KUII IV Hanya Ajang Silaturahmi - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara,
08/05/2005

Bachtiar Effendy dan Syamsu Rizal Panggabean: KUII IV Hanya Ajang Silaturahmi

Oleh Redaksi

Kongres Umat Islam Indonesia Keempat (KUII) tanggal 17-21 April lalu telah menghasilkan 14 rekomendasi yang tertuang dalam Deklarasi Jakarta. Bagi sebagian pihak, Deklarasi Jakarta tidak menunjukkan kecermatan dan ketajaman organisasi-organisasi Islam peserta kongres dalam merespon dan mengontekstualisasikan persoalan keislaman dan kebangsaan. Tapi bagi yang lain, kongres ini memang sekadar ajang silaturahmi berbagai elemen umat Islam dalam kerangka ukhuwah Islamiyah.

Kongres Umat Islam Indonesia Keempat (KUII) tanggal 17-21 April lalu telah menghasilkan 14 rekomendasi yang tertuang dalam Deklarasi Jakarta. Bagi sebagian pihak, Deklarasi Jakarta tidak menunjukkan kecermatan dan ketajaman organisasi-organisasi Islam peserta kongres dalam merespon dan mengontekstualisasikan persoalan keislaman dan kebangsaan. Tapi bagi yang lain, kongres ini memang sekadar ajang silaturahmi berbagai elemen umat Islam dalam kerangka ukhuwah Islamiyah. Nah, untuk mengulas beberapa isu KUII IV, Ulil Abshar-Abdalla dari JIL mewawancarai Syamsu Rizal Panggabean (cendeiawan muslim yang mengajar di UGM) dan Dr. Bachtiar Effendy (Ketua Komisi Hubungan Internasional MUI yang juga menjadi anggota Steering Committee KUII IV). Berikut petikan perbincangan yang berlangsung Kamis (28/4) lalu itu.

ULIL ABSHAR-ABDALLA (UAA): Bung Rizal, Anda pernah menulis artikel yang mengkritisi poin-poin Deklarasi Jakarta yang dilahirkan KUII IV dalam sebuah koran. Apa pendapat Anda soal KUII IV?

SAMSU RIZAL PANGGABEAN (SRP): Ada beberapa rekomendasi (14 rekomendasi) yang dihasilkan KUII IV, dan saya hanya melihatnya dari dua sisi. Ada rekomendasi yang sangat sering dikeluarkan pada pertemuan para ulama, yaitu berupa dukungan atau legitimasi terhadap beberapa kebijakan yang sebenarnya sudah dipikirkan, diambil, dan dijalankan oleh pemerintah. Jadi, dia menjadi semacam support wakil-wakil umat Islam atas agenda negara. Misalnya soal solusi konflik Ambalat, soal agenda Konferensi Asia Afrika II, isu pornografi dan pornoaksi, soal illegal logging, perusakan lingkungan, dan lain sebagainya.

Tapi selain dukungan, ada juga poin tuntutan atas pemerintah. Bagi saya, ini yang menarik dari sudut pandang kita sebagai pengamat hubungan antara negara dengan masyarakat. Tuntutannya ada dua; menyangkut persoalan umum seperti soal penerapan syariat Islam, dan tuntutan khusus, seperti keinginan merevisi KUHP supaya lebih sesuai dengan syariat Islam—di dalamnya terkandung persoalan hudud atau hukuman pidana.

UAA: Apa komentar Anda soal tuntutan penerapan syariat Islam dengan segera?

SRP: Seperti yang sudah sering kita dengar, soal ini selalu cenderung menyederhanakan persoalan. Isu ini juga selalu menyampaikan gagasan-gagasan yang terlalu abstrak dan lemah kalau dilihat dari dua sudut pandang. Pertama dari sudut substansi, atau menyangkut apa yang kita maksud dengan syariat Islam itu sendiri, karena di Indonesia ada bermacam-macam mazhab dan ormas. Kita tahu, dua ormas Islam terbesar, yaitu NU dan Muhammadiyah, sebenarnya tidak terlalu bersemangat, bahkan dalam beberapa hal sangat berhati-hati dalam menanggapi isu ini. Bahkan, beberapa wawancara Pak Syafi’i Ma’arif atau KH Hasyim Muzadi menunjukkan kalau mereka menolak formalisasi syariat.

Yang kedua dari sudut cara, prosedur, dan prosesnya yang tidak dibicarakan secara bersungguh-sungguh. Misalnya, apakah kita menginginkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuat dekrit yang otoriter untuk menegakkan syariat Islam, atau menggunakan jalur-jalur demokrasi seperti DPR? Kalau lewat partai politik, maka partai politik yang mana yang akan mengemban misi itu juga tidak pernah dibicarakan. Jadi dari dua sudut pandang itu, Deklarasi Jakarta itu mengecewakan. Karena itu, dilihat dari dua sudut pandang tadi, sebenarnya tuntutan yang pertama dari Deklarasi Jakarta, yaitu soal percepatan penerapan syariat, meski krusial tetap tidak realistis.

UAA: Mas Bachtiar, Anda ikut Kongres Umat Islam Indonesia IV dari awal sampai akhir?

BACHTIAR EFFENDY (BE): Kalau setiap hari, tidak. Saya memang anggota Steering Committee yang oleh panitia dipercaya untuk menyiapkan bahan-bahan kongres. Saya dibantu beberapa teman dari Muhammadiyah, NU, dan lain-lain, yang menjadi tim asistensi. Sebagai salah seorang anggota Steering Committee yang dipercaya menyiapkan materi pembicaraan, kami menyiapkan empat buku kecil. Pertama, tentang strategi kebudayaan umat Islam di bidang ekonomi, politik pendidikan, dan media massa. Kedua, tentang ukhuwah Islamiyah. Ketiga, tentang strategi dakwah. Dan keempat, tentang persoalan-persoalan aktual. Materi itulah yang kita siapkan dan sampaikan dalam sidang-sidang komisi atau kelompok. Memang dalam forum banyak yang memberikan kritik, khususnya yang berkaitan dengan Islam-islam itu; syariat Islam, ajaran Islam, dan sebagainya.

UAA: Dalam materi yang Anda siapkan, adakah butir-butir yang spesifik berbicara soal isu percepatan penerapan syariat?

BE: Dalam konteks syariat Islam, penekanan materi yang disiapkan teman-teman tim asistensi lebih pada ajaran Islam yang bersifat universal, substantif, dan sebagainya. Tapi kita bisa paham kenapa hal-hal itu dikritik, karena kongres itu sendiri dihadiri oleh berbagai macam umat Islam, dari mereka yang berpandangan “kita selesaikan tugas ini, baru kita salat!”, sampai yang berprinsip “tidak, sekarang sudah adzan; kita harus berhenti di sini!” Yah, namanya juga umat Islam, jadi banyak sekali pandangan dan pendapatnya.

UAA: Anda ikut dalam diskusi di komisi-komisi?

BE: O, ya, saya ikut diskusi. Saya malah dua kali menjadi semacam triggering speaker dalam sidang kelompok, dengan modal pengetahuan yang saya miliki, yaitu di komisi politik. Sebetulnya yang mesti bicara soal strategi kebudayaan tapi dalam perspektif politik adalah saudara Fachry Ali. Tapi karena dia sedang di Semarang mengamati Muktamar PKB, teman-teman lalu memilih saya menjadi narasumber. Oleh peserta, saya cuma diberi waktu 10 menit untuk bicara. Katanya, kalau lebih dari itu sudah kelamaan.

UAA: Apa reaksi forum ketika Anda bicara soal syariat Islam?

BE: Seperti saya katakan tadi, ada hal-hal yang mereka tidak sepakati. Misalnya soal kategorisasi Islam substantif, Islam simbolik-formalis, dan yang semacam itu. Di forum itu, yang bicara ada politisi, ulama, da’i, ustadz, dan lain sebagainya. Karena suasananya adalah suasana kongres, memang tidak mungkin dihasilkan pikiran-pikiran yang mendalam, koheren, elaboratif, dan bagaimana bisa dipraktekkan dalam konteks Indonesia. Untuk itu, harap dimaklumi, termasuk oleh saudara Syamsu Rizal Panggabean.

UAA: Mas Bachtiar, ini kongres keempat umat Islam. Kalau tidak salah, yang pertama dilangsungkan tahun 1947, yang kedua 1952, lalu vakum sepanjang masa Orde Baru. Setelah Reformasi tahun 1998, kongres diadakan lagi, dan sekarang yang keempat. Menurut Anda, apa tujuan kongres umat Islam selama ini?

BE: Ya, sebetulnya tujuan dasar masing-masing kongres itu berbeda-beda. Situasi dan tuntutannya pun berbeda-beda. Kalau saya tidak salah, sebetulnya forum seperti ini lebih dimaksudkan sebagai ajang silaturahmi, atau untuk mempertebal ukhuwah Islamiyah antara pelbagai segmen dan kelompok masyarakat Islam; syukur-syukur kalau muncul pandangan yang sama.

Hanya saja, kongres tahun 1947 sebetulnya bukan dalam konteks ukhuwah. Tapi ketika itu ada semacam kesatuan pandangan menyangkut masalah-masalah keagamaan, dan khususnya politik. Karena itu, lahirlah Majelis Islam A’la Indonesia, atau Masyumi. Bagi saya, itulah mungkin satu-satunya kongres yang menghasilkan sesuatu yang konkret pada masanya, walaupun hasil itu tidak bisa bertahan sampai 10, 15, atau 20 tahun. Tapi pada masanya, kongres 1947 itu hasilnya konkret.

Saya tidak begitu membaca sejarah kongres kedua. Dalam kongres ketiga, saya ikut diundang menjadi pembicara. Tapi oleh peserta, saya malah tidak dibolehkan bicara, karena mereka katanya capek mendengar orang-orang Jakarta bicara. Waktu itu, mereka mau bicara sendiri-sendiri dari daerah ke daerah. Mestinya, kongres itu ada hasilnya, karena ada setumpuk dialog. Artinya, kalau kita sisir dan rumuskan dalam bahasa-bahasa yang lebih lugas dan realistik, mestinya akan ada sesuatu. Tapi itu tidak terjadi.

UAA: Saya punya kesan, kongres ke-3 dan ke-4 yang berlangsung setelah reformasi lebih banyak didominasi kalangan Islam berorientasi kanan atau mereka yang lebih konservatif. Betulkah begitu?

BE: Saya kira jawabnya bisa ya dan bisa tidak. Sebab ada kualifikasi peserta di situ. Para peserta sebagian besar adalah pengurus MUI, ormas-ormas, dan berbagai organisasi sosial keagamaan. Memang tidak bisa dimungkiri, kongres ketiga yang berlangsung dalam suasana reformasi, membuat orang merasa boleh ngomong apa saja. Kongres itu sangat dinamis, sehingga untuk menenangkan suasana saja mesti ada yang sampai harus membaca Alquran. Saya ingat, waktu itu saya sudah di panggung bersama Pak Bustanul Arifin dan lain-lain. Tapi kemudian peserta serentak mengatakan, “Kita tidak butuh narasumber-narasumber. Kita butuh ngomong sendiri!”

Nah, pada kongres yang ke-4 kemarin, memang isu syariat islam ini hampir-hampir mendominasi pembicaraan, terutama pada dua komisi yang saya ikuti. Yang lebih banyak bicara sebagian besar adalah teman-teman atau ulama-ulama yang menginginkan syariat Islam diberlakukan secara formal. Tapi, memang ini bukan acara diskusi. Jadi mereka brainstorming sendiri-sendiri saja. Saya sudah berkali-kali mengingatkan agar jangan sekadar membuat daftar keinginan, karena nanti malah akan merepotkan. Usul saya, dari masalah-masalah yang ada, kalau bisa kita ikut merumuskan kemungkinan-kemungkinan penyelesaian; jadi bukan hanya satu kemungkinan.

Tapi alangkah ributnya pembahasan tentang politik Islam. Padahal, sebetulnya apa yang disebut politik Islam atau partai Islam, sampai sekarang juga tidak jelas. Bagaimana mungkin kita selalu mengklaim Indonesia sebagai negara yang 88 koma sekian persen beragama Islam dan dengan begitu wajib menerapkan syariat Islam?! Memang, kalau kita mengutip hasil penelitian PPIM-UIN, sebagian besar masyarakat memang menginginkan penegakan syariat. Tapi yang tidak dilihat: penegakan syariat yang bagaimana? Semua orang Islam memang harus menegakkan syariat, tapi caranya juga tidak jelas; apakah melalui pemerintah atau bagaimana?

UAA: Kenapa KUII IV kemarin tidak mengundang orang seperti Gus Dur atau kalangan moderat lainnya?

BE: Saya kira bukannya Gus Dur tidak diundang, tapi memang peserta kongres ini perwakilan dari organisasi-organisasi. Jadi yang diundang mewakili NU, Muhammadiyah, Fatayat, Muslimat, Aisyiyah, dan lain-lain. Tapi wakil NU dan Muhammadiyah seperti KH. Hasyim Muzadi dan Pak Syafi’i Maarif menyampaikan pidato yang saya kira luar biasa. Pidato mereka merupakan tantangan atau challenging bagi orang-orang yang disebut kalangan konservatif itu.

Tapi harap pula diketahui, rumusan-rumusan kongres ini sebenarnya juga ingin bersifat akomodatif. Karena itu. tidak ada rumusan-rumusan yang terlalu tegas. Misalnya soal menjadikan syariat Islam sebagai salah satu solusi berbagai problematika bangsa. Saya kira, Pak SBY tidak akan ada dalam posisi menolak poin yang satu ini. Hanya saja, oleh saudara Fauzan al-Anshari dari Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), poin ini dibahasakan menjadi syariat Islam sebagai “satu-satunya” solusi. Ini yang menurut saya bermasalah. Bagi saya, kalau Islam memang punya kontribusi, rumusan-rumusan, dan inspirasi yang bisa diambil untuk menyelesaikan persoalan bangsa, ya tidak masalah untuk dipakai. Hanya sayangnya, penjabaran hal ini tidak dibicarakan dengan lebih jernih dan lebih lugas. Akhirnya, kita tidak tahu pada titik apa kontribusi Islam yang diinginkan itu.

UAA: Menurut Mas Bachtiar, kenapa aspirasi tentang formalisasi syariat Islam begitu kuat gemanya dalam KUII kemarin?

BE: Karena peserta kongres ini dari berbagai macam organisasi. Jumlah pesertanya banyak, bahkan lebih dari 500 orang. Oleh SC, mereka sedapat mungkin harus mewakili semua organisasi yang ada. Tapi mengapa isu formalisasi syariat begitu kuat gemanya? Biasalah! Siapa yang bersuara vokal dan nyaring, biasanya akan menjadi ketua sidang, merumuskan isu-isu kongres, dan lain sebagainya. Saya melihat, kecenderungan-kecenderungan konservatif itu memang ada. Dalam komisi-komisi yang saya hadiri, suara-suara soal formalisasi syariat memang kencang. Adapun soal bagaimana, oleh siapa, dalam konteks bagaimana syariat itu diformalkan, memang tidak pernah dibicarakan. Hanya saja, pembicaraan Pak Syafi’i Maarif, dan KH Hasyim Muzadi juga banyak mengingatkan perlunya interpretasi Islam yang kira-kira pas dengan konteks Indonesia. Bagi saya, itu juga luar biasa.

UAA: Apakah dalam KUII IV kemarin ada pembicaraan tentang bagaimana realisasi rekomendasinya, misalnya soal bagaimana syariat Islam harus ditegakkan?

BE: Bagi saya, soal penerapan syariat Islam diserahkan saja pada ormas-ormas masing-masing. Artinya, bagi umat Islam yang tergabung dalam NU, serahkan saja pada NU untuk merealisasi cita-cita dan keinginannya tentang syariat. Mereka yang Muhammadiyah, ya ke Muhammadiyah. Yang al-Irsyad ke al-Irsyad dan yang Hizbuttahrir ke Hizbuttahrir. Hanya saja, yang dirancang MUI melalui kongres ini tidak seperti itu. Kita tahu, penyelenggara KUII pertama dan kedua bukan MUI. Tapi karena menyadari sedemikian banyaknya organisasi Islam, MUI mengambil inisiatif pada kongres ketiga dan keempat. Akhirnya, dari kongres ketiga diperoleh mandat untuk melaksanakannya setiap lima tahun sekali. Saya kira, mandat itu bagus-bagus saja. Bagi saya, kongres ini sarana ukhuwah Islamiyah saja, apapun hasilnya. Orang boleh setuju, boleh tidak, apalagi terhadap Deklarasi Jakarta yang dihasilkan KUII kemarin.

UAA: Tidakkah nama rekomendasi kongres kemarin membangkitkan memori tentang Piagam Jakarta?

BE: Tidak juga. Ini kan menyangkut hal-hal yang bersifat agak teknis saja. Karena kongresnya diselenggarakan di Jakarta, dan bertempat agak mewah di Hotel Syahid sana, maka namanya menjadi Deklarasi Jakarta. Nanti kalau kongresnya diselenggarakan di Sumatra atau Medan, namanya akan menjadi Deklarasi Medan. Saya melihatnya dalam kerangka ukhuwah Islamiyah saja. []

08/05/2005 | Wawancara, | #

Komentar

Komentar Masuk (0)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq