Ibrahim Hosein: Sosok Pembaru - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Diskusi
14/07/2006

Diskusi di UIN Jakarta Ibrahim Hosein: Sosok Pembaru

Oleh A. Mustafa

Hukum tidak tergantung pada sebuah benda, tapi hukum terkait dengan perbuatan manusia. Dalam ushul fiqh ada kaidah yang mengatakan ”Kitabullah al-muta’alliq bi af’ali al-mukallafin”, firman Allah itu terkait dengan perbuatan mukallaf, individu. Definisi ini dipertegas oleh Ibrahim Hosein dengan sikapnya yang menolak adanya hukum haram pada uang. Yang haram adalah perbuatan orang dalam menggunakan uang itu.

“Ibrahim Hosein termasuk sosok pembaru hukum Islam yang cenderung berani melahirkan gagasan-gagasan revolusioner pada masanya. Sikap revolusiner pemikirannya ditampilkan dalam upayanya merelatifkan syariah. Menurutnya syariah perlu dipikirkan, perlu diletakan sebagai produk manusia yang tidak bersifat absolut.”

Demikian pernyataan kritis Abd. Moqsith Ghazali dalam diskusi Jaringan Islam Liberal bekerja sama dengan Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci) dan Badan Eksekutif Mahasiswa Siyasah Syariah (BEMJ Siyasah Syariah) pada Selasa, (27/6) di Ruang Teater Lt.2 Fakultas Syariah dan Hukum (FSH), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Diskusi dengan tema “Pembaruan Hukum Islam di Indonesia: Telaah Pemikiran Prof. K.H. Ibrahim Hosein” selain menghadirkan Moqsith sebagai pembicara juga mengundang JM. Muslimin, Peniliti INIS, dan Dr. Mujar Ibnu Syarif, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum.

Terkait dengan pembaruan yang dilakukan Ibrahim tentang relativitas syariah, Moqsith mengaku ingat akan sebuah pertanyaan: apakah sanksi-sanksi hukum dalam bidang kepidanaan itu berfungsi sebagai menambal dosa yang bersangkutan (jawabir) atau sebagai upaya menjerakan pelaku pidana (zawajir). Menjawab pertanyaan itu, Menurutnya, Ibrahim Hosein termasuk orang yang mengatakan bahwa hukum berfungsi sebagai zawajir.

Pada posisi ini, Ibrahim dinilai sebagai orang yang setuju bahwa sanksi hukum dalam bentuk potong tangan dan rajam tidak relevan bila diterapkan di bumi Indonesia. Potong tangan, rajam, dan cambuk bukanlah tujuan hukum itu sendiri, melainkan lebih sebagai instrumen agar membuat pelaku pidana jera. Karenanya, dalam konteks ini syariah menjadi relatif, bisa diubah, mungkin dengan cara dipenjarakan atau semacamnya. Dalam pandangan Ibrahim, bila penjara bisa membuat para pelaku pidana menjadi jera maka potong tangan tidak perlu dilakukan.

Pernyataan ini pernah membuat marah Satria Effendi, salah seorang ahli fiqh lain pada masanya. Menurut Effendi dalam hukum potong tangan selain terkandung fungsi sebagai zawajir juga terkandung jawabir. Menanggapi kemarahan itu, Ibrahim mengatakan bahwa itu hanya lantaran, wasilah, bukan tujuan, ghayah dari diterapkannya sebuah sanksi hukum tertentu.

Moqsith selain mengaku tersanjung dengan ketokohan Ibrahim, ia juga tidak terlepas untuk mengkritiknya. Pasalnya, Ibrahim ingin menyerahkan otoritas dalam melakukan tahkim dan takhsis itu kepada lembaga pemerintah. Sikap seperti ini sangat berisiko. Karena bagaimana bila pemerintahnya zalim dan otoriter akan membahayakan produk hukum yang dihasilkan. Menurut Moqsith, baik takhsis maupun tahkim hanya dapat dilakukan akal publik. Dalam kaidah ushul fiqh yang dibuatnya sendiri berbunyi yajuzu tanqihun nushus bi aql al-mujtama’, yaitu menyortir ketentuan yang ada dalam al-Quran dan sunnah, terutama yang partikular, dengan menggunakan akal publik, tidak menyerahkannya kepada pemerintah. 

Sementara itu, pembicara lainnya, JM. Muslimin, lebih menyoroti Ibrahim Hosein pada sisi epistemologinya dalam mengeluarkan sebuah produk-produk hukum Islam. Menurutnya, Ibrahim memiliki geneologi pemikiran yang coraknya lebih ushul fqih yang memiliki kesamaan dengan seorang ulama fiqh pada masa kolonial, Syaikh Utsman. Lebih jauh Muslimin menilai, Ibarahim tidak lebih dari duplikasi ulama tersebut. Kesamaan itu bisa dilihat pada pandangan bahwa dalam pemutusan sebuah hukum sangat terkait dengan masalikul ‘illat. Yang pada gilirannya dari pandangan ini ia sampai pada kesimpulan bahwa porkas dan SDSB adalah boleh. Pandangan ini bertentangan mainstream pada waktu itu yang mengatakan, baik porkas maupun SDSB adalah uang haram

Hukum tidak tergantung pada sebuah benda, tapi hukum terkait dengan perbuatan manusia. Dalam ushul fiqh ada kaidah yang mengatakan ”Kitabullah al-muta’alliq bi af’ali al-mukallafin”, firman Allah itu terkait dengan perbuatan mukallaf, individu. Definisi ini dipertegas oleh Ibrahim Hosein dengan sikapnya yang menolak adanya hukum haram pada uang. Yang haram adalah perbuatan orang dalam menggunakan uang itu.

Muslimin menilai, eksplorasi pemikiran yang dilakukan para pembaruan hukum Islam, dalam hal ini termasuk Ibrahim Hosein, tidak berhasil melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi epistemologi hukum Islam, ushul fiqh. Pasalnya, apa yang dilakukan Ibrahim dalam melakukan rumusan-rumusan sebuah hukum tidak mampu sampai pada kesimpulan yang konklusif. Artinya tidak pada kesimpulan yang jami’ dan mani’ tentang apa yang menjadi perdebatan pada sistematika nilai, filosofi nilai yang terdapat dalam Islam sendiri. Ushul fiqh yang lebih banyak bicara tentang sesuatu, tapi tidak memiliki batasan-batasan yang jelas, batasan yang komprehensif sekaligus restriktif. 

Lain halnya dengan presentasi yang disampaikan Mujar Ibnu Syarif yang berusaha memotret sosok Ibrahim Hosein dari sisi kontroversinya saat dia menjadi ketua MUI pada tahun 80-an. Menurut Mujar, Ibrahim selain mengeluarkan pandangannya tentang pembolehan SDSB dan Porkas, ia juga pernah mengeluarkan pernyataan soal penghalalan hewan kodok. “Memakannya haram tetapi membudidayakannya halal,” tegasnya dengan nada datar.

Hal lain yang juga sempat menjadi kontroversi, adalah tindakannya ketika dia sakit memakan daging babi. Padahal dia sudah dilarang untuk tidak memakannya. Ketika ditanya, kata Muzhar, Ibrahim menjawab, seraya berfatwa: lebih baik mati kekenyangan daripada mati kelaparan.

Diskusi pada kesempatan ini banyak mendapat apresiasi dari peserta. Tapi juga ada peserta yang menilai bahwa diskusi ini belum cukup berhasil menampilkan paradigma yang berbeda dari tiga pembicara yang hadir dalam memberikan penilain terhadap sosok Ibrahim Hosein. Pasalnya, tidak ada pembicara yang memiliki paradigma yang secara genuine berbeda dari pembicara lainnya. Mereka umumnya dinilai, tidak secara jelas baik itu mengagungkan sekali atau bahkan sebaliknya, mengkritik sekali terhadap sosok Ibrahim Hosein. “Sebaiknya dihadirkan para pembicara yang kontroversial,” tulisnya pada salah satu lembar evaluasi peserta yang disebarkan oleh panitia.[]

14/07/2006 | Diskusi | #

Komentar

Komentar Masuk (1)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Pada prinsipnya saya tidak setuju dengan apa yang dilontarkan bung Moqsith, karena jika ia terlalu berani mempublikasikan kaidah-kaidah ushul fiqh karyanya dan adanya mainstream merelativitaskan syariah, maka hal ini justru telah memancing obsesi umat Islam untuk meliberalisasikan dan mempopulerkan tafsiran tunggal dari syariah itu sendiri.

Jika hukum Islam tidak diabsolutkan, maka yang terjadi justru dekonstruksi secara liar terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai landasan pokok hukum Islam. Padahal seorang muslim tidak boleh mengganti keduanya dengan yang lain. Apalagi merelativitaskannya dan memberikan ruang kepada seseorang hanya untuk mengembangkan daya pikir dan akalnya yang justru menimbulkan uncontrollable spirit dalam perumusan kaidah-kaidah hukum itu sendiri karena peran akal (aql) yang cenderung subjektif dan dipengaruhi oleh hawa nafsu.

Kecenderungan lain yang dipastikan juga akan muncul adalah revisi bahkan re-abolisi terhadap hukum sebelumnya yang sudah pasti sangat vulnarable dan jauh dari sifat-sifat ‘single power’ layaknya Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, apa yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah wajib diterima dan ditetapkan oleh seorang muslim dan apa yang dinafikan (ditolak) oleh keduanya, maka wajib bagi seorang muslim untuk menafikan dan menolaknya. Tidak ada hidayah dan kebaikan melainkan dengan cara berpegang teguh kepada al-Qur’an dan as-Sunnah.

Mengenai hukuman dalam Islam terhadap kejahatan seseorang adalah wewenang pemimpin mutlak karena disuatu negara pasti memiliki pemimpin sedangkan kita wajib mendengar dan taat thd pemimpin, walaupun pemimpin kita fasik. Selagi ia tidak menyuruh melakukan perbuatan maksyiat atau kesyirikan. Karena ini pun berdasarkan perintah Nabi dalam hadistnya dari jalan sahabat Irbadh bin Syariah.

(Artinya: Aku wasiatkan kepada kalian untuk selalu bertakwa kepada Allah Azza Wa Jalla, dan mendengarkan serta taat terhadap pemimpin kalian. Meskipun kalian dipimpin oleh seorang budak Habasyah.....HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi)

Sesungguhnya tidak ada penghalang bagi kita saat ini dan seterusnya untuk menerima pernyataan Nabi Muhammad SAW dalam hadist tsb. Sekalipun dunia dan zaman seperti sekarang ini.

Selanjutnya Allah Azza wa jalla berfirman.

“Artinya : Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, maka tidak ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” [Al-Ahzab: 36]

Sikap orang yang beriman kepada Allah Azza wa jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam harus mendengar dan ta’at dan tidak boleh menolak apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Oleh karena itu Allah Azza wa jalla menyatakan, bahwasanya orang yang enggan dan menolak untuk mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak dikatakan beriman.

Seperti dalam firman-Nya yang lain.

“Artinya : Maka, demi Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” [An-Nisaa’: 65]

Allah Azza wa jalla juga memerintahkan orang-orang yang beriman untuk kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, manakala mereka berselisih, dalam menentukan jalan keluar dari apa yang mereka perselisihkan. Simaklah firman-Nya berikut ini:

“Artinya : jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembali-kanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [An-Nisaa’: 59] Wallahu a’lam bishawab
-----

Posted by Abu Fatih  on  07/17  at  04:07 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq