Islam Akan Hadapi Mimbar Baru… - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
06/10/2002

Garin Nugroho Islam Akan Hadapi Mimbar Baru…

Oleh Redaksi

Sesungguhnya, setiap orang tumbuh dan mendapat sentuhan religi dari berbagai aspek yang begitu banyak, langsung atau tidak langsung, berbentuk hubungan antarmanusia atau melalui media. Begitu saya masuk kelas 3 SD dulu, sudah ada TV. Dulu ada film Untouchable. Waktu itu, layarnya cuma seperempat karena listriknya tidak memadai. Dari situ, saya sadar bahwa mimbar-mimbar agama yang di masjid-masjid sudah beralih dalam bentuk TV. Mimbar-mimbar pengajian bergerak dari wilayah podium ke TV.

Bagi kalangan sineas, praktisi film, dan penikmat karya audio-visual pada umumnya, nama Garin Nugroho sudah tak asing lagi. Dia adalah salah satu sineas yang cukup berperan dalam mengembalikan film Indonesia sehingga negara kita masih bisa menegakkan kepala di kancah perfilman internasional. Nah, bagaimana seorang Garin Nugroho berbicara soal pergulatan iman yang dia rasakan? Bagaimana dia memaknai agama dalam pergantian mimbar dari podium ke ruang maya? Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) mewawancarai kalangan muda, yang kali ini menghadirkan sutradara beberapa film festival internasional -misalnya Surat untuk Bidadari, Daun di Atas Bantal, Puisi Tak Terkuburkan, dan lainnya- yang dipandu oleh Ulil Abshar-Abdalla pada 3 Oktober 2002. Berikut petikannya:

Mas Garin, bisakah Anda bercerita tentang bagaimana Anda mendapatkan Islam sewaktu kecil?

Saya mengalami masa kecil di Jogjakarta. Sekolah dasar saya di SD Islamiyah. Saat itu, saya sering memimpin doa di sekolah hingga kelas 4 SD. SD ini terletak di daerah Pakualaman. Jadi, saya memimpin doa untuk kelas satu sampai kelas enam.

Tapi, sosialisasi nilai-nilai religius yang saya alami itu begitu beragam. Kadang sangat formal, seperti pengajian. Lain waktu, sosialisasinya dengan medium lainnya. Yang tidak formal itu bisa sampai tingkat wayang. Pada waktu kecil, ada pergelaran wayang di Gunung Kidul yang -ketika sudah sampai puncaknya- dalang dan penikmatnya sampai berteriak “Allahu Akbar”.

Anda pernah menonton itu?

Saya pernah menonton itu dan sekarang hampir tidak ada pertunjukan wayang sejenis itu. Sosialisasi agama juga lewat bentuk-bentuk kesenian berupa nyanyian-nyanyian. Kita juga melihat ada kidung-kidung dan lain sebagainya. Kita juga belajar bagaimana hubungan sosial antara individu-individu dalam masyarakat.

Dari situ, kita melihat ruang-ruang religi bertumpu pada ruang-ruang yang beragam di masyarakat. Religiusitas mengalami tafsir yang luar biasa. Hubungan keilahian itu luar biasa, penuh ketinggian. Akibatnya, upaya sosialisasi agama akhirnya mengalami keragaman dan berjumlah banyak. Kita pun tidak akan mencapai keilahian yang paling tinggi.

Nah, apakah sosialisasi nilai-nilai religi yang Anda terima sewaktu kecil itu lebih bersifat formal atau nonformal?

Biasanya, yang bersifat formal pendek-pendek. Saya ingat, kalau bulan puasa, rumah saya dipakai untuk salat tarawih. Sebab, rumah saya berbentuk joglo dan besar sekali. Tarawih itu diselenggarakan kan tiap hari.

Sesungguhnya, setiap orang tumbuh dan mendapat sentuhan religi dari berbagai aspek yang begitu banyak, langsung atau tidak langsung, berbentuk hubungan antarmanusia atau melalui media. Begitu saya masuk kelas 3 SD dulu, sudah ada TV. Dulu ada film Untouchable. Waktu itu, layarnya cuma seperempat karena listriknya tidak memadai.

Dari situ, saya sadar bahwa mimbar-mimbar agama yang di masjid-masjid sudah beralih dalam bentuk TV. Mimbar-mimbar pengajian bergerak dari wilayah podium ke TV.

Ketika kecil dulu, apakah Anda pernah menyaksikan saat agama dan budaya lokal mengalami bentuk-bentuk ketegangannya?

Sebenarnya, ketegangan harus terjadi. Ya, menurut saya, itu mesti terjadi dan banyak terjadi. Saya mengambil contoh, apakah bentuk kesenian tertentu boleh tampil atau tidak. Atau di dalam khazanah tertentu, apakah lakon-lakon tertentu layak atau tidak. Contohnya, bentuk-bentuk tari yang sekarang disebut tarian trance itu.

Dalam tari itu kan ada yang sangat sensual, lantas dimodifikasi dalam bentuk-bentuk yang lebih islami, tapi sama-sama trance. Dulu, bentuk-bentuk seperti itu (trance) penuh perebutan.

Seluruh bentuk kesenian selalu mengandung massa, selalu mengandung nilai-nilai. Karena itu, selalu ada ungkapan: “Wah, ini dipakai sebagai alat komunisme! Sebagai alat ini dan itu.” Seluruh medium selalu mendapat bentuk-bentuk tertentu.

Mas Garin, di Jawa ada semacam kecurigaan terhadap dunia santri yang dianggap sok saleh dari beberapa segmen masyarakat. Nah, apakah Anda menangkap sentimen seperti itu?

Di Jawa, biasanya nama kampung pun sudah menunjukkan itu. Mendengar nama kampung Kauman, kita membayangkan orang yang berada di sekitar masjid terus. Namanya saja Kauman, orang di dalam kaum. Nenek saya berasal dari Kauman. Sementara saya pernah hidup di kampung Mbeji. Mbeji itu wilayah yang dihuni banyak bajingan dan hobinya suka berkelahi terus.

Nenek dan kakek saya berdagang di Kota Gede. Jadi, saya tumbuh antara dunia yang simbolnya sangat muslim dan simbol abangan yang sehari-hari. Tapi, saya sendiri tidak mengalami konflik.

Apa yang bisa Anda dipetik dari penghayatan keagamaan di dua dunia itu: Kauman dan Mbeji?

Tentu di setiap wilayah ada sejarahnya sendiri. Ada sejarah yang dibentuk oleh golongan pedagang, tanpa khazanah tertentu. Kita lihat kampung Kauman. Hampir di semua daerah di Jawa, ada kampung bernama Kauman. Itu punya budaya dan perspektif sendiri. Yang menarik, justru komunikasi agama yang dilantunkan oleh wilayah-wilayah itu menampilkan bagian dari ketuhanan sendiri.

Misalnya, di Kota Gede, Muhammadiyah sangat kuat berpengaruh di situ. Tapi, di Kota Gede, bisnis peraknya juga sangat kuat sehingga bisnis dan religiusitas itu menjadi satu aspek. Intinya, religiusitas bercampur dengan perdagangan, campur aduk menjadi satu. Ini menampilkan sisi lain dari hubungan manusia dengan Tuhan.

Di wilayah Kauman, misalnya, ciri-cirinya banyak kos-kosan mahasiswi IAIN yang berkerudung dan lain sebagainya. Itu mempunyai aspek keilahian tersendiri juga. Saya merasa, manusia itu tertatih-tatih menangkap keilahian yang utuh dengan caranya sendiri-sendiri. Lantas, mereka saling melengkapi dan punya kaidah masing-masing.

Tadi Anda bercerita tentang penghayatan keagamaan dua wilayah dan Anda menghadapinya tanpa konflik. Pertanyaan saya, bagaimana interaksi sosial antara kedua wilayah yang Anda ceritakan itu?

Menurut pengalaman saya, interaksinya lebih bersifat fisik-kemanusiaan. Pada tingkat religi, dalam interaksi itu tidak ada masalah. Konflik selalu terjadi antarmanusia karena permusuhan antarkelompok saja.

Kadang-kadang permusuhan antarkelompok -demi kepentingan antarmanusia dan bersifat horizontal- pada puncaknya sering meningkat ke wilayah vertikal. Mulanya perkelahian sehari-hari karena di kampung saya itu sering ada perkelahian. Itu sama sekali nonagama karena memang antarmereka sama-sama jago berkelahi.

Tapi, berkelahi dengan Kauman tidak sama berkelahi dengan kampung lain. Problemnya, pada puncak perkelahian antarkampung yang cukup besar, kemudian sering dihubungkan dengan faktor kesejarahan dan lain sebagainya.

Kini Anda kan tidak bergelut dengan bidang keagamaan. Nah, apakah Anda merasakan pergulatan keimanan?

Yang penting, menurut saya, keseluruhan agama itu bertumpu pada bagaimana manusia menemukan peradabannya sendiri. Misalnya, film, TV, dan perangkat-perangkat audio-visual terkadang menjadi bagian dari bagaimana orang menemukan jalan menuju Tuhan meskipun nanti ada yang bersifat sangat dogmatik atau sangat religius.

Religiusitas itu, menurut saya, bagaimana seluruh pengalaman transendental ketuhanan diwujudkan dalam bentuk kehidupan sehari-hari, dalam bentuk cerita, puisi, dan sebagainya. Nah, inilah yang menjadi nuansa paling indah menghiasi peradaban masa sekarang.

Menurut saya, Islam di masa depan akan berhadapan dengan mimbar-mimbar baru. Dan, mimbar-mimbar baru itu mempunyai grammar-grammar baru yang belum mampu didefinisikan.

Apa maksud Anda?

Islam akan berhadapan dengan teknologi audio-visual. Mimbar audio-visual itu punya grammar baru untuk menyatakan keislaman itu sendiri. Belum lagi masalah internet. Bagaimana Islam ditransfer dalam bentuk-bentuk semacam itu, dari Rasulullah yang bercerita secara oral dari satu kampung ke kampung lain, dari satu suku ke suku lain, kemudian coba ditulis, untuk selanjutnya dicoba ditransfer terus dalam kehidupan yang panjang.

Medium dan isi akan mengalami ruang-ruang baru itu sendiri. Pada bulan puasa, Anda melihat sendiri, bagaimana orang terkadang lebih suka menonton TV karena di mimbar di TV itu ada kuis dan hadiahnya. Masjid kan tidak bisa begitu? Jadi, itu bentuk-bentuk barulah.

Menurut Anda, apakah hadirnya media audio-visual sebagai medium dakwah berefek pada pendangkalan agama? Artinya begini, kalau berdakwah di masjid kan bisa berbicara dua-tiga jam. Kalau di TV itu kan mahal?

Pendangkalan, perluasan, ataupun pendalaman terjadi pada setiap upaya menafsirkan keilahian. Bentuk medium apa pun tidak akan sampai pada hakikat kebenaran Tuhan. Semuanya itu takkan pernah mencapai puncak yang sempurna. Jadi, tidak ada pendangkalan, hanya ada ruang gerak baru.

Setiap medium punya keterbatasan dan keleluasaannya sendiri, punya efektivitas dan efisiensi sekaligus kelemahan juga. Ketika para sahabat Rasulullah ingin menulis pesan-pesan Rasulullah, berapa banyak hadis yang harus keluar. Hadis itu lalu ditafsir secara beragam. Nah, apakah hadis itu tidak ditulis dengan keterbatasan juga? Hadis itu adalah sebuah cerita oral yang begitu panjang, luas, dan dalam.

Sekarang kita sampai pada abad audio-visual. Keterbatasan waktu di dunia audio-visual, misalnya, begitu terasa pendek. Jadi, kita perlu kecanggihan, keterbukaan, dan keleluasaan untuk menangkapnya juga. Jadi, setiap medium baru pun nanti punya keterbatasannya sendiri.

Medium baru ini menjanjikan sesuatu yang positif untuk dakwah atau sebaliknya?

Ya, pasti ada juga aspek negatifnya. Saya ambil contoh masalah tatap muka dalam wilayah yang lebih luas. Artinya, berdakwah di masjid itu mirip seperti kampanye pemilu. Anda bisa berdakwah di masjid dan bertatap muka dengan hadirin di mimbar. Ruang publiknya begitu luas.

Di TV justru mimbarnya adalah rumah-rumah, ruang publik di studio, dengan hiasan-hiasan yang biasanya gambar kubah masjid. Kalau Anda duduk, ruang masjid adalah rumah-rumah di studio itu sendiri. Keterbatasan waktu dan tingkat hubungan interaktifnya tidak terjadi. Itu juga suatu kelemahan. Intinya, seluruh komunikasi yang ada hubungannya dengan nilai-nilai religi akan menghadapi tantangannya sendiri dengan lahirnya berbagai medium.

Dengan adanya suguhan berbagai macam acara keagamaan di media audio-visual, orang akan mendapatkan informasi keagamaan yang beragam. Apakah itu tidak membingungkan orang?

Saya selalu menganggap limpah ruah informasi itu positif. Itu tergantung bagaimana kita melihat penafsiran masing-masing suguhan. Kalau dalam tafsir ayat Alquran itu kan banyak syaratnya. Misalnya, melihat asbabun nuzul ayat, perbandingannya dengan ayat lain, sejarah turunnya ayat, dan lain-lain.

Saya kira, setiap informasi agama yang datang akan mengalami seleksi alamiahnya sendiri dari masyarakat. Karena itu, sebetulnya suatu era komunikasi religius akan berkembang kalau kita mengembangkan suatu masyarakat yang memandang positif pertumbuhan komunikasi religius itu sendiri.

Kedua-duanya berhubungan timbal balik seperti itu. Kalau kita mempunyai bibit yang buruk dalam tanaman yang sehat, bibit itu akan menjadi sehat juga. Jadi, kondisi limpah ruah informasi itu wajar saja.

Kalau kita melihat para Rasulullah, mereka pandai sekali bertutur dan terampil agama. Tidak pernah, misalnya, Rasulullah ingin mendapat wahyu, tapi dengan peristiwa yang biasa-biasa. Ceritanya selalu luar biasa. Nah, sebuah dogma lahir selalu saja dari tuturan yang mampu menyentuh berbagai emosi kita. Jadi, semacam ada dramaturginya, yang kemudian dogma diletakkan di situ. Jadi, tidak pernah dogma dulu atau pepatah dulu, baru cerita. Tidak!

Jadi, dogma dalam cerita. Seluruh ahli sufi, para Rasulullah, dan sebagainya adalah seorang petutur yang baik dan memahami betul emosi manusia di sekitar mereka. Wali sanga, misalnya, mereka adalah ahli tutur yang luar biasa. Karena itu, pada wilayah multimedia, kita memerlukan ahli-ahli tutur yang andal. Alasannya, hal itu adalah keterampilan yang sudah diisyaratkan dari sejarah agama. Ada keterampilan media dan ada kewaskitaan atau keterampilan keagamaan.

Tadi Anda menyebut seleksi alam tersendiri. Nah, bagaimana kalau ada yang menyeleksinya secara terburu-buru? Kalaupun perlu seleksi, siapa penyeleksi itu?

Yang akan menyeleksi adalah pendengar, pelaku, pengamat, dan lain-lain. Nah, ini melibatkan unsur yang begitu terbuka, tapi juga saling check and recheck menurut aturan demokrasi yang menjamin tumbuhnya masyarakat religius yang bagus.

Kalau radio atau TV menyampaikan informasi keagamaan yang kurang tepat, bagaimana seleksinya nanti?

Sebetulnya, kehebatan dan kelemahan Islam di situ. Kalau dalam agama Islam kan, Anda yang awal datang akan di depan. Yang menokohkan seorang kiai atau imam adalah masyarakat itu sendiri. Suatu masyarakat yang tumbuh terbuka dan sehat akan menumbuhkan pemimpin agama yang sehat. Dan, itu selalu dari bawah.

Nah, Islam adalah suatu tempat yang demokratis sebetulnya. Anda bisa datang ke masjid, Anda bisa duduk paling depan, atau Anda menghormati yang lebih tua untuk duduk di depan. Tapi, siapa yang berhak melarang untuk duduk paling depan? Tidak ada! Komoditas itulah kemudian yang memberikan ruang, jalan, dan tempat untuk melakukan itu. Dengan begitu, tumbuhnya mereka yang memimpin dan yang dipimpin itu berjalan secara demokratis.

Masyarakat akan tumbuh tidak sehat -taklid buta semua, misalnya- kalau disuguhi tafsir yang taklid buta pula. Tapi, kalau mereka hidup dalam tafsir yang luas, dalam, dan terbuka, akan tumbuh masyarakat yang baik. Karena Islam begitu demokratis, maka tafsir, perdebatan, dan sebagainya begitu menjamur dalam agama Islam. Nah, sebetulnya di situlah keindahannya, menurut saya.

Bagaimana etika protes kalau ada kesalahan penyampaian isu-isu keagamaan dalam era yang demokratis ini?

Sebetulnya, ada tiga unsur dalam alam demokrasi itu. Pertama, harus melakukan dialog terus-menerus. Ini penting untuk mengetahui isi pesan. Itu syarat pertama. Kalau kita meyakini tafsiran kita benar, kita harus menawarkan orang lain untuk memberikan ruang dialog guna membuktikan bahwa mereka juga benar. Kedua, usaha untuk mencari titik temu. Ketiga, kode etik universal harus dimiliki setiap medium.

Kode etik itu sebetulnya juga bersifat religi. Misalnya, ada kode etik pers. Itu juga tatanan hukum horizontal yang dibangun atas nilai-nilai vertikal. Jadi, ada kode etik yang dibangun dan dihargai bersama. Dengan demikian, kalau kita mengatakan “tidak” pada orang lain, kita harus tahu betul alasan mengapa kita mengatakan “tidak” pada orang lain itu. []

06/10/2002 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (0)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq