tinggal kita memilih yang mana…

Posted by din_aceh  on  11/02  at  11:36 PM

Semangat muda ya semangat muda.....tapi??????
weleh weleh ,,hanung...hanung...ckk ckk ckkk cape deeeh...kacian bener…
makin jauh aja ....

Posted by Nur  on  11/02  at  09:59 PM

saya suka wawancara ini…  Seperti diri saya sendiri, yg meski terlahir sebagai muslim dan menjalankan segala ibadah yg disarankan para guru, ulama dan orang tua..tapi selalu ada pertanyaan besar dalam diri saya yang tidak membuat saya nyaman sebagai muslim. Tapi Allah SWT membantu saya mencari jawaban dalam hati saya, hingga saya juga merasa bahwa..Islam lebih besar dari semua perkataan ulama atau guru di masa kecil saya. Islam merahmati semua mahluk di dunia ini. Dan dalam keyakinan saya yang baru ini, saya lebih mencintai Islam lebih dari apa yg pernah saya rasakan sebelumnya. Alhamdulillah..

Posted by difa  on  11/02  at  08:04 PM

tunjukkan semagatnya pemuda masa kini.

Posted by den bekel  on  11/01  at  09:38 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq