Islam adalah Sebuah Pilihan Bebas - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
08/06/2003

Indra J. Piliang: Islam adalah Sebuah Pilihan Bebas

Oleh Redaksi

Inklusivisme beragama sebenarnya sudah dipancangkan Islam semenjak awal sejarahnya. Rukun Iman yang memuat kredo pengimanan terhadap para nabi dan kitab-kitab yang diturunkan pada para nabi, menjadi bukti teologis paling sahih betapa Islam menempatkan agama-agama di luar dirinya sebagai partner aktif dalam menggulirkan kerja-kerja kemanusiaan yang melintasi batas-batas primordialisme dan sektarianisme.

Indra J Piliang, peneliti bidang Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Jakarta punya segudang pengalaman eksistensial yang menunjukkan keharmonian antara Islam yang dia peluk dengan keragaman agama dan lokalitas kultural. Berikut petikan wawancara Ulil Abshar-Abdalla dengan Indra J. Piliang, urang awak yang kolom-kolomnya rajin menghiasi media-media nasional pada 5 Juni 2003:

ULIL ABSHAR-ABDALLA: Bagaimana wajah Islam yang Anda kenal sejak kecil?

INDRA J. PILIANG: Saya belajar Islam di lingkungan surau. Di Sumatera Barat (Sumbar) waktu itu, surau merupakan lembaga untuk memperkenalkan agama. Bisanya keluarga menyerahkan anaknya belajar Islam ke surau. Di surau, kita mempelajari Islam; belajar mengaji, memperingati maulid Nabi dan peristiwa agama lainnya.

Bapak saya termasuk kaum Adat. Dia seorang datuk, penghulu kaum dan sangat kuat berpegang pada tradisi Minangkabau. Sementara nuansa kesantrian saya dapatkan dari ibu saya. Kalau berkaca pada rivalitas antara kaum adat dengan kaum Padri dahulu, maka nuansa Padri saya dapat pihak ibu.

ULIL: Bagaimana dengan pendidikan formal Anda?

INDRA: Saya sekolah di pendidikan umum, tapi sejak kecil saya sudah aktif pada semacam TPA (Taman Pendidikan Alquran) yang ada di surau. Ketika saya kembali ke kampung beberapa waktu lalu, tradisi surau itu sudah tidak banyak ditemui lagi.

Selama di surau, saya banyak belajar Islam dari sisi teksnya, yaitu dalam bentuk mengaji, ilmu tajwid dan lain-lain. Ketika itu, ada juga cerita-cerita atau hikayat Islam yang dituturkan oleh para guru mengaji dengan cara yang populer. Mereka misalnya, menggunakan teknik cerita untuk mengisahkan perang-perang yang terjadi di zaman Rasulullah. Nah, ketika saya masih kecil, tradisi itu masih kuat. Kami juga menikmati kesenian dalam bentuk Salawat Dulang, yaitu nampan yang berguna untuk mengantarkan makanan yang dipukul-pukul sambil menceritakan hikayat Nabi. Di sana ada juga tradisi zikir, ketika bulan Rabiul Awal. Begitulah pengalaman Islam yang saya dapatkan.

ULIL: Apakah Anda masih merasakan aroma perseteruan kaum Adat dan kaum Padri?

INDRA: Saya sudah tidak merasakannya karena masyarakat sudah banyak mengalami perubahan. Banyak sekolah-sekolah inpres yang didirikan dan berbagai perkembangan budaya lainnya. Semacam proses “sekularisasi” yang positif.

ULIL: Apa pengalaman religius yang paling mengesankan Anda saat itu?

INDRA: Pengalaman yang menarik adalah yang berada di luar variabel-variabel tekstual yang tadi disampaikan, semacam tradisi seni Randai dan lain-lain. Dalam seni itu, masalah kemanusiaan dan konflik-konfliknya diceritakan. Ada juga Rebab, yaitu tradisi menceritakan pengalaman hidup seseorang, khususnya kisah perantauan yang disampaikan lewat petutur. Saya mengalami itu dan hidup dalam kultur semacam itu. Tapi sekarang kultur semacam itu juga mulai agak punah.

ULIL: Apakah kultur seperti itu berpengaruh menentukan corak keislaman Anda?

INDRA: Ya, sebab saya merasa menjadi seorang yang lintas batas dan menjadi pengelana dalam Islam. Riwayat yang diceritakan oleh para penyair dan perebab itu, adalah rangkuman kisah-kisah di seluruh dunia. Misalnya saja, mereka mengisahkan bagaimana Islam masuk ke Sumbar dan melalui jalur apa. Banyak juga mitos terselip dalam cerita itu. Misalnya saja, mitos tentang masuknya Iskandar Zulkarnain ke Sumbar. Kisah-kisah tentang Malinkundang, juga saya dapatkan dari ibu saya. Dia adalah seorang pencerita yang baik tentang tradisi-tradisi yang berkembang dalam masyarakat.

ULIL: Anda menyebut diri sebagai pelintas batas. Apa maksudnya?

Maksudnya, apa yang saya pahami tentang dunia kecil saya, ternyata ada duplikasinya dalam alam lain. Jadi, meski saya berada di Sumbar, tapi imajinasi saya jauh melayang ke mana-mana. Itulah yang terjadi ketika saya mendengar cerita misalnya, cerita Buya Hamka tentang Tenggelamnya Kapal Vanderwijck yang sering disiarkan di sandiwara radio. Ada banyak cerita, dan sandiwara radio sangat hidup ketika itu. Melalui medium itu, diceritakan pengalaman-pengalaman keislaman, dan itu sangat mempengaruhi saya.

ULIL: Anda membaca karya-karya Hamka secara lengkap?

INDRA: Setelah kuliah di Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya saya tidak tahu sama sekali, karena buku-buku Hamka tidak tersedia di kampung saya. Hanya saja, ketika kecil, pengarang Islam yang saya kenal memang Hamka, melalui kisah di radio. Saya tidak membayangkan Hamka semata-mata sebagai ulama. Dia juga tampil di layar TVRI dan forum lainnya. Dia tampil sebagai sosok budayawan, penulis dan pencerita sastra-sastra Islam ketimbang ulama yang ketat; yang suka mendoktrin umatnya.

ULIL: Ketika kuliah, apakah Anda terlibat aktif dalam aktivitas kemahasiswaan?

INDRA: Pertama-tama, saya masuk dalam kelompok yang sekarang lebih dikenal dalam wujud Partai Keadilan, yaitu usrah atau halaqah. Kami sering mengadakan pengajian di malam hari dan kegiatan-kegiatan religius lainnya. Saya merasa itulah kelompok yang paling puritan ketika itu. Proses penghayatan keagamaan yang pernah saya alami di sana sampai membuat mata saya menangis. Pengalaman itu amat berkesan bagi saya, karena hal itu tidak saya dapatkan sebelumnya waktu mencari Islam secara sendirian. Saya ingat, ketika di usrah, saya banyak diperkenalkan konteks pergerakan yang lebih luas: revivalisme Islam, kebangkitan Islam dan lain-lain.

Tapi saya tidak merasa mendapatkan semacam “Islam yang baru,” kecuali dominannya rasa haru ketika bersentuhan dengan Islam. Saya gampang menangis ketika teringat ibu, dosa dan lain-lain. Anehnya, ketika berada dalam komunitas seperti itu, saya justru tak pernah memandang bahwa kelompok Islam di luar saya kurang Islamnya. Hal itu mungkin karena sejak kecil saya tidak pernah diajar untuk memusuhi orang lain.

ULIL: Bukankah sikap itu bertentangan dengan mainstream usrah pada umumnya?

INDRA: Ketika itu saya menolak klaim keberagamaan usrah yang merasa paling benar. Saya juga membentuk komunitas sendiri yang disinyalir melakukan revolusi dalam tubuh komunitas usrah itu sendiri. Ujung-ujungnya saya keluar, tidak lagi menjadi bagian kelompok itu. Alasan kami: Islam tidak bisa dimasyarakatkan dengan cara yang eksklusif dan menihilkan kelompok-kelompok lain.

Yang lainnya, lebih karena merasa bahwa “baju” saya menjadi serasa sangat sempit di usrah. Pergaulan di sana menjadi sangat terbatas, dan disertai perasaan tidak enjoy untuk bersosialisasi dengan kalangan aktivis Islam lain, lebih-lebih dengan mereka yang non-muslim.

ULIL: Apakah ekslusivitas usrah itu yang mendorong Anda bergabung ke HMI?

INDRA: Saya bergabung dengan HMI, lebih karena organisasi saja, karena saya lebih banyak butuh organisasi. Masuknya saya ke HMI ini juga sebentuk “kecelakaan”, karena saya waktu itu diundang sebagai pembicara, lalu diberi sertifikat. Salahnya, ketika itu saya mau saja.

ULIL: Kini Anda bekerja di CSIS, sebuah lembaga yang di sebagian kalangan Islam dianggap phobi-Islam. Apakah tidak ada kendala mental ketika bergabung di sana?

INDRA: Ceritanya, saya menulis skripsi tentang pergerakan mahasiswa periode 1974-1980. Isi skripsi itu banyak sekali memuat nama tokoh-tokoh CSIS seperti Ali Murtopo, Daud Yusuf dan lain-lain. Saya berada dalam posisi menyalahkan mereka. Dalam skripsi itu, saya menyinggung tentang peristiwa Malari, NKK/BKK, dan lain-lain. Nah, ketika pertama kali masuk CSIS, justru penolakan berasal dari keluarga saya. Penolakan mereka itu berkembang atas dasar opini publik yang berkembang; bahwa CSIS adalah lembaga yang anti-Islam. Ada juga tuduhan beberapa teman yang menganggap saya sudah pindah agama. Tapi saya menampik mereka, “ini lembaga kajian, saya tidak ada urusan dengan hal-hal itu!

ULIL: Apa yang membantu sosialisasi Anda di lingkungan CSIS dari sudut pandang keagamaan?

Sederhana saja. Pengalaman saya waktu kecil mengajarkan bahwa nabi dan rasul yang disebutkan Alquran ada sekitar 25, dan mereka itu harus saya imani. Dari situ saya menyimpulkan bahwa agama-agama lain di luar Islam benar juga, atau punya sisi kebenaran sendiri. Untuk apa kita mengimani 25 nabi dan rasul, sementara agama-agama lain tidak kita anggap sebagai agama yang pantas diajak berteman.

Pengalaman masa kecil saya ketika hidup di pulau Mentawai selama 4 tahunan juga ikut membantu. Di Mentawai banyak gereja, banyak orang Filipina dan bule, karena banyaknya perusahaan-perusahaan kayu. Tetangga saya ketika itu, punya rumah panggung dan memelihara babi. Tapi hubungan saya dengan anaknya tetap baik. Saya menjadi sangat kehilangan ketika pulang ke Padang. Ketika saya berkunjung ke Mentawai, saya mencari anak itu.

Saya juga punya pengalaman bersama ibu saya. Ketika tangan saya patah waktu jatuh di jembatan, yang mengobati saya adalah Sikerei. Dia adalah seorang dukun, orang asli Mentawai. Nah, bagaimana saya tidak menghormati orang yang telah menyelamatkan tangan saya yang patah. Saat itu butuh waktu dua hari dua malam untuk pergi berobat ke rumah sakit di Padang.

ULIL: Apa Anda ingin mengatakan bahwa agama yang benar bukan hanya Islam?

INDRA: Ya. Saya percaya sekali dengan konsep itu. Kepercayaan itulah yang berkembang di keluarga saya. Tante saya ada yang kawin dengan orang Mentawai non-muslim. Tapi akhirnya dia masuk Islam juga, sekalipun hanya KTP saja. Anaknya diberi nama Maria dan nama-nama Kristiani.

Keluarga saya awalnya menentang perkawinan tante dengan om. Tapi pada dasarnya, sebagian masyarakat pesisir di Padang, sudah begitu banyak mengenal orang-orang di luar Islam. Di sana sudah banyak juga perkampungan Cina, kampung India atau Keling. Sampai kini pun masih ada.

Tentang agama yang benar tadi, saya ingin melihatnya lebih jauh. Ayat-ayat Alquran banyak sekali yang menyatakan keharusan untuk berempati pada penganut agama di luar kita. Dalam Rukun Iman, selain wajib mempercayai nabi-nabi (bukan hanya Muhammad Saw), kita juga mengimani kitab-kitab Allah yang diturunkan pada nabi-nabi. Bagaimana bisa alasan-alasan yang berdasar pada pemahaman agama yang sempit membuat saya kehilangan nurani kemanusiaan ketika bergaul dengan non-muslim. Sementara Islam menghormati hal-hal kecil seperti membuang duri di jalan.

ULIL: Orang Islam seharusnya berempati pada semua orang, tanpa melihat agamanya?

INDRA: Ya. Tentunya, kalau Allah menginginkan bisa saja kita menjadi muslim semua. Tapi nyatanya itu tidak terjadi. Islam merupakan sebuah pilihan bebas yang mencakup ajaran-ajaran yang universal.

Tapi agama juga banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor sosiologis-antropologis. Sampai sekarang, saya masih mengakui adanya agama tribal dan agama-agama lokal di Indonesia. Sikerei yang saya sebutkan tadi punya agama sendiri, tapi negara tidak mengakui. Ada juga Kaharingan yang dimiliki suku Dayak, dan Kenekes, agama yang dimiliki suku Badui. Jadi saya merasa bahwa berbagai agama yang terpencar-pencar di muka bumi ini, mungkin juga mendapat percikan sinar Ilahiyyah, meskipun mereka tidak pada tingkatan seperti yang kita pahami.

Nah, apakah kita akan mengatakan bahwa mereka tak beragama, sementara kita sendiri belum kenal kehidupan religius yang mereka alami sendiri. Suku Samin juga menganggap bahwa mereka warisan dari agama Nabi Adam. Jadi, betapa luas dimensi yang terkait ketika kita mengurai masalah agama. []

08/06/2003 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (2)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Dear Ulil,

I hardly know you; however, your name has come to me in the form of information that you are the advocator of so called Islam Liberal. To me an ‘awam’ Islam reached its perfection and has been sealed with the last Sermon of Prophet Mumammad, pbuh at Hajj Wada’. You must know the content of the sermon I am referring to.

Ulil, what is it really that you are looking for by attaching label of “Liberal” to Islam. Did you mean to do so in order to liberate muslims? I am really confused, Ulil. phusiing

Even should you wish to teach us, Indonesian muslims, some of us are slow learners.

Anyway, I just wish to remind you that, since I believe you know too well that every act, even thinking of us on the face of this earth WILL FINALLY HAVE TO BE ACCOUNTED FOR by us. You will be held accountable.

The choice is yours, you are LIBERATED, and liberal to DECIDE of what to do and think. Isn’t it right ULIL?

cHEER!

Al.
-----

Posted by alberi putra bachtiar chaniago  on  06/25  at  07:07 AM

Apa yang diungkap oleh mas indra bagi saya itulah “hak islam”, Islam punya pilihan hidup secara manusiawi, dengan tidak memaksa cerita ke dalam persoalan ini, saya contohkan ketika rasulullah dihadapkan pada persoalan pertanian masyarakat sekitarnya, apa yang dikatakan rasulullah: “masalah dunia adalah urusanmu”. Kata itu cukup mewakili untuk mengatakan pemahaman keagamaan islam khususnya, hendaknya dikaji ulang secara teological. Permasalahan manusia/dunia begitu juga hendaknya tidak perlu ditarik ke permasalahan teologi.

Maaf sebelumya, selain komentar saya tadi, saya punya kepentingan untuk meminta keterangan kepada mas Indra dan khususnya kepada JIL, sebelumnya perkenalkan bahwa saya mahasiswa jurusan tafsir hadis semester 13 fakultas ushuludin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sekarang saya memiliki penerbitan buku, dengan nama pustaka rihlah, saya berkehendak menerbitkan tema wacana islam liberal yakni kumpulan artikel yang terdapat pada JIL, salah satunya tulisannya mas Indra, dengan kata lain saya meminta izin kepada mas indra dan JIL khususnya untuk mengekspos wacana islam liberal yang berkembang di dalam JIL, mohon dibalas. (email: ).

Redaksi: Mohon kirim email khusus ke , untuk masalah kedua tersebut. Ada baiknya surat tersebut lebih detail.

Posted by Maftukhin  on  08/18  at  12:08 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq