Investasi Pembaruan Pemikiran Islam Telah dan Akan Berbuah - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
17/02/2010

Greg Barton: Investasi Pembaruan Pemikiran Islam Telah dan Akan Berbuah

Cendekiawan-cendekiawan ini memang berperan penting dalam pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Tetapi tidak berarti dengan hilangnya mereka, lantas segalanya akan berhenti. Sebab mereka telah memberikan banyak warisan: dalam bentuk pemikiran-pemikiran, dalam bentuk ketulusan dan contoh-perilaku. Banyak generasi muda yang sudah dipengaruhi ide-ide mereka, dan pengaruh itu sudah terinternalisasi sedemikian rupa, sehingga generasi muda itu sekarang sudah dapat memproduksi gagasan mereka sendiri. 

3 Januari 1970, Cak Nur--panggilan familiar cendekiawan Islam, Nurcholish Madjid--menyampaikan pidato yang monumental “Keharusan Pembaharuan Islam dan Masalah Integrasi Umat”.  Pidato yang ia sampaikan di Taman Ismail Marzuki (TIM) itu menandai momen pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Dengan konteks zamannya masing-masing, gagasan pembaruan Islam sebenarnya sudah dimulai jauh sebelumnya. Di Mesir abad ke-19, Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh telah menginisiasi gerakan pembaruan Islam (al-nahdlah). Di Indonesia, gerakan itu telah muncul pada awal abad 20-an. Di Sumatera Barat terdapat tokoh pembaru Islam seperti Abdullah Ahmad, Muhammad Djamil Djambek, Hadji Rasul. Di Jawa kita mengenal KH. Ahmad Dahlan, H.O.S Cokroaminoto, H. Agus Salim dan banyak tokoh lainnya.

Dengan jejak yang sudah sedemikian panjang, tentu telah banyak capaian-capaian keberhasilan. Tapi masih banyak juga tantangan yang siap menghadang. Di Indonesia, belakangan menguat kembali gerakan yang menghendaki formalisasi Islam. Kita melihat banyak sekali tuntutan penerapan perda syari’ah di beberapa daerah. Menghadapi banyak tantangan seperti ini, bagaimana masa depan gerakan pembaruan Islam di Indonesia? Bagaimana peran anak-anak muda sebagai penarik gerbong pembaruan Islam?  Berikut petikan wawancara Novriantoni Kahar dari Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan Prof. Dr. Greg Barton dari Monash University, penulis Biografi Gus Dur (LkiS: 2003) dan Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid (Paramadina: 1999)

Beberapa pengamat pesimistis melihat masa depan gerakan pembaruan Islam di Indonesia. Bagaimana pendapat Pak Greg setelah beberapa tahun mengamati isu pembaruan Islam Indonesia?

Tergantung pada konteksnya. Kalau melihat jangka panjang dan secara garis besar, saya cukup optimistik. Sebab, menurut saya, pembaruan, dambaan akan nilai-nilai yang progresif dan toleran memang sudah menjadi ciri khas agama Islam.  Jadi di masa depan yang panjang, pemikiran Islam akan berkembang ke arah itu.  Bisa cepat, bisa pelan, bisa maju sedikit, bisa mundur sedikit. Tapi lama-lama, saya kira, garis besarnya akan ke arah yang lebih baik. Tentu akan ada banyak gangguan dari isu politik, isu sosial-ekonomik, kemiskinan, dan lain sebagainya, yang tidak membiarkan para pemikir untuk secara bebas mengucapkan pemikirannya. Tapi di Indonesia, keadaannya jauh lebih baik daripada di negara lain. Saya tetap cukup optimistis bahwa di Indonesia akan berlangsung proses pembaruan pemikiran Islam secara terus-menerus. Walaupun akan ada banyak tantangan, tapi ini merupakan dinamika yang tidak akan pernah menjadi statis.

Menurut Pak Greg, seberapa besar isu-isu atau faktor-faktor di luar pembaruan Islam, seperti kondisi sosial ekonomi atau sosial politik, berpengaruh terhadap isu pembaruan Islam?

Kalau di negara lain, pengaruh faktor eksternal terlihat lebih jelas. Di Pakistan misalnya, almarhum Fazlur Rahman terpaksa melarikan diri ke Chicago. Beruntung sekali, di Chicago beliau punya pengaruh cukup luas. Tapi sungguh disayangkan sekali, beliau tidak bisa tetap berada di lembaga Islam yang dibentuknya di Lahore. Beliau terpaksa melarikan diri karena faktor politik. Jadi kalau dibandingkan dengan keadaan Pakistan, situasi Indonesia jauh lebih baik. Malahan harus diakui, dengan munculnya gerakan pembaruan pemikiran Islam pada tahun 70-an dan 80-an itu, keadaan politik agak memungkinkan untuk mewacanakan gagasan pembaruan juga. Saya tidak percaya bahwa pembaruan pemikiran Islam itu muncul karena merupakan rencana Pak Harto. Itu lebih karena keadaan pada saat itu yang memungkinkan untuk memikirkan Islam tanpa harus memikirkan negara Islam. Memang sungguh ironis sekarang ini, situasinya menjadi agak lebih sulit, justru karena ada persaingan politik dan banyak sekali sumber daya manusia yang lari ke pentas politik. Ada yang mempergunakan agama atau sentimen agama untuk kepentingan politik, seperti dalam kasus Ahmadiyah.

Bagaimana kemajuan gagasan-gagasan pembaruan Islam sekarang ini? Ambil contoh, gagasan Islam Yes, Partai Islam No yang dikumandangkan almarhum Nurcholish Madjid atau Pribumisasi Islam yang diusung almarhum Gus Dur; apakah kini sudah melampaui harapan kedua tokoh itu?

Kalau dilihat dalam konteks yang lebih luas, sudah terdapat banyak kemajuan positif. Kita melihat pemikiran yang progresif itu sekarang sudah terinstitusionalisasi di lembaga seperti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.  Dengan terinstitusionalisasi demikian, pembaruan pemikiran Islam boleh dikatakan telah menjadi mainstream. Namun demikian, tetap masih ada pertarungan, masih terdapat banyak pihak yang tidak setuju. Dan pertarungan yang lebih kelihatan sekarang ialah antara--katakan saja--kaum salafi dan kaum yang lebih progresif. Antara yang bilang bahwa Islam itu tidak pernah berubah, sama di seluruh dunia--baik di dunia Arab maupun dunia Asia Tenggara--melawan mereka yang bilang bahwa Islam itu bisa berwarna-warni. Antara yang berpendapat bahwa kebudayaan lokal, kebudayaan setempat tidak ada gunanya dan dianggap bid’ah, berhadapan dengan yang mengusung gagasan pribumisasi Islam.

Jadi ada dua kelompok. Pertama, kelompok yang mewacanakan gagasan-gagasan keislaman yang tidak monolitik dan membuka ruang yang lebih lebar bagi aktivitas interpretasi dan penafsiran. Kedua, kelompok yang mau memahami Islam dalam cara yang cukup hitam-putih; tidak pernah berubah, firman Allah tetap firman Allah, unsur-unsur kebudayaan lokal tidak ada gunanya. Pemahaman kelompok ini cukup sederhana dan mempunyai daya tarik justru karena begitu sederhananya itu.

Tentang gagasan Pribumisasi Islam, sejauh apa pemahaman masyarakat Muslim Indonesia terhadap gagasan Gus Dur itu dan seberapa penting gagasan tersebut dalam membentuk perilaku masyarakat Muslim Indonesia?

Memang kalau kita bicara isu yang cukup abstrak, yang sarat dengan istilah-istilah akademis, pasti banyak masyarakat yang tidak tahu. Tetapi sebenarnya konsep itu sangat sederhana dan orang sudah mengalami konsep itu dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat desa di Jawa, misalnya, beragama tapi juga terbuka terhadap pengaruh-pengaruh kebudayaan. Kebudayaan, tradisi dan agama, bisa digabungkan dan dapat pula saling bekerja sama. Orang bisa beragama sekaligus juga bisa berbudaya. Bahkan wayang kulit bisa dipakai untuk menceritakan pesan dan nilai-nilai agama. Masyarakat pedesaan Jawa justru akan merasa aneh dan heran jika beragama berarti harus menanggalkan tradisi.

Tiga dari empat tokoh pembaruan yang anda tulis dalam buku Gagasan Islam Liberal di Indonesia kini telah tiada. Bagaimana nasib pembaruan Islam Indonesia ke depan?

Kita sangat menyayangkan keadaa ini. Pak Djohan (Djohan Effendi) pasti merasa sangat sedih karena ketiga temannya telah meninggalkannya lebih dulu. Cendekiawan-cendekiawan ini memang berperan penting dalam pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Mereka merupakan tokoh yang sangat menonjol dan sumbangan pemikiran mereka sangat terasa. Tetapi tidak berarti dengan hilangnya mereka, lantas segalanya akan berhenti. Sebab mereka telah memberikan banyak warisan: dalam bentuk pemikiran-pemikiran, dalam bentuk ketulusan dan contoh-perilaku. Banyak generasi muda yang sudah dipengaruhi ide-ide mereka, dan pengaruh itu sudah terinternalisasi sedemikian rupa, sehingga generasi muda itu sekarang sudah dapat memproduksi gagasan mereka sendiri.

Memang kalau bicara tentang Gus Dur, jelas tidak ada duanya. Kita tidak tahu kapan akan muncul lagi tokoh sekaliber Gus Dur. Meski begitu, saya tetap optimistis karena mereka telah banyak menanam dan menginvestasikan pemikiran mereka kepada para generasi muda. Saya yakin “investasi” mereka akan berbuah, dan hal itu sudah bisa kita rasakan sekarang.

Bagaimana pula peran kaum intelektual muda dari organisasi-organisasi besar Islam dalam menggerakkan gerbong perubahan dan pembaharuan Islam Indonesia?

Memang isu yang berkaitan dengan generasi penerus dari kalangan muda itu sangat penting dan sangat menentukan. Sudah jelas bahwa sumbangan dari NU dan Muhammadiyah memang sangat besar, apalagi dalam proses transisi menuju demokrasi. Mereka memang merupakan organisasi masyarakat sipil yang pada umumnya cukup toleran dan progresif. Apakah di masa depan kedua organisasi itu akan tetap berperan secara signifikan, saya kira sangat tergantung pada dinamika internal generasi mudanya. Apakah para anak muda itu, angkatan muda itu, diberi tempat dalam Muhammadiyah atau NU sehingga dapat berperan lebih banyak, atau tidak. Jadi, mari kita lihat hasil muktamar NU di Makasaar akhir Maret nanti. Juga perlu kita amati pula perubahan pimpinan di Muhammadiyah. Kalau para pemimpin kedua organisasi itu dapat bersikap lebih arif dan bisa menggali tenaga yang ada di dalam generasi muda itu, pasti masa depan sangat baik. Tetapi jika anak-anak muda itu merasa tersinggung karena merasa ditinggalkan, maka gerbong pembaharuan Islam Indonesia telah menyia-nyiakan potensi terbesar dari kader-kader terbaiknya.

Beberapa waktu lalu, Qanun Jinayat sudah disahkan di Aceh. Perda bernuansa syariat seperti ini sebelumnya banyak pula diberlakukan di beberapa daerah. Apakah euforia formalisasi syari’at ini akan menjalar ke daerah-daerah lain di Indonesia?

Lima tahun yang lalu orang cukup kuatir, cukup gelisah akan terjadi perda syari’at di mana-mana. Tapi saya melihat lama-lama perda syari’at kelihatan tidak terlalu laris, tidak diterima baik oleh rakyat, tidak terlalu efektif karena tidak ada gunanya. Kasus Aceh sendiri, menurut saya, merupakan exceptional atau pengecualian karena berkaitan dengan situasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan lain sebagainya. Di Aceh pun, sejauh yang saya tahu, perda syari’ah itu tidak terlalu populer. Dan yang perlu diingat adalah: yang paling rugi dari penerapan perda syari’at ini adalah kaum perempuan, karena kebebasan mereka menjadi sangat terganggu.

Dalam prediksi Pak Greg, kira-kira pandangan keislaman seperti apa yang akan lebih mewarnai wajah Islam Indonesia di masa mendatang?


Tidak gampang memberikan prediksi tentang hal itu, karena ada begitu banyak faktor yang menentukan. Tapi ada beberapa hal yang bagi saya cukup jelas. Pertama, dulu ada teori sekularisasi yang bilang bahwa lama-lama agama akan hilang, agama tidak terlalu penting. Tetapi sangat kelihatan, paling tidak di Amerika Serikat, Amerika Selatan, Afrika, dan di Asia, bahwa agama itu masih sehat. Bahkan di mana-mana ada kelompok fundamentalis yang muncul. Di dalam umat Kristen ada banyak pula yang fundamentalis. Di India ada kelompok Hindu fundamentalis yang muncul. Saya kira di masa depan tetap akan ada kelompok yang fundamentalis, karena daya tarik tertentu yang mereka miliki, yaitu sikapnya yang hitam-putih dengan keyakinan yang begitu pasti, dengan percaya diri yang cukup tinggi. Apalagi untuk para pemuda dan kaum remaja. 

Dalam pandangan saya, ajaran agama Islam itu sebenarnya sangat menekankan nilai rahman dan rahim Tuhan, pada cinta, pada berkat, pada perasaan peduli. Nah, biasanya salah satu kelemahan gerakan fundamentalis di mana pun, mereka sering agak lupa akan faktor manusia dan lupa faktor empati dan cinta. Dan saya kira itu merupakan kelemahannya yang mendasar. Jadi, walau mereka punya daya tarik karena pola pikirnya yang hitam-putih, karena keyakinan yang sangat jelas, tapi mereka juga memiliki sisi kelemahan dalam aspek-aspek tadi. Namun dalam jangka waktu dekat, gerakan fundamentalis tidak akan hilang, tapi posisi mereka tetap akan merupakan fenomena minoritas, bagian kecil saja dari jumlah total umat Islam.  [malja a.]

17/02/2010 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (4)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Agama pendatang.....

Saya beragama Islam karena keturunan, sampai dengan usia 40 an, saya masih hanya tahu tentang islam saja. titik. Nah, setelah membaca buku, artikel, mengaji bahkan kepada ustad lulusan pondok pesantren modern, yang istrinya adalah seorang hafidz qur’an, kemudian muncul berbagai pemikiran yang sederhana (terutama setelah mendengarkan khotbah jumatan di masjid daerah Pecenongan, Jakarta; yang substansi khotbahnya adalah “mengharamkan apa saja yang bukan datangnya dari Rasululloh, baik ucapan, tindakan, hukum, dan pengaturan kehidupan didunia ini, dan konon juga sudah mengatur kehidupan di akherat kelak”. Khotbah sang ustad tersebut kontan menjadi pertanyaan besar buat saya:
1. Sampai harus setaat itukah manusia muslim indonesia terhadap tuntutan beragama islam? sebab kalau tidak taat pasti diganjar dosa dan masuk neraka (seolah-olah sang ustad tersebut sudah dapat mencari dalih pembenar).
2. Bagaimana mungkin sejarah berdirinya islam yang juga berdarah-darah dan ketika itu hanya mengatur khusus masyarakat arab setempat, kemudian dengan masif nya terus dikumandangkan bahwa apapun tradisi arab ketika itu, bisa tetep langgeng dan relevan dengan kondisi kekinian yang wajib diterapkan diseluruh dunia muslin? (bukankah hal ini juga merupakan penjajahan budaya arab?)
3. Mohon maaf, ustad yang sedang mengumandangkan khotbah jumat tadi ternyata juga asli orang indonesia, menggunakan baju buatan cina (model shantung), memakai jam tangan yang pasti juga bukan buatan arab (pasti bertekonologi barat, mungkin jg jepang, memakai microfon (yang memekakkan telinga) pasti juga buatan (maaf) orang kafir (bukan beragama islam), dan ketika ia naik haji, pasti juga naik pesawat terbang buatan barat juga, apalagi pilotnya juga bukan beragama islam. Nah, apalagi yang bisa dibanggakan kalau benar-benar mengikuti ajaran tradisi arab?
4. Saya orang jawa, yang diajarkan kepada saya ketika itu adalah ajaran kejawen (bukan ritual), bagaimana harus menghormati orang tua dan tetangga. Bahkan Nabi menganjurkan agar kita berbaik-baiklah dengan tetangga. Tapi coba pergi dan tengok kehidupan bertetangga di arab saudi. Tak akan ditemukan tegur sapa sesama tetangga, kecuali hanya dengan kerabatnya. Coba tengoh pula jendela rumah-rumah di arab saudi, apakah terbuka lebar-lebar seperti di indonesia? Apakah artinya itu semua?
5. Ajaran islam sungguh luhur. Hebat. Tetapi sampai dengan detik ini, ada 4 mazhab dalam islam, dan ada corak dan ragam islam mulai dari islam syiah, suni, wahabi dan entah apalagi, semuanya ingin masuk surga tetapi juga saling menyalahkan satu sama lain alias tidak akur.... Saya menjadi bertanya tanya, saya akan mengikuti islam yang mana? Dalam kaitan itu, apakah ketika saya harus menunaikan solat dengan bahasa jawa menjadi tidak sah? apakah Alloh SWT akan menghukum atau mengazab saya ketika saya solat tidak menggunakan bahasa arab? Bagaimana pula manusia di bumi ini yang bukan arab tetapi juga menyembah Alloh dengan cara dan ritual yang mereka yakini. Apakah haram di mata Alloh? Kalau semua harus arab, apakah yang lain tidak berharga? wah naif sekali, padahal yang mengaku “pokoke harus serba cara arab (terutama yang ada disekeliling saya - dan hanya sedikit saja jumlahnya)saat ini sedang berupaya mendapatkan simpati dihati masyarakat islam dengan mengkampanyekan syariah islam di Indonesia. Nanti dulu...............

Posted by salmon  on  02/20  at  11:50 PM

menanggapi soal pluralisme ak sebagai generasi muda akan terus nglanjutin ide - ide pluralisme.. karena ak yakin muhammad kalau dia masih hidup takkan pernah bertindak bodoh dengan menyalahkan suatu golongan yang belum tentu salah. selain itu pluralisme sangatlah perlu karena pada hakekatnya semua agama yang ada dibumi belum pasti mana yag benar dan mana yang salah jadi kalau sama - sama mencari kebenaran buat apa saling mengejek atau saling memusuhi.....

Posted by ikhul  on  02/19  at  04:36 PM

Berbeda dgn sdr teguhsuseno, saya berasal dr keluarga penganut kejawen walaupun di KTP Ayah ibu hingga kakek dst Islam (akibat peraturan Orde baru yg harus mencantumkan salah satu agama yg diakui he-he-he. Namun saya sendiri menganut Islam dan tetap mempelajari intisari ajaran kejawen (bukan ritualnya)yg mengajarkan pentingnya kesadaran bahwa manusia adalah ciptaan tuhan yang satu yg diwajibkan berbuat kebajikan kepada segala makhluk dunia yang berbeda-beda suku, agama, isme, politik, dll. Apa yang diajarkan oleh Gus Dur dkk adalah ajaran dr nenek moyang kita dulu, mereka hanya meneruskan dan membangkitkan kembali semangat kebersamaan yang telah terenggut dgn datangnya model Islam Arab (Wahabi dkonco2nya) yg disebut Teguh muncul thn 80-an yg sebenarnya sebagian menyimpang dr inti ajaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW.Bahkan menurut seorang teman saya yang kebetulan Ustad NU, menyatakan bahwa inti ajaran kebajikan kejawen (bukan ritual) adalah inti ajaran agama Ibrahim yang menyebar ke Indonesia sebelum Islam datang (bener pa gak gak tau deh). Jadi tanpa Alm Gus Dur dkk saya yakin pruralisme/pruralitas apa kek tetap akan eksis. Yg ribut cuma sebagian kecil, cuma teriaknya pake speaker kayak kalau mereka lagi pengajian, yg dtg cuma puluhan suara speakernya bikin pekak telinga.

Posted by nurcahaya  on  02/19  at  09:42 AM

Ya betul itu, seratus persen setuju, waktu remaja dulu saya rasa saya adalah seorang fundamentalis, pernah ikut PII yang menentang azas tunggal, pelopor gerakan jilbab di sekolah sekitar awal tahun 80-an, sering ikut tablighnya Toni Ardi, MS Ka’ban, Nawardi Nooor, Abdul Qodir Zaelani, dll, juga ikut aktif gerakan usroh. Kalau karena tidak harus sekolah di negeri orang, barangkali saya sudah mati di Tanjung Priok. Namun setelah banyak mempelajari gagasan pembaharuan islam dari pemikir dalam dan luar negeri, saya sadar sesadar-sadarnya, bahwa saya telah keliru besar dalam berislam di masa lalu. Jadi kepada saudara-saudaraku yang masih fundamentalis (apalagi yang berselimut kepentingan politik), banyak-banyaklah membaca, bukan cuma buku agama lho, tapi ekonomi-politik-sosial-budaya (terutama sejarah islam), karena agama lahir dan hidup di bumi. Kosongkan pemikiran sementara, anggap saja semua bisa salah dan benar, berserah diri kepadaNya untuk menerima kebenaran, insya Allah anda akan berubah pikiran. Saya sudah beritikad menjadi muslim yang taat dan kaffah, tapi kalau berarti harus formalisasi islam seperti memperjuangkan khilafah islam, partai islam, berjubah, berjenggot, oh ... nanti dulu !!!

Posted by Teguhsuseno  on  02/18  at  09:01 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq