Islam Madinah - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Editorial
31/10/2005

Islam Madinah

Oleh Luthfi Assyaukanie

Islam pada periode Madinah adalah Islam yang terus mencari tata sistem pemerintahan yang cocok. Hingga Nabi wafat, model politik yang baku tak pernah diformulasikan olehnya. Hal ini lumrah saja, karena tujuan dan fungsi utama Nabi adalah sebagai seorang rasul dan bukan pemimpin --dan apalagi-- pemikir politik.

Islam sebagai komunitas politik di Madinah adalah hasil kolaborasi berbagai unsur, antara Nabi, kaum muslim, oran-orang Yahudi Madinah, dan lingkungan politik ketika itu, khususnya dua imperium besar Romawi dan Persia. Ajaran-ajaran Islam menyangkut persoalan-persoalan keduniaan merupakan “karya bersama” yang diciptakan oleh kondisi dan situasi di mana Nabi hidup. Dengan kata lain, tak pernah ada bentuk final dari ajaran-ajaran itu, karena Nabi dan para pengikutnya selalu berusaha mencari model yang terbaik yang bisa diterapkan dalam masyarakat Islam.

Sebagai produk kolaborasi banyak unsur, ajaran-ajaran dan doktrin Islam sesungguhnya bersifat relatif. Ia tunduk kepada kepentingan-kepentingan situasional. Dari sudut pandang sejarah, tidak ada yang permanen dalam doktrin Islam, karena ia diciptakan oleh kondisi tertentu. Adanya unsur-unsur beragam dalam masa-masa awal pembentukan Islam juga mengindikasikan bahwa tidak ada yang murni “religius” dalam doktrin Islam. Apalagi perkara-perkara yang menyangkut persoalan publik seperti politik, ekonomi, dan hukum, unsur-unsur “sekular” (non-agama) sangat kental mewarnai pembentukan doktrin-doktrin tersebut.

Dalam banyak urusan menyangkut persoalan keimanan, perintah rinci mengenainya kerap kali datang langsung dari Nabi berdasarkan petunjuk wahyu. Tapi dalam banyak urusan keduniaan, seringkali wahyu (baca; Alquran) datang belakangan untuk mengkonfirmasi atau mengoreksi apa yang dilakukan Nabi dan para sahabatnya. Dengan kata lain, dalam urusan-urusan keduniaan, Nabi dibebaskan Tuhan untuk melakukan kreativitas dan ijtihadnya sendiri --yang kadang salah dan kadang benar-- sedangkan dalam masalah-masalah keimanan, Tuhan memberikan garis-garis besar secara langsung lewat wahyu.

Dengan demikian, praktik kehidupan berpolitik (polity) Nabi di Madinah sesungguhnya bukanlah sebuah pelaksanaan terhadap sebuah format tata pemerintahan yang sudah jadi dan sempurna, tapi merupakan proses percobaan yang dilakukan secara terus-menerus. Karenanya, sebagai sebuah masyarakat yang masih sangat sederhana, Madinah pada masa Nabi bukanlah inspirasi yang ideal untuk tata-kehidupan bernegara, apalagi negara modern. Kota ini tak punya model yang jelas tentang format politik, ekonomi, dan juga hukum. Hal ini karena misi utama Nabi adalah sebagai seorang rasul dan bukan sebagai pemimpin politik. Apa-apa yang menyangkut bidang-bidang ini, Nabi lebih sering menjalankannya berdasarkan “logika keadaan” ketimbang perintah-perintah baku dari Tuhan.

Dalam bidang hukum, misalnya, Nabi lebih sering menerapkan standar umum yang berlaku ketika itu. Aturan-aturan hukum yang sebelumnya dipraktikkan oleh masyarakat Madinah, dan khususnya pemeluk Yahudi, diadopsi dan dipertahankan. Beberapa pasal atau aturan hukum yang dijalankan Nabi untuk menegakkan keadilan di Madinah bahkan kadang tak ditemukan sama sekali dalam Alquran, tapi memiliki rujukan dalam tradisi masyarakat Madinah.

Misalnya, untuk menyebut satu contoh, hukuman rajam. Jenis hukuman ini tak ditemukan dalam Alquran. Ia adalah warisan hukum bangsa Yahudi yang secara jelas disebut dalam kitab Perjanjian Lama. Bahkan, aturan teknis dari penerapan hukum ini sangat kental diwarnai semangat keyahudian (Israiliyyat). Dalam sebuah Hadis tentang pelaksanaan hukum rajam, Nabi mengutip kitab suci orang-orang Yahudi bahwa “hendaknya yang paling suci di antara kalian yang melempar batu pertama.”

Alquran lebih sering mengkonfirmasi apa-apa yang dijalankan Nabi dan para sahabatnya mengenai persoalan-persoalan hukum ketimbang memberi inisiatif tentang apa yang harus dilakukan Nabi. Bahkan detil-detil dari hukum personal (ahwal shakhsiyah) seperti masalah perkawinan, perceraian, dan warisan, sebagian besar datang berdasarkan pertanyaan para sahabat kepada Nabi. Dengan kata lain, Alquran tidak akan memberikan inisiatif apa-apa menyangkut persoalan keduniaan Nabi selama Nabi menemukan model yang baik untuk diterapkan.

Begitu juga, dalam bidang ekonomi, masyarakat Madinah melakukan aktivitas ekonomi sesuai dengan “aturan main” pada saat itu. Masyarakat Arab yang pencarian utamanya berdagang sangat bergantung kepada sistem merkantilisme yang berlaku dalam sistem ekonomi-politik yang lebih luas, dalam hal ini, Romawi dan Persia. Pada masa mudanya, Nabi pernah pergi beratus-ratus kilo meter ke wilayah kekuasaan Romawi untuk menjajakan barang dagangannya.

Tradisi mengikuti “arus pasar” ini tak pernah dilarang oleh Nabi, atau paling tidak tak pernah disinggung-singgung. Nabi dan para sahabatnya lebih memilih mengikuti aturan main yang berlaku pada saat itu. Inisiatif “ekonomi Islam” baru datang belakangan (yakni pada masa Umawiyah), setelah kekuasaan politik Islam semakin luas, dan kerajaan Islam membutuhkan kurensi (alat pertukaran) sendiri untuk memudahkan transaksi ekonomi mereka, dan agar tidak tergantung dengan kerajaan-kerajaan lain.

Singkatnya, Islam pada periode Madinah adalah Islam yang terus mencari tata sistem pemerintahan yang cocok. Hingga Nabi wafat, model politik yang baku tak pernah diformulasikan olehnya. Hal ini lumrah saja, karena tujuan dan fungsi utama Nabi adalah sebagai seorang rasul dan bukan pemimpin --dan apalagi-- pemikir politik. (Luthfi Assyaukanie)

31/10/2005 | Editorial | #

Komentar

Komentar Masuk (6)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Assalamu`alaikum
Thx atas semua informasinya. Ini semua sangat membantu saya dalam mengerjakan tugas saya.
Assalamu`alaikum

Posted by Aziz Apriyanto  on  05/04  at  08:51 PM

Apa yang dilakukan nabi ketika diMadinah dulu jelas bukan membakukan sistem politik dalam islam. Nabi sebagai penyampai wahyu dan pesan Allah tidak memiliki kewenangan sama sekali untuk menentukan sistem kenegaraan apa yang harus digunakan umat islam. Karena dalam islam sendiri tidak ada sama sekali ayat alquran yang secara eksplisit menyatakan agar mewujudkan negara berdasarkan agama. Dalam alquran hanya dikatakan agar umat islam membentuk “baldatun thoyibbatun wa rabbun ghafur”.

Sistem politik apa yang akan digunakan umat islam merupakan kewenangan mereka sendiri, selama sistem tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar dalam islam seperti yang dituangkan dalam piagam madinah, yaitu kebebasan , persamaan, persaudaraan dan pengakuan atas hak asasi. Sistem kenegaraan sendiri merupakan wilayah yang profan. Dan oleh sebab itu umat islam boleh berijtihad sesuai kondisi geografis, demografi dimana mereka tinggal. Ini sesuai dengan yang dikatakan nabi “Antum a’lamu bi umuri dunyakum”. Kalian lebih tahu daripada aku tentang urusan keduniawian. Oleh karena kita tinggal di Indonesia, maka buatlah sistem politik yang sesuai dengan adat istiadat, kultur, dan corak Indonesia. Tegasnya, tidak ada aturan baku pemerintahan dalam islam.

Saya sepakat sekali dengan mas Luthfie
-----

Posted by Rahmad Abadi S  on  11/22  at  10:11 PM

Sebenarnya yang dilakukan oleh Nabi ketika di Madinah bukanlah membuat suatu pranata sosial kehidupan yang terperici dan berlaku selama-lamanya. Islam bersama Al Quran dan Rasulullah hanyalah memberikan garis-garis besar, yang mana garis-garis besar tersebut sangat sesuai dengan fitrah manusia. Dan kemudian manusialah yang mengambil inti dari ajaran tersebut dan mengembangkannya. Dalam hadistnya, Rasulullah SAW menyiratkan bahwa setiap urusan duniawi, apa sajalah itu boleh dilakukan kecuali yang dilarang oleh Al Quran dan sebaliknya dalam urusan ukhrawi, kita hanya boleh melakukan ritual-ritual peribadatan yang hanya diperintahkan Al Qur’an saja, tidak boleh melebih-lebihkannya. Ini artinya apa, Rasulullah menuntut ijtihad umat muslim dalam urusan duniawi dan melarang bid’ah dalam urusan ukhrawi. Jadi apa yang dilakukan Rasulullah di Madinah haruslah kita ambil saripati atau ide besarnya, tanpa harus mengkopinya secara leterlek.

Posted by Afandri Adya  on  11/11  at  02:12 AM

Saya setuju dengan mas luthfi, bahwa islam madinah adalah islam yang selalu mencari bentuk tata sistem pemerintahan yang sesuai dengan kondisinya, oleh karena itu sangat tidak relevan jika kita selalu bercermin kepada prototype islam dimadinah yang di yakini sebagai islam yang sempurna, yang selalu di jadikan rujukan oleh mayoritas umat islam yang ingin mendirikan khilafah islamiyah.Nabi tidak pernah membuat standar baku dalam tatanan kemasyarakatan karena nabi sadar betul bahwa masyarakat akan selau mengalami perubahan dari waktu kewaktu, untuk itulah di butuhkan Ijtihad dalam persoalan kemasyarakatan.seperti persoalan Muamalah, syiyasah(politik), akhwal asyakhsiyah(perdata Islam), jinayah(pidana). Lebih dari itu saya juga tidak sependapat dengan mas lutfi ketika persolan ijtihad hanya dalam persoalan masyarakat dan tidak menyentuh masalah aqidah dan keimanan. Memang betul dalam sejarahnya nabi hanya memberikan kebebasan ijtihad dalam hal kemanusiaan, dan persoalan ijthad tidak boleh menyentuh masalah aqidah dan keimanan. Kalau saya cermati justru wilayah inipun masih bisa di ijtihadkan, artinya masih di bolehkan berijtiad dalam masalah Aqidah dan ibadah, kenapa seperti itu? karena islam yang di bawa Muhammadpun dalam tataran epistemologisnya masih bersifat relatif. seperti masalah ibadah contohnya, kalau memang yang di ajarkan oleh nabi bahwa shalat itu seperti nabi dengan menggunakan bahasa arab,saya kira tidak harus seperti itu. masih ada ruang ijtihad untuk persoalan ibadah dan aqidah. karena Nabi sendiripun bukan manusia yang memiliki otoritas pembawa kebenaran yang mutlak. Kesimpulannya bahwa Tuhan memberikan kebebasan untuk berijtihad di wilayah manapun. tidak hanya di wilayah yang berkaitan dengan kemasyarakatan tetapi juga boleh berijtihad di wilayah Aqidah dan ibadah.sebagai contoh ijtihad dalam masalah Aqidah, bagaimana Nabi Ibrahim bergulat dan berijtihad dalam pencarian Tuhan sampai iapun mencapai titik kesimpulan yang ia yakini sebagai Tuhan.saya kira Tuhan tidak akan marah kepada ibrahim ketika ia sampai pada tingkat bahwa tuhan saya adalah bintang, kemudian matahari, karena hal itu adalah sebuah proses. Demikian juga Konsep Tuhan yang di bawa oleh Muhammad belum tentu betul menurut Tuhan itu sendiri, karena Konsep Tuhan yang di bawa oleh muhammad masih dalam kebenaran relativ. Ketika ruang ijtihad di berikan kepada wilayah Aqidah, maka umat islam tidak akan merasa benar sendiri memperjuangkan konsep Tuhan yang mereka yakini dan kemudian menyalahkan konsep tuhan yang lainnya.maka dalam bahasa Ibnu arabi adalah Tuhan yang bersemayam dalam otak kita adalah bukan Tuhan yang sebenarnya.

Posted by Ida Wahyudi  on  11/04  at  10:11 PM

Assalamualaikum Minalaidin walfaidin, mohon maaf lahir dan bathin.

Sebenarnya apa yang disampaikan mengenai informasi itu, Islam pada periode Madinah adalah Islam yang terus mencari tata sistem pemerintahan yang cocok. Hingga Nabi wafat, model politik yang baku tak pernah diformulasikan olehnya. Hal ini lumrah saja, karena tujuan dan fungsi utama Nabi adalah sebagai seorang rasul dan bukan pemimpin --dan apalagi-- pemikir politik. Di pihak lain, menurut data antropologi/arkeologi, bahwa informasi ini tidak tercatat dalam peninggalan sejarah yang ditemukan, baru katanya seratus tahun kemudian mulai terkuak/ ditemukan data sejarah, malahan katanya kiblatpun (yang ditetapkan pada thn 624)sepeninggal nabi masih tertuju ke Jerusalem, dan catatan yang ada (thn 691-Abd Al-Malik)di bangunan gedung oktagonal dengan 8 pilar(THE DOME OF THE ROCK)tidak mengarah ke Mekah, dan tidak ada catatan sedikitpun mengenai nabi Muhamad (?). Kita harus menyadari benar untuk dapat berkata benar, seharusnya didasarkan pada sejarah. Tapi kenapa “kita” selalu menutupi kebenaran sejarah itu, sehingga kita selalu diberikan informasi “salah” yang berasal dari orang-orang yang berhayal. Entahlah, yang penting terima kasih pada Luthfi yang memberikan informasi baru itu yang secara logika dapat diterima.

Wassalam

Posted by H. Bebey  on  11/04  at  08:11 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq