Prof Dr Komaruddin Hidayat: Mampu di Demokrasi, Gagal di Korupsi
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
03/01/2005

Prof Dr Komaruddin Hidayat: Mampu di Demokrasi,
Gagal di Korupsi

Oleh Redaksi

Selalu ada ketegangan kreatif antara harapan dan kecemasan setiap tahun baru menjelang. Persoalan-persoalan sosial-politik-keagamaan yang sudah berlalu, telah memberi pelajaran berharga dan sejumput harapan untuk menapaki tahun yang berganti. Lantas apa persoalan sosial-politik-keagamaan yang menonjol pada tahun 2004, dan bagaimana melakukan islah pada tahun 2005?

Selalu ada ketegangan kreatif antara harapan dan kecemasan setiap tahun baru menjelang. Persoalan-persoalan sosial-politik-keagamaan yang sudah berlalu, telah memberi pelajaran berharga dan sejumput harapan untuk menapaki tahun yang berganti. Lantas apa persoalan sosial-politik-keagamaan yang menonjol pada tahun 2004, dan bagaimana melakukan islah pada tahun 2005? Berikut kilas balik Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Direktur Pascasarjana UIN Jakarta, tentang persoalan sosial-politik-keagamaan Indonesia 2004, sebagaimana dituturkannya pada Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL), Kamis (30/12) kemarin. 

NOVRIANTONI: Mas Komar, bisa Anda petakan persoalan sosial-politik-keagamaan kita di tahun 2004 kemarin?

KOMARUDDIN HIDAYAT: Ada beberapa dimensi yang bisa kita amati. Pertama, umat Islam Indonesia sudah ikut terlibat aktif dalam menyukseskan pemilu. Ini peristiwa yang penting sekali. Selama ini, umat Islam merasa di pinggiran atau dipinggirkan, tapi sekarang sudah aktif menentukan corak pemerintahan. Dalam konteks global, Indonesia yang selama ini dianggap marginal, tidak dihitung dalam percaturan global, ternyata menjadi inspirasi dan model bagi hubungan antara agama dan demokrasi. Sekali lagi, ini sangat penting.

Kedua, pada ormas-ormas Islam juga terjadi proses pematangan regenerasi. Tampilnya tokoh-tokoh muda alternatif, hemat saya ikut mempengaruhi kehidupan sosial keagamaan kita di masa mendatang. Sementara partai-partai Islam yang sudah ada, hemat saya perlu merumuskan kembali visi ke depan mereka.

Ketiga, yang menarik juga, dari segi human investment, sekarang banyak tokoh-tokoh intelektual muda yang kelihatan sudah tampil untuk meneruskan estafet perjuangan generasi tua dengan warna yang baru. Yang perlu diperhatikan pada poin ini adalah persoalan human resources, menyangkut peran-peran yang lebih besar. Di sini kita menilai, baik di NU maupun di Muhammadiyah, memang sudah mulai muncul tokoh-tokoh muda, dan kemunculan ini pasti akan berpengaruh.

Keempat, menyangkut pola-pola dakwah Islam. Kita sekarang melihat gencarnya dakwah Islam dengan menggunakan budaya telekomunikasi. Ini sesungguhnya budaya pop, tetapi diisi dakwah. Fenomena ini juga cukup menonjol, sehingga siapapun kini, baik elit penguasa ataupun artis, harus siap dikritik dan diawasi oleh masyarakat. Ini gejala baru kalau diletakkan dalam konteks kebudayaan.

N: Empat poin yang Anda kemukakan membangkitkan optimisme. Lantas, apa gejala-gejala yang membuat kita pesimis. Tahun baru kan mestinya membuat kita berada dalam posisi bainar rajâ’ wal khauf, antara kecemasan dan harapan?!

KH: Bukan pesimistis mungkin, tapi realistis. Memang dalam konteks politik, kita melihat Islam di Indonesia secara sosiologis mampu menyelenggarakan pemilu secara baik. Kenyataan ini menjadi sumber inspirasi dan model bagi dunia muslim, bahkan menarik perhatian dan kekaguman dunia Barat yang selama ini berpandangan bahwa Islam dan demokrasi tidak akan pernah cocok. Hanya yang menjadi pertanyaan, apakah ini disebabkan Islam, kultur, atau pemerintahannya. Ini semua menjadi objek kajian yang menarik.

Nah, sekarang saya berpikir, kalau Islam sudah mampu mendorong demokratisasi, apakah dia juga mampu mendorong pemberantasan korupsi? Ini yang membuat saya agak ragu. Kalau boleh pesimis, mungkin di sinilah letaknya yang paling tepat.

N: Kalau bicara soal Islam Indonesia, kita tentu bicara soal ormas-ormas Islam. Menurut Anda, apa yang bisa diharapkan dari mereka dalam membendung korupsi?

KH: Ke depan, rasanya pendekatan politik masih sangat berpengaruh dalam konteks itu. Kalau UU Kepartaian segera disahkan, ormas-ormas Islam dan masyarakat akan punya waktu tiga tahun untuk melakukan konsolidasi pemilu. Dari situ, diharapkan partai-partai Islam bisa menampilkan tokoh-tokoh yang baik, punya program yang jelas, sehingga masyarakat betul-betul bisa memilih secara rasional dan kualitatif. Dengan demikian akan terjadi semacam proses edukasi dan seleksi tokoh-tokoh yang akan tampil dalam panggung politik nasional.

N: Tapi problem kita mungkin pada soal pengkhianatan amanat publik. Misalnya, elit-elit politik terlalu keukeh dengan legalisme hukum dan politik, tidak mengedepankan etika politik. Umpamanya soal rangkap jabatan. Undang-undangnya memang tidak ada, tapi secara etika mestinya mereka sadar bahwa publik punya harapan teramat besar agar mereka konsen yang fokus di eksekutif atau legislatif.

KH: Kesadaran dan gerakan masyarakat untuk ikut mengawasi itulah yang perlu digerakkan oleh elemen-elemen civil society. Sehingga nantinya, tokoh-tokoh yang mengkhianati amanat publik dan tidak perform, tidak akan dipilih lagi oleh rakyat. Sekarang, secara perlahan-lahan perlu kita dorong agar yang betul-betul berdaulat adalah rakyat. Dulu, tokoh yang tampil adalah yang disenangi atasan. Sekarang kita kondisikan agar tokoh yang bisa tampil adalah yang diterima dan didukung rakyat.

N: Kita akan fokus diri pada soal sosial-keagamaan. Bisakah Anda gambarkan beberapa tipologi keberagamaan umat Islam Indonesia dalam satu tahun belakangan ini?

KH: Saya melihat masyarakat kita kini memerlukan dakwah yang sifatnya lebih populer. Ini terkait juga dengan kondisi ekonomi, politik, dan pendidikan yang belum begitu bagus. Saya tidak ingin mengatakan dakwah seperti itu mediocre. Tapi karena tradisi baca kita belum begitu kuat, sementara orang lelah menghadapi persoalan ekonomi dan politik, maka dakwah yang bersifat menghibur dan massif justru jadi menarik. Contohnya apa yang dilakukan Aa’ Gym, Arifin Ilham, dan Ustad Hariyono. Ketiga sosok ini begitu fenomenal. Aa’ Gym tampil dengan bahasa kalbu dan mengangkat tema-tema harian yang formulanya akrab dengan rakyat. Kemudian Arifin Ilham tampil dengan zikir dan doanya. Di situ mungkin ada unsur katarsis-psikologis. Ustad Haryono mengusung unsur kesehatan. Ini semua bagus sekali, tetapi tidak menyajikan kedalaman. Tapi memang yang begitulah sekarang ini yang lagi diperlukan.

N: Pola keberagamaan yang Anda sebutkan tadi cenderung ke ritualistik dan mungkin sufistik. Apakah ini gejala perkotaan saja atau juga pedesaan?

KH: Bagi saya ini semakin memperkuat teori dan kenyataan bahwa Islam itu pada akhirnya memang berdialog, lebur, dan menyatu dengan local culture. Oleh karena itu, kalau bicara soal Islam, mau tidak mau kita juga berbicara soal kultur orang Islam sekaligus setting sosial-politiknya. Dengan demikian, keberagamaan seseorang atau masyarakat pasti dipengaruhi suasana psikologis dan sosiologis dimana mereka berada. Dalam konteks ini, kita melihat bahwa secara kultural, Islam Indonesia itu mulai merambah bentuk keindonesiaan.

Saat ini kita melihat, komunalisme ekstrem semakin sulit ditemukan. Dimanapun kita berada, kita mesti akan menemukan masyarakat yang pluralistik, baik pluralitas dari segi etnik maupun agama. Ini juga memberi warna baru bagi Islam Indonesia. Anak-anak muda sekarang juga tidak begitu kental lagi dengan memori ideologis. Mereka mungkin membentuk kelompok-kelompok baru yang sifatnya puritan, tapi juga menghadapi tantangan ekonomi yang mendorong pragmatisme dan sebagian intelektualisme. Akhirnya, pola keberagamaan anak muda kini, saya lihat berbeda dengan orang tua.

N: Mas Komar, ada harapan besar dari peningkatan spiritualitas masyarakat perkotaan dari uraian Anda tadi. Tapi ada juga yang beranggapan gejala itu baru sebatas aspek ritualnya. Sementara aspek sosialnya masih lemah. Anda setuju?

KH: Ya. Tapi saya melihat ada harapan. Banyak juga teman-teman saya yang bekerja di bank, eksekutif muda, dan kaum profesional yang sangat peduli dengan persoalan sosial. Misalnya persoalan anak asuh. Gaji mereka tiap bulannya dipotong 2,5 % untuk keperluan sosial. Hanya saja, kegiatan sosial mereka ini tidak terekspos. Selain itu, banyak juga LSM-LSM yang tidak menggunakan tampilan-tampilan simbolik agama, tapi punya motivasi keagamaan yang tinggi dan melakukan kritik atas ritualisme. Saya juga melihat gejala yang lebih substansial daripada itu. Misalnya pada kader-kader PKS. Komitmen keislaman mereka tinggi, tapi simbol-simbol keagamaanya tidak begitu menonjol. Dan orang seperti itu banyak sekali di Indonesia.

N: Itu satu sisi keberagamaan Islam di Indonesia. Bagaimana dengan meningkatnya gejala ekstremisme yang cukup mengkhawatirkan sepanjang tahun 2004 kemarin?

KH: Itu terjadi juga. Bagi Barat, gejala itu memang menjadi umpan empuk untuk di besar-besarkan. Tapi di sisi lain, tokoh-tokoh Islam maupun organisasi Islam yang besar, merasa tidak terlalu terganggu dan juga mengutuknya. Mungkin inilah sebuah harga demokrasi. Kelompok yang kecilpun bisa muncul ke permukaan dalam alam demokrasi. Tapi perlu diingat, aksi kekerasan berbasis agama di sini, jauh lebih sedikit dibandingkan di Timur-Tengah yang mempunyai alasan-alasan tersendiri. Kekerasan di sini sebagian memang karena watak-watak kultural tertentu, tapi sebagian juga karena himpitan problem ekonomi dan politik.

N: Mas Komar, tadi Anda mengatakan kalau generasi muda Islam baru kurang ideologis dibanding generasi tua, dan komunalisme ekstrem dalam masyarakat kurang diminati. Tapi kalau mengamati fenomena gerakan Islam di “kampus-kampus sekuler”, pernyataan Anda tadi mungkin terbantah. Gerakan Islam baru yang lebih punya “etos perlawanan” dan dianggap tidak pro status quo tampaknya lebih diminati dari pada underbow NU dan Muhammadiyah!

KH: Fenomena ini masih akan berkembang terus. Kalau ikatan kedaerahan, afiliasi kultural, ikatan kelompok dan mazhab pertama-tama masih begitu kental, dengan masuk perguruan tinggi mereka akan berada pada komunitas yang plural dan sebagian lebih rasional. Menurut saya, anak-anak muda itu mau tidak mau harus memperoleh basis intelektual sendiri untuk tampil. Artinya, di situ masih bisa diharapkan proses yang evolutif dalam menentukan corak pikiran atau strategi pergerakan.

Jadi akan ada tuntutan intelektualisme di samping aktivisme. Yang mengedepankan intelektualisme tanpa basis massa akan sulit menjadi tokoh gerakan. Yang sekadar aktivis tanpa basis intelektual, juga akan kurang percaya diri.

N: Terakhir, apa rekomendasi Anda untuk kehidupan sosial-keagamaan yang lebih sehat pada tahun 2005 mendatang?

KH: Pertama, di tahun 2005 nanti, nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan hendaknya lebih kita tonjolkan. Dan dalam pemilu-pemilu yang akan datang, seperti pilkada dan lainnya, representasi aspirasi agama hendaknya disalurkan melalui tokoh yang baik dan program yang bagus. Dengan begitu, diharapkan tidak terjadi komodifikasi agama yang berlarut-larut, tetapi muncul partisipasi keagamaan secara kualitatif.

Kedua, ke depan yang harus ditonjolkan gerakan-gerakan keagamaan adalah usaha meningkatkan kualitas pendidikan. Kalau aspek pendidikan tidak kita selamatkan, habislah bangsa ini. Ketiga, gerakan-gerakan sosial-keagamaan juga harus mengambil peran aktif dalam memberdayakan ekonomi rakyat kecil. Saya kita, masa depan bangsa ini bisa kita selamatkan dengan ikut serta dalam meningkatkan mutu pendidikan dan pemberdayaan ekonomi rakyat. []

03/01/2005 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (5)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Pengalaman tinggal di Canada 15 tahun membuka mata hati saya bahwa agama apapun punya kapasitas transformatif, merubah masyarakat ke arah lebih baik. Untuk ini, saya acung jempol ke website JIL yang memberi warna pemahaman Islam agar tidak monolitik dan literal. Sama pentingnya fakta bahwa tanpa agama pembentukan perilaku fair, jujur, dan berani bisa dilakukan di sekolah (public system school). Tidak ada kurikulum agama di sekolah umum di Amerika Utara.

Parahnya korupsi di Indonesia semestinya membuat pendidikan prioritas nomor satu pemerintah Indonesia. Islam di Indonesia bisa dipakai untuk menaklukkan korupsi, walaupun saya tidak yakin akan sukses selama tidak ada contoh nyata konsisten dari pemuka2 Islam. Pendidikan sekular yang mengajarkan perilaku fair, jujur, dan berani mungkin justru punya kans lebih besar untuk sukses. Masalahnya apa bisa sistem pendidikan Indonesia lakukan tugas mulia ini?
-----

Posted by Arief Budiman  on  01/09  at  10:02 AM

Menyimak penuturan Komaruddin Hidayat tentang keberhasilan Islam menjadi inspirasi dalam mendorong proses demokratisasi di Indonesia semakin meyakinkan kita bahwa ternyata prinsip demokrasi sebenarnya tak pernah bertentangan dengan Islam. Tetapi kenapa masih sering terdengar di telinga kita ‘mereka’ yang menyerukan perjuangan formalisasi syari’at Islam di Indonesia? Inilah barangkali persolan yang perlu direnungkan bersama.

Mengatur masyarakat dalam bingkai negara tentu yang lebih diutamakan adalah bagaimana prinsip keadilan, kesetaraan dan persamaan di dalam hukum dijalankan bukan hanya sekedar formalitas belaka. Sehebat apapun suatu negara memberlakukan secara formal syari’at agama tertentu tetapi apabila prinsip-prinsip tersebut tak pernah dijalankan maka negara seperti ini tak bisa disebut sesuai dengan ajaran agama. Maka sebenarnya yang lebih penting dalam penyelenggaraan negara adalah bagaimana prinsip-prinsip yang menjunjung tinggi nilai moral dan kemanusiaan ditegakkan apapun nantinya ‘nama’ ideologi yang dianut. Dengan demikian apabila dalam sistem demokrasi terdapat hal-hal yang tidak bertentangan dengan nilai moral dan kemanusiaan tentu tidak berseberangan pula dengan ajaran agama (Islam).

Ada hal yang lebih penting untuk ‘diurusi’ daripada hanya sekedar berambisi menyerukan jihad menuntut pemberlakuan syari’at agama, yakni persoalan korupsi. Praktek korupsi selama ini telah menggerogoti ‘jantung’ orang-orang yang kebetulan terpilih untuk mengemban amanat rakyat. Praktek ini telah begitu mewabah dan (mungkin) menjadi tradisi di hampir seluruh lapisan mayrakat yang memegang jabatan. Tetapi sepertinya para “punggawa agama” tak tertarik untuk menyerukan jihad melawannya. Bagiamana sesungguhnya agama memandang praktik korupsi ini?. Praktik korupsi selalu mendatangkan kerugian bagi pihak tertentu dan ini bertentangan dengan nilai etika, moral dan kemanusiaan. Mereka yang telah mengambil sesuatu yang bukan haknya pada dasarnya telah melakukan suatu kezdaliman. Padahal setiap agama tak pernah mengajarkan untuk melakukan hal ini. Dengan demikian memberantas korupsi menjadi tugas seluruh lapisan masyarakat termasuk kaum agamawan yang selama ini dianggap umat (masyarakat) mempunyai otoritas menafsirkan ajaran agama. Maka dalam konteks ini sudah saatnya para ‘punggawa agama’ menyerukan perang (Jihad) melawan korupsi. Peran mereka penting sebab disamping anggapan di atas juga mereka-lah yang sering bersentuhan langsung dengan umat menyampaikan pemahamannya terhadap ajaran agama. Keadaan sekarang menuntut mereka untuk tidak hanya sekedar menyampaikan hal-hal bersifat ritualistik an sich yang seringkali malah membuat umat pasrah dan terlena dengan ke-khusyu’an pribadi tanpa terlibat aktif menyelesaikan problem kemanusiaan. Paradigma lama yang menganggap pemberantasan korupsi tidak terlalu penting harus segera diubah. Melalui keyakinan bahwa memberantas korupsi menjadi jihad diharapkan seluruh lapisan masyarakat terlibat aktif. Konsep jihad dalam Islam perlu dikembangkan penafsirannya dari yang dahulu dipahami dalam konteks perang menjadi pemahaman yang lebih luas lagi.

Posted by Kang Taroji  on  01/07  at  08:01 PM

menelaah tulisan KH sepertinya membawa saya untuk membagi kisah-kisah dibawah ini, yang setidaknya bisa memberikan gambaran mengenai beberapa hal yang menjadi kerisauan dalam tema besar tulisan itu.  Ketika saya mengambil ilmu pada seorang ulama dan pengajar santri di ponpes di Soditan, Lasem, Rembang 1987, ulama meminta saya untuk tidak main catur karena main catur itu haram. Tapi, beliau selalu menerima tamu di sore hari secara rutin para saudagar dan pedagang di Lasem dan sekitarnya, yang kebanyakan etnis Tionghoa yang minta penglaris usahanya. Mereka diberi resep dalam bentuk tulisan, yang bisa ditukar dengan amplop

Ketika mengunjungi desa di Gemah, Salatiga saya terkejut ketika ada ulama desa setempat marah-marah dalam pertemuan warga karena sumbangannya bahan pangan yang diperoleh dari warga desa berkurang. Saat bulan ramadhan, ulama itu marah dan mengeluarkan fatwa kalau sholat tarawih yang sah hanya di masdjid, bukan di mushola. Usut-punya usut fatwa itu terpaksa disampaikan karena dana infag yang masih ke kotak amal masjid berkurang

Ketika berkunjung ke Solo dan Yogja, saya terkagum-kagum menyaksikan dan mengetahui bahwa semua kerbau, kereta kencana dan benda-benda yang dianggap keramat oleh keluarga kerajaan Mataram telah diberi nama dengan awalan kyai-sementara tradisi itu tidak dimiliki oleh penganut kejaraan besar Majapahit yang runtuh ketika Kerajaan Islam Demak berkembang

Ketika membaca buku Arus Cina-Islam-Jawa yang ditulis Sumanto Al Qurtuby secara tegas menggariskan kenyataan bahwa muslim Cina ternyata mengambil peran penting dalam sejarah penyebaran Islam di Jawa, sangat memberi gambaran bahwa tradisi dan budaya cina merasuki masyarakat kita. Semangat cina terhadap kekuasaan adalah bahwa mereka sebisanya meminjam kekuasaan itu, bila ditolak maka dia sebisanya membeli kekuasaan itu.

Akhir tulisan ini, benarkan negara yang pernah dijajah Belanda sangat berbeda struktur dan pola pikir masyarakat dibanding negara yang pernah dijajah Inggris dan masuk dalam kelompok negara-negara persemakmuran. Negara yang bekas jajahan Belanda telah rusak pola pikir dan penalarannya, sehingga mereka ketika masih muda bekerja keras dengan segala upaya mencari kekayaan yang nantinya bisa dipakai naik haji setelah itu baru bertobat? inilah segelintir dari kisah saya, mudah-mudahan juga bisa memberi gambaran kenapa korupsi menyeruak dalam hidup bangsa ini. Kata orang betawi, kita ini ogah zinah tapi main duit nggak ape-ape

Posted by winarto hs  on  01/07  at  06:02 AM

satu pertanyaan: kualitas pendidikan? pendidikan yang berkualitas itu yang kayak apa sih?

yang menciptakan sekrup sekrup siap pakai industrialisasi kapitalis? yang menghasilkan umat yang menguasai ayat ayat al qur’an? yang menghasilkan manusia pandai? pandai dalam hal apa? how do we define ‘pandai’?

barangkali tiga poin berikut ini bisa mengisi agenda pendidikan dan perlu digarap oleh pemikir dan aktivis sosial keagamaan:

* mengaji dan menumbuhkan daya kreatif yang inklusif dari sejarah kebudayaan islam dan sejarah kodifikasi ajaran islam.

* mengetengahkan (highlighting) dialog antara kebudayaan lokal (dan global) dan ajaran islam.

that’s what, i believe, is worth pursuing in education. i will expect that those 2 points of exercises will make umat capable of responding to the dunia kontemporer secara arif bijaksana.

ps. saya membayangkan, jil menggarap tema ‘mazhab’ secara lebih reguler sehingga warna warni pelangi indah menghiasi jil tanpa harus beriklan ‘warna warni’.

Posted by yu senik  on  01/06  at  02:01 AM

Seorang ustadz pernah beritahuku bahwa korupsi marak karena tidak adanya keimanan. Tapi benarkah, buktinya orang indonesia yang beragama mayoritas islam, arab saudi yang pemerintahannya wahabi - fundamentalis, afganistan dengan talibannya sangat korup, semua.

Pengetahuan islam seseorang juga tidak jamin tidak korupsi, lihatlah ulama ulama yang duduk di kursi Dewan, banyak juga yang terlibat korupsi, disana gak bisa berbuat apa apa, hanya duduk.

Pertanyaan besar, kenapa banyak orang ATEIS yang tidak punya keimanan, tidak percaya tuhan di kanada, amerika, Uk malah sebaliknya. Mereka sangat memahami hak hak publik. Ini bukan jugde, tapi gambaran bahwa realitas itu ada. Ini bukan kesimpulan, tapi hanya sedikit menggambarkan kepada kita bahwa agama ternyata belum dapat menjawab masalah korupsi. Lihat Arab saudi, lihat afganistan dulu, mesir .............

Posted by fajar  on  01/03  at  06:01 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq