Hidup Beradab dan Penegakan Hukum - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Editorial
25/09/2005

Hidup Beradab dan Penegakan Hukum

Oleh Novriantoni

Menjelang bulan suci Ramadan, kita seakan-akan dipaksa untuk meninjau ulang asumsi bahwa setiap anak manusia terlahir dalam kesucian yang azali (fitrah). Akhir-akhir ini, ungkapan normatif itu tampak makin sulit dipertahankan. Sekelompok orang yang mengatasnamakan agama, kini dengan enteng dapat meneror, menyerang, mengusir, dan melenyapkah hak hidup orang-orang yang mereka anggap tidak sepaham dengan mereka.

Menjelang bulan suci Ramadan ini, kita seakan-akan dipaksa untuk meninjau ulang asumsi bahwa setiap anak manusia terlahir dalam kesucian yang azali (fitrah). Paling kurang, kita perlu membincangkan lagi syarat-syarat yang memungkinkan konsep fitrah itu dapat terjamin manifestasinya di dunia nyata.

Sebab, akhir-akhir ini, ungkapan normatif itu tampak makin sulit dipertahankan. Sekelompok orang yang mengatasnamakan agama, kini dengan enteng dapat meneror, menyerang, mengusir, dan melenyapkah hak hidup orang-orang yang mereka anggap tidak sepaham dengan mereka.

Gejala serupa tentu juga terjadi di dunia sosial-politik umumnya. Tapi ketika ia didasarkan pada pandangan agama yang dianggap suci, kita betul-betul dipaksa berpikir ulang tentang konsep fitrah. Sudah banyak kasus kekerasan berbungkus agama yang bisa dijadikan dalil untuk meruntuhkan citra kesantuan beragama dan bermasyarakat di negeri ini.

Pada titik inilah kita butuh penjelasan-penjelasan sosiologis ihwal watak dasar manusia yang tak selamanya cocok dengan konsep fitrah.

Ibnu Khaldun, pelopor sosiologi masyarakat Islam misalnya, pernah mengatakan bahwa “Sebagian watak dasar manusia adalah kecenderungan aniaya dan menyerang pihak lain. Bila mata mereka tertumbuk pada aset-aset saudaranya, mereka akan ringan tangan untuk menjarah kecuali ada penangkal yang mampu mengurungkan niatnya” (Majid Khaduri, 1998: 203).

Ungkapan Khaldun itu sesuai dengan syair al-Mutanabbi: “Az-dzulm min syiyamin nufûs, fain tajin dzâ `iffatin fali`illatin lâ yadzlim” (sifat aniaya adalah salah satu watak dasar manusia. Bila ada yang tampak santun, pasti ada alasan mendasar yang jadi penjelasnya). Artinya, potensi barbarisme dan kanibalisme pada dasarnya selalu ada pada tiap individu dan masyarakat.

Sadar akan potensi itu, Ibnu Khaldun menyarankan pentingnya membuat “penangkal” guna meminimalisir kemungkinan aktualisasinya. Hukum yang menjadi aturan main bersama dianggap salah satu penangkal yang perlu dibuat dan ditegakkan.

Jika merujuk sejarah Islam, kita akan tahu bahwa “membentuk solidaritas baru berbasis tertib hukum dan memperkenalkan cara hidup beradab” menurut al-Jabiri merupakan salah satu misi Islam (al-`Aqlus Siyâsil `Arabi, 1999: 22). Atas dasar itu Nabi Muhammad dan suku-suku di Madinah berunding untuk menyusun Piagam Madinah. Dengan Piagam Madinah, hidup bersama dapat dilangsungkan, dan mereka yang lemah tidak diperlakukan semena-mena.

Senada dengan al-Jabiri, Karen Armstong, juga menyebut kalau Islam datang untuk memperkenalkan pola hidup beradab ke tengah masyarakat suku yang telah jenuh menjalankan mekanisme vendata (Muhammad Sang Nabi, 2001: 62). Dalam sistem vendata yang berpangkal dari solidaritas kesukuan, meneror, menjarah, mengusir, dan melenyapkah hak hidup suku yang lemah, dianggap cara-cara yang “benar dan perlu” guna menjamin kelangsungan pola hidup kesukuan.

Tapi, sistem yang tidak berkeadilan tidak selamanya dapat dipertahankan. Agar hidup lebih manusiawi, siapa pun tidak boleh dibiarkan menjadi serigala yang siap memangsa sesamanya (dengan asumsi salah bahwa serigara memangsa sesamanya).

Hukum sebagai penangkal perlu dirumuskan, dan upaya penegakannya mutlak harus diusahakan. Fiat justitia, ruat caelum; keadilan perlu ditegakkan, sekalipun langit akan runtuh, kata para penyinta supremasi hukum. Ideal-ideal hukum disusun dan ditegakkan demi melindungi mereka yang teraniaya, lemah, dan tertindas, meski ia tak selamanya sempurna dan disusun untuk tujuan seluhur itu.

Hukum juga tidak serta-merta menjamin keadilan akan tegak, dan pola-pola hidup yang beradab terjamin. Orang-orang lemah dan tertindas juga tidak otomatis akan terlindungi dan mendapat keadilan yang penuh. Produk hukum yang sudah baik bisa jadi tidak jalan bila tidak ditegakkan secara konsisten dan sekadar menjadi macan kertas yang dapat disobek kekuatan-kekuatan dominan mana pun.

Karena itu, peran masyarakat dalam mendorong proses penegakan hukum atas mereka yang semena-mena selalu diperlukan. Supremasi hukum (bukan pemaksaan kehendak sekelompok orang yang tampak garang) adalah salah satu rukun berdemokrasi. Kalau rukun itu tidak lagi terjamin, masyarakat akan serentak mengucap “selamat tinggal demokrasi, selamat datang hukum rimba!” [Novriantoni]

25/09/2005 | Editorial | #

Komentar

Komentar Masuk (5)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Surat al mumtahanah ayat 10 secara garis besar menyatakan bahwa para lelaki kafir tidak halal bagi wanita yang beriman. Bagaimana anda-anda dapat mengatakan bahwa perkawinan antara seorang wanita muslim dengan seorang pria non-muslim bisa diperbolehkan dalam islam? Mohon penjelasannya karena saya masih tidak dapat menerima pendapat aktivitas JIL yang meragukan tentang nilai-nilai kebenaran mutlak yang terkandung dalam al-quran
-----

Posted by Roy Djanegara  on  10/09  at  02:10 AM

Kerukunan antar umat beragam hendaknya harus terus di perjuangkan, sesuai dengan piagam madinah. Misi dakwah dalam menyebarluaskan kebenaran suatu agama hendaknya dengan cara yang ahsan, dan damai. Karena seharusanya umat muslim berlemah lembut kepada saudaranya sesama muslim, dan menjaga hak-hak zimmi (non muslim yang berdamai). seharusnyalah setiap umat manusia merasa damai manakala mendengar kata Islam, bukannya teringat akan teror dan kekerasan karena kata islam sendiri berarti keselamatan (as-salam).

Posted by agung chandra  on  10/01  at  07:11 AM

Assalamu’alaikum. Tulisan Bapak Novriantoni tampak jelas meragukan sabda Nabi Muhammad saw. bahwa setiap manusia lahir dalam keadaan fitrah (suci) dan kedua orangtuanyalah yang kelak membentuknya menjadi Yahudi, Nasrani, atau majusi. Di sini ada kesengajaan atau kealpaan Bapak memenggal kutipan hadits. Dengan hadits yang lebih lengkap dari kutipan Bapak ini, kita jadi jelas bahwa pada hakikatnya manusia lahir dalam keadaan suci, siapa pun dia. Apakah ada bayi yang lahir langsung merusak tempat hiburan malam? Nah, keterangan hadits berikutnya menyiratkan bahwa lingkunganlah yang kelak membentuk kepribadian manusia itu seiring pertambahan usia.  Jadi, keraguan Bapak akan hadits fitrah manusia ini tidak beralasan. Apalagi dalam tulisan Bapak, Bapak langsung meloncat dari kutipan hadits yang tidak sempurna ke aksi anarkis manusia dewasa. Apakah ini disengaja? Oya, gaya-gaya manipulasi data seperti ini biasanya digunakan media massa untuk membentuk opini pembaca. Wassalamu’alaikum.

Posted by Harlis Kurniawan  on  09/30  at  11:10 AM

Salam

Allah memiliki sifat rahman,rahim.Dan para rasulpun memiliki kasih sayang yg begitu besar pd sesama bahkan pada binatang sekalipun.Ibrahim pernah ditegur Allah,gara gara enggan memberi makan pada orang miskin yg ateis,sudah seharusnya kita sebarkan kasih sayang pd semua orang dgn tanpa melihat statusnya.Bukan dgn jihad yang tidak pd tempatnya,rasul memerintahkan untuk jihad,tapi juga jangan lupa rasulpun memiliki kasih sayang yg luar biasa.

Wassalam

Posted by ahmad assyaukany  on  09/30  at  09:10 AM

Saya kira para manusia JIL harus banyak turun ke Masyarakat untuk mengetahui secara persis mengapa kelompok tertentu itu melakukan kekerasan. Coba perhatikan obyek obyek - obyek yang dikerasi, kenapa dia dikerasi? apa penyebabnya? Pasti ada dech penyebanya. Contoh : TNI menghajar GAM dan OPM, tentu ada penyebabnya khan?, Nah dalam kasus lain pun serupa, misal FPI mengobrak abrik tempat penjualan MIRAS, apa penyebanya? ya jelas MIRAS yang banyak dikonsumsi oleh kalangan masyarakat bawah itu sangat merusak kehidupan sosial masyarakat.Sebuah keluarga yang suami atau anaknya suka mabuk-mabukan, maka itu akan terasa bagaikan dineraka bagi anggota keluarga yang lain bahkan tetangganya pun terimbas.Begitu juga JUDI, Perzinahan, narkoba dll. Bagi masyarakat bawah semua itu sumber-sumber kekacauan yang harus diberantas. mungkin anda akan bilang khan sudah ada polisi?, anda khan tahu sendiri?. Nah dalam bulan puasa ini, coba salurkan tenaga dan pikiran kalian para manusia JIL yang katanya CERdas, modern, jenius, coba dech berhenti ngomong (nulis), tapi terjun ke bawah, masuklah ke terminal terminal,pasar-pasar, tempat pelacuran kumuh, tempat warung remang-remang, rumah rumah kumuh, keluyuranlah malam malam ke tempat diskotik, tempat bilyard, dll, coba pelajari efek dari MIRAS, JUDI,PELACURAN. Coba pelajari kehidupan keluarganya, kehidupan sosialnya, efeknya pada keluarga,pada tetangga, pada masyarakat sekitar, coba dech pelajari secara teliti dan dengan pikiran cerdas kalian coba simpulkan sendiri.

Posted by joko santoso  on  09/27  at  04:09 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq