Masalah Separatisme Jadi Urusan Negara, bukan Swasta - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
12/05/2002

Ust. Nasir Rahawarin dan Pendeta Hendrik: Masalah Separatisme Jadi Urusan Negara, bukan Swasta

Oleh Redaksi

Baru-baru ini, rombongan dari Ambon yang terdiri dari anggota DPRD, tokoh-tokoh Muslim maupun Kristen, melakukan “diplomasi sipil” ke pejabat-pejabat pemerintah pusat, pimpinan DPR/MPR dan tokoh-tokoh NU dan Muhammadiyah. Kedatangan rombongan tersebut bisa disebut “gugatan” Ambon terhadap Jakarta agar lebih serius menegakkan hukum dalam penyelasaian konflik yang telah memasuki tahun ketiga ini.

Baru-baru ini, rombongan dari Ambon yang terdiri dari anggota DPRD, tokoh-tokoh Muslim maupun Kristen, melakukan “diplomasi sipil” ke pejabat-pejabat pemerintah pusat, pimpinan DPR/MPR dan tokoh-tokoh NU dan Muhammadiyah. Kedatangan rombongan tersebut bisa disebut “gugatan” Ambon terhadap Jakarta agar lebih serius menegakkan hukum dalam penyelasaian konflik yang telah memasuki tahun ketiga ini. Perjanjian Malino II kini terancam “tinggal kenangan” pasca-ketegangan pengibaran bendera Republik Maluku Selatan (RMS), yang diikuti tabligh akbar Panglima Laskar Jihad dan penyerangan desa Soya yang merenggut nyawa 12 manusia. Hawa konflik seakan memuncak dengan ditangkapnya Ja’far Umar Thalib dan ketua Forum Kedaulatan Maluku (FKM), Alex Manuputty. 

Ulil Abshar-Abdalla dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) berhasil mewawancarai Pendeta Hendrik, Ketua Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM), dan Bapak Nasir Rahawarin, dosen Universitas Pattimura dan sekjen Badan Imanat Muslim Maluku, yang juga merupakan rombongan “diplomasi sipil” dari Ambon. Wawancara ini berlangsung di Radio 68H, bertepatan dengan hari kenaikan Isa Al-Masih, Kamis, 9 Mei 2002. Berikut petikannya:

ULIL: Pak Hendrik, Anda bisa menceritakan tujuan rombongan dari Ambon ke Jakarta?

PDT. HENDRIK: Rombongan dari Ambon ini datang ke Jakarta untuk meminta ketegasan Jakarta mengenai konflik yang makin memanas di Ambon pasca-tragedi Soya yang menewaskan 12 orang baik anak-anak maupun perempuan. Kita bermaksud meminta appeal dari Jakarta terhadap tragedi Maluku yang sudah berlangsung tiga tahun lebih. Apalagi, terbetik berita bakal digelarnya darurat militer yang secara tegas kami tolak. Kami kira, tidak ada relevansi peningkatan status darurat sipil ke darurat militer. Sebab itu hanya akan menambah lebih banyak lagi korban dari rakyat.

ULIL: Bagaimana kabar terakhir pasca-tragedi Soya?

PDT. HENDRIK: Jaminan keamanan bagi masyarakat mengalami ketidakjelasan. Pasca Deklarasi Malino II, seluruh penduduk Soya yang mayoritas Kristen, telah menyerahkan senjata. Ternyata, tidak ada jaminan keamanan buat mereka. Tentara yang datang untuk menghalau penyerang pun datang sangat terlambat.

ULIL: Bagaimana prospek perdamaian pasca Malino II?

PDT. HENDRIK: Semua kembali pada ketegasan pemerintah dalam menegakkan hukum. Itu kelemahan terbesar pemerintah dan aparat keamanan dalam mengimplementasikan kesepakatan Malino II, baik dari pusat maupun Pemerintah Darurat Sipil (PDS) Maluku.

ULIL: Pemerintah menangkap Ketua FKM, Alex Manuputty dan Panglima Laskar Jihad, Ja’far Umar Thalib. Bagaimana tanggapan Anda?

PDT. HENDRIK: Itu langkah yang tepat sekali. Saya justru mempertanyakan, mengapa tidak dilakukan jauh-jauh hari sebelumnya. Saya melihat, pemerintah sering tidak konsisten; orang melakukan pelanggaran tapi tidak diproses secara hukum. Yang penting keseriusan pemerintah, dan tidak menjadikan penangkapan Ketua FKM dan Panglima Laskar Jihad sebagai lips service.

ULIL: Ada yang berpendapat bahwa penangkapan terhadap dua pimpinan tadi sekadar untuk menutupi kelemahan pemerintah dengan cara mengkambinghitamkan masyarakat.

PDT. HENDRIK: Sebelumnya PDS memang kurang tegas. Menurut saya, langkah tersebut menunjukkan kalau pemerintah mulai serius menegakkan hukum. Dan kita harus mendukungnya. Langkah positif tersebut perlu sebagai awal pemulihan kondisi keamanan di Maluku.

ULIL: Menurut Anda, apakah FKM yang diidentikkan RMS ini kekuatan yang serius ingin melepaskan diri dari NKRI seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh?

PDT. HENDRIK: Menurut saya, FKM dan RMS itu tidak melakukan perlawanan bersenjata. Mereka memang membuat tulisan-tulisan provokatif. Mereka juga kecil dan mudah diidentifikasi. Maka, penyelasaian FKM kembali pada ketegasan untuk menindak secara hukum. Mereka tak punya milisi bersenjata dan jumlahnya pun tak lebih 100 orang. Paling banter, mereka sebatas menggulirkan wacana. Memang, punya beberapa cabang di luar negeri, terutama Belanda. Menurut saya, mereka kecewa terhadap pemerintah RI dalam penanganan konflik di Ambon, sehingga hantu RMS dihidupkan lagi.

ULIL: Bagaimana sikap GPM dan masyarakat Kristen umumnya terhadap FKM dan RMS?

PDT. HENDRIK: Sejak RMS diproklamasikan tahun 1950, kami sudah konsisten menolaknya hingga sekarang.

ULIL: Bagaimana soal Laskar Jihad di Maluku?

PDT. HENDRIK: Kalau kita lihat, Laskar Jihad sangat terlibat dalam konflik. Memang, Laskar Jihad juga punya peranan dalam aktivitas pendidikan, sosial dan kesehatan. Tapi, mereka tetap punya kontribusi dalam pelanggengan konflik. Dalam tabligh akbarnya yang terakhir, Ja’far Umar Thalib mengajak perang dan menganjurkan masyarakat Muslim untuk membikin bom dan senjata. Kemarin Ustadz Polpokke, Ketua MUI Maluku, secara jelas menyebut kaitan Laskar Jihad dengan pelestarian konflik di sana. Saya kira, ada kaitan antara tabligh akbar oleh Panglima Laskar Jihad, dengan penyerangan di desa Soya. Maka, salah satu jalan menuju perdamaian adalah meminta Laskar Jihad keluar dari Ambon.

ULIL: Menurut ketua MUI Maluku dan Nasir Rahawarin, keberadaan kelompok ini lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya?

PDT. HENDRIK: Saya pikir ya. Saya ingin mengajak saudara-saudara Muslim melihat masalah secara jernih, sehingga mereka tidak terprovokasi untuk melakukan sesuatu yang dianggap demi agama tapi sebenarnya bukan. Sebetulnya, yang dilakukan adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Dan itu, tidak didukung oleh agama mana pun, baik Kristen maupun Islam.

ULIL: Kalau salah satu jalan adalah meminta Laskar Jihad keluar dari Ambon, kenapa itu tidak dilakukan Pemerintah Darurat Sipil (PDS) di sana?

PDT. HENDRIK: Saya kira, PDS kekuatannya terbatas. Dan yang terjadi sebetulnya adalah campur tangan Pemerintah Pusat. Apa yang terjadi di Maluku itu merupakan imbas persoalan yang terjadi di Jakarta. Kita melihat, di Jakarta selalu dikembangkan pikiran-pikiran yang tidak menggambarkan situasi riil di Ambon. Misalnya tentang RMS dan FKM. Masalah ini di-blow-up seakan menjadi ancaman serius terhadap persatuan dan kesatuan bangsa. Padahal, FKM-RMS merupakan gerakan yang kecil sekali. Kalau diatasi dengan proses hukum dan tidak melalui cara kekerasan, masalah ini akan selesai.

Tapi blow-up-nya sedemikian rupa, sehingga datanglah organisasi semacam Laskar Jihad. Padahal, ini kesalahan ganda dan berakibat mengaburkan suasana di Ambon. Perlu diingat, Laskar Jihad sebetulnya tidak memiliki legitimasi untuk melakukan peran yang semestinya dilakukan negara. Itu peran aparat keamanan. Jadi, gerakan separatisme seharusnya diurus tentara atau polisi.Dengan begitu jadi jelas duduk perkaranya. Keterlibatan sipil pasti ironis dan berpihak. Mereka menyatakan akan mengamankan separatisme di Maluku, tapi caranya justeru menggerogoti keutuhan dalam negara sendiri.

ULIL: Kalau mengatasi separatisme, mengapa tidak melawan GAM di Aceh? Berhubung GAM juga Muslim, mungkin mereka enggan melawan saudara sendiri.

PDT. HENDRIK: Itulah yang ironis.

ULIL: Kalau begitu “provokator” dari luar ini yang menjadikan konflik berkepanjangan?

PDT. HENDRIK: Saya melihat, dua unsur yang selalu berperan dalam melanggengkan konflik. Di satu pihak Laskar Jihad, dan di pihak lain FKM-RMS. Jadi penangkapan kedua tokoh organisasi ini merupakan jalan yang tepat. Sekarang yang diminta tinggal konsekuensi pemerintah.

ULIL: Agaknya tidak ada suara dari dalam Ambon yang tegas dan tandas menolak unsur-unsur luar Ambon agar tidak terlibat konflik.

PDT. HENDRIK: Orang-orang Maluku tidak punya akses ke media. Yang punya akses justru orang-orang yang keliru sehingga informasi untuk menggambarkan kondisi riil di sana jadi mandek. Sekarang menjadi kesempatan baik untuk menerangkan ke publik. Selama ini, yang ada semangat-semangat yang miring itu.

ULIL: Menurut Pak Nasir, keberadaan Laskar Jihad pasca-Malino II di Maluku lebih banyak manfaat atau mudaratnya?

UST. NASIR: Saya kira, tergantung fungsi dan peran yang dimainkan. Sebelum Malino, mereka memainkan peran sebagai pemberi bantuan sosial-kemanusiaan, di samping ikut membantu memberikan rasa aman bagi kaum Muslim. Itu disambut positif semua Muslim Ambon. Namun, pasca-Malino II, sebagian besar kaum Muslim Ambon ingin menyelesaikan konflik melalui pentahapan, untuk kemudian step-by-step menuju upaya perdamaian. Dengan begitu, saya kira, peran dan fungsi Laskar Jihad perlu ditinjau kembali. Sehingga, fungsi-fungsi militer Laskar Jihad untuk memberikan keamanan pada kaum Muslim sudah harus direorientasi untuk diefektifkan kembali menjadi fungsi-fungsi sosial kemasyarakatan. Dengan begitu, keberadaan mereka bisa dipertahankan. Sepanjang fungsi ini tidak dirubah, proses perdamaian yang kini sedang berlangsung akan mengalami hambatan.

ULIL: Menurut Anda, Laskar Jihad ingin melayani masyarakat atau terus berperang?

UST. NASIR: Saya kira, kedua-duanya berjalan berbarengan. Oleh karena itu, saya menghimbau Laskar Jihad untuk bisa menyelesaikan persoalan itu. Ini persoalan umat. Di satu pihak, kita ingin bertahan pada persoalan masa lalu. Tapi sekarang, masyarakat butuh membangun kembali aset umat yang telah terpuruk selama tiga tahun belakangan ini. Perlu berpikir positif ke depan kalau memang kita punya komitmen yang kuat pada umat. Umat ini harus dibangun dan tidak dibiarkan sepanjang masa berada dalam kondisi konflik.

ULIL: Malino II menggambarkan betapa masyarakat berkeinginan kuat untuk damai. Tapi, tetap saja ada pihak-pihak yang tidak puas, semacam Laskar Jihad dan FKM. Menurut Anda, bagaimana mengatasi unsur-unsur yang radikal semacam ini?

