Jangan Bikin Aturan Berdasarkan Islam Saja! - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
10/04/2006

KH Abdurrahman Wahid Jangan Bikin Aturan Berdasarkan Islam Saja!

Oleh Redaksi

Pola pandang dan sikap yang terus menghargai perbedaan dalam kerangka keragaman etnis, budaya, dan agama di Indonesia, masih
tetap manjadi ciri khas KH. Abdurrahman Wahid, mantan
orang nomor satu di negeri ini. Kyai nyentrik yang akrab disapa
Gus Dur itu, kembali mengingatkan pentingnya menolak
penyeragaman cara pandang, sikap, maupun perilaku dalam
beragama dan bernegara di negeri ini.

KH Abdurrahman Wahid, mantan orang nomor satu di negeri ini, kembali mengingatkan pentingnya menolak penyeragaman cara pandang, sikap, dan perilaku dalam beragama dan bernegara. Berikut wawancara M. Guntur Romli dan Alif Nurlambang dengan Gus Dur di Radio Utan Kayu pekan lalu.

Akhir-akhir ini ada polemik Perda Tangerang tentang pelacuran dan RUU Antipornografi dan Pornoaksi (RUU APP). Apa komentar Anda?

Perda Tangerang maupun RUU APP yang kini diributkan, harus jelas dulu siapa yang merumuskan dan menentukannya. Pelacuran memang dilarang agama, tapi siapakah pelacur itu? Jangan-jangan, yang kita tuduh pelacur justru bukan pelacur.

Dari dulu memang ada dua hal yang perlu kita perhatikan sebelum menetapkan UU. Pertama, siapa yang merumuskan. Kedua, apakah dia memiliki hak antara pelaksana dan pihak lain. Contoh paling jelas adalah soal definisi pornografi. Ketika tidak jelas ini dan itu pornonya, yang berhak menentukan adalah Mahkamah Agung.

Salah satu dasar munculnya perda-perda seperti itu adalah alasan otonomi daerah. Menurut Anda bagaimana?

 Otonomi daerah tidak mesti sedemikian jauh. Dia harus spesifik. Seperti salah satu negara bagian Amerika Serikat, Louisiana, yang masih melandaskan diri pada UU Napoleon dari Prancis, walaupun negara-negara bagian lain menggunakan UU Anglo-Saxon.

Perbedaan tersebut sudah dijelaskan dalam UUD mereka sejak awal, bukan ditetapkan belakangan dan secara serampangan. Untuk Indonesia, daerah-daerah mestinya tidak bisa memakai dan menetapkan peraturan sendiri-sendiri. Itu bisa kacau.

Bagaimana kalau otonomi daerah juga mengatur persoalan agama?

Otonomi daerah itu perlu dipahami sebagai kebebasan melaksanakan aturan, bukan kebebasan menetapkan UU. Pengertian otonomi daerah itu bukan seperti yang terjadi sekarang ini; daerah mau merdeka di mana-mana dan dalam segala hal. Sikap itu tidak benar.

Apakah beberapa daerah yang mayoritas nonmuslim seperti NTT, Papua, Bali, dan lain-lain dibolehkan menerapkan aturan agama mereka masing-masing dengan alasan otonomi daerah?

Iya nggak apa-apa. Itu konsekuensinya kan? Makanya, kita tidak usah ribut-ribut soal perda dan aturan yang berasal dari satu agama. Dulu pada 1935, kakek saya dari ayah (almarhum KH Hasyim Asy’ari, Red) sudah ngotot berpendapat bahwa kita tidak butuh negara Islam untuk menerapkan syariat Islam. Biar masyarakat yang melaksanakan (ajaran Islam, Red), bukan karena diatur oleh negara.

Alasan kakek saya berpulang pada perbedaan-perbedaan kepenganutan agama dalam masyarakat kita. Kita ini bukan negara Islam, jadi jangan bikin aturan-aturan yang berdasarkan pada agama Islam saja.

Ada yang berpendapat dengan RUU APP dan sejumlah perda syariat, Indonesia akan “diarabkan”. Anda setuju?

Iya betul, saya setuju dengan pendapat itu. Ada apa sih sekarang ini? Ngapain kita ngelakuin gituan. Saya juga bingung; mereka menyamakan Islam dengan Arab. Padahal, menurut saya, Islam itu berbeda dengan Arab. Tidak setiap yang Arab itu mesti Islam. Contohnya tidak usah jauh-jauh. Semua orang tahu pesantren itu lembaga Islam, tetapi kata pesantren itu sendiri bukan dari Arab kan? Ia berasal dari bahasa Pali, bahasa Tripitaka, dari kitab agama Buddha.

Kalau syariat Islam diterapkan di Indonesia secara penuh, bagaimana nasib warga nonmuslim?

Ya, itulah… Kita tidak bisa menerapkan syariat Islam di Indonesia kalau bertentangan dengan UUD 45. Dan, pihak yang berhak menetapkan aturan ini adalah Mahkamah Agung. Hal ini menjadi prinsip yang harus kita jaga bersama-sama. Tujuannya agar negeri kita aman. Jangan sampai kita ini, dalam istilah bahasa Jawa, usrek (Red: ribut) terus. Kalau kita usrek, gimana mau membangun bangsa? Ribut melulu sih… Persoalannya itu-itu saja.

Bagaimana barang dan tayangan erotis yang kini dianggap sudah akrab dalam masyarakat kita?

Erotisme merupakan sesuatu yang selalu mendampingi manusia, dari dulu hingga sekarang. Untuk mewaspadai dampak erotisme itu, dibuatlah pandangan tentang moral. Dan moralitas berganti dari waktu ke waktu. Dulu pada zaman ibu saya, perempuan yang pakai rok pendek itu dianggap cabul. Perempuan mesti pakai kain sarung panjang yang menutup hingga mata kaki.

Sekarang standar moralitas sudah berubah. Memakai rok pendek bukan cabul lagi. Karena itu, kalau kita mau menerapkan suatu ukuran atau standar untuk semua, itu sudah pemaksaan. Sikap ini harus ditolak. Sebab, ukuran satu pihak bisa tidak cocok untuk pihak lain.

Contoh lain adalah tradisi tari perut di Mesir yang tentu saja perutnya terbuka lebar dan bahkan kelihatan puser. Mungkin bagi sebagian orang, tari perut itu cabul. Tapi di Mesir, itu tarian rakyat; tidak ada sangkut-pautnya dengan kecabulan.

Jadi, erotisme itu tidak mesti cabul, Gus?

Iya, tidak bisa. Anda tahu, kitab Rawdlatul Mu’aththar (The Perfumed Garden, Kebun Wewangian) itu merupakan kitab bahasa Arab yang isinya tata cara bersetubuh dengan 189 gaya, ha-ha-ha.. Kalau gitu, kitab itu cabul, dong? ha-ha-ha…

Juga ada kitab Kamasutra. Masak semua kitab itu dibilang cabul? Kadang-kadang saya geli, mengapa kiai-kiai kita, kalau dengerin lagu-lagu Ummi Kultsum -penyanyi legendaris Mesir- bisa sambil teriak-teriak “Allah… Allah…” Padahal, isi lagunya kadang mengajak orang minum arak, ha-ha-ha..

Sangat saya sayangkan, kita mudah sekali menuding dan memberi cap sana-sini; kitab ini cabul dan tidak sesuai dengan Islam serta tidak boleh dibaca.

Bagaimana soal tak boleh membuka dan melihat aurat dan karena itu orang bikin aturan soal aurat perempuan lewat perda-perda?

Menutup aurat dalam arti semua tubuh tertutup itu baik saja. Namun, belum tentu kalau yang disebut aurat itu kelihatan, hal itu tidak baik. Aurat memiliki batasan maksimal dan minimal. Nah, bukan berarti batasan minimal itu salah.

Kesalahan RUU yang ingin mengatur itu adalah menyamakan batasan maksimal dan minimal dalam persoalan aurat. Sikap itu merupakan cara pandang yang salah. Kemudian, yang disebut aurat itu juga perlu dirumuskan dulu sebagai apa.

Cara pandang seorang sufi berbeda dengan ahli syara’ tentang aurat. Demikian juga dengan cara pandang seorang budayawan. Tukang pakaian melihatnya beda lagi; kalau dia tak bisa meraba-raba, bagaimana bisa jadi pakaian… ha-ha-ha.. Batasan dokter beda lagi. Kerjanya kan ngutak-ngutik, dan buka-buka aurat, itu, he-he-he.

10/04/2006 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (15)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Pemahaman GUSDUR “Jangan Bikin Aturan Berdasarkan Islam Saja” adalah 100% benar menurut Al Baqarah (2) ayat 148, yaitu Aturan Syariat Kiamat, menurut Al Jaatsyiah 9$5) ayat 16,17,18.

Wasalam, Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tunggal Agama millennium ke-3 masehi.

Posted by Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tunggal  on  10/13  at  03:38 PM

sebenarnya yang harus kita pahami bersama bahwa bukan aturan pada agama masyarakat Arab yang mau kita kemukakan dalam penataan moral anak bangsa kita, tetapi budaya Islam yang universal itulah yang melandasinya. saya yakin, tidak ada agama apapun di indonesia ini yang meng"amin"kan cara berpakaian yang menurut standar cara pandang umat islam dan budaya ketimuran adalah PORNO. kita sama2 tahu bahwa hukum islam itu universal, siapapun dia, berasal dari kalangan apapun dia pasti meyakini bahwa hukum islam tersebut SANGAT pantas, namun apabila dipandang dari kacamata objektif tanpa didasari tendensius apapun. sebagai contoh, saya pernah bertanya kepada teman saya yang beragama katholik tentang pendapat dia mengenai hukuman potong tangan terhadap pencuri. beliau menyatakan sangat setuju. kenapa teman tersebut setuju? karena dia bukan PENCURI!!! contoh lainnya, saya pernah bertandang kesebuah sekretariat LSM dari luar negeri yang dijalankan oleh teman2 mantan aktivis ‘98. disalah satu dinding disekretariat tersebut sy melihat poster tentang penolakan HUKUMAN MATI karena menurut mereka hal tsb melanggar HAK ASASI si terhukum. saya bertanya kepada ketua LSM tersebut tentang apa yang dilakukannya bila istri dan anaknya yang masih bayi dibunuh seseorang. jawabannya adalah dia akan MEMBUNUH orang tersebut. sungguh aneh, sy jawab, disatu sisi anda melarang hukuman mati, namun disisi lain anda malah menjatuhkan hukuman mati. itu munafik tegas saya. dan sy ingatkan bhw segala sesuatu yang tlh digariskan ALLAH SWT dlm Al-quran adalah MUTLAK, tidak usah diperdebatkan lagi, karena sudah pasti kebenarannya. bukan hanya untuk umat islam, untuk siapapun dia, komunis sekalipun. sepulangnya sy, ybs langsung mencopot poster2 tersebut.
kembali kepermasalahan sudut pandang trend perubahan yg “moderen” dalam berbusana. saya bertanya kepembaca, andai ibu, istri, kakak, adik atau anak perempuan anda perpakaian “minim” dan berjalan ditengah keramaian apakah anda suka atau meng"amin"kannya...? atau apakah anda setuju kalau saya jadikan foto ibu, istri, kakak, adik atau anak perempuan anda menjadi (maaf) fantasi sexual saya?
jawabannya ada pada anda...!!!
ingatlah bahwa hukum islam itu universal. seperti juga sy sependapat dengan hukum2 sosial di kitab2 agama lain, injil misalnya.

Posted by Bambang Widianto  on  10/07  at  04:38 PM

- Gus Dur punyai pemikiran yang baik, bagus, toleran terhadap pihak lain dan sebaiknya perlu dipahami, diikuti, diduplikasi oleh yang lain sekalipun tidak perlu persis sama dan wajib kita kritisi karena beliaupun manusia yang bisa saja salah.
- Gus Dur berpikiran dalam konteks Ke-Indonesiaan, inilah yang terpenting bagi kita agar tidak lupa akan sejarah bahwa Islam masuk ke tanah air menyebar ke seluruh pelosok adalah ATAS IJIN RESTU dari para penguasa/Raja yang notabene TIDAK BERAGAMA Islam.
- Soal tafsir ayat Al Qur’an, ada saya pernah baca dalam suatu hadist bahwa satu ayat Al Qur’an bisa digali menjadi sebanyak 7 (tujuh) tafsir sehingga dapat dipahami apabila multi tafsir.

Jadi pendapat saya alangkah lebih baik apabila kita semua tidak merasa paling benar dalam hal apapun termasuk aliran kepercayaan,agama, keyakinan sehingga tercegah dari segala tindakan yang merusak.
Yang kedua, alangkah baiknya apabila kita tidak antipati terhadap paham, keyakinan, kepercayaan apapun di bumi nusantara ini, sehingga kita selalu cek ricek-menelusuri kebenaran maksudnya.
Yang saya yakini bahwa Allah-Tuhan apapun sebutannya membuat banyak-berbagai jalan agar umat manusia mengenal dan sampai padaNYA.
Dan hal maha penting adalah (1)kita sedang di adu domba oleh pihak lain agar kita bangkrut di segala bidang;(2)ada sekelompok manusia yang terorganisir secara rapi, cerdas otak kirinya, menguasai perbankan dan sudah ada sejak dahulu bahkan otak pembunuhan dari tragedi pembunuhan para Presiden USA,Hitler,Soekarno; mereka tidak beragama apapun (Yahudi sekalipun), mereka ingin menguasai dunia dg segala cara perang dunia sekalipun bahkan bisa berbaju agama; mereka sudah menyebar!!!
wassalam

Posted by dino cahyadi  on  08/04  at  12:18 PM

Menurut saya Islam tidak sama dengan Arab. Islam adalah Agama Yang ISLAMI bukan ARABY. ya kebetulan saja Nabi Muhammad Lahir di negara arab, sehingga secara sendirinya Islam berkembang dengan budaya arab tentunya. Seandainya saja dulu Nabi Muhammad Lahir di Indonesia, di Jawa Misalnya. Wah, sudah pasti Nabi kita pake Blankon dan berpakaian ala KETHOPRAK (pakaian adat jawa) donk...he..he..he.. Itulah Islam, berkembang sesuai dengan budaya setempat. Kalo tidak salah ada firman yang kurang lebih isinya tentang kebebasan kita mengatur diri kita karena kita sendirilah yang lebih mengetahuinya. jadi...Biarkan budaya arab berkembang disana, kita ya berkembang sesuai dengan budaya kita. Jangan dipaksakan orang Eskimo dipaksa untuk memakai pakaian orang arab, bisa mati kaku mereka, he..he… Nabi saja tidak pernah memaksakan kehendaknya kepada umatnya, apalagi kita yang terlalu terbuai di dalam kotak. Cobalah kita berfikir Out of the box, seperti yang digagas Gus Dur selama ini. Hidup Gus,… aku mendukungmu!
-----

Posted by Aminudin  on  01/21  at  04:02 AM

Konsistensi Gus Dur untuk selalu menghindari Arabisasi dan terus membela pluralisme di Indonesia menurut saya patut diacungi jempol. Lebih jauh, saya kira wacana pluralisme yang selalu dibela Gus Dur adalah untuk kepentingan bersama kita sebagai rakyat Indonesia yang multi kultur dan agama. Gus Dur menyadari bahwa UU ataupun aturan-aturan yang dirancang dengan berbasis pada syariat agama tertentu potensial menimbulkan disintegrasi.

Anda yang kontra Gus Dur, apakah sudah berpikir tentang kontribusi tuntutan Anda terhadap kesatuan bangsa? Apakah Anda sudah berpikir bahwa Anda hidup dalam negara plural yang menuntut sikap dewasa dan tidak memaksakan pada orang lain apa yang menurut Anda benar?

Dan untuk saudara Agus Santoso di Pancoran, Jakarta, sebelum Anda menyuruh Gus Dur untuk “baca baik-baik lagi dong Qurannya”, ada baiknya bahwa Anda ingat bahwa penafsiran kita terhadap Quran bisa saja berbeda-beda. Anda tidak berhak untuk mengklaim bahwa tafsir Anda yang benar dan tafsir Gus Dur salah. Lalu ketika Anda “berdoa” agar Gus Dur mendapat hidayah, apa definisi Anda tentang “hidayah” itu sendiri? Apakah yang membuat Anda yakin Gus Dur belum mendapatkannya?  Janganlah mencoba menjadi Tuhan, yang dapat menentukan secara mutlak mana yang benar dan mana yang salah.

Untuk Gus Dur dan JIL, maju terus pluralisme Islam Indonesia. Mari kita cari dan temukan bentuk Islam kita sendiri, yang bukan Arab bukan pula Barat. Wallahualam.

Posted by Andina Dian  on  05/08  at  10:05 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq