Islam Kaffah, Mungkinkah? - Komentar - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Diskusi
01/04/2002

Islam Kaffah, Mungkinkah?

Oleh Redaksi

Sejak didirikan pada 8 Maret 2001, kelompok diskusi (Milis) Islam Liberal () telah mendiskusikan berbagai isu mengenai Islam, negara, dan kemasyarakatan. Kelompok diskusi ini diikuti oleh lebih dari 400 anggota, termasuk para penulis, intelektual, dan pengamat politik. Dimoderatori oleh Luthfi Assyaukanie dari Jaringan Islam Liberal (JIL), diskusi berikut mengangkat isu Islam dan konsep kaffah (sempurna).

01/04/2002 08:41 #

« Kembali ke Artikel

Komentar

Komentar Masuk (14)

(Tampil semua komentar, ascending. 20 komentar per halaman)

Halaman 1 dari 1 halaman

Saya ini orang awam. Bagi saya, melaksanakan Islam secara kaaffah itu bermakna menjalankan ajaran Islam selama 24 jam. Tidak ada yang namanya beragama secara part-time. Beragama itu harus full time, karena agama merupakan pedoman hidup yang mutlak.

Yang saya maksudkan full time adalah sbb. Kita akui kewajiban menjalankan semua ritus keagamaan (Islam) --sahadat, salat, puasa, zakat, haji, dsb-- dan kita jalankan dengan sebaik-baiknya. Kita juga laksanakan nilai-nilai yang dikandung dalam ritus itu. Apa misalnya? Kalau dealing harus jujur, tidak boleh bohong. Sopan santun dalam bergaul, menghormati yang tua dan menyayangi yang muda. Yakinkan bahwa nafkah yang kita peroleh berasal dari upaya yang halal dan baik, tidak merugikan orang lain. Tidak membuat kerusakan dalam pergaulan dengan tetangga dan lingkungan. Sampaikan ajaran kebenaran secara ikhlas dan baik-baik, tidak lewat perusakan dan tidak untuk menyakiti hati orang lain. Dan banyak aspek-aspek lain dari “good work” yang sesungguhnya tidak lain dan tidak bukan adalah ajaran/syariat Islam juga. Inilah yang saya maksudkan dengan beragama secara full time.

Orang yang ingin beragama secara part-time barangkali memandang agama secara parsial dan melihat agama sebagai “handicap” alih-alih sebagai “opportunity” untuk menegaskan posisi umat sebagai “rahmah bagi semesta alam.”

Wassalam

#1. Dikirim oleh Kunrat Wirasubrata  pada  01/10   11:10 AM

Ada yang mengumpamakan kaaffah 24 jam sebagai acuannya. Kaaffah bisa kita artikan secara individu atawa dalam konteks sosial. Tapi itu akan sulit juga seandainya tanpa melalui pribadi-pribadi yang kaaffah. Tidak akan ada mayarakat Islam yang kaaffah.

Kembali kepada kita pribadi; apakah kita sudah kaaffah dan haqul yakin terhadap barang yang kita bicarakan, yaitu Islam? Kembalikan ke mata hati kita masing masing; apakah kita sudah kenal islam secara hakiki? Itu juga akan kembali kepada masalah batiniah setiap pribadi muslim. Memang pusing berbicara kaaffah, sedang kita mungkin masih ragu terhadap agama kita sendiri. Kelak kalo pintu hikmah terbuka, mungkin setiap orang akan berbeda pada waktunya juga. Ada yang cepat ada yang lambat. Atau mungkin, ketika ajal sudah di ujung leher, baru paham apa itu kaaffah. Banyak orang tahu garam itu asin tapi tidak semua tahu itu rasa asin.

#2. Dikirim oleh lyulka  pada  26/02   05:02 PM

Saya sependapat dengan Mas Kunrat.  Masa ada muslim yang ingin beragama secara part-time saja, lha koq kaya buruh pabrik saja.  Saya saja sukarela berhenti sebagai Dirut, ketika banyak orang berebut posisi itu justru untuk berusaha menjadi seorang muslim yang kaaffah. Apa artinya?  Ya agar supaya saya bisa menjalankan ibadah & syariat Islam lebih komplit dan lebih baik lagi. JadI jika sebelumnya hidup cukup glamour dengan pendapatan tinggi, mobil bagus, hiburan cukup, mungkin keislaman saya baru 45 derajat.  Tapi meskipun sekarang hidup apa adanya (toh yang penting adalah rasa bersyukur yang membuat kita kaya), tapi bisa salat wajib 5 waktu bahkan salat sunah, bisa ke masjid, bisa mengurangi kebatilan, mengurangi zina mata dan zina hati dll. Itulah jalan menuju Islam yang kaffah, tentu saja belum 360 derajat, tapi yang pasti mengarah kesana! Itu yang betul, menurut saya. Wallahu a’lam bish showab. Wassalam.

#3. Dikirim oleh Jawad Satuju  pada  02/03   08:03 PM

Kafah tidak dimaknai dengan berlebihan dalam berislam. kafah adalah menghindarkan diri dari kemusyrikan atau menghindarkan diri dari sinkretis, makna ini sesuai dengan asbabunnujul ayatnya. Kafah bukan berarti kita berbudaya sama pada bangsa arab pada masa nabi atau sesudahnya. Kafah adalah bagaimana kita menterjemahkan nilai-nilai agama islam dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana mungkin seorang muslim disebut kafah dalam berislam, sementara ia jauh dari pengamalan nilai-nilai islam. Islam bukan orang memakai janggut, berbaju gamis dan memakai surban. Islam adalah bagaimana seseorang dapat mendatangkan manfaat bagi orang lain. Dan berusaha semaksimal mungkin untuk tidak mendatangkan madarat bagi kehidupan masyarakat banyak.  Singkatnya, Islam kafah adalah manakala nilai-nilai islam dapat diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga seorang muslim dapat mendatangkan manfaat bagi orang lain dan kehadiran seorang muslim dapat membawa kedamaian bagi masyarakat sekitarnya. Islam kafah tidak tidak hanya di lisan tapi dalam tindakan Jadi islam kafah, why not.

#4. Dikirim oleh Abdullah. J  pada  16/04   11:04 AM

Menarik argumentasi Luthfi Assyaukanie(LA) dalam tulisannya yang menyoal gagasan Khilafah Islam pada opini Media Indonesia (Jumat, 19/3/2004). Paling tidak ada tiga argumentasi kenapa sdr LA meragukan atau lebih tepatnya menolak konsep Khilafah bahkan menganggapnya sebagai suatu yang utopis : tidak relevan dengan kondisi sekarang, totaliter, dan terakhir sejarah khilafah dengan konflik berdarah yang panjang.

Penting kita perhatikan , sejarah bukanlah sumber dalil dalam Islam. Sehingga sejarah bukanlah argumentasi atau dalil tentang wajibnya Khilafah. Kewajiban tegaknya khilafah adalah didasarkan kepada dalil Al Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ Sahabat. Bukan Sejarah. Namun, bukan berarti sejarah itu tidak penting, lewat sejarah inilah kita bisa belajar sampai sejauh mana nilai-nilai ideal sistem khilafah itu direalisasikan dan apa akibatnya kalau diselewengkan .

Kekhilafahan dilaksanakan oleh manusia-manusia yang mungkin berbuat keliru. Kenapa Islam mewajibkan adanya koreksi terhadap penguasa yang dzolim yang oleh Rosulullah digambarkan sebagai pemimpin para suhada justru menunjukkan sangat mungkinnya Kholifah sebagai kepala negara menyimpang. Hanya saja adanya penyimpangan dari sistem yang seharusnya diterapkan bukanlah menjadi alasan untuk menolak sistem itu. Karena itu haruslah selalu dibedakan pedoman yang ideal (yang merujuk pada Al Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ Sahabat) dengan pelaksanaannya yang mungkin keliru.

Contoh sederhana, kita tentunya tidak bisa menyimpulkan Islam itu kotor dan kemudian menolak Islam karena melihat kehidupan sehari-hari sebagian orang Islam yang melalaikan kebersihan. Sama halnya dengan menolak demokrasi sebagai system yang ideal dengan hanya melihat prakteknya. AS misalnya yang dikenal negara demokrasi , dalam prakteknya banyak kebijakan AS terutama dalam kebijakan luar negerinya bertentangan dengan demokrasi seperti serangan ke Irak, perlakuan terhadap tahanan di Guantanamo. Tentunya terlampau dangkal menolak demokrasi sebatas melihat praktek penyelenggaran demokrasi AS apalagi sebatas era Goerge W.Bush.

Sejarah negara-negara demokrasi, seperti halnya sejarah Khilafah Islam, bukanlah tanpa konflik. AS yang sering diklaim sebagai kampiun demokrasi pernah mengalami perang saudara yang berdarah-darah. Kalau pembunuhan terhadap Kholifah sebagai kepala negara menjadi soroton ,apakah AS sepi dari hal itu ? Bagaimana dengan pembunuhan terhadap Kennedy, percobaan pembunuhan terhadap Reagen dan pemimpin-pemimpin politik AS lainnya. 

Revolusi Perancis sebagai peristiwa penting demokrasi juga penuh darah. Runtuhnya negara komunis yang kemudian berubah menjadi negara demokrasi, penuh dengan pertumpahan darah dan konflik seperti yang terjadi di Balkan saat ini.  Hal ini secara mendalam dibahas Jack Snyder dalam From Voting to Violence yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Dari Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah (Jakarta: KPG, 2003). Apakah ini dengan sederhana dijadikan kenyataan sejarahnya ini menjadi argumentasi untuk menolak sistem ideal demokrasi ? 

LA juga terlampau menggenaralisir , seakan-akan sejarah kekhilafahan Islam semuanya penuh dengan darah dan konflik. Anda seperti menutup mata terhadap kemajuan dan peradaban Islam di masa kekhilafahan,. Kita seharusnya menghindari generalisasi masyarakat dari sejarah perorangan. Seakan-akan seluruh masa pemerintahan Bani Umayyah adalah gelap dengan hanya memfokuskan pada sejarah Yazid saja. Kemudian kita menutup diri dari kemajuan yang dicapai oleh Bani Umayyah. 

Apalagi lagi kemudian dengan sederhana menyimpulkan karena ada pembunuhan terhadap kepala negara berarti tidak ada mekanisme politik yang menjamin keamanan kepala negara dan masyarakatnya. Padahal seharusnya kita harus meneliti lebih mendalam apakah hal tersebut terjadi karena ketidakmampuan sistem idealnya atau karena penyimpangan dari sistem ideal tersebut. Apa yang terjadi dalam konflik-konflik berdarah dalam Islam, justru karena menyimpang dari sistem ideal Islam yakni syariah Islam, bukan karena akibat penerapan syariat Islam itu sendiri.

Dalam syariat Islam, sudah ada mekanisme yang kalau itu diterapkan akan mencegah konflik. Secara garis besar misalnya Islam mengharamkan saling membunuh , saling mendzolimi antara penguasa dan rakyat, kewajiban menjaga persatuan, dan keharaman bughot (memberontak). Secara lebih praktis lagi Islam mengatur bagaimana mekanisme pemilihan Kholifah yang harus didasarkan kepada pilihan dan keridhoan rakyat. Jadi ketika Mu’awiyah memaksa rakyatnya untuk memilih Yazid , ini adalah penyimpangan dari syariat Islam, bukan akibat syariat Islam itu sendiri. Kalau terjadi dualisme kepemimpinan , syariat Islam menjelaskan yang sah adalah yang dibai’t pertama kali. Untuk mencegah pemimpin yang otoriter , syariah Islam mewajibkan rakyat untuk mengkoreksi Kholifah yang menyimpang. Diam rakyat melihat penyimpangan Kholifah adalah penyimpang dari hukum syara’. 

Termasuk kritik bahwa sistem Khilafah adalah sistem yang otoriter adalah kurang mendasar.. Sistem Khilafah bukanlah teokrasi, dimana raja dianggap merupakan wakil Tuhan di muka bumi sehingga kata-kata raja adalah kata Tuhan yang pasti benar dan tidak bias dikritik.  Kebijakan kholifah hanya diterima kalau merujuk kepada Al Qur’an dan Sunnah. Kata- kata khilifah bukan otomatis kata-kata Tuhan, karenanya kholifah mungkin keliru dan menyimpang. Karena itu dalam Islam ada kewajiban untuk mengkoreksi Kholifah yang menyimpang. Terdapat pula Mahkamah Madzolim sebagai institusi pengadilan yang menyelesaikan perselisihan antara rakyat dan penguasa . Dalam Islam, kalau penguasa sudah melakukan penyimpangan yang nyata yang dalam dalam hadist disebut kufran bawahan (kekufuran yang nyata), rakyat boleh angkat senjata untuk menurunkan Kholifah. (lihat Taqiyuddin an Nabhani, Nidhomul Hukmi fi al Islam) Memang kalau sistem ideal ini tidak berjalan sangat mungkin muncul pemimpin yang otoriter. Hal yang sama bisa terjadi dalam sistem demokrasi yang menyimpang penerapannya.

Demikian juga masalah relevansi kekhilafahan,dengan menyatakan bahwa kekhilafahan hanya cocok untuk geografis yang terbatas dan komunitas politik yang relatif homogen. Apakah sdr LA menutup mata bagaimana wilayah kekuasaan kekhilafahan yang meliputi Timur Tengah, Afrika, sampai ke Eropa ? Untuk perbandingan sederhana saja, negara Islam yang berpusat di Madinah saat Rosulllah saw wafat saja wilayahnya telah meliputi jazirah Arab yang kini meliputi kurang dari 7 negara bangsa ( Arab Saudi, Yaman, Uni Emirat Arab, Qatar, Oman, Bahrain). Ini berarti empat kali luas gabungan negara Perancis dan Jerman.Apalagi kalau dibandingkan dengan negara kecil seperti Singapura, Swiss, Brunai. Apakah anda masih mengatakan geografisnya terbatas ?

Masalah homogenitas , lagi-lagi sdr LA keliru. Di Madinah saja, sebagai pusat negara Islam yang pertama, penduduknya sangat hetregon: terdiri dari berbagai kabilah, suku, termasuk terdapat komunitas Yahudi. Saat kekhilafahan meluas , di Mesir , Irak, Iran, Syiria, Spanyol terdapat komunitas kristen , Yahudi, pemeluk keyakinan Zoroaster dan lainnya ..

Argumentasi kondisi faktual umat Islam sekarang yang tersebar dalam begitu banyak negara dengan beragam karakter dan kepentingan politik yang berbeda juga lemah untuk menolak keberadaan khilafah. Perlu diketahui di masa Rosulullah juga terdapat banyak kabilah dengan berbagai karakter dan kepentingan politik yang berbeda, tapi Rosulullah SAW berhasil menyatukannya dengan menyamakan visi dan misi kenegaraan mereka berdasarkan Islam.

Jadi hal ini hanyalah sebatas persoalan kesadaran masyarakat untuk bersatu dalam sebuah visi dan misi kenegaraan yang diyakininya. Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa bisa bersatu karena menyakini visi dan misi yang sama yakni nasionalisme Indonesia. Sebaliknya disintegrasi bisa terjadi kalau masyarakat tidak lagi se-visi seperti terjadi saat lepasnya Timor Timur dan runtuhnya Negara komunis. 

Demikian halnya umat Islam sekarang kalau muncul kesadaran untuk menyamakan visi dan misi kenegaraan mereka dibawah naungan Daulah Khilafah , pastilah akan bersatu. Dan ini bukan utopis karena Rosulullah dan Kekhilafahan berikutnya berhasil menyatukan ini. Apalagi dengan kecanggihan teknologi global saat ini justru menolong persatuan umat Islam se-dunia.

Membangun kesadaran masyarakat seperti ini bukanlah utopis, meskipun memang sulit. Dan banyak hal yang tadinya dianggap utopis ternyata bias terwujud sepert runtuhnya Komunis dan kejatuhan Suharto Kalau perlu , untuk menyakinkan LA, penulis mengutip pengakuan jujur Carleton S, Chairman and Chief Executive Officer, Hewlett-Packard Company, saat mengomentari peradaban Islam dari tahun 800 hingga 1600 (masa kekhilafahan), dia menyatakan : “ Peradaban Islam merupakan peradaban yang paling besar di dunia. Peradaban Islam sanggup menciptakan sebuah negara adidaya kontinental (continental super state) yang terbentang dari satu samudra ke samudra lain; dari iklim utara hingga tropik dan gurun dengan ratusan juta orang tinggal di dalamnya, dengan perbedaan kepercayaan dan asal suku….Tenteranya merupakan gabungan dari berbagai bangsa yang melindungi perdamaian dan kemakmuran yang belum dikenal sebelumnya. (Ceramah tanggal 26 September 2001, dengan judul Technology, Business, and Our way of Life: What Next” www. Khilafah com) . 

Penulis adalah alumnus Hubungan Internasional FISIP UNPAD dan aktivis Hizbut Tahrir Indonesia

#5. Dikirim oleh khudzaifah ar rusyd  pada  07/05   10:06 AM

Menurut saya, kaffah yang tercantum dalam Al-Qur’an itu bukan berarti kita harus menjalankan islam secara keseluruhan tanpa mengenal apakah hal tersebut wajib atau sunnah. Tetapi kaffah disini berarti kita harus menjalankan islam sesuai aturan yang ada.  Contohnya :

1.  Dalam Syariat islam ditentukan bahwa sholat 5 waktu ( Subuh, Dhuhur, Ashar, Magrib, dan Isya ) itu wajib dilaksanakan. Maka mau tidak mau kita harus melaksanakanya. Jika tidak dilaksanakan berarti kita masuk islam tapi tidak mau menjalankan kewajiban. Berarti kita masuk islam tidah secara Kaffah.

2. Dalam syariat ditentukan bahwa shalat rowatib itu hukumnya sunnah. Apabila kita tidak melaksanakannya berarti kita tidak melanggar aturan. Walaupun tidak melaksanakannya kita tidak bisa disebut tidak berisalm secara kaffah. Karena shalat rowatib hukumnya adalah sebatas sunnah.

Oleh karena itu yang salah bukanlah Al-Qur’an-nya, tetapi kita yang salah mengartikan kaffah-nya.

#6. Dikirim oleh Farid Fahrurozy  pada  15/06   06:06 PM

Menanggapi komentar Farid Fahrurozy mengenai “Apakah anda tahu arti kaffah yang sebenarnya” dimana isi komentar anda tidak salah, apabila komentar anda di taraf posisi syariat. Seperti apakah pengertian “islam” yang tercantum dalam al qur’an tersebut? Apakah kita hidup ini hanya mau sampai tingkat syariat saja? Tentunya tidak, kalo kita bisa mencapai tingkat Makrifat kenapa tidak?Makanya Allah menciptakan Alqur’an tidak dalam bentuk matang dimana di dalam ayat2 suratNYA banyak disebutkan kita harus mempergunakan akal dan berpikir. Kita manusia yang masih hidup ini harus menggali, mengkaji dan mengaplikasikan tindakan sesuai dengan ajaran “islam” seperti dalam al Qur’an.  Jadi semua itu proses, ada orang yang menganggap sudah sempurna menjalankan ibadah islam sampai tingkat syariat saja, hakikat atau tingkatan yang lebih lagi. Semua itu berpulang pada diri masing2. Kalo saya pribadi ingin mengejar Makrifat yang mana kesempurnaan tersebut harus dicari jalannya sehingga kita bisa memenuhi ungkapan “Kembali ke DzatNya, kembali ke asalnya”.
-----

#7. Dikirim oleh dicky  pada  07/09   06:09 AM

Islam Kaffah ditafsirkan oleh ulama berfariasi dan penafsiran itu semua sah-sah saja (juga harus dihormati, karena tergantung dengan nilai-nilai yang dianutnya, namun demikian bukanlah tafsir ulama tersebut satu-satunya yang benar, menurut kami Islam Kaffah sebuah ajakan Tuhan agar umat islam berIslam secara kaffah misal Rukun sholat ada 3 yakni Fi’li, Qauli dan Qolbi sangat bersyukur jika ke 3 rukun sholat tersebut dapat terlaksana dengan sempurna, namun demikian kekurangan salah satu dari ke 3 rukun sholat tersebut tidak berarti sholatnya batal akan tetapi sholatnya belum sempurna, namun umat Islam harus berusaha sholatnya secara kaffah dengan terpenuhi ke 3 rukun sholat tsb.

#8. Dikirim oleh Zulfi Imran  pada  29/01   06:45 PM

Islam secara kaffah itu adalah menjalani hidup ini dengan berlandaskan keimanan dan ketakwaan. Jadi semua perbuatan kita dari mulai bangun sampai tidur lagi merupakan ibadah dan harus berlandaskan azas-azas Islam. Intinya tidak mengenal adanya sekulerisme seperti yang difahami oleh kaum Yahudi dan Nasrani.
Saya sarankan Bagi rekan rekan, Kembalilah ke pemikiran yang murni dan akal sehat. Yaitu Dinnullah Islam yang artinya tunduk dan patuh pada Hukum-hukum Allah.

Wassalam

#9. Dikirim oleh Nurrohman  pada  29/03   10:58 PM

Saya sedang mempelajari sebuah Konsep Sistem Tata Negara Indonesia baru berbasis Information Technology yang dimulai dengan dibuatya Kartu Identitas Tunggal Nasional disingkat Kitnas . Dengan Kitnas yang berfungsi sebagai KTP, SIM, NPWP, ATM, an seluruh Data Biologis ,seperti Biometri, Tempurung Kepala, DNA, Golongan Darah, Mata dan Rambut pemeganngya yang Datanya semua tercatat dan terekam secara Online dengan Jaringan Komputer secara Nasional dan Global.

Dengan KITNAS ini maka setiap orang akan terpaksa patuh kepada Hukum dan Peraturan yang diberlakukan dinegara Indonesia, sehingga apapun latar belakang keyakinan agamanya setiap orang berkewajiban untuk menjadi Taat Hukum . Jika seandaiany seseorang melanggar hukum maka Datanya akan tercatat dan terekam didalam Sitim Jaringan Komputer yang Online secara Nasional dan Internasional, sehingga tidak ada cara untuknya menghindar dari akibat hukum dari segala perbuatannya.

Ketika saya mencoba memahami hubungan Sistem Tata Negara Indonesia berbasis Information Technology ini dengan ajaran AlQUR’AN dan AlHadis yang selalu megajarkan manusia agar menjadi Ihsan, dalam menegakkan Iman dan Islamnya maka saya melihat bahwa Sistem Taata Negara Indonesia berbasis Information Technology yang digagas oleh seorang mualaf bernama Hari Ono Soeharyo tersebut adalah suatu kenicayaan yang dibutuhkan oleh sebuah organisasi berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Terlebih jika saya kaitkan dengan Ideologi Pancasila dan UUD 45 yang menjadi dasar filosofis dan konstitusional kehidupan berbangsa dan bernegara maka dengan diaplikasikannya Sistem Informasi Technology bagi setiap warga negara Republik Indonesia dan semua warga negara asing yang berdomisili didalam wilayah hukum negara RI maka pelanggaran hukum dalam bidang Pidana dan Perdata akan dapat segera diantisipasi dan ditanggulangi.

Sebagai penganut keyakinan ajaran agama Islam yang mengajarkan pentingnya AAqidah dan Syariat dalam menjalankan Ibdah kepada Allah, maka hakikat dari diterapkannya Sitim Tata Negara Indonesia berbasi Information Technology yang dimulai dengan Kartu Identitas Nasional tersebut pada hakikaktnya adalah wujud dari Makrifat . Sebuah tingkatan yang lebih tinggi dalam melaksanakan ibadah menurut ajaran agama Islam yang mengakui keberadaan Tuhan dan Seluruh Alam semesta ciptaanNya termasuk Hukum Hukumnya yang tidak pernah terpisah dari kehidupan setiap manusia dan setiap makhluknya.

#10. Dikirim oleh agung suyono  pada  31/03   04:05 AM

Kalau pendapat anda demikian berarti AlQuran sudah tidak ideal lagi untuk jaman sekarang donk bung. Padahal Islam adalah Din yang sempurna. Bahwa tidak akan turun lagi kitab setelah AlQuran. Tidak akan ada nabi lagi setelah Nabi Muhammad SAW, dan Allah telah sempurnakan semua ajaran-Nya dalam AlQuran. Saya pikir Anda hanya meninjau dari aspek Anda sendiri bukan dari Aspek AlQuran dan Hadits. Secara logikanya seharusnya akan ada nabi lagi setelah Nabi Muhammad SAW, jika AlQuran itu tidak sempurna.

#11. Dikirim oleh Surya  pada  10/06   04:57 PM

Apakah yang dimaksud Islamul Kaffah
Hadits :
Artinya :
“Ayahku Umar bin Khattab, menceritakan kepadaku sebagai berikut: Pada suatu hari ketika kami sedang berada disisi Rasulullah saw, sekonyong-konyong muncul dihadapan kami seorang laki-laki berpakaian sangat putih dan berambut sangat hitam. Tidak terlihat padanya bekas perjalanan dan tidak seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Dia langsung duduk kedekat Nabi saw, lalu disandarkan lututnya ke lutut Nabi, dan diletakkannya kedua telapak tangannya kepahanya. “Dia berujar, “Ya Muhammad, Terangkanlah kepadaku tentang Islam”.
Jawab Nabi saw, Islam ialah :
Mengakui tidak ada Tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad Rasulullah
Mendirikan shalat
Membayar Zakat
Puasa Ramadhan dan
Haji ke Baitullah, jika engkau sanggup melaksanakannya”.
Engkau benar, kata orang itu. Kata ayahku, kami heran terhadap orang itu, dia yang bertanya tetapi dia pula yang mengatakan benar. Kemudian orang itu berkata pula, “Terangkanlah kepadaku tentang Iman. Jawab nabi saw, Iman ialah :
Beriman kepada Allah
Beriman kepada para Malaikat-Nya
Beriman kepada kitab-kitab-Nya
Beriman kepada para Rasul-Nya
Beriman kepada Qadar baik maupun buruk.
Kata orang itu, Engkau benar. Kemudian dia berkata pula, “Terangkanlah kepadaku tentang Ihsan. Jawab nabi saw, Ihsan ialah Menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Sekalipun engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu. “Katanya pula. “Terangkanlah kepadaku tentang kiamat” jawab Nabi saw, “orang yang ditanya tidak lebih tau daripada yang menanya”. Katanya terangkanlah kepadaku tanda-tandanya” Jawab Nabi saw “Apabila hamba sahaya perempuan telah melahirkan majikannya, dan apabila orang-orang dusun yang melarat telah bermewah-mewah digedung-gedung nan indah”.  (HR. Muslim No. 1, dikutip dari Kitab Hadits terj. Shahih Muslim hal. 2-3)

Setelah memperhatikan hadits tersebut diatas menjadi jelas apa yang dimaksud dengan Islamul Kaffah. Perhatikan pertanyaan Malaikat kepada Nabi ada tiga bahagian, yang pertama Malaikat bertanya “Apakah Islam”, yang kedua Malaikat bertanya “Apakah Iman”, adapun pertanyaan yang ketiga Malaikat bertanya “apakah Ihsan”. Dari pertanyaan Malaikat tersebut” dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan Islamul Kaffah ada tiga bahagian, yaitu Islam, Iman dan Ihsan.

#12. Dikirim oleh Bambang  pada  23/06   10:11 AM

Bismillahirrahmaanirrahiim.. Ajaran Islam itu cukup sederhana, simple, mudah, ga perlu mengerenyitkan kening.. yang penting siapkan hati kita terbuka untuk menerimah Signal Hidayah Allah yang tak pernah putus.. caranya dengan beristighfar sebanyak2nya, saat hati mu sudah connect to signal hidayah Allah nanti tugas Rasul lah yg membimbing kita hingga kita mengerti hidayah tersebut,, santai aja tapi pasti, gw ga bisa jelasin.. nanti kalo udh merasa sendiri, langsung hati lo bilang “Subhanallah” sesungguhnya Engkau Maha pengasih dan penyayang.. jika gw dah dapat cahaya yg terang gw tak kan tergiur oleh cahaya api yang redup.. maksudnya, Cahaya api itu cukup menerangkan jika kita dalam kegelapan.. Wallahu A’lam

#13. Dikirim oleh rezza  pada  07/07   07:29 PM

Kaffah sih Kaffah.....,tapi Apa iya, kita gak pernah tergelincir kebawa nafsu sendiri selama 24 jam....???

#14. Dikirim oleh Irsyad  pada  26/11   01:50 AM
Halaman 1 dari 1 halaman

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq