Mencari Wajah Islam Indonesia - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Diskusi
10/07/2006

Diskusi di Universitas Negeri Jakarta Mencari Wajah Islam Indonesia

Oleh Fitri

Tidak ada kelompok yang berhak mengklaim dirinya paling benar dan berhak mendominasi surga Allah, apalagi mencap kafir atau menuding kelompok lain sesat.

“Indonesia adalah negara yang menghargai pluralitas, salah-satunya pada hal berkeyakinan dan memeluk sebuah agama. Karena agama adalah hak asasi setiap manusia. Islam yang berkembang di Indonesia memiliki akar yang kuat dalam konteks keindonesiaan. Di Indonesia, Islam telah banyak melahirkan aliran-aliran yang satu sama lain mampu memberikan warna dan corak yang berarti. Namun demikian ketegangan maupun konflik antar aliran seringkali tak terelakkan. Ketegangan itu biasanya terjadi karena adanya perbedaan dalam menghadapi modernisasai.”

“Tetapi sejarah terbentuknya Islam di Indonesia, unsur-usur yang memengaruhinya, serta proses penyebarannya, telah mampu menghasilkan paham keterbukaan (teologi inklusif). Paham inilah yang menjadikan mereka tetap survive dalam menghadapi ketegangan dan konflik yang ada.”
Itulah salah satu pernyataan Syafi’i Anwar, Direktur International Conference for Islam and Pluralism (ICIP) dalam diskusi interaktif yang dilaksanakan oleh Pengurus Komisariat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PK PMII) UNJ Jakarta Timur yang bekerjasama dengan yayasan Tifa 29/6 lalu. Diskusi dengan tema “Islam Indonesia Antara Agama dan Budaya” ini juga menghadirkan Abd. Moqsith Ghazali, MA dari Jaringan Islam Liberal {JIL), Ismail Yusanto dari Hizbut Tahrir Indonesia {HTI} dan Andi Handiyanto, Dosen Jurusan Agama Islam Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta.

Berbeda dengan Syafi’i Anwar yang melihat pentingnya unsur budaya dalam agama, Ismail Yusanto justur menilai adanya peran ganda dalam konsep budaya. Menurut juru bicara HTI ini agama dibentuk oleh tata nilai budaya yang di dalamnya terdapat substansi hadharah, yaitu sebuah konsepsi kemajmukan. Menurutnya gagasan tentang hadharah dapat dipahami sebagai madaniyah {produk materi di dalam sebuah komunitas}. Tetapi ia menolak hadharah materialistik yang menurutnya akan menghasilkan kemaksiatan di mana-mana. Sebaliknya ia meyakini bahwa hadharah spiritual adalah hadharah yang paling baik. “Dengan hadharah spiritual itulah kita mungkin untuk merealisasikan syariat Islam di negara Indonesia ini”, tandasnya.

Pandangan tentang syariat Islam ini sepontan ditolak oleh Andi Handiyanto, salah seorang dosen Agama Islam UNJ. “Islam tidak bisa diidentikkan dengan kearab-araban atau segala bentuk yang harus sesuai dengan bangsa Arab secara keseluruhan”, tukasnya mengawali presentasinya. “Kita tidak bisa menafikan gagasan tentang sekularisme, liberalisme, dan pluralisme yang berkembang saat ini.” Meski gagasan itu bukan berasal dari Arab atau Islam, tetapi bukan berarti tiada kebenaran di dalamnya. Karena kebenaran tidak selalu datang dari Arab.

Lebih tegas ia juga mengutuk adanya kelompok-kelompok tertentu yang mengklaim dirinya paling benar. “Tidak ada kelompok yang berhak mengklaim dirinya paling benar dan berhak mendominasi surga Allah, apalagi mencap kafir atau menuding kelompok lain sesat”, ucapnya lantang. Umat Islam Indonesia tidak boleh ikut larut pada keberpihakan kepada salah satu kelompok, baik dari Barat ataupun Timur. Keduanya mempunyai sisi positif dan negative. Tantangan masyarakat Indonesia ke depan justru bagaimana memodifikasikan keduanya tanpa harus kehilangan identitas keindonesiaannya.  Bahkan ia yakin fenomena fundamentalisme yang sekarang meningkat akan dapat dicairkan dengan modifikasi itu, yaitu membebasan diri dari pola budaya Timur serta mengengembangkan dimensi kerohanian dan pengembangan jiwa kritis ala Barat.

Islam yang berkembang di Indonesia memang mempunyai kekhasan tersendiri. Hal itu diakui oleh aktifis JIL, Abd. Moqsith Ghazali. Menurut kandidat doktor UIN Jakarta ini Islam Indonesia pada dasarnya adalah proses dialektis antara agama dan budaya. Hal itu merupakan kelanjutan logis dari konteks historis sejak jaman Nabi sampai ketika wali songo membawa Islam masuk ke Jawa {abad 14-15 M.}. Apa yang dilakukan oleh wali songo dalam mendakwahkan Islam di nusantara menunjukkan bahwa Islam dapat dikontekstualisasikan dengan kondisi budaya. Bahkan lebih tegas ia menyatakan bahwa agama sesungguhnya terbentuk dari budaya. Oleh karenanya ia juga sependapat dengan Andi yang menentang faham arabisme yang merasuk dalam Islam di Indonesia. “Islam memang lahir di Arab. Tetapi tidak semua yang Arab adalah Islam”, tandasnya mengakhiri pembicaraannya.[]

10/07/2006 | Diskusi | #

Komentar

Komentar Masuk (2)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

gua spakat banget kalo indonesia ga jd negara islam indonesia “mengunakan syariat islam sebagai dasar negara” itu pandangan gua tentang orang indonesia tp gua punya agama coy.. dalam agama gua syariat islam itu harus di tegakan, nah ada pandangan kalo sebelum menegaka syariat islam dalam negara mending syariatkan dulu diri sendiri tp masalahnya coy.. gmna mo negakan hukum cambuk buat yang jinah kalo negara ada UUD sendiri entar di bilang maen hukum sendiri lg, itu artinya gua sama aja ngebiarin diri gua tidak ngejalanin syariat islam buat diri gua sendiri karna ga punya kekuatan hukum yg di dukung oleh negara untuk mencambuk orang yang zinah tadi ,apa gua mesti biarin yg kaya gitu td, kalo gua biarin apa gua udah negakan syariat buat diri gua sendiri.
jd yang bego, tolo dan sialan itu siapa mas…

hukum adalah subsistem dari sistem negara, nah kan negara dengan systemnya itu di kembalikan untk masyarakat agar gua dan masyarakan bisa beribadah baik, nah kalo subsystem hukum tidak mendukung syariat islam jd giman acaranya gua bisa negakan syariat islam buat diri gua sendiri, klo gua ga bisa menggunakan hukum islam buat orang yang jinah td…

Posted by moh abudhar hudyatul islam  on  03/07  at  06:09 PM

Assalamualaykum,

Saya tertarik dengan pendapat bahwa tidak boleh menganggap salah satu kelompok itu paling benar, saya setuju dengan pendapat itu, Kenapa? Karena kebenaran datangnya hanya dari Allah Azza wa Jalla dan dari Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam. Karena itu kita jangan sembarangan menuding-nuding seseorang itu benar atau salah. Yang jelas-jelas salah dan tidak benar adalah mereka yang tidak melandaskan agamanya pada tuntunan dari Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam. Karena agama islam itu tuntunannya sudah terang benderang yaitu melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, diluar itu sudah pasti berada diluar kebenaran yang datangnya dari Allah dan Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam. Jadi, sekali lagi, jangan menuding-nuding dan menunjuk-nunjuk orang salah atau benar, kecuali dengan landasan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih, karena 2 (dua) sumber kebenaran itu saja yang diwasiatkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada umatnya. Demikian tanggapan saya, dan terimakasih. wasalamualaykum.
-----

Posted by Heru Partanto  on  02/08  at  09:02 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq