Indahnya Belajar Agama dengan Riang - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
09/02/2004

Andi A Malarangeng: Indahnya Belajar Agama dengan Riang

Oleh Redaksi

Perkenalan agama yang menyenangkan bagi seorang anak sejak dini akan berperan besar dalam membentuk karakter diri dan kecintaannya akan nilai-nilai agama. Metode pembelajaran agama dengan cara bercerita dan tidak dogmatis, dapat menarik minat anak untuk tahu agama lebih banyak. Kesan-kesan masa kecil itulah yang nantinya menentukan apakah nilai-nilai agama bagi seseorang berperan di level sosial atau tidak.

Proses perkenalan agama yang menyenangkan bagi seorang anak sejak dini akan berperan besar dalam membentuk karakter diri dan kecintaannya akan nilai-nilai agama. Metode pembelajaran agama dengan cara bercerita dan tidak dogmatis, dapat menarik minat anak untuk tahu agama lebih banyak. Kesan-kesan masa kecil itulah yang nantinya menentukan apakah nilai-nilai agama bagi seseorang berperan di level sosial atau tidak.

Bagi Andi Alfian Mallarangeng, dosen Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) yang lebih dikenal sebagai ilmuwan politik jebolan Northern Illinois University, pengalaman keagamaan yang menyenangkan di masa kecil, sangat meyakinkan dirinya ketika dia berperan di masa sekarang, baik pada level individu maupun sosial. Apalagi sekarang dia memilih terjun ke politik praktis. Berikut petikan wawancara Ulil Abshar-Abdalla dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) dengan pria murah senyum yang khas dengan kumisnya ini pada Kamis, 5 Februari 2004.

ULIL ABSHAR-ABDALLA (ULIL): Bung Andi, bagaimana agama dikenalkan kepada Anda sewaktu kecil?

ANDI ALFIAN MALLARANGENG (ANDI): Saya merasa bahwa pendidikan agama merupakan bagian dari fase masa kecil saya yang menyenangkan. Kami belajar agama di Parepare bersama anak-anak lain dengan cara mengaji di surau. Sebelum mengaji --karena di sana terkenal rumah tinggi-- kami harus menimba air ke rumah guru. Dan itu bagi kami merupakan bagian dari permainan. Setelah mengaji kami pulang, lalu salat Ashar di masjid Labatu di Parepare. Malam hari saya juga ikut madrasah, sehingga belajar agama menjadi bagian yang menyenangkan bagi saya.

ULIL: Apa karena ada unsur permainan?

ANDI: Ya, karena ada unsur permainan, pendidikan, dan pertemanan dengan anak-anak lain. Agama betul-betul menjadi bagian yang menyatu dengan masa kecil saya. Waktu mengaji, kita diberi nasehat-nasehat agar jujur, tidak mencuri, dan lain sebagainya. Kita juga beramai-ramai belajar membaca Al-Qur’an di bulan puasa, lalu menikmati hari raya dengan baju baru. Dengan cara-cara seperti itu, bagi saya agama menjadi sesuatu yang menyenangkan, dan nilai-nilainya seperti masuk sendiri tanpa harus dengan jalan paksaan.

ULIL: Apakah keluarga Anda tergolong keluarga santri?

ANDI: Kalau dipikir-pikir, mungkin keluarga saya tergolong keluarga santri, keluarga NU. Kakek saya dulu pendukung partai NU. Dia juga pernah mengecap pendidikan Belanda, lulusan Stovia. Ibu saya juga bersekolah di sekolah Belanda, tepatnya sekolah Katolik di Semarang. Saya juga disekolahkan di sekolah Katolik sejak tingkat SD sampai SMP. Tapi saya juga mengaji di siang dan sore hari di Madrasah, sehingga dua dunia pendidikan itu disatukan. Di satu pihak saya disuruh belajar di sekolah Katolik, tapi di pihak lain juga diberi ilmu agama dalam konteks yang membuat hati kanak-kanak riang. Pendidikan SMA saya lalui di sekolah negeri di Yogyakarta. Hanya SD dan SMP di sekolah Katolik dengan para pastur sebagai gurunya.

ULIL: Apakah Anda tidak mengalami konflik batin sewaktu bersekolah di sekolah Katolik?

ANDI: Tidak juga, walaupun di sana saya diajarkan juga tentang dosa asal, penyelamatan Kristus, dan lain-lain. Waktu itu saya juga harus ikut dalam mata pelajaran agama Katolik. Hanya saja, sejak kecil saya sudah berpikir untuk ikut dan mendengarkannya sebagai sebuah cerita. Biasalah, anak-anak kan senang dengan cerita-cerita. Tapi, di luar sekolah formal saya diajarkan Islam dalam kehidupan sehari-hari.

ULIL: Jadi meski sekolah di sekolah Katolik, Anda justru tidak mengalami ketegangan?

ANDI: Tidak, karena kita menanggap pergi ke sekolah Katolik itu sebagai sebuah keharusan pendidikan, sebagaimana kakek dan ibu saya pergi ke sekolah Belanda. Karena itu kita berpikir tidak ada jalan lain.

ULIL: Apa karena waktu itu bersekolah di sekolah Katolik merupakan gengsi sosial?

ANDI: Barangkali juga. Elit-elit politik di Sulawesi Selatan waktu itu menganggap bahwa sekolahan yang baik adalah sekolah Katolik. Karena itu mereka yang ingin anaknya mendapat pendidikan terbaik, dia akan menyekolahkan anaknya di sekolah Katolik. Memang tidak semua berpikiran begitu. Hanya saja, kakek saya termasuk orang Bugis pertama yang bersekolah di sekolah Belanda; ayah saya termasuk sarjana dari orang Bugis pertama dari Universitas Gajah Mada. Jadi di situ ada keinginan untuk mendapat pendidikan umum yang baik sembari menguatkan basis pandidikan agama.

ULIL: Apakah sikap itu tidak mendapat kritikan dari tokoh-tokoh agama setempat?

ANDI: Tentu saja dikritik, karena pada waktu itu masih ada yang menganggap masuk sekolah Belanda sebagai masuk sekolah orang kafir. Hanya saja, saya juga ikut madrasah yang sangat terkenal di Parepare, yang dikelola oleh Ustaz KH. Pabaja, dan itu dekat dengan rumah saya. Orang di sana menyebutnya sekolah Arab, dan kalau mengaji menggunakan cara tradisional dengan kombinasi bahasa Bugis, guru mengaja dengan bahasa Bugis, dan dengan dialek Bugis.

Nah, ketika masuk madrasah Ustaz Pabaja itu, barulah kita mengenal istilah-istilah Arab seperti fathah, dlommah, dan lain-lain. Beberapa kata Arab juga diajarkan kepada kami, seperti hadza saqfun, hadzihi sa’atun, dan lain-lain. Jadi ketika anak-anak, semua proses itu menyenangkan saja bagi saya.

ULIL: Apakah Anda pernah mengikuti misa di gereja?

ANDI: Oh, tidak pernah. Tapi di depan rumah saya terdapat gereja Pantekosta yang cukup besar. Dan teman-teman saya semacan Niciy dan Charles asyik menyanyi di gereja itu. Saya ikut ngintip-ngintip saja dari luar gereja.

ULIL: Setelah itu kan Anda ke Yogya, bagaimana kelanjutan sosialisasi agama di sana?

ANDI: Di Yogyakarta saya masuk SMA negeri, dan boleh dikatakan waktu itulah pertama kali saya mendapatkan pendidikan Islam secara resmi dan di sekolah formal. Sebelumnya saya mendapatkan pendidikan di sekolah Katolik. Jadi di Yogya, saya menjadi merasakan baru belajar agama secara resmi, misalnya tentang rukun Islam, rukun iman, dan berbagai istilah yang resmi tentang Islam. Sebelumnya, saya memang sudah menerimanya dengan bahasa yang kurang resmi; bahasa Bugis, gaya Bugis. Saya juga sedikit belajar bahasa Arab. Tapi di SMA itu, rukun iman dan rukun Islam itu dipelajari dari berbagi buku teks dengan sistim hafalan.

ULIL: Apakah Anda menikmati hafalan itu atau merasa terbebani?

ANDI: Saya merasa agak terbebani karena harus menghafal. Makanya, saya sering protes pada guru agama; apakah nilai-nilai agama itu merupakan hal yang harus dihafal atau sesuatu yang harus diperbuat langsung. Tapi saya waktu itu juga menyenangi suasana di sekolah negeri, karena ada akrab dengan teman-teman yang mengelola salat Jumat. Suasana kelompok keagamaan itu berbeda dengan pendidikan agama yang harus menghafal buku teks tadi, untuk kemudian diujikan. Padahal, selama itu saya tidak pernah diuji secara resmi seperti itu.

ULIL: Menurut Anda, aspek-aspek apa dalam pendidikan agama yang cukup berpengaruh dalam pembentukan pribadi Anda?

ANDI: Pada periode SMA, saya kurang mendapat apa-apa, kecuali terminologi-terminologi keagamaan saja. Hanya saja, sejak kecil saya sudah membaca buku tentang kisah-kisah Rasul. Kemudian di Yogyakarta saya banyak berhubungan dengan buku-buku perpustakaan tentang persoalan keagamaan yang sedikit lebih canggih. Nah, pengalaman itu bagi saya jauh lebih penting dalam sosialisasi nilai keagamaan, karena memuat pesan-pesan keagamaan yang baik. Sewaktu kecil di Makassar, karena bersekolah di sekolah Katholik tadi, orang tua saya selalu men-supply buku-buku komik Rasul. Yogyakarta merupakan tahap pengembangan lanjut, karena saya mulai berjumpa buku-buku agama yang bisa saya baca sendiri, meskipun tidak ada ujian di sekolah.

ULIL: Buku-buku sejarah Nabi banyak mempengaruhi Anda?

ANDI: O, iya. Dari situ kita tahu bagaimana rasul-rasul seperti Ibrahim, Ishak, Ya’kub, Isdmail dan lainnya itu berperan dalam masyarakat. Di Yogyakarta, kan banyak sekali buku-buku murah bekas yang bisa kita beli. Itu yang banyak saya manfaatkan.

ULIL: Lantas, bagimana Anda melihat proses sosialisasi agama pada anak-anak dewasa ini?

ANDI: Sekarang saya rasa makin baik. Saya punya dua anak yang duduk di kelas 2 SMA dan kelas 4 SD. Yang satu di sekolah Al-Azhar dan satu lagi di sekolah negeri. Hanya saja, saya agak pusing ketika mereka harus menjawab PR untuk mata pelajaran agama yang banyak masuk kategori hafalan atau memorisasi. Mereka banyak sekali diharuskan menghafal terminologi keagamaan yang baku. Bagi saya, pelajaran mereka itu cocoknya untuk mahasiswa yang spesialis belajar syariah. Saya sendiri sebetulnya lebih cocok dengan pola pengajaran guru agama saya dulu; dengan bahasa Bugis, dan dengan pengetauan yang tidak terlalu hebat, tapi mampu menceritakan kisah nabi-nabi dan apa makna balik peristiwa-peristiwa sejarah itu.

ULIL: Itu tentu ikut menanamkan semacam heroisme di kalangan anak-anak, ya?

ANDI: Luar biasa. Dari kisah-kisah guru itu, kita mengetahui tentang perang Badar dan Uhud misalnya, dan kenapa bala tentara Rasulullah sempat kalah dalam perang Uhud. Dari situ kita bisa tahu, pelajaran apa yang bisa dipetik. Bagi saya, pola pengajaran agama seperti itu jauh lebih hebat bagi pembentukan watak, kesadaran moral, dan juga kejernihan berpikir tentang makna di sebalik kisah. Kenapa Rasulullah kalah waktu perang Uhud, karena bala tentara Islam waktu itu tidak disiplin. Ketika melihat harta rampasan perang berserakan, serta merta mereka berhamburan memperebutkannya, padahal musuh masih belum betul-betul lumpuh dan dapat saja balik menyerang.

Tapi di lain kisah, kita juga mendengar Rasulullah dengan pasukan relatif kecil dan berdisiplin dapat menang dalam berbagai pertempuran. Bagi saya, kisah ini ingin menyampaikan filosofi bahwa yang kecil berdisiplin pun bisa menang atas yang lebih besar kalau punya tekad dan strategi yang lebih baik. Nah, kisah-kisah seperti itu menarik sekali bagi saya, sampai-sampai ketika itu kita setia menunggu sampai cerita selesai. Setelah tamat, kita baru pulang dari pengajian. Kalau cerita belum selesai, kita belum mau pulang. Biasanya gurunya juga pintar, sehingga cerita-cerita itu dibikin bersambung. Dengan cara seperti itu, sebagai anak-anak kita tentu tertarik sekali. Makanya, sepulang sekolah kita langsung makan siang, dan bersegera pergi mengaji karena ada banyak cerita.

ULIL: Kadang-kadang mengajinya justru kurang menarik dibandingkan kisah-kisah itu, ya?

ANDI: Ya. Tapi sekarang saya kira susah. Saya melihat dimensi itu yang kurang diperhatikan saat ini dalam sosialisasi pendidikan agama untuk anak-anak. Saat ini, kalau saya disuruh membahas PR anak saya, saya juga tidak tahu. Padahal menurut saya, pada tingkat SMA, seorang anak sudah harus diajarkan tentang berbagai soal keagamaan yang lebih dalam lagi. Mungkin tidak perlu hal-hal yang berkesan terlalu hebat; cukup diajarkan beberapa hadis Nabi dan mengapa hadis itu muncul saat itu.

Misanya lagi, bagaimana Nabi dulunya salat. Anak-anak kan biasanya suka bertanya-tanya tentang hal-hal yang bersifat fikih. Kalau kita berjalan keluar kota dengan menumpang pesawat, lalu tiba-tiba waktu salat tiba, kemana kita harus menghadap? Misalnya dalam konteks itu ada kisah Rasul yang naik unta, lalu datang waktu salat dan diceritakan ke mana Rasul lalu menghadap. Tapi tentu bukan cuma itu yang kita bahas. Yang lebih penting bagi anak adalah tahu tentang apa yang terjadi pada zaman itu, dan mereka bisa mengaplikasikannya pada zaman sekarang dengan pendekatan penafsiran yang kontekstual. Jadi di sini kita mulai mengajarkan anak proses menalar atau berpikir. Inilah yang saya bayangkan tentang pendidikan agama bagi anak-anak di SMA.

Jadi, mereka sudah diajarkan berpikir tentang dasar hukum dalam perkara-perkara keagamaan yang mereka temukan sehari-hari. Itu saya kira bisa dilakukan dengan mudah. Tapi kalau pada tingkat itu mereka masih ditanyakan 5 istilah keagamaan melalui pengujian pada tingkat hafalan, saya kita maknanya kurang penting.

ULIL: Apa karena hal itu tidak langung berkaitan dengan proses pembentukan watak?

ANDI: Persis. Saya pikir, bagi anak-anak SD sampai SMA, yang penting adalah proses pembentukan watak yang sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan Islam. Nah, dari mana nilai itu diambilkan? Tentu bukan dari hafalan, tapi dari makna-makna, cerita-cerita dan peristiwa-peristiwa. Misalnya apa makna dari cerita tentang Tariq bin Ziyad yang membakar seluruh armada pasukannya ketika sudah tiba di pantai Spanyol. Ataupun cerita tentang Jenderal Saladin atau Salahuddin Al-Ayyubi, panglima perang Islam dalam Perang Salib. Ketika perang, dia betul-betul menunjukkan akhlak yang mulia. Ketika panglima perang musuh jatuh sakit, dia menawarkan dokter karena ketika itu dokter muslim jauh lebih hebat.

ULIL: Bung Andi, ketika belajar di sekolah Katolik, apakah Anda merasa diajarkan semacam akidah “yang keliru”?

ANDI: Memang banyak pertanyaan-pertanyaan awam menyangkut persoalan itu. Misalnya tentang Trinitas. Tentu bagi akidah Islam itu berbeda. Orang tua saya mengatakan bahwa konsep Trinitas atau keyakinan adanya Allah Bapak, Anak, dan Roh Kudus itu merupakan pandangan orang Kristen di sekolah kamu. Sementara bagi kita, Isa Al-Masih adalah seorang nabi saja. Lalu saya dianjurkan untuk biasa-biasa saja dalam menyikapi perbedaan pendapat.

ULIL: Jadi dalam keluarga Anda tidak dipupuk semangat untuk menyalahkan orang yang berlainan keyakinan?

ANDI: Oh, tidak! Bapak, ibu, dan kakek saya selalu menyarankan untuk belajar saja. Sementara menurut orang Kristen pandangan mereka begitu, ya itulah perbedaan pendapat. Kata mereka, kita punya pendapat yang lain. Misalnya soal dosa asal. Dalam Kristen ada keyakinan tentang dosa asal manusia. Dosa asal itu terjadi karena Adam selalu manusia permulaan memakan buah terlarang. Makanya semua menusia mendapat dosa asal, sampai Yesus datang menebus dosa tersebut.

Sebaliknya, di rumah saya diberitahu bahwa bagi seorang muslim, persoalan dosa itu sifatnya nafsi-nafsi atau sangat individual. Orang yang berdosa, akan menanggungnya secara sendiri-sendiri; tidak ada pandangan tentang dosa asal. Masing-masing muslim punya dosa dan amalan sendiri-sendiri. Sehingga tidak sebiji zahara pun dosa dan amalan itu bisa ditranfer seperti account bank. Nah, itulah pandangan muslim yang lain dari pandangan Kristen. Jadi, pandangan masing-masing dibiarkan begitu saja, dan tidak menjadi masalah dalam diri saya. Sehingga dalam diri saya terbentuk keyakinan, bahwa teman-teman Kristen punya pendapat begitu, dan saya punya pendapat berbeda. Itu saja.

ULIL: Sebagai orang yang sempat mengecap pendidikan Katolik, apa pandangan Anda tentang dualisme dunia pendidikan negeri dan swasta keagamaan?

ANDI: Menurut saya, masing-masing tetap harus berjalan. Kemarin waktu terjadi kontroversi RUU Sisdiknas, masing-masing pihak mengemukakan pendapat yang pro dan kontra tentang pendidikan agama di sekolah swasta. Tapi saya melihat, pro dan kontra itu justru tidak berkenaan dengan substansi utama persoalan RUU Siisdiknas, khususnya mengenai sistim pendidikan itu sendiri. Konsentrasi lebih banyak tertuju pada soal agama dan guru agama, yang merupakan bagian kecil dari undang-undang pendidikan nasional itu sendiri.

Menurut saya, masing-masing berjalan sendiri-sendiri, dan tugas negara adalah memberi bantuan kepada semua pihak yang berusaha untuk beragama dengan baik, sembari tidak memihak salah satu pihak. Pada titik itu saya ingin menegaskan, persoalan pendidikan agama utamanya merupakan persoalan keluarga. Saya bisa beragama dan menjadi muslim yang baik, lebih banyak bukan karena sekolah, tapi lebih karena orang tua saya mendidik saya, ditambah pendidikan di sekolah dan madrasah. Saya tidak mendapatkan apa-apa dalam pendidikan agama di sekolah formal. Di sekolah Katolik, saya menganggap cerita-cerita agamanya sebagai sesuatu yang perlu didengar dan diketahui saja. Di SMU saya tidak mendapat apa-apa dari pendidikan agama yang bersifat hafalan itu. Artinya, nilai-nilai etik keagamaan justru banyak saya dapatkan dari keluarga, surau, madrasah, dan bahan-bahan bacaan. 

ULIL: Bung Andi, sekarang Anda turun di politik. Pertanyaan saya: nilai kebajikan apa yang bisa disumbangkan agama untuk meningkatkan mutu akhlak dan etika politik kita?

ANDI: Banyak yang bisa dilakukan agama. Kalau seseorang beragama dengan baik, saya kira dia akan dapat menjalankan kewenangan negara dengan baik dan bekerja demi kemaslahatan publik. Nilai-nilai etik agama sebenarnya akan luar biasa pengaruhnya dalam konteks bernegara. Sebagai seorang politisi, saya tentu saja dapat dimotivasi oleh nilai-nilai agama yang saya ketahui. Kalau agama berhasil membentuk pemimpin dan watak kepemimpinan yang baik, seperti kedisiplinan, antikorupsi, semangat pengabdian kepada rakyat, walaupun dengan motif investasi akhirat, saya kira hasilnya akan luar biasa.

ULIL: Apa kritik Anda terhadap politisi lain dalam hal yang berkaitan dengan kebajikan agama tadi?

ANDI: Nampaknya, banyak politisi yang salatnya luar biasa, puasanya juga luar biasa, tapi implikasinya tidak sampai pada level perilaku sosial. Artinya dengan ritual-ritual agama itu, dia juga doyan korupsi, sekalipun salatnya tidak tanggung-tanggung. Jadi pemaknaan sosialnya yang tidak muncul ketika mendalami agama.[]

09/02/2004 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (9)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

tulisan Islib memang renyah dibaca hingga tak terasa, owh sudah selesai ternyata membacanya ... meskipun tetap beda pandangan ... karena menurut saya bukan substansi yang terpenting tetapi landasannya ...

Posted by heniputra  on  05/31  at  03:27 PM

Menurut saya yang Islami adalah menolak tanggapan yang masuk karena tidak sesuai dengan kriteria yang dimiliki atau telah ditetapkan, dan kriteria tersebut disampaikan pada peminat penulisan komentar. Kok, ya sekarang ini kesannya situs ini mempunyai sikap begini: Siapa suruh buka situs kami dan memberikan komentar, jadi kalau kami nggak suka tanggapan itu boleh dong kami tolak. Jelas boleh, tapi baca dulu deh awal dari tanggapan ini. Sakit euy. Wasalam.
-----

Posted by Ira Nastiti  on  10/29  at  03:10 PM

Ok juga pandangan bung Suhadi. Agak jarang kita dengar pendapat kaya bung yang enak dibaca dan perlu. Karena kalau soal agama, lebih sering kita denger pandangan yang emosianal, masing-masing merasa paling bener sendiri.

Mungkin pandangan yang baik kayak bung itu, juga ada dimana-mana; baik di Islam, Kristen, Hindu, Budha, Yahudi, dll.

Posted by aris  on  02/23  at  04:03 PM

Assalamualaikum wr wb. Sudah hampir dua setengah tahun hidup dalam komunitas mayoritas Hindu di India. Sebagai seorang muslim, rasa rindu dengar azan dan pengajian di masjid rasanya tinggal kenangan karena hanya sewaktu-waktu kami menikmatinya bila jum’atan di mushala KBRI atau baca dan dengar Qur’an di rumah sendiri. Beda sekali dengan kehidupan di tanah air yang mayoritas Muslim.

Kesadaran timbul bahwa Allah SWT itu menciptakan alam semesta untuk kepentingan seluruh manusia , Rabul Alamin bukan rabul muslimin. Matahari bersinar, sinarnya dinikmati oleh seluruh manusia.

Sebagai wakil dari pemerintah, kami sering menghadiri acara-acara agama Hindu termasuk upacara ritual keagamaan. Disini kadang-kadang jadi gamang antara masuk kuil atau menolak. Akhirnya kami putuskan demi kepatutan kami masuk kuil lihat berbagai patung yang mereka sembah sebagai tuhan mereka. Allah SWT memberikan jalan keluar dengan jawaban di hati bahwa aku datang bukan untuk menyembah patung tapi aku datang untuk memuji kebesaran Engkau yang menciptakan manusia pembuat patung dari bahan-bahan berasal dari bumi ciptaan Illahi Robbi. Apa yang terjadi. Pendeta sebagai pemimpin agama tersebut menghargai kedatangan kami meskipun keyakinan kami dalam menyembah Tuhan Maha Pencipta berbeda. Selanjutnya kami berangkulan bagai saudara. Timbul keyakinan bahwa semua manusia baik Hindu, Kristen, Budha, Yahudi, Sikh, semua percaya adanya Tuhan dengan sebutan masing-masing hanya SATU namun cara menyembah TUHAN itu berbeda. Persoalannya timbul siapa yang menyebabkan kami berbeda keyakinan? Mengapa agama ini TIDAK SATU. Mengapa TUHAN menyatakan AGAMAMU agamamu AGAMAKU agamaku. TIDAK ADA PAKSAAN DALAM AGAMA.

Mari Saudara-saudaraku kita renungkan bersama arti “BHINEKA TUNGGAL IKA” atau Divertsity and Unity dalam tingkat universal. Semoga. Amien. Wassalam.

Posted by suhadi m. salam  on  02/13  at  05:02 AM

Ya setuju kita dan mereka memang harus siap mendengar dan mengetahui pendapat masing-masing. Cocok pak Andi… contohnya istilah-istilah. Bagi orang Islam, siapa yang tidak percaya pada Allah dan Muhammad sebagai rasul-NYA disebut KAFIR.

Jadi orang (yang masuk katagori ini) tidak perlu tersinggung kalau disebut sebagai kafir dan kafir. Wong hanya istilah saja kok tersungging apalagi marah!

Sebaliknya kita --umat di luar Kristiani-- disebut mereka sebagai domba-domba yang tersesat.

Jadi bagi mereka kita adalah WEDHUS-WEDHUS (bhs Jawa “Domba") yang harus dituntun karena telah tersesat. Kita tidak perlu marah walau disebut oleh mereka wedhus. Bravo Islib dan pluralisme ala Ulil!

Posted by Ebranmantoro  on  02/12  at  10:02 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq