Islam Warna-Warni
Oleh Ulil Abshar-Abdalla
Bahwa Islam cuma satu, jelas itu adalah fakta yang terang benderang bagi siapapun. Tetapi dari yang satu itu muncul pelbagai penafsiran; akibatnya Islam pun muncul dalam wajah yang banyak pula. Tetapi dengan seluruh keragamannya itu, Islam jelas memang adalah sesuatu yang hanya satu.
Tanggal 4 Agustus yang lalu, iklan layanan masyarakat yang dibuat oleh Komunitas Islam Utan Kayu diprotes oleh Majlis Mujahidin Indonesia (MMI). Gara-gara protes itu, TV yang menayangkan iklan tersebut, langsung menghentikan tayangannya. Menurut MMI, iklan yang mengampanyekan pluralisme dan sikap saling menghargai antar golongan yang berbeda dalam Islam ini dianggap menyesatkan dan menghina agama Islam. Karena, kata mereka, kalimat-kalimat yang tertera dalam iklan tersebut berlawanan dengan ayat-ayat dalam Qur’an.
Kalau sidang pembaca pernah menonton iklan yang berdurasi 1 menit (dalam versi utuh) dan 30 detik (dalam versi pendek) itu, maka pesan yang hendak disampaikannya sangatlah sederhana: bahwa ada banyak golongan dan kelompok dalam Islam; golongan itu, akhir-akhir ini, kian bertambah-tambah setelah situasi politik menjadi terbuka.
Sikap yang tepat untuk dikembangkan dalam keadaan yang sedemikian itu adalah sikap pluralistis, artinya sikap saling menolerir dan menghargai golongan-golongan yang ada. Sikap yang menganggap golongan sendiri paling benar, sikap absolutistik, sikap yang menempatkan kelompok sendiri sebagai “wakil kebenaran Tuhan” di muka bumi, adalah sikap-sikap yang sebaiknya dijauhi. Karena seikap-sikap semacam itu akan menimbulkan pertengkaran yang tak ada gunanya.
Kalimat dalam iklan itu mengatakan: Islam warna-warni, tak cuma satu, banyak ragam, saling menghargai. Di sana ada adegan pesta khitanan (ritus yang sangat akrab pada masyarakat Islam di Indonesia). Ada kelompok kasidahan yang menyanyikan lagu yang untuk pertama kali dipopulerkan oleh sebuah grup dari Semarang, Nasyida Ria, berjudul “Perdamaian”, ada komidi putar: anak-anak dengan pelbagai ragam pakaian bersuka cita menikmati pesta khitanan itu. Perempuan yang tampil dalam iklan itu juga berbagai-bagai: ada yang pakai jilbab, ada yang tidak. Iklan itu menggambarkan bagaimana Islam tampil sebagaimana adanya dalam kehidupan sehari-hari: Islam yang muncul dalam pelbagai wajah yang beragam, tak cuma satu.
MMI rupanya tak sepakat dengan perkara itu. Islam hanyalah satu, yang beragam adalah umatnya. Iklan itu keliru, karena mengesankan seolah-olah Islam itu banyak, padahal cuma satu. Lalu dikutiplah sebuah ayat dalam surah Al Mukminun (23:52), “Wa inna hadhihi ummatukum ummatan wahidatan wa ana rabbukum fattaqun.” Dan sesungguhnya inilah ummat-Ku, ummat yang satu, dan Akulah Tuhan kalian, maka bertakwalah kepada-Ku.
Ayat ini, sejujurnya, justru menunjukkan kebalikan dari apa yang dikemukakan oleh mereka itu. Yang satu, menurut ayat itu, bukan hanya Islam sebagai agama, tetapi juga umatnya. Tetapi dalam kenyataan sejarah, umat Islam memang berbagai-bagai karena faktor sosial dan kebudayaan yang berbeda-beda dari satu tempat ke tempat yang lain. Bahkan Nabi sendiri mengatakan, “Sataftariqu ummati ‘ala tsalatsatin wa sab’ina firqatan…..” Akan berbeda-beda umatku atas tujuh puluh tiga firqah atau kelompok. Apakah Nabi, dengan demikian, “melawan” ayat dalam surah Al Mukminun tadi, karena menyatakan bahwa umat Islam itu banyak? Saya kira tidak. Dalam hal ini, Nabi justru bersikap realistis: memang kenyataannya umat Islam berbeda-beda, dan tak usah diingkari. Yang penting: bagaimana mengembangkan sikap yang tepat dalam menghadapi perbedaan itu.
Bahwa Islam cuma satu, jelas itu adalah fakta yang terang benderang bagi siapapun. Tetapi dari yang satu itu muncul pelbagai penafsiran; akibatnya Islam pun muncul dalam wajah yang banyak pula. Tetapi dengan seluruh keragamannya itu, Islam jelas memang adalah sesuatu yang hanya satu. Umat Islam berbeda pendapat sejak dulu bukan saja, seperti didaku oleh MMI, dalam perkara-perkara yang sering disebut sebagai “furu’iyyah” atau cabang, tetapi juga dalam hal-hal yang sifatnya “ushuliyyah”. Untuk mengetahui ini, mohon hendaknya diperiksa kitab Al Milal wan Nihal karya Asy Syahrastani yang mendedahkan dengan jelas, bahwa sejak dari mula pertama, umat Islam berbeda-beda penafsiran dalam hal-hal yang bekaitan dengan akidah, seperti sifat atau atribut Tuhan.
Apakah itu sesuatu yang buruk dan harus diingkari? Tidak. Perbedaan adalah biasa. Islam sebagai sesuatu yang “warna-warni”, itu hal yang lumrah belaka. Yang harus diwaspadai adalah mereka yang takut pada keragaman dan ingin menyatukan segala hal kedalam satu pendapat tunggal. Ini adalah sebentuk “fasisme” yang harus diwaspadai sejak dini.
Komentar
benar....Islam adalah penuh kedamaian, Islam tidak pernah ada kekerasan, maka jangan sampai pernah ada kekerasan dalam syiar Islam.
janganlah sampai mengecilkan salah satu pihak....
mas ulil ada gak pembelajaran kepada aku tentang Islam Liberal. terima kasih
Islam warna warni bagai pelangi adalah suatu realistis yang indah, yang harus diayomi dan dianaungi bersama. Ada yang moderat, ada yang versi Ikhwanul Musllimin; ada ya jamaahnya Aa Gym, ada jamaahnya Abu Bakar Baasyir, dan ada yang seperahu dengan Ulil Abshar.
Semua adalah saudara…
Oleh karena itu, wahai saudara Ulil Abshar, janganlah memandang sinis satu kelompok pun. Ada yang menentang larangan jilbab di Perancis, itu sah-sah saja, jangan langsung dikecilkan hatinya.
Ada yang melawan kebatilan dengan gaya Abu Bakar Baasyir, itu sah-sah juga. Kalo Anda nggak setuju hal yang demikian, jangan menghujat Abu Bakar Baasyir.
Lakukan cara Anda sendiri dengan baik tanpa menilai kelompolk lain.
Ada saudara kita yang disebut fundamentalis, jangan dihujat. Biarkan mereka dengan caranya sendiri. Mas Ulul juga punya cara tersendiri untuk berjuang.
Kita semua saudara, Mas Ulil!
-----
Kalau kita ingin melihat indahnya pemandangan pegunungan, kita harus sedikit naik ke atas. Begitu juga melihat realita bahwa Islam di Indonesia sejak dulu, di zaman dakwaknya para wali menggunakan metode dan pendekatan yang berbeda, karena situasi dan kondisi yang berbeda.
Tentu hasinya berbeda-beda pula. Tapi semuanya itu mempunyai tujuan yang mulia. Ingin selamat dunia dan akherat saya yakin semua berbingkai Al-Quran dan sunah. Jadi yang penting bukan hanya toleransi dalam perbedaan, tapi bagaimana bekerja sama agar umat ini merasakan indahnya keberagaman. Mari kita nilai orang itu bukan hanya karena pendapatnya, tapi lihatlah apa yang dikerjakan dan diperbuat untuk kebaikan umat ini.
Wassalam, 7 januari 2004
Upi
Yang jelas islam liberal bukan bagian dari perjuangan Islam. Garis bawahi itu, dan pendapat-pendapat Islam liberal adalah suatu hal yang batal untuk dipertimbangkan dalam konteks perjuangan islam
Setahu saya islam diturunkan hanya ada satu yaitu hanya kepada Rasulullah saja. Tidak ada ceritanya ada jenis Islam lain yang diturunkan. So kenapa harus ada keterangan bahwa islam itu warna warni. Saya jadi bingung sebenarnya apa yang coba diangkat dari tulisan ini. Tidak ada bentuk lain agama Islam. Islam hanya turun sekali dan itu agama Islam yang kita anut. Adapun iklan yang dibuat oleh komunitas utan kayu itu merupakan persepsi yang salah tentang Islam. Kalau memang benar Islam tak hanya satu maka akan ada banyak nabi yang diturunkan ajaran agama Islam? Dan setahu saya tidak ada lagi Nabi yang diturunkan setelah Nabi Muhammad SAW.
Komentar Masuk (6)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)