Fauzi Isman: Iklim Kebebasan Kita Harus Disyukuri
Oleh Redaksi
Perubahan sikap eskrem dalam beragama sangat mungkin asalkan sang ekstremis mau membuka diri dan bergaul dengan banyak orang dari latar belakang berbeda. Itulah yang pernah terjadi pada Fauzi Isman, mantan aktivis Kelompok Warsidi yang getol memperjuangkan negara Islam di tengah rezim represif Orde Baru. Pria yang kini menjadi terapis akupuntur itu menuturkan pengalamannya kepada M. Guntur Romli dari Jaringan Islam Liberal (JIL), Kamis (22/6) lalu.
Perubahan sikap eskrem dalam beragama sangat mungkin asalkan sang ekstremis mau membuka diri dan bergaul dengan banyak orang dari latar belakang berbeda. Itulah yang pernah terjadi pada Fauzi Isman, mantan aktivis Kelompok Warsidi yang getol memperjuangkan negara Islam di tengah rezim represif Orde Baru. Pria yang kini menjadi terapis akupuntur itu menuturkan pengalamannya kepada M. Guntur Romli dari Jaringan Islam Liberal (JIL), Kamis (22/6) lalu.
M. GUNTUR ROMLI (JIL): Mas Fauzi, apa yang dulu menjadi cita-cita Anda dan teman-teman waktu ikut terlibat kasus Tegalsari Lampung yang berkehendak mendirikan negara Islam itu?
FAUZI ISMAN: Cita-cita kami waktu itu, yang kemudian distigmatisasi oleh pemerintah sebagai gerakan pengacau Warsidi, adalah keinginan mendirikan negara Islam. Kenapa kami berpandangan seperti itu? Karena kami melihat bahwa Pancasila sebagai ideologi negara waktu itu telah gagal. Dan kami waktu itu melihat Islam sebagai sebuah alternatif. Saat itu kami yakin bahwa hanya dengan Islamlah bangsa ini akan dapat dibawa ke arah perubahan yang lebih baik.
JIL: Anda sebagai apa dalam Kelompok Warsidi?
Awalnya, kelompok Warsidi itu adalah salah satu faksi di dalam kelompok NII (Negara Islam Indonesia). Pada waktu itu, kelompok ini merupakan pecahan dari kelompok Usroh, Santan Nur Hidayat. Kemudian Nur Hidayat merekrut saya, Darsono, dan Wahidin, yang kebetulan punya pemikiran yang sejalan. Melihat kita perlu segera mewujudkan negara Islam, kita harus membentuk kekuatan militer. Sebab waktu itu, kekuatan militer cukup dominan dan tindakan represi dari pemerintah Orde Baru keras sekali. Banyak sekali aktivis-aktivis NII yang dipenjarakan, sehingga waktu itu faksi-faksi ini seperti kehilangan pemimpin, sehingga mereka-mereka yang sudah punya pola pikir fundamentalis tidak tersalurkan ke dalam aksi perbuatan. Itulah dasar pemikiran kami sehingga membentuk suatu jamaah. Kami tidak membentuk apa-apa lagi, tapi kira-kira jamaah itu bertujuan untuk mendirikan negara Islam.
JIL: Mengapa ideologi Islam begitu mempesona sebagai alternatif di masa itu?
Saya pribadi tertarik karena sikap kritis terhadap rezim yang berkuasa ketika itu. Dan ketertarikan saya pertama kali terhadap ideologi Islam bermula ketika mengikuti training yang diselenggarakan Pelajar Islam Indonesia (PII) di Bandar Lampung. Pada waktu itu, saya masih duduk di kelas 3 SMP. Saat itulah saya sadar bahwa sebagai seorang muslim, seharusnya saya mencari pandangan hidup ataupun ideologi yang Islam. Tapi dari sana juga saya menyadari kekuarangan pemahaman saya tentang Islam, sehingga saat duduk di kelas 1 SMU, saya minta orangtua saya memondokkan saya di pesantren Tambak Beras, Jombang.
Saya sempat dua tahun belajar di sana dan dari situ pula saya makin menyadari pentingnya ideologi Islam setelah mengkaji fikih Islam dan segala macam disiplin ilmu di pesantren. Saya lalu kuliah di perguruan tinggi umum di Jakarta. Di Jakarta inilah kemudian saya bertemu dengan kelompok NII, salah satu faksi NII Nur Hidayat. Saya tertarik karena semangat dia yang menggebu-nggebu hendak menegakkan syariat Islam di Indonesia.
Sebagai kelanjutan dari itu, kami membuat satu program yang ingin memberi suatu percontohan tentang negara Islam. Kami sebut Islamic Relief di Lampung. Lalu kami sosialisasikanlah misi ini ke faksi-faksi NII yang lain. Misalnya ada faksi dari Tahmid, faksi Ajangan, faksi Masduki, dan faksi lainnya, termasuk orang-orangnya Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir. Tapi waktu itu Ba’asyir lari ke Malaysia, dan sebagian orang menganggap tindakan Ba’asyir dan Sungkar tersebut sebagai tindakan pengecut.
Saya ingat persis, waktu itu seorang teman bernama Usman selalu mengatakan kok ada rasul yang hijrah duluan meninggalkan jamaahnya. Kebetulan setelah itu kami bertemu jamaah Warsidi di Lampung yang juga salah satu jamaah NII. Setelah itu, jadilah kami kelompok yang paling keras di antara yang keras. Itulah isu di kalangan NII kala itu. Kami lalu membuat program Islamic Village, dan melakukan program hijrah. Kami pindahkan keluarga-keluarga kami, lebih kurang 100 keluarga, ke tanah Warsidi.
Kepindahan orang-orang yang waktu memakai krudung masih dianggap aneh dan identik dengan ciri kelompok fundamentalis. Itu lalu menimbulkan kecurigaan aparat pemerintah. Sebab waktu itu pendekatan intelijen dan militer sangat kuat. Danramil waktu itu, Kapten Sutiman, meminta Warsidi untuk melaporkan kegiatannya, yang ditolak Warsidi. Tindakan menolak itu yang lalu dinamakan pembangkangan. Karena laporan intelijen juga menyebut kami sebagai kelompok radikal, lalu Sutiman melakukan penyerbuan dengan satu pasukan.
Di situlah terjadi insiden karena jamaah melakukan perlawanan dan Sutiman tewas. Selang dua hari kemudian, barulah Komandan Korem melakukan operasi pembersihan, sehingga banyak yang tewas. Ada sekitar 200 orang korban. Kami yang sisanya kemudian ditangkap, diadili, dan mengalami penyiksaan selama proses pemeriksaan. Pada waktu itu, saya diadili di Jakarta dan divonis 20 tahun penjara.
JIL: Kapan Anda berubah dari cita-cita ingin negara Islam menuju gerakan memperkuat basis-basis demokrasi?
Perubahan itu tidak terjadi seketika. Ada proses yang panjang dan mulai timbul ketika saya berada di penjara yang cukup lama, yaitu 10 tahun. Padahal usia saya waktu itu baru 22 tahun. Cuma waktu itu saya punya satu dasar yang menganggap semua itu sebagai proses mencari kebenaran dalam hidup. Itu dimungkinkan karena dalam diri saya ada sikap kritis.
Setelah mengalami kegagalan di Lampung, di penjara kita punya banyak waktu untuk kontemplasi atau melakukan muhasabah. Di situlah sikap kritis muncul. Doktrin-doktrin NII yang saya telan begitu saja selama ini, mulai saya kritisi. Dalam NII, kalau kita mengaji, ada konsep bai’at. Dampak psikologis bai’at itu ternyata betul-betul sangat mendalam. Seakan-akan, kita berbai’at di hadapan Allah langsung. Kalau kita melanggar bai’at itu, berarti kita menentang Allah. Padahal kita berbai’at tidak kepada Allah, tapi kepada manusia biasa yang kebetulan pimpinan. Belakangan saya bertanya, otoritas apa yang ia punya kok mengatasnamakan Allah?
Pada awalnya, saya takut-takut juga berpikir begitu. Tapi saya coba mencari referensi dari kitab-kitab fikih, apakah bisa bai’at tersebut dibatalkan. Dan saya kebetulan juga senang bergaul di dalam penjara. Waktu itu, tahanan politik ataupun narapidana politik ada sekitar 100 orang yang dibagi antara ekstrem kiri dan ekskrem kanan. Ekstrem kiri adalah tahanan politik yang terlibat atau diduga terlibat dalam kasus G30S/PKI, sementara ekstrem kanan yang terlibat masalah-masalah Islam kayak kasus Tanjung Priuk, Lambung, Usroh, dan NII.
Lalu saya berjumpa narapidana politik kasus Timor Timur. Ada yang bernama Sanan dan ada juga dari OPM (Organisasi Papua Merdeka), almarhum Dr. Thomas Wangggai. Nah, saya senang bergaul dengan mereka. Di situlah terjadi diskusi yang intens, walau kami tinggal di blok khusus EK (Ekstrem Kanan) yang dipisah dari tahanan khusus EK (Ekstrem Kiri) atau PKI. Blok tahanan Tim-Tim juga tersendiri. Pengawasannya sangat ketat. Tapi dari interaksi itulah saya memahami orang komunis.
Saya tidak tahu kebijakan apa pada waktu itu yang membuat pimpinan LP dan Bakorsanada menyatukan tahanan Lampung satu blok dengan tahanan politik G30S/PKI. Saya ketemu Kolonel Latif, Sersan Bungkus dari Cakrabirawa, dan bergaul juga dengan Asep Suryaman, anggota biro khusus PKI. Juga ketemu Sukatno, Ketua Pemuda Rakyat, dan Rewang Iskandar Subekti. Dari pergaulan dengan mereka saya tahu, meskipun ideologi mereka komunis, tapi mereka tidak atheis sebagaimana yang selama ini saya pahami. Pak Latif tetap shalat Jumat ke Masjid, dan Asep Suryaman juga demikian. Itu pengalaman yang sangat mengesankan bagi saya yang pada akhirnya membuat pandangan saya tentang mereka tidak hitam-putih.
Saya bisa memahami latar belakang perjuangan mereka. Tapi ketika itu, tahun 1990, setiap tanggal 1 Oktober, bersamaan dengan peringatan G30S/PKI, tahanan PKI itu diambil untuk diekskusi mati. Saya masih satu blok dengan mereka-mereka. Saya di kamar 11, sementara Pak Asep Suryaman di kamar 4. Nah, pada tengah malam ketika dia ingin dipanggil, mereka sudah tahu kalau akan dieksekusi. Mereka lalu datang untuk pamitan ke kamar saya. “Bung, kalau saya ada kesalahan dalam pergaulan dengan Anda, saya minta maaf. Saya tidak tahu apakah saya termasuk mereka yang akan dipanggil atau tidak,” katanya. Padahal dia sudah menjalani hukuman penjara 27 tahun. Karena itu, dia mengatakan, “Saya sudah siap menghadapi kematian.”
”Apa yang membuat Anda siap, Pak?” tanya saya. ”Saya membawa ini,” katanya sambil menunjukan buku surat Yasin kecil di kantongnya. Saya sangat tertegun melihat peristiwa itu. Ternyata saya salah selama ini. Mereka berideologi komunis, tapi tetap shalat. Dan ketika menghadapi kematian, buku Yasin kecil itu yang membuat dia yakin. Itulah yang mengubah pandangan saya agar tidak melihat orang lain secara hitam-putih. Padahal, selama ini, dalam NII diajarkan, pokoknya orang yang di luar kelompok kita adalah kafir dan segala macam cap buruk lainnya. Nah, itu yang mengubah saya, dan mendorong untuk mengupas dan mengkritisi doktrin-doktrin NII.
JIL: Mengapa Anda begitu lama tersadar akan kekeliruan doktrin NII?
Karena kelompok-kelompok seperti itu kan melarang jamaahnya untuk bergaul dengan kelompok lain. Untuk pengajian di jamaah lain pun nggak boleh. Kita juga dilarang membaca buku-buku di luar buku doktrin yang tersedia. Dulu ketika masih di NII, bacaan wajib saya adalah kitab Jundullâh (Serdadu Tuhan, Red). Di situ diterangkan, kalau kita sudah menyatakan kesetiaan atau walâ kepada seorang pimpinan, maka kepada selain dia harus barâ’ atau emoh taat. Ternyata, setalah saya pelajari lagi, konsekuensinya kan tidak selamanya seperti itu dalam kehidupan kita ini.
JIL: Ada buku yang mempengaruhi Anda ketika di penjara?
Banyak sekali. Kebetulan kami dikunjungi pula oleh berbagai kelompok. Saya mulai merambah buku-buku Islam dari berbagai lapisan. Buku-buku yang dikarang ulama Syiah juga saya baca. Buku-buku tentang demokrasi segala macam juga saya baca. Saya merasa beruntung ketika di penjara mempunyai banyak kesempatan untuk belajar, intropeksi-diri, kontemplasi, dan bergaul, termasuk dengan tahanan kriminal. Dari situ saya memahami tidak semua orang yang divonis kriminal itu jahat. Kadang-kadang lebih banyak motif ekonomi yang menyebabkan mereka terjebak dalam kriminalitas.
JIL: Mas Fauzi, bagaimana Anda melihat pelbagai gerakan Islam radikal yang sekarang ini cukup lantang bersuara memanfaatkan iklim demokrasi di Indonesia?
Bagi saya ada penyelesaian yang sangat gampang: penjarakan saja mereka dalam waktu yang lama, sehingga bisa intropeksi. Tapi memenjarakan itu tentunya kalau mereka melanggar hukum. Jadi pemerintah harus melakukan tindakan tegas. Menurut pengalaman saya, orang-orang ekstrem yang dipenjara cukup lama di masa lalu, akan merasakan pengalaman psikologis dalam perkembangan kesadaran mereka. Sehingga dengan begitu, mereka yang tadinya terlalu radikal akan jadi moderat.
Saya bisa contohkan kasus Abdul Kadir Barajah. Tadinya kita mengenal dia sebagai pengeboman Borobudur. Ketika divonis 18 tahun penjara dan menjalani masa tahanan hampir 12 tahun, setelah keluar dia mendirikan gerakan Khilafatul Muslimin yang lebih berorientasi kultural. Jadi dia tetap memperjuangkan syariat Islam, tapi dengan cara yang lebih ramah. Jadi, saya bisa katakan bahwa mayoritas orang-orang yang dulu berpandanagan radikal seperti Abu Bakar Ba’asir dan lain sebagainya itu, ketika dipenjara menjadi cukup moderat atau arif. Dalam kasus NII, saya bisa sebutkan nama Tahmid Kartosuwiryo, kemudian almarhum Aceng Kurnia, dan banyak lagi.
Pengalaman intropeksinya itu lebih lama, sehingga mereka bisa menyadari sebetulnya di mana kesalahannya. Hanya saja, dulu Abu Bakar Ba’syir kabur ke Malaysia dan tidak berani menghadapi pengadilan dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Itu memang hak dia. Tapi saya memilih strategi pencerahan, melakukan kajian, dan diskusi tentang Islam politik. Dengan begitu, tafsiran tunggal yang monopoli kebenaran tentang negara Islam yang selama ini didomonasi oleh kelompok-kelompok ekstrim tersebut, mendapat pembanding. Ternyata, kalau kita kaji literatur-literatur klasik Islam, banyak sekali sikap moderat dalam memandang hubungan Islam dan negara. Tapi karena selama ini tidak ada pembanding, orang-orang yang sebelumnya tidak mengenal Islam itu jadi terkesima. Saya dulu juga orang yang seperti itu.
JIL: Menurut Anda, apa perbedaan antara kelompok-kelompok radikal Islam radikal saat ini dengan Anda dulunya?
Ada satu hal mendasar yang saya lihat. Kalau dulu, munculnya radikalisasi dari kalangan Islam itu karena adanya tindakan represif dari penguasa. Jadi kita berbeda pendapat sedikit saja sudah ditahan, diintrogasi, dan disiksa. Kita nggak bisa bebas. Khatib-khatib Jumat, kalau dulu mau berkhutbah, bahannya harus diperika dulu oleh Laksusda Jaya dan Bakorkanas seminggu sebelumnya. Tapi sekarang, saya melihat kekerasan itu justru terjadi secara horisontal, bukan untuk melawan kesemena-menaan, dan hanya untuk pemaksaan pendapat. Jadi ada keinginan untuk memonopoli dan kalau ada orang yang tidak sependapat dengan dia, dilakukanlah berbagai tindak intimidasi, stigmatisasi, dan teror.
Itulah yang membedakan keduanya. Karena itu, untuk yang saat ini, saya tidak melihat adanya alasan bagi mereka untuk bertindak. Terhadap pelacur dipukuli; apa alasannya? Saya yakin, tidak ada orang yang ingin menjadi pelacur. Jadi harus dilihat persoalannya itu apa sebenarnya.
Jadi proses radikalisasi itu dulunya untuk melawan represi, sementara kini untuk melakukan represi?
Ya, karena itu kini tidak ada alasan rasional untuk ada. Tapi anehnya, terhadap kelompok yang melakukan anarkisme itu, tidak ada penekanan yang memadai dari aparat. Saya tidak melihat aparat melakukan itu pada Muhammad Riziq Shihab, misalnya. Seharusnya, dia bersyukur dengan kondisi saat ini. Dulu kita memperjuangkan dan menyosialisasikan wacana Islam dan bicara soal negara Islam saja sudah dipenjara. M. Irfan Awas itu dulu pernah menerbitkan buletin Risalah lalu kalau tidak salah, dipenjara 7 tahun. Itu hanya karena dia mau menerbitkan buletin yang menyosialisasikan wacana negara Islam.
Nah, sekarang kan dengan bebasnya kita bisa berdiskusi dan berwacana. Kondisi ini harus kita syukuri, dan untuk itu, tawarkanlah ide-ide negara Islam dengan cara yang ramah. Biarlah masyarakat yang menentukan mau menerima atau tidak. Bukan dengan pemaksaan seperti yang terjadi sekarang ini.
JIL: Beberapa individu yang sempat seideologi dengan Anda juga dipenjara, tapi setelah keluar tetap tak berubah. Apa yang membedakan orang seperti Irfan Awwas itu misalnya, dengan Anda?
Irfan Awwas itu dipenjara di Nusakambangan, sebuah daerah terisolir. Jadi pergaulan dia dengan kelompok-kelompok politik yang lain sangat terbatas. Sehingga dia tidak punya kesempatan untuk bergaul dengan orang lain, seperti tahanan politik dari berbagai latar belakang ideologi. Tapi memang ada juga yang pernah sama-sama di Cipinang dengan saya, tapi kini tetap ekstrem. Saya ingin contohkan Abu Fatih yang sekarang menjadi ketua Mantiqi II Jamaah Islamiyah yang sedang dicari-cari. Namanya dulu dikenal sebagai Abdullah Mansyuri. Tapi saya melihat, memang sejak dulu dia tidak mau bergaul dengan orang lain. Dia tetap memelihara sikap ogahnya.
Dulu saya ingat, pernah ada bantuan dari kelompok Gereja. Dia begitu takut bantuan itu akan membahayakan akidah. Pasti mereka ingin mengkristenkan kita, pikirnya. Padahal, kalau dia sudah yakin dengan ideologi Islamnya, kenapa mesti takut akan dikristenkan? Dia sampai membakar baju yang diberikan pihak gereja. Jadi memang ada sikap-sikap yang tidak mau bergaul sejak dulu. Mungkin itu pilihan dia. Saya kira itu di antara beberapa faktor yang penting. []
Komentar
Terimakasih untuk kang Fauzi Isman yang telah memberikan pengalaman hidupnya. Sebuah pengalaman yang patut kita renungkan bersama, bahwa dalam keheningan, kesuraman dan kepengapan terali besi tidak membuntukan hati dan jiwa manusia tapi malahan memberikan sebuah pengalaman hidup yang tak terkira nilainya. That’s The God Style! HidayahNya akan diberikan pada seseorang yang tak pernah kita sangka. Ingatan saya kembali pada sebuah tanggapan pada situs ini, “Dunia ini bukan hanya milik mereka yang beragama dan tunduk pada Tuhan, tapi juga milik mereka yang tak berTuhan bahkan setan sekalipun”. Pemikiran sempit dan berwawasan rendah akan menjadikan bangsa ini terseok-seok pada sebuah kehinaan dan membuat manusia menjadi sombong dan congkak hati. Sebagian lagi terhipnotis dan tanpa tersadar telah menjadikan manusia (pemimpin) seperti layaknya Tuhan. seorang pemimpin yang penuh bopeng kemunafikan dan kesombongan!!! Drama kehidupan inilah yang sedang kita nikmati saat ini. Sekali lagi terimakasih buat kang Fauzi, semoga segala tindakan Kang Fauzi diridoi Allah. Buat JIL and the gang khususnya Mas Ulil Abshar-Abdalla salam hormat kami dari Bali and kapan nich ke Bali?
-----
apa yang dirasakan oleh bung fauzi, pasti dirasakan banyak orang, itu sudah sunnatullah. karena keyakinan seseorang (baca:iman) seseorang mengalami metamorfosis, kadang naik-kadang turun. tapi metamorfosis yang dialami bung fauzi sungguh sangat positif, orang akan menilai bahwa dulu, waktu masih aktif jadi Islam radikal bung fauzi salah. dan ternyata sekarang ini fenomena tumbuhnya organisasi islam radikal sangat membuat negatif umat Islam. semoga pencerahan yang dilkaukan bung fauzi terhadap kawan-kawan yang masih radikal tercapai. achsin el-qudsy
Saya sangat sangat salut dan terharu membaca pengalaman Bang Fauzi. Dan semoga hal itu dapat mencerahkan hati-hati saudara kita yang masih keras membantu penuh emosi, bendi , dendam dan permusuhan dengan orang-orang yang berlainan faham, pendapat dan keyakinan.
Seharusnyalah orang yang katanya paling religius, bermoral, pintar ceramah agama, dan mengkliam bahwa agamanya yang paling benar mesti mampu memberi contoh dan menerapkan dalam prilakunya sehari-hari seperti : penuh kedamaian, kesejukan, arif dan toleransi serta menyayangi semua makluk dan alam ini. Jika oknum/kelompok itu hanya baru bisa mendoakan , membantu dan menyayangi kelompok/golongannya saja, maka sangatlah sempit, picik dan dangkal sekali wawasan/pengetahuan/pemahaman oknum/kelompok itu terhadap ajaran agamanya karena dia baru bisa menilai sesuatu dari kacamata atau sudut pandangnya sendiri saja !!
Patut digarisbawahi pernyataan Fauzan, bahwa dulu ia dkk menjadi radikal karena mengalami represi dan demi utk melawan represi. Sama halnya misalnya dgn gerakan anak2 muda pro demokrasi yg radikal semacam Forkot atau PRD. Namun saat ini gerakan radikal di alam reformasi tdk utk melawan represi tetapi demi melakukan represi itu sendiri. Wow, betapa absurd dan jg sangat berbahaya bagi kelangsungan negara kita. Dia bersaksi jg bahwa memang Baasyir berkaitan erat dgn Abdullah Sungkar, dan terlibat dlm gerakan radikal. Masuk akal apabila AS marah2 melihat Baasyir dihukum ringan, pdhal dialah ulama yg mendorong Amrozi dkk melakukan aksi teror bom di Indonesia.
Untuk itu, sdh saatnya pemerintah tanpa ragu2 lagi segera memberangus gerakan anarkis ini spt FPI, HTI dan MMI, sebelum mereka benar2 menjadi gerakan militer dgn senjata. Sdh terlalu banyak bukti yg bisa digunakan utk mengirim mereka ke penjara, dan semoga seperti saran Bung Fauzan mereka menemukan pencerahan dan bertobat di penjara. Sehingga muka Islam tdk coreng moreng gara perbuatan mereka spt yg tjd saat ini.
Wawancara ini bagus sekali, sayangnya pembacanya terbatas. Alangkah baiknya jika wawancara seperti ini dapat dimuat di surat kabar besar-besar atau televisi, agar orang yang radikal dapat berpikir ulang akan jalan yang diambilnya, di lain pihak aparat/penegak hukum dan kaum moderat yang selama ini takut-takut/ ragu menindak kaum radikal dengan pengetahuan ini dapat menjadi lebih berani untuk menindak mereka.
Komentar Masuk (7)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)