UST. NASIR: Pertama, perlu digariskan bahwa FKM itu gerakan separatis. Kedua, Laskar Jihad yang berusaha mengatasi FKM justru bersikap menentang terus dan menjadi berkelanjutan. Saya kira, sangat elegan kalau kita membuka diri untuk berdiskusi dan berdialog untuk membicarakan persoalan yang sesungguhnya terjadi, termasuk menyangkut seberapa besar FKM itu di Ambon. Selama ini, masyarakat Muslim di Ambon melakukan generalisasi bahwa seluruh orang Kristen adalah FKM dan RMS. Saya kira, ini adalah sebuah generalisaai yang keliru. Karena tidak semua orang Kristen itu RMS.

ULIL: GPM tidak mendukung RMS sejak tahun 50-an?

Iya, sikap itu sudah terlihat sejak tahun 50-an. Dalam perkembangan konflik sejak tahun 1999 sampai sekarang, masyarakat Muslim menginginkan sikap penolakan secara tegas dan terbuka. Sebab, dinamika masyarakat selama 50 tahun sudah sangat berbeda. Sebelum Malino II, penolakan kalangan Kristen terhadap RMS kurang terlihat. Karena itu, muncullah generalisaasi tadi. Akan tetapi, ada perkembangan yang amat positif setelah Malino II. Terjadi separasi sikap GPM terhadap RMS. Banyak juga orang Kristen dan GPM yang telah memberikan klarifikasi tentang sikap mereka terhadap FKM dan RMS. Jadi, sesungguhnya yang terjadi pasca-Malino adalah keberhasilan melakukan separasi antara RMS dan FKM dengan orang Kristen yang tidak mendukung RMS dan FKM.

Bapak Ahmad (Ambon): Menurut saya. Malino II hanya melibatkan tokoh-tokoh Muslim yang tidak aspiratif. Mereka yang dikirim adalah suara birokrasi, bukan suara grassroot. Untuk Pak Hendrik saya sampaikan, bahwa pihak Kristen setengah hati mengutuk FKM dan RMS. Pada awal-awal kerusuhan dan sebelum Malino II, tidak ada tokoh-tokoh Kristen yang mengutuk FKM dan RMS. Saat bendera RMS kemarin dikibarkan, yang melakukan demo hanya orang-orang Muslim saja.

PDT. HENDRIK: Menurut hemat saya, sebenarnya gereja secara konsisten menolak FKM-RMS. Mungkin saja saudara-saudara Muslim kurang sempat mendengarkan. Dan memang, provokasi tentang keterlibatan gereja terdengar kuat sekali di kalangan Muslim sendiri. Kenapa gereja tidak mengutuk? Gereja tidak pernah mengutuk siapa saja. Bahkan, mereka yang jahat pun didoakan supaya bertobat.

ULIL: Artinya, pihak gereja bersalah karena tidak mengutuk?

PDT. HENDRIK: Tidak. Kami tidak mengutuk dalam makna kata itu. Tapi, sikap menolak jelas sekali. Sangat jelas, kami tidak mendukung dan tegas menolak FKM dan RMS. Banyak yang tahu kalau dalam dialog-dialog kami dengan FKM, secara tegas kami meminta menghentikan kegiatan mereka. Tapi kalau dibilang mengutuk, ya tidak. Sebab, gereja tidak pernah memakai kata mengutuk. Kalau kita jujur dengan sejarah, RMS bukan hanya Kristen, tapi Muslim juga sama-sama terlibat di situ. Dulu, sembilan menteri RMS berasal dari Islam. Sampai sekarang pun, tokoh-tokoh FKM itu ada juga yang Muslim.

ULIL: Apa harapan Anda untuk pemerintahan uusat, masyarakat luar Ambon, dan orang Ambon sendiri?

PDT. HENDRIK: Saya berharap pemerintah pusat konsisten dalam penegakan keamanan dan hukum. Saya juga berharap masyarakat luar terbuka untuk mengkaji dan mendengar secara sungguh-sungguh apa yang terjadi sebenarnya, serta tidak kabur pemahamannya oleh provokasi. Untuk masyarakat Ambon baik Muslim dan Kristen, agar tetap solid dan tidak goncang oleh pihak manapun juga. Sebab, sebetulnya masyarakat Ambon itu punya landasan kultural yang sama. []

12/05/2002 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (0)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